Secara tiba-tiba dinding di ruang tengah bertingkat dua ini bergetar. Sehingga, semua yang ada di dalamnya ikut merasakannya, dan secara tiba-tiba pula bau kemenyan dan bunga kamboja kini mulai tersa menyengat membuat bulu kuduk kami pun merinding.
Memang jika dilihat dari luar, rumah yang memiliki dua lantai ini dengan pekarangan yang luas, taman yang tertata rapi, dilengkapi pula dengan fasilitas kolam renang yang terletak di samping rumah ini. Sehingga, tampak begitu megah dan merupakan sebuah rumah idaman bagi siapapun yang melihatnya.
Namun, di balik kemegahan itu tersimpan misteri, rumah ini memang indah dan keindahan itu pun menutupi kekurangan rumah ini. Begitu pula dengan kami berlima. Di era serba susah begini, apalagi di Jakarta yang notabene adalah sebuah kota metropolitan yang semuanya serba mahal.
Tiba-tiba ditawari sebuah kontrakan yang mewah, tapi murah membuat kami tanpa bepikir panjang lagi langsung setuju untuk menandatangani kontrak dengan pemilik rumah. Apalagi, kami hanya mahasiswa yang berasal dari daerah, yang masih bergantung pada duit orang tua. Sudah naluri kami mencari sesuatu yang murah, namun layak. Untuk mundur pun dari semuanya ini rasanya itu tak mungkin. Karena, uang kontrakan itu rasanya sayag untuk disia-siakan.
***
Awalnya, aku tidak setuju atas usulan Mirna untuk memanggil dukun ke rumah ini. Namun, teman-teman yang lain menyetujuinya tanpa menyadari akan akibat dari perbuatan mereka. Jadi, apa boleh buat aku pun menyetujuinya.
Mbah dukun itu duduk bersila menghadap ke salah satu sudut ruangan, sekali-kali terdengar semburan dari mulutnya menyemprotkan air ke sudut ruangan itu. Keempat temanku tampak begitu serius mengikuti perintah dukun tersebut terlihat. Hal itu tampak dari raut wajah mereka kelihatan begitu tegang. Mbah dukun itu pun tiada henti-hentinya membaca mantra, entah apa yang dibacanya akupun tidak tahu. Karena aku memang tidak berniat untuk mendekat padanya. Aku hanya melihatnya dari jauh, di tangga menuju lantai dua. Sumpah, aku tidak tahan bau kemenyan. Aromanya membuat mual dan muntah.
Namun, tidak berapa lama ritual itu pun selesai. Mbah dukun itu pulang dengan peluh yang bercucuran di wajahnya dan keempat temanku pun tersenyum puas.
"Kita akan hidup dengan tenang tanpa gangguan itu lagi," kata Lia.
Aku hanya bisa tersenyum pasrah mendengarnya sambil berlalu ke dapur untuk mengambil makanan karna dari tadi sebenarnya aku lapar. Namun mbah dukun itu melarangku jauh-jauh dari tempat itu, takut kalau-kalau terjadi apa-apa padaku, katanya.
Kini kami semua duduk di meja makan siap untuk makan setelah beberapa menit selesai shalat Maghrib. Sementara, jam masih menunjukkan pukul 19:15. Tapi, entah dari mana datangnya tiba-tiba terdengar lolongan anjing, kami merasakan kembali kecaman itu dan semuanya terdiam membisu.
Tiba-tiba adzan terdengar tandanya shalat Isya pun akan segera dilaksanakan, dan secara tiba-tiba pula lolongan anjing itu pun menghilang, membuat kami merasa lega. Malam ini tidak terjadi apa apa dan itu membuat temanku berpikir bahwa dukun itu telah berhasil mengusir para penghuni rumah ini.
Namun, malam berikutnya mereka kembali membuat kami semua ketakutan dan parahnya lagi mereka kini memampakkan wujud mereka padahal selama ini mereka hanya mengganggu kami tanpa wujud. Dan malam itu adalah puncaknya.
Malam itu seperti biasa, kami pun tidur di kamar masing masing. Sekitar pukul 12:00 malam tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita di lantai bawah tepatnya di kamar mandi. Aku pikir itu salah satu dari keempat temanku, maka aku pun langsung keluar dari kamar dan berlari ke bawah, dan keempat temanku sudah berkumpul di dekat tangga, dan suara itu masih saja terus menjerit lalu kami pun saling pandang.
Aku berpikir, kalau bukan di antara keempat temanku lalu itu suara siapa? Dengan hati-hati pun kami berjalan menuju kamar mandi, tapi tak seorang pun dari kami yang membuka pintu kamar mandi tersebut sampai akhirnya pintu itu terbuka dengan sendirinya...
Dan di dalam kamar mandi, seorang wanita berambut pirang tanpa busana bersandar pada tembok dengan pisau tertancap di dadanya dan tembus ke jantung dengan mata melotot. Sementara, dari hidung dan matanya mengalir darah segar, sambil tersenyum menyeringai kepada kami berlima. Tanpa pikir panjang lagi, kami semua menjerit. Bahkan, Anis sampai pingsan, dan kami membawanya agak menjauh dari tempat itu. Tapi, saat kami melihat ke arah kamar mandi, tidak terjadi apa apa di sana. Air yang semula merah darah kini menjadi bening kembali.
Dan, entah kenapa tiba-tiba lampu di rumah itu mati membuat kami semua ketakutan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba bermunculan kepala kepala yang begitu banyak menyerang kami, semuanya memperlihatkan taring tiba tiba mereka seakan akan kami adalah makanan lezat. Tiba-tiba Mirna dan Susi ikut pingsan, aku dan Lia berusaha keluar dari kepala-kepala tersebut. Saat mereka akan menyerang kami, kepala-kepala tersebut berbalik arah menyerang Anis, Mirna dan Susi yang pingsan. Di depan mata, ketiga teman kami dibunuh, tanpa kami bisa berbuat apa-apa.
Tanpa menunggu lagi, aku dan Lia berlari meninggalkan tempat itu, namun kami dicegat oleh makhluk yang sangat menyeramkan. Tingginya melebihi tinggi manusia pada umumnya dan di sudut bibirnya tersembul sebuah taring yang runcing. Aku masih berusaha lari saat makhluk tersebut menangkap Lia. Namun, langkahku terasa berat sekali sehingga makhluk tersebut berhasil menangkapku setelah Lia dibunuhnya. Aku sudah tak tahu apa yang terjadi saat mahlukh tersebut menancapkan taringnya ke leherku. Saat itu pun aku tidak merasakan apa apa lagi.
Tiba-tiba aku terbangun. Ternyata, aku hanya mimpi.
Kulihat di sekelilingku semuanya tampak serba putih dan di sampingku kulihat mama tidur di sisi ranjang, mungkin karena ia kelelahan menjagaku. Merasakan aku bergerak, mama pun terbangun.
"Syukurlah, kamu udah sadar, Sayang," kata mama.
"Apa yang terjadi Ma, kenapa aku ada di rumah sakit?" tanyaku pada mama.
"Entahlah, mama sendiri tidak tahu, Sayang. Namun, Lia menelepon mama dari Bandung dan bilang kalau mereka kamu temukan pingsan di dapur saat kalian melihat-lihat tempat kontrakan," jawab mama.
'Tempat kontrakan?' pikirku. "Oh ya ma, sudah berapa lama aku pingsan?" tanyaku.
"Dua hari. Emangnya kenapa, Sayang?"
"Terus di mana Lia dan teman-teman yang lain sekarang? Apakah perjanjian kontrak tersebut sudah ditandatangani? tanyaku tanpa menjawab pertanyaan mama.
"Ya, perjanjiannya udah ditandatangani dan mereka sudah menempati rumah kontrakan kalian sejak kemarin, besok kamu juga akan mulai tinggal di sana jika dokter sudah mengizinkan kamu pulang," kata mama.
Tiba-tiba aku merasakan sakit pada leherku dan saat kuraba ada dua lubang di sana seperti bekas gigitan!
Penulis: Indha | Alamat: Pinrang, Sulawesi Selatan | FB | Twitter | Lokerseni | Pic
0 komentar