“Nambah lagi nggak Cay?” tawar Ridwan seraya memegang sebuah teko plastik.
“Tambah dong! Minum sampe abis!” Teriak Acay seraya menyodorkan gelas plastik yang ada di depannya.
Malam itu Acay, Ridwan, dan Epoy sedang mabuk-mabukan di sebuah pos hansip yang sudah lama kosong. Mabuk-mabukan adalah sebuah kegiatan rutin untuk tiga pemuda pengangguran ini, kadang membuat warga resah. Namun, kebanyakan warga tidak ingin membuat keributan. Karena mereka bertiga akan mengamuk apabila ada warga yang menegur perilaku mereka.
Minuman keras sekelas intisari adalah favorit mereka, sebuah minuman keras kelas coro yang kerap disebut “oli bajaj” karena terlalu murahan.
Tapi, untuk anak muda pengangguran yang bahkan harus berhutang untuk sebatang rokok, minuman keras jenis intisari sangat cocok. Memang warga sekitar kampung Bantar tidak menyukai mereka, tiga pemuda pemabuk pembuat onar.
“Gila, gua udah naik nih. Kacau nih intisari. Tapi gua masih mau nambah.” Cloteh Epoy dengan nafas alkohol.
“Iya nih, tumben enak banget nih intisari. Naiknya cepet.” Tambah Acay. Kemudian, menenggak segelas penuh intisari.
“Ini racikan gua. Asik kan? Tambahlah, masih banyak.” Ridwan mengangkat gelas pelastiknya, lalu melakukan tos dengan Epoy.
Mereka bertiga sudah mabuk berat, sedangkan malam semakin larut. Akhirnya, minuman keras mereka habis, mereka hanya bisa mengoceh karena pengaruh alkohol yang kuat.
“Anjir, kepala gua terbang cuy.” Acay terbaring di dalam pos.
“Ah, cemen lo Cay. Kayak gua dong masih santai.” Ledek Epoy sembari duduk bersandar di dinding pos, dengan rokok di tangannya. Rokok yang bahkan tidak ia hisap, hanya habis terbakar angin malam. Sedangkan, Ridwan hanya diam, dan bersandar di pundak Epoy.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, tiba-tiba Epoy merasa tenggorokannya gatal. Akhirnya, Epoy tidak bisa menahan, ia terbatuk-batuk.
“Liat noh anak kampung masuk angin.” Ledek Acay saat mendengar Epoy terbatuk-batuk. Ridwan hanya tertawa, sedangkan Epoy masih terbatuk. Bahkan semakin keras.
“Eh tapi gua penasaran sama racikan lo Rid, kok bisa cepet banget naiknya tuh Intisari?” Acay penasaran.
Dengan santai Ridwan menjawab.
“Gua campur intisarinya pake autan.”
Seketika itu Acay kaget, batuk Epoy semakin keras. Semakin keras hingga akhirnya di sela-sela batuk yang keluar dari mulut Epoy, darah membuncah keluar. Mengenai wajah Acay yang tengah berbaring, berbarengan dengan perasaan kaget Acay saat tahu campuran intisari itu adalah autan.
Wajah Acay dipenuhi darah dengan cabikan-cabikan kecil lapisan isi perut, juga cairan kekuning-kuningan yang keluar dari mulut Epoy. Seketika itu Epoy kejang-kejang hebat, mulutnya tidak henti mengeluarkan darah yang bercampur cairan kekuningan seperti nanah.
Acay dan Ridwan kaget. Mereka mencoba membantu Epoy dengan memegangi tubuhnya, tapi Epoy terus saja kejang-kejang. Saat menolong Epoy, Acay dan Ridwan merasa kepala merasa pusing, dan sakit yang menyengat secara bergantian.
Mereka berdua memegangi kepala mereka, tanpa mereka sadari darah mengalir deras dari hidung mereka. Perut mereka juga terasa mual, seakan lambung mereka diperas hingga membuat organ dalam mereka ingin keluar lewat mulut.
Ridwan dan Acay tidak tahan. Mereka berguling di lantai, menahan rasa sakit yang tidak tertahan di perut dan kepala. Ketiga pemuda yang beberapa menit tadi sedang tertawa bersama, kini menggelepar di lantai. Merasakan bagaimana perihnya meregang nyawa.
Ridwan dan Acay sudah tidak bisa menahan dorongan dari perut mereka. Hingga akhirnya darah segar keluar dari mulut mereka. Bercipratan ke segala arah, membasahi baju mereka. Juga lantai pos hansip itu.
Kini seluruh lantai pos berwarna merah gelap, dan suasana pos dipenuhi suara teriakan tertahan. Teriakan yang memilukan, teriakan yang lama kelamaan hilang terggelam kesunyian malam...
Kini Ridwan, Acay, dan Epoy tergeletak tak bernyawa di lantai pos, dengan kondisi yang mengenaskan. Darah tak kunjung berhenti mengalir dari mulut, dan hidung mereka.
Keesokan harinya warga dikejutkan oleh penemuan mayat tiga pemuda yang sudah membusuk. Bau anyir, dan amis yang memuakkan tercium ke mana-mana. Warga hanya berdiri, memandangi mayat mereka yang dihinggapi lalat.
“Ya elah. Orang kayak gitu mah buang aja mayatnya ke kali. Hahaha.” Kelakar seorang warga di tengah kerumunan lalat…
Sumber: kisahhorror
0 komentar