Malam makin merayap. Suasana sekitar rumah mulai senyap. Sesekali terdengar suara motor yang melintas di ujung jalan raya. Bayi mungil yang belum genap dua bulan ini, belum mau tertidur pulas. Matanya terpejam dalam gendongan bu Asih, sang nenek yang dengan setia menjaganya siang dan malam. Wajah perempuan paruh baya itu jelas teramat lelah, setelah seharian mengurus cucunya, juga mbok Ginah yang sedang terbaring sakit dan sesekali terdengar rintihan kesakitan dari kamarnya. Daripada cucunya berisik mendengar rintihan buyutnya, akhirnya setiap malam, bu Asih, Ratmi, dan Kinanti tidur di kamar depan. Sedangkan Tiwi, anak bungsu bu Asih, tidur disebelah kamar neneknya, jaga-jaga kalau sewaktu-waktu neneknya memanggil karena butuh sesuatu.
Ratmi, terkantuk-kantuk diatas dipan kayu. Matanya sudah tak bisa dibuka sempurna, didera kantuk yang amat berat, tapi perasaannya sungguh tak enak membiarkan ibunya sendirian menidurkan anaknya. Pekerjaan mengurus bayi ternyata sangatlah berat, semakin hari, setiap malam, jam tidurnya Kinanti berubah semakin malam. Dari semula habis bubaran shalat maghrib bayinya mulai tertidur, dan hanya sesekali bangun untuk menyusu, lalu tertidur lagi. Makan lama, jam tidurnya menjadi jam tujuh malam, bergeser lagi jadi jam sembilan malam, jam sepuluh, lama-lama menjadi selepas tengah malam, malah kadang-kadang diatas jam dua pagi atau menjelang subuh, barulah Kinanti bisa tertidur dengan nyenyak. Bayi itu tak tahu, kalau ibu dan neneknya kurang tidur, jalan sempoyongan dan kadang seperti mau roboh karena saking capeknya.
Malam ini, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Untuk ukuran desa, yang jauh dari hiruk pikuk kota, jam segitu suasana begitu sepi. Tak ada lagi penduduk yang beraktivitas diluar rumah. Angin bertiup kencang menggoyangkan daun-daun kelapa dan daun pisang di samping rumah. Ratmi memeriksa jendela dan pintu-pintu, barangkali ada yang belum terkunci. Korden-korden dirapatkan, takut ada orang iseng atau pencuri yang mengintip dari luar. Sesekali terdengar suara cicak yang membuat malam bertambah mencekam. Sudah enam botol susu formula yang dihabiskan Kinanti dari habis maghrib, diselang-seling menyusu pada ibunya juga. Pun sudah banyak popok dan celana yang dipipisi Kinanti. Begitu celana bersih dipakai, langsung pipis lagi. Berkali-kali. Bayi itu seperti suka becanda dengan malam, matanya terbuka lebar, kakinya menendang kesana-kemari dengan lincahnya sesekali terdengar tawanya yang menggemaskan. Kalau tak ingat itu adalah darah dagingnya, bayi yang amat dinantikannya, sudah lama Ratmi ingin mencubitnya. Bayangkan, saat ibu dan neneknya terkantuk-kantuk, eh Kinanti malah tertawa-tawa tak berdosa. Kadang-kadang kekesalannya ditimpakan ke Mas Joko, suaminya yang tinggal di Depok. “Anakmu ini loh mas,…bandelnya seperti kamu. Kalau malam tak mau tidur” sms Ratmi pada suaminya.
Waktu bergerak pelan. Ratmi makin tak enak perasaannya. Mau mengganti posisi duduknya pun, takut dipan kayunya berderit. Entahlah, malam ini sepertinya aneh, berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Sungguh, dia merasa takut untuk beranjak dari tempatnya sekarang. Tenggorokannya terasa kering, tapi dia tak berani ke ruang tengah untuk sekedar mengambil air minum. Membayangkan belakang rumahnya yang gelap, dan ada seseorang yang mengintainya dari luar sana, sudah cukup membuat nyalinya ciut. Sebulan lagi, aku akan pergi dari sini. Capek setiap malam ketakutan tanpa alasan. Dia kangen rumahnya di Depok yang berdekatan dengan tetangga satu sama lain, yang membuatnya tak pernah takut meski kadang ditinggal suaminya pulang kampung. Tak tahan rasa hausnya, Ratmi memaksakan diri mengambil segelas air di ruang tengah. Mengambil gelas dari rak dengan hati-hati, takut bersentuhan dengan gelas lain dan menimbulkan bunyi. Tepat ketika Ratmi meletakkan gelas kosong, dari atap rumah terdengar suara burung yang begitu serak, dan seakan-akan burung itu terbang memutar-mutari rumahnya. Secepat kilat, Ratmi kembali ke kamar depan. Kakinya gemetaran. Anehnya, Tiwi tak terbangun sedikitpun. Suara burung itu, membuatnya berprasangka. Suara burung yang kata orang-orang tua di desanya, menandakan akan ada seseorang yang akan meninggal. Ah,…bukankah hidup dan mati adalah urusan Tuhan?
Ratmi meminta Kinanti dari gendongan bu Asih. Bayi mungil itu tak menunjukkan kantuk sedikitpun. Sesekali Buaian Ratmi membuat mata Kinanti terpejam, tetapi saat Ratmi diam, mata Kinanti kembali terbuka. Bu Asih merebahkan diri di dipan. Matanya sudah merah, pertanda ngantuk yang amat sangat. Ratmi meletakkan Kinanti yang tertidur disamping ibunya. Diliriknya jam dinding diatasnya, hampir tengah malam. Baru saja hendak merebahkan diri, terdengar suara-suara aneh dari jalan kecil samping kanan rumahnya. Suara seperti kaleng bekas susu yang diisi batu dan dilempar-lempar. Klonthang! klonthang! klonthang! Ahh,..siapa sih yang jam segini masih main diluar? Belum habis rasa kagetnya, tiba-tiba terdengar ringkik kuda, ya benar. Ringkik kuda, yang berlari dari ujung utara dari samping rumahnya, sampai selatan, dan berbalik lagi ke utara. Seingatnya, tak ada tetangganya yang punya kuda. Tiba-tiba saja, bulu kuduknya, juga tangannya meremang, dan hawa dingin memenuhi sekitarnya. Bu Asih langsung bangun dan memeluk Kinanti yang terbangun dan terlihat kaget serta takut.
“Ada apa bu?” tanya Ratmi pelan, hampir tak terdengar, penuh ketakutan
Ibunya menggeleng, dan dengan isyarat tangannya, mengajaknya untuk cepat-cepat pindah ke kamar Kinanti. Untung saja, Kinanti tak menangis. Rasa kantuk Ratmi langsung buyar, tapi dia tak berani bertanya apapun pada ibunya, takut membuatnya semakin takut.
“Besok pagi aja ibu jelaskan” kata Bu Asih seolah tahu rasa penasaran anaknya.
***kejadian ini terjadi akhir medio Juni 2007
Penulis: Daryani Sudiro | Kompasiana
0 komentar