Thursday, October 4, 2012

Sunshine Horor

Cerpen horor, cerita horor, cerpen misteri, cerita misteri, sunshine

Cahaya keemasan sore itu mulai memudar, kekuatannya yang mampu membuat orang merasa tenang sudah lenyap. Senyum disetiap wajah hilang, setiap jendela tertutup. Gelap memang menakutkan, perasaan mencekam memang kejam. Hingga tidak ada lagi manusia mau keluar dari persembunyiannya saat cahaya temaram itu hilang, saat hangat itu sudah berganti menjadi dingin yang pucat pasi.

Cahaya keemasan itu pun mulai merangkak keluar, menyelusuri lantai kasar. Melewati tubuh lemah yang berbaring beralaskan debu kusam yang kotor, tidak ada yang perduli. Sebuah ruangan besar berisi barang tua, sama tuanya dengan bangunan itu. Sebagian dindingnya hanya berupa bata merah, dengan lubang kecil di sudutnya. Tempat itu lebih mirip gudang ketimbang sebuah ruangan, tidak layak atau bahkan tidak pernah ditempati sebelumnya. Ketika cahaya keemasan itu benar-benar meninggalkan tempat itu, ruangan itu gelap dengan cahaya agak kebiruan yang masuk melalui celah atap.

Sebuah kapak tergelatak di dekat tubuh seorang wanita, sedangkan seorang laki-laki tengah terikat disebuah kursi tua. Tambang yang sudah mulai rusak mengikat tubuhnya dengan erat, darah masih menetes dari keningnya dan kering di pakaiannya. Diantara cahaya biru, mata kapak itu berkilauan. Gagang dan mata kapaknya berlumuran darah, ceceran darah memenuhi lantainya. Seperti sebuah tempat penjagalan hewan, yang setiap harinya dikotori oleh darah hewan ternak semenit setelah urat leher mereka disayat. Tetapi sepertinya itu bukan darah hewan ternak, dan tempat itu terlalu sunyi untuk dikatakan sebuah tempat penjagalan hewan.

Wanita itu sangat berantakan, rambut panjangnya terurai kemana-mana. Pakaian dan celana jeans yang ia kenakan penuh noda tanah, seperti sebuah jeans yang dipakai tukang kebun. Dibalik rambutnya yang tergerai berantakan, tersembunyi sebuah wajah tirus. Dahinya masih dipenuhi keringat, nafasnya pun sesak. Mungkin ia sedang menahan luka perih dari memar-memar di wajahnya, ia sedang sekarat. Berjudi dengan waktu, pelan-pelan mencoba menipunya agara dapat sadar. Dengan luka tikaman di lengan seperti itu, waktu tidak akan melepaskannya begitu saja. Setidaknya “kehabisan darah” adalah alasan yang tepat  untuk menahan wanita itu selama-lamanya.

Malam sudah benar-benar menguasai, ruangan itu pun sudah sepenuhnya gelap. Sesaat kemudian bangku tua berdenyit pelan, penyangga disetiap sikunya bergerak. Jari laki-laki itu mulai bergerak, dan mulai meraba penyangga kursi itu. Butuh waktu beberapa detik untuk laki-laki itu mengetahui tangannya diikat, ia mulai menggunakan tenaganya untuk menarik tangannya. Tapi sia-sia, tangannya terikat kuat. Laki-laki itu mengangkat kepalanya, lalu kemudian meringis menahan nyeri di dahinya. Ia memperhatikan sekitarnya sejenak, sepertinya ia tidak heran atau takut saat mengetahui ia berada disebuah gudang tua dalam keadaan terikat.

“Mandy, bangunlah” pria itu berbisik.

“Mandy, demi Tuhan kau harus bangun.” Pria itu agak menekan suaranya, tetapi wanita itu tetap tidak menjawab.

Tenggorokannya terasa kering, keringat mulai keluar dari permukaan dahinya. Pria itu diam sejenak, kemudian mengambil ancang-ancang. Ia mendorong lalu menarik kursi yang mengikatnya, hingga kursi itu terangkat, dan bergerak dari posisinya. Satu lompatan tidak cukup untuk dapat menggapai tubuh wanita itu, pria itu mulai bersiap kembali, melakukan ancang-ancang, lalu melompat lagi. Kursi itu bergerak lagi, sekarang ia hanya berada beberapa langkah dari tubuh wanita itu. Ia kembali melakukan lompatan, dan ini lompatan terakhirnya. Sekarang ia sudah cukup dekat, pria itu mengulurkan kakinya hinggal mengenai bahu wanita itu.

“Mandy, sadarlah. Kita harus keluar dari sini.” Pria itu mengulurkan kakinya menendang tubuh wanita itu.

Tubuh wanita itu mulai bergerak, wanita itu sadar. Hal pertama yang wanita itu rasakan adalah nyeri dari luka tikaman dilengannya.

“Syukurlah kau akhirnya sadar sayang.” Terdengar sebuah rasa lega dari nada suara pria itu.

Wanita itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bangkit, tetapi ternyata ia belum cukup kuat. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, seperti baru saja terjatuh dari gedung berlantai 15.

“Mandy, kuatkan dirimu. Kita benar-benar harus pergi dari sini. Tapi lepaskan ikatanku terlebih dahulu.” Kini pria itu mulai memerintah.

Mandy masih dalam posisi setengah duduk, ia terus saya memegangi kepalanya. Mandy merasakan rasa pening yang teramat sangat dari bagian belakang kepalanya.

“Siapa aku, dan mengapa aku berada disini?”. Mandy mengalami gegar otak ringan, ia tidak dapat mengingat apa-apa dalam beberapa menit.

“kau Mandy, Aku Evans suamimu. Kita berada disini untuk liburan, namun orang lokal aneh memburu kita dan menyekap kita disini. kau ingat.”

Mandy hanya menundukan kepalanya, ia sudah tidak tahan dengan rasa pening di kepalanya. Untuk beberapa saat Mandy mulai ingat, ia ingat wangi pengharum mobilnya saat ia berkendara. Ia berkendara dengan seseorang, dan itu adalah Evans suaminya. Mereka baru saja menikah beberapa bulan yang lalu, ini adalah liburan pertama mereka. mandy ingat semua itu, tetapi ia masih tidak bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya. Setidaknya Mandy tahu bahwa laki-laki itu benar adalah suaminya, dan dia harus percaya dengan apa yang dikatakan suaminya. Karena hanya itu satu-satunya penjelasan apa yang ia alami.

“Aku ingat.”

“Syukurlah, bajingan itu memukul kepalamu dengan keras. Aku melihatnya.”

“Apakah dia juga yang menikam lenganku?” Mandy mulai sepenuhnya sadar.

“Ya, kau melawan saat dia menyeretmu.” Evans memelankan suaranya dan melihat ke sekitar.

“Lalu apa yang dia lakukan padamu, dan siapa sebenarnya dia?”

“Ia memukulku juga, dan mengikatku di kursi ini. Aku tidak mengenalnya, sepertinya ia orang lokal yang gila.” Evans kembali mencoba melepaskan ikatannya, tetapi gagal.

“Bisakah kau bantu aku melepaskan ikatan ini?”. Evans memandang Mandy dan ikatan di tangannya.

“Baiklah.” Mandy mencoba bangkit, tetapi ia tidak dapat menggunakan lengan kirinya. Pasti luka tikaman itu membuat lengannya mati rasa.

Mandy mulai melepaskan simpul ikatan di tangan Evans dengan tangan kananya, ia agak kesulitan. Suara pintu terbuka mengagetkan mereka, seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Ini bukan pertanda bagus…

“Cepat buka ikataku.” Evans melotot dan menaikan nada suaranya. Adrenalin terpompa di tubuh keduanya.

Mandy berusaha membuka ikatan itu dengan cepat, kini ia juga menggunakan tangan kirinya. Rasa nyeri sudah tidak lagi penting, ada hal yang lebih penting daripada itu: Nyawa.

Akhirnya ikatan Evans terlepas, dengan sigap Evans membuka ikatan di tangannya yang lain. Evans memang lebih pintar dari mandy, ia dapat membuka ikatan menggunakan satu tangan lebih cepat beberapa detik dari Mandy. Kini kedua tangan Evans sudah bebas.

Tetapi semua sepertinya terlambat, seseorang telah memasuki ruangan. Evans tau itu, nalurinya dalam menebak sangat kuat. Evans menarik lengan Mandy, dan bersembunyi di balik sebuah rak besar di sisi ruangan. Seketika sebuah lampu bohlam di tengah ruangan itu menyala, menerangi bagian tengah ruangan itu. Mandy agak terpekik melihat keadaan dimana ia berbaring tadi, sebuah kapak berlumuran darah, dan tetesan darah di lantai.

Mandy menahan nafasnya, ia bersembunyi dibalik bahu Evans. Mandy memang bukan penakut, tetapi dalam sebuah kondisi ia bisa sangat takut. Apalagi saat rasa sakit mengambil sebagian besar dari kontrol tubuhnya, ini bukan saat yang bagus untuk berani. Sedangkan Evans dalam keadaan siap, bahkan jika dikepung oleh lima orang bengis sekalipun.

Derap langkah berat memenuhi ruangan, ruangan kosong memang memantulkan suara sekecil apapun. Bahkan deru nafas berat Mandy dapat terdengar beberapa meter kedepan. Bayangan sosok tinggi besar mulai terlihat di tepi ruangan, dengan langkah yang berat seperti sebuah tank besar yang kuat namun lamban. Perlahan-lahan ia memasuki ruangan, cahaya bohlam mulai menerangi tubuhnya. ternyata sosok itu adalah seorang lelaki bertubuh besar, ia mengenakan mantel tebal dengan rambut sebahu. Janggut tebal memenuhi wajahnya, tetapi Mandy dapat melihat dengan jelas wajahnya. Pria itu mempunyai wajah kasar, dengan garis-garis khas orang lanjut usia. Sepertinya ia tidak setua itu, mungkin itu hasil dari berjam-jam terbakar matahari. Pria itu memang tidak terlihat seperti pria rumahan yang ramah, ia lebih mirip bigfoot.

Mandy menahan nafasnya, ia dengan tidak sadar meremas punggung Evans cukup keras. Evans terlalu tegangan untuk mengubrisnya. Saat melihat ruangan itu kosong, orang itu terlihat kaget. Ia panik, dan memeriksa ke sekitar ruangan. Sesekali pria itu menggeram layaknya primata, mungkin itu caranya berkomunikasi atau sekedar meluapkan emosi.

Evans menoleh ke arah Mandy, untuk beberapa detik ia menatap mata Mandy. Tindakan Evans malah membuat nyali Mandy semakin ciut, di dalam hatinya Mandy berteriak.

“Kau ambil kapak itu dan tancapkan ke kepala orang aneh itu saat aku alihkan perhatiannya.” Evans menatap Mandy tanpa berkedip. Untuk sementara Mandy tidak dapat mengerti perkataan Evans, dalam keadaan seperti ini memang membuat siapapun agak sulit mencerna ucapan orang lain. Mandy menghirup nafas panjang, lalu menganggukan kepalanya tanda mengerti.

Dengan cepat Evans melesat dari tempat persembunyiannya, lalu keluar untuk menghadapi pria itu. Sedangkan Mandy masih di tempatnya, berusaha menyembunyikan dirinya dengan sempurna dibalik rak. Di dalam pikirannya dia sedang menyusun cara agar ia dapat mendapatkan kapak itu dengan cepat.

“Hey orang aneh, aku ada disini. sasaranmu ada disini.” teriak Evans.

Pria itu seketika menoleh ke arah evans, saat melihat Evans berdiri menganggkat tangannya seakan menantangnya, pria itu menggeram keras. Kini ia lebih mirip serigala ketimbang primata. Pria itu sangat marah saat melihat Evans, lebih tepatnya melihat wajah Evans yang berekspresi licik. Seketika pria besar itu berlari untuk menabrak, dan melayangkan tinjunya ke wajah Evans. Evans sudah bersiap, ia mengepalkan tangannya hingga tulang-tulangnya saling bergeretakan. Saat pria itu cukup dekat, Evans melepaskan tinjunya terlebih dahulu. Tinju Evans mengenai perut pria besar itu, pukulan yang cukup kuat untuk menjatuhkan orang normal. Tetapi seakan pukulan itu tidak berarti apa-apa untuk pria itu, bukannya kesakitan, pria itu malah meninju balik Evans dengan tinju yang dua kali lipat lebih kuat. Evans terpental, dan membentur sebuah meja tua di tepi ruangan. Benturan itu sepertinya cukup keras, hingga membuat Evans merasa tulang pinggulnya retak. Evans meringis kesakitan, sementara Mandy sudah menyusup dibelakang pria besar itu dengan membawa kapak.

“Sekarang!”. Evans memberi aba-aba.

Pria besar itu tidak tahu apa yang Evans maksud, hingga saat Mandy menghantam bagian lengannya dengan kapak yang ia bawa. Kapak itu menancap di lengan pria itu, pria besar itu kaget. Ia menatap Mandy yang beberapa detik kemudian menghantamnya dengan kapak.

“Sunshine…” Pria itu berbisik saat melihat Mandy.

Mandy agak kaget mengetahui pria besar itu dapat berbicara, dan kata-kata yang ia ucapkan sepertinya tidak asing buat Mandy.

Pria besar itu menahan rasa sakitnya dengan sekuat tenaga, ia tetap menatap Mandy. Lalu perlahan tertaih mendekati Mandy, Mandy mundur selangkah. Tetapi kemudian pria besar itu roboh saat Evans menendang kakinya hingga patah.

“Kau tidak apa-apa?”. Evans menarik Mandy menjauhi pria besar itu.

Mandy menggelengkan kepalanya, ia masih dalam perasaan terkejut. Evans memeluk Mandy erat, tetapi entah mengapa Mandy tidak takut sama sekali dengan pria besar itu. Bahkan ia merasa sangat familiar dengannya, Mandy berusaha berpikir keras.

“Mandy si pemberani.” Bisik Evans saat memeluk Mandy.

Mendengar kata-kata itu kepala Mandy seperti berputar, rasa pening di kepalanya datang lagi. Tetapi kini lebih hebat, banyak bayang-bayang buram melintas di kepalanya. Seperti saluran tivi yang tidak terlalu jelas, kini rasa pening itu semakin hebat. Tubuh Mandy bahkan gemetaran. Rasa pening itu menusuknya, bahkan lebih dalam dari luka tikaman di lengannya. Tetapi saat rasa pening hebat itu meremas otaknya, bayangan di kepala Mandy menjadi sangat jelas. Seakan puzzle sudah terpecahkan, ia dapat mengingat kejadian setelah ia berkendara dengan Evans. Ia dapat dengan jelas mengingat saat Evans meninju wajahnya hingga ia membentur vas bunga, vas bunga kesayangannya yang ia letakan di rumah kayu milik mendiang ayahnya. Ia juga ingat saat menemukan foto-foto aneh di koper Evans, foto-foto mayat wanita dengan keadaan bugil. Mandy merasakan kembali rasa sesak saat mengetahui bahwa suaminya adalah pembunuh gadis-gadis muda, bahkan kini ia merasa jauh lebih buruk. Rasa nyeri dari luka di lengannya saat Evans menancapkan kapak datang lagi, kini dia tahu mengapa ia familiar dengan pria besar, “Sunshine”, dan “Mandy si pemberani”. Pria besar itu menyelamatkannya saat Evans menyerangnya dengan kapak, lalu memanggilnya “Sunshine” sebelum ia tidak sadarkan diri karena luka benturan vas di belakang kepalanya. “Mandy si pemberani” adalah ejekan Evans sesaat sebelum ia menyerang Mandy dengan kapak. Kini semua terasa sangat jelas di mata Mandy, mungkin pria itu juga yang membawanya ke ruangan, gudang, gedung tua, atau apalah namanya. Ia juga mengikat Evans agar Evans tidak dapat menyakitinya. Adrenalin yang lebih hebat mengalir di darah Mandy, saat Evans memeluknya Mandy mencari cara untuk mengambil kapak itu dari tubuh pria besar itu. Pelukan Evans yang membuatnya nyaman beberapa menit yang lalu, kini membuatnya sulit bernafas dan ingin muntah. Bahkan wangi tubuh Evans kini seperti bau bangkai.

Mandy harus segera melepaskan pelukan Evans, dan mengambil kapak itu sebelum semuanya terlambat. Ia merasa bodoh telah membunuh pria yang menolongnya demi pria yang bahkan ingin mengubur tubuhnya didalam tanah selamanya. Tanpa pikir panjang Mandy melepas pelukan Evans, ia mendorong tubuh Evans, dan berusaha meraih kapak. Tetapi tangan Evans telah mencekik lehernya terlebih dahulu, “Mandy sang pemberani.” Ejek Evans saat menatap Mandy kesulitan bernafas, Mandy berusaha melawan. Ia memukul-mukul tangan Evans, tetapi tangan Evans cukup kuat untuk menahan pukulan Mandy. Evans mengencangkan cekikannya, Mandy semakin kesulitan bernafas. Darahnya sudah semakin mengental, matanya pun sudah mulai buram. Pukulan Mandy semakin melemah, cekikan Evans siap mengantar Mandy menemui malaikat kematiannya.

“Pergilah, dan bawa semua rahasiaku.” Evans menatap keji Mandy, kini ia adalah algojo pencabut nyawa.

Tiba-tiba Evans berteriak amat keras, dan melepaskan cekikannya. Tubuh Mandy terjatuh ke lantai, Evans memegangi kakinya. Sebuah kapak tertancap tepat di bagian betisnya, darah mengalir deras. Pria bertubuh besar itu menyerang Evans dengan kapak yang menancap di lengannya, ia juga menarik tubuh Evans. Menahannya dengan cukup kuat, Evans terus saja berontak. Evans terlihat sangat marah, ia memukul-mukul pria besar itu.

“Lari Sunshine.” Pria besar itu berkata pada Mandy, matanya berkaca-kaca. Entah mengapa Mandy merasakan kehangatan di tatapan pria besar itu, air mata menetes di pipinya yang membiru.

“Aku akan lari, tapi sebelumnya…” Mandy tidak meneruskan kata-katanya, ia meninggalkan pria besar itu, lalu kemudian kembali membawa kursi kayu tempat dimana Evans terikat.

“Sebelumnya aku harus menyelesaikan bajingan ini.” Mandy menghantamkan kursi itu ke kepala Evans, seketika kursi itu hancur saat beradu dengan kepala dan tubuh Evans. Evans meringis kesakitan, benturan kursi itu meninggalkan luka menganga di dahi dan wajah Evans. Darah mengalir deras, membasahi wajah dan tubuh Evans. Evans ambruk, dan tidak bergerak lagi. Mungkin kini dia sedang menghadapi malaikat kematiannya sendiri.

Pria besar itu melepaskan tangannya dari tubuh Evans, ia terkulai lemah. Mandy berlari keluar dari tempat itu, ketika ia keluar. Ia baru menyadari bahwa ia berada disebuah gedung tua di tengah hutan, ia ingat jalan menuju rumah kayunya. Tanpa ragu ia menyusuri jalan setapak, hingga akhirnya ia sampai di rumah kayu milikinya. Keadaan rumah itu sangat berantakan, ia melihat mobil Evans terparkir di halaman rumah. Ia segera masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin mobil lalu meninggalkan rumah itu. Ia menginjak pedal gas sangat keras, hingga ban mobilnya berdecit saat menapaki jalan kecil.

Saat dalam perjalanannya, Mandy melewati gedung tua tempatnya berada tadi. Di depan gedung tua itu, pria besar penolongnya tengah berdiri seraya menggenggam tubuh Evans. Tubuh Evans masih bergerak, ternyata Evans masih hidup. Tetapi mungkin sebentar lagi tidak, Mandy tahu benar apa yang akan pria itu lakukan terhadap Evans. Dengan sebuah kapak di tangannya yang lain, semua seperti sudah sangat jelas.

Mandy tersenyum saat menatap pria besar itu, ia menggerakan bibirnya memberi ucapan terimakasih tanpa bersuara. Si pria besar itu memblasnya dengan ucapan “Selamat tinggal Sunshine”.

Mandy dapat mendengar ucapan pria besar itu, dan kini mobilnya sudah semakin jauh meninggalkan gedung tua itu. Sepertinya ia harus menata ulang kehidupannya, dengan gelar janda.

Sumber: kisahhorror

1 komentar: