Thursday, July 28, 2011

Kisah Patung Balik Arah

“Ingat, kalian harus ikut. Kegiatan ini wajib diikuti buat murid kelas satu! Ini penting supaya ada nilai tambah buat kalian,” tutur Kak Dika di depan kelas dengan berapi-api.

Indra menguap. Ia malas mendengar celoteh Kak Dika – kakak kelasnya yang sok tahu itu.

Tapi, lantaran ekskul ini wajib bagi anak kelas satu, mau tak mau ia harus ikut serta. Tak ada alasan yang dapat digunakannya untuk mengelak dari kegiatan satu ini. Apalagi, orang tuanya di rumah tentu sangat mendukung kegiatan pramuka ini. Hal ini baik buatmu, begitu kata mereka.

Kegiatan kemah merupakan adat yang harus diikuti murid-murid kelas satu SMA Pemuda Jaya, sesudah ujian nasional dilaksanakan. Lebih tepatnya, saat libur seminggu kenaikan kelas satu ke kelas dua.

Huff... Indra menghela napasnya. “Duh, sebal betul aku,” bisik Indra pada teman sebangkunya.

“Kenapa memangnya?” tanya Ari.

“Ah, takut aku kalau sama nyari jejak,” terang Indra.

“Hahahaha...” Ari cengengesan saja mendengar keterangan Indra, “Dengar ya, Ndra, kata orang tuaku, hidup ini pengalaman. Jika kamu tak pernah merasakan berkemah sekarang kapan lagi kau akan merasakannya? Ayo, gembiralah...”

“Ya, takut aku, Ri.”

Ari cuma diam mendengar keluhan Indra. Namun di dalam hatinya Indra, dirinya membenarkan juga apa yang dikatakan Ari, kawan sebangkunya itu. Jika tak sekarang, kapan lagi ia akan berkemah.

Hitung-hitung, pengalaman sekali seumur hiduplah.

* * *

Akhirnya, hari berkemah tiba. Dengan peralatan pramuka peninggalan kakaknya, Indra berangkat juga dengan kawan-kawannya sesama kelas satu dibimbing oleh kakak pembinanya. Mereka berkemah di sekitaran Tugu Pahlawan Margarana. Tugu Pahlawan Margana merupakan tugu untuk mengenang jasa-jasa pahlawan yang gugur dalam Pertempuran Margarana tahun 1945. Di mana, pertempuran itu dipimpin oleh pahlawan Bali yang terkenal: I Gusti Ngurah Rai.

Hari sudah agak siang ketika mereka sampai di sana. Sesampainya di sana, ada acara pembuka oleh panitia acara dan para guru pembina Pramuka. Intinya, mereka menyambut kedatangan para peserta perkemahan tahun ini. Sesudahnya, para peserta—termasuk Indra—segera merapikan dan menyiapkan segala sesuatunya yang dibutuhkan. Macam: mendirikan kemah, mencari kayu bakar, dan saling bergerombol dengan kelompok yang sama. Indra pun gabung dengan kelompoknya. Tapi, ia sedikit merasa aura tempat perkemahan itu sedikit singup .

Aura itu semakin singup waktu Indra melihat-lihat di dalamnya patung-patung pahlawan di Tugu Pahlawan Margarana itu. Kala itu, ia melihat patung pahlawan yang berdarah-darah sampai ke bajunya. Patung itu menghadap ke barat.

Pukul 12 malam, para peserta berkemah dibangunkan. Tiba saatnya acara mencari jejak. Semua peserta diharuskan masuk ke dalam tugu pahlawan menuju pos-pos yang sudah disediakan. Tujuanya satu: mereka harus berhasil ke luar dari situ. Tempatnya gelap, karena pos pertama, mereka akan mendapat lilin seraya ditanya-tanyai oleh petugas. Di tengah jalan, ketika mencari jejak, Indra bertemu dengan seorang lelaki tua berjanggut. Lelaki tua itu mengenakan baju montir warna cokelat.

Indra bingung, mengapa ada lelaki tua di sini. Karena penasaran, ia bertanya pada lelaki tua itu. “Ngapain Mbah di sini malam-malam?” tanya Indra.

Lelaki tua itu cuma nyengir. Ia menampakkan deretan gigi-giginya yang berwarna kuning hitam busuk, seperti terkena karat. Lantas lelaki tua itu menjawab, “Tidak apa-apa, Dek, saya sedang bersantai saja kok.” Bulu kuduk Indra mendadak meremang. Lantaran takut, ia buru-buru meninggalkan lelaki tua itu menuju tiap-tiap pos. Lancar ia menembus kegelapan malam dari pos ke pos, sendirian.

Hasilnya, keesokan pagi ia bercerita pada Ari bahwa ia tak lagi takut dengan tantangan seperti ini.

“Ri, benar yang kamu katakan. Hidup adalah pengalaman. Terima kasih ya, kalau kemarin kamu tak mengatakan itu, mungkin aku udah mencari akal guna tidak ikut kemah ini,” kata Indra.

“Santai... begitulah teman,” jawab Ari.

Ketika Indra hendak keluar dari gerbang depan, ia bertanya pada Ari, “Ri, kemarin kamu perhatiin nggak kalau patung itu menghadap ke barat, bukannya ke timur?”

Ari menatap patung yang dimaksud Indra. Ia menggeleng. “Nggak kuperhatiin, Ndra. Jadi, aku nggak bisa komentar,” jawab Ari kemudian meninggal Indra yang masih berdiri di depan patung.

Tinggallah Indra sendiri. Lantas, ia memerhatikan lekat-lekat. Begitu diperhatikan, sontak ia terkejut karena melihat dengan mata kepalanya sendiri patung itu mengedipkan mata padanya.

Indra lari sambil teriak-teriak. Orang-orang yang bertanggung jawab di situ mengira ia kesurupan. Tapi, Indra bilang ia tidak kesurupan dan bercerita kejadian sebenarnya. Tapi, sayang orang-orang tak memercayainya, karena mereka tetap melihat patung itu menghadap ke arah barat. “Ahhhhh...” teriak Indra.

Sejak itu, Indra tak pernah mau diajak kemah, meskipun itu kegiatan dari sekolah, yang sifatnya memaksa.

3 komentar