Pemain utama: Bhisma Sm*sh dan Rafael Sm*sh-------
"Sialan, gua kalah lagi kali ini!" tukas Bhisma setengah kesal kepada Rafael.
Rafael hanya menanggapi pernyataan Bhisma dengan senyum cengengesan. "Hihihi... nyali, Bhis. Nyali. Untuk memenangkan pertaruhan lu harus berani. Ingat kata Sutan Sjahrir: 'Hidup yang tidak dipertaruhkan, takkan bisa dimenangkan.'"
"Ah, ngaco lu," sahut Bhisma sambil merogoh kantong dalam jaket kulitnya. Mengeluarkan sebuah amplop panjang berwarna cokelat. "Nih..."
"Wah, harus dihitung dulu nih, supaya nggak ada yang nyelip. Siapa tahu kurang!" Rafael berkata sambil mengedipkan matanya, meledek Bhisma.
"Anying sialan lu ye. Gua orangnya jujur, El. Kalau gua kalah ya udah kalah aja. Nggak main sama namanya mbayar kurang. Siakek..."
"Hehehe... bercanda bercanda. Ya udah, sebagai ungkapan rasa syukur gua atas kemenangan ini, lu gua traktir. Sekarang mau makan di mana lu?"
Anying, batin Bhisma, duit-duit gua sendiri dipake buat traktir gua. "Arrrgghhh..."
"Udahlah nggak usah kesel begitu dong... Hihihi. Oiya, traktirnya nggak boleh lebih dari dua puluh ribu ya."
Bhisma mendengus kesal. Tapi, apa boleh buat, duitnya bukan duitnya lagi. Karena sudah menjadi hak Rafael atas kemenangan taruhan kemarin: mengencingi nisan! 10 juta rupiah melayang. Sebuah taruhan tolol memang. Tapi, begitulah Bhisma -pemuda pengangguran berusia 21 tahun- yang hidup mengandalkan kekayaan orang tuanya. Baginya judi, taruhan, atau apapun lah namanya sudah menjadi bagian hidupnya yang sulit untuk dipisahkan. Mungkin hanya bisa dipisahkan oleh kematian. Bahkan, untuk sekadar melakukan taruhan tolol seperti mengencingi makam atau memakan ulat pisang pun bisa dilakukannya.
Bhisma sering kalah, tapi pernah menang juga walau tak seberapa dibandingkan kekalahannya. Sebagai seorang penjudi yang salah menerapkan prinsip Sutan Sjahrir, Bhisma kurang pandai berhitung menimbang untung ruginya pertaruhan. Jika dia yakin menang, dia hanya akan pasang separuh. Jika dia tidak yakin, justru pasang semua yang dimilikinya.
"Mmm... ayam goreng ini nggak kalah nikmatnya, dibandingkan KFC (Kentucky Fried Chicken), Bhis." Rafael berkata sambil memamah ayam goreng crispy yang dijual di pinggir-pinggir jalan. "Lu harus coba deh. Gua mau nambah ah... Bang, ayam gorengnya satu lagi dong."
"Iya. Gua juga pernah kali kalau cuman makan ayam goreng beginian. Emang gua udik banget apa?" dengus Bhisma. Perasaannya masih campur aduk akibat kekalahannya. Dia sedang memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uangnya kembali plus tambahannya, yang berarti menaikkan jumlah taruhannya. "Lima belas juta, El. Gimana?"
"Hah, apaan?" Rafael bengong, mulutnya masih penuh dengan ayam goreng model KFC itu.
"Kita taruhan lagi. Kali ini, gua jamin lu bakal kalah. Tidur di dalam keranda masjid kompleks kita. Gimana, berani nggak lu?" kata-kata Bhisma menantang Rafael.
Di pikiran Rafael sudah terbersit cerita horor yang mungkin terjadi seandainya dia yang tidur di dalam keranda. Otaknya berpikir kreatif. Lalu, Rafael tersenyum janggal. Dia punya ide baru untuk mengalihkan taruhan supaya Bhisma yang pertama melakukannya. "Gua sih berani aja. Tapi, gini aturannya. Jumlah taruhan gua naikin jadi dua puluh lima juta. Duit harus cash dikumpulkan jadi satu. Gua nunjuk Morgan untuk megang itu duit supaya nggak syak-wasangka di antara kita. Tapi, lu duluan yang harus tidur di dalam keranda di hari pertama. Gua di hari kedua."
Bhisma tergiur dengan tawaran itu. Otaknya yang sedikit di atas otak ayam itu, dan jauh di bawah Rafael segera mengiyakan ajakan bodoh itu. "Oke."
"Kalau gitu kita salaman dulu. Deal?"
"Deal!" *baca dengan gaya Andre Taulani saat iklan Toko Bagus*
Keduanya lalu melahap ayam goreng masing-masing hingga tandas. Pikiran keduanya dipenuhi jumlah taruhan yang bakal dimenangkannya.
***
Setting: di dekat masjid
Pemain utama: Bhisma Sm*sh dan Rafael Sm*sh
Pemain tambahan: Morgan Sm*sh
-------
"Nih, uang kita masing-masing lu yang pegang yak," Rafael berkata kepada Morgan. Morgan menerima duit 50 juta dari tangan Rafael. "Nanti lu dibagi sepuluh persen dari si pemenang."
"Eh, kita beli 'minuman' dulu yuk," Rafael berkata.
"Kenapa emangnya, Bhis? Lu butuh nyali tambahan? Hehehe..." ledek Rafael.
Sambil mengusap-usapkan telapak tangan ke lengannya, sebagai bentuk kepura-puraan kedinginan, Bhisma berkata, "Bukan. Gua kedinginan. Dingin banget nih malem."
"Ya udah yuk." Dalam hati, Rafael tidak percaya dengan yang dikatakan oleh Bhisma bahwa dia kedinginan. Padahal, dia yakin sangat kalau Bhisma bukannya kedinginan karena udara malem, tapi kedinginan karena ketakutan. Tapi nggak apa-apalah.
"Dioplos aja. Lebih enak," tukas Morgan, ketika mereka bertiga sampai di "warung jamu" sehat pria.
Tanpa banyak bicara, ketiganya telah menandaskan minuman oplosan mereka. Kemudian, mereka pergi ke belakang masjid yang terletak tidak jauh dari "warung jamu" itu. Masih berada di dalam kompleks rumah mereka sih. Sesampainya di sana, Rafael segera membuka tutup keranda dan mempersilakan Bhisma untuk tiduran. Setelah tiduran, keranda pun ditutup kembali dan ditutupi dengan kain berwarna hijau.
"Siap-siap kalah lu, El." tutur Bhisma sesaat sebelum Rafael dan Morgan menutup keranda yang ditiduri oleh Bhisma.
Dari dalam Bhisma masih dapat mendengar suara Rafael dan Morgan tengah berbincang-bincang. "Oke, Bhis, lu kita tinggal dulu. Nanti sebelum Subuh sekitar jam setengah empat, gua sama Morgan balik lagi ke mari. Sekarang jam 11.38. Kira-kira lu punya waktu empat jam dari sekarang. Selamat bermimpi indah ya, Bhis."
Setelah berkata demikian, Rafael dan Morgan pergi meninggalkan Bhisma yang masih celingak-celinguk di dalam keranda. Belum begitu lama berikutnya, kepala Bhisma mendadak sakit. Mungkin pengaruh miras oplosan yang diminumnya, pikir Bhisma.
"Siakek, sakit banget nih kepala," ujar Bhisma dalam hati.
Horor juga suasana belakang masjid pada waktu malam-malam saat sudah semakin sepi. Malam ini Bhisma mengigil kedinginan. Sakit kepala yang dia rasakan semakin menjadi-jadi. Bhisma mengumpat-umpat. Kalau saja dia tidak ingat berapa jumlah uang yang dipertaruhkan tentu dia tidak akan mau melakukan ini semua. Tapi, keadaan di dalam keranda membuat Bhisma pengap. Bahkan, membuatnya susah untuk sekadar menarik napas. Hingga, terdengar suara adzan Subuh Rafael dan Morgan belum juga datang.
"Rafael, keluarkan aku cepat!" aku berteriak. Tapi, suara Bhisma bagaikan tercekat. Saat dia hendak bergerak, dia tidak bisa menggerakkan badannya, badannya seperti diikat tali. Aduh, kenapa ini? Dengus Bhisma.
Dia juga merasa aneh, teriakannya tidak ada yang mendengar teriakannya. Bukankah ini sudah Subuh dan suara adzan sudah dikumandangkan? Tentu ada orang yang bersiap salat Subuh di masjid ini -setidaknya satu orang saja.
Sayup-sayup kemudian Bhisma mendengar suara beberapa orang tidak jauh dari telinganya. "Lima orang turun ke liang buat memapah jenazah," teriak beberapa orang.
Bhisma makin tidak mengerti akan apa yang terjadi. Semakin dia berusaha bergerak, semakin terasa sakit badannya. Sementara lidahnya terasa kelu kala berteriak. Saat itulah, Bhisma mengerti, apa yang tengah terjadi padanya, saat lima orang yang menerima tubuhnya di dalam liang kubur berucap lirih hampir serempak, "Allahu Akbar..."
***
Setting: tpu tidak jauh dari kompleks
Pemain utama: Rafael Sm*sh dan Morgan Sm*sh
-------
Rafael dan Morgan ikut dalam prosesi penguburan Bhisma. Keduanya berdiri menatap ke dalam liang tatkala pocongan Bhisma dibuka oleh lima orang yang berada di dalam liang. Tak ada sesuatu yang spesial. Tak ada sesuatu yang aneh. Biasa saja. Sebagaimana umumnya.
"Bhisma udah meninggal, El. Terus taruhannya gimana?" tanya Morgan.
Rafael mendeham. "Gua nggak menyangka kejadiannya bakal begini, Gan. Tapi, sayang banget kalau duitnya kita kembalikan. Ya udah daripada nggak bisa dipake, mending kita beliin minuman lagi -yang banyak."
Kedua pemuda laknat itu tersenyum dengan rencana mereka.[]
Follow Twitter kami di @CerpenHoror
0 komentar