Setting: kantor
Pemain utama: Marsha Timoty dan Vin G. Bastian
-------
Ah, akhirnya aku bisa pulang juga setelah tertahan di kantor selama hampir enam jam. Berhubung sekarang pukul 12.00-an malam, maka aku memutuskan jalan kaki. Bus yang biasanya mengangkutku pulang ke rumah sudah tidak ada jam segini. Cukup sih untuk melelahkan kaki lelah ini. Mau bagaimana lagi? Baru bulan depan aku memutuskan beli motor Honda Scoppy. Cash. Aku tipe wanita yang tidak mau menghancurkan keuangan demi membeli barang kredit. Lagian, kenapa harus beli kredit kalau bisa beli cash?
Dalam hati aku berkomat-kamit supaya kakiku kuat melangkah hingga jalan depan. Sambil berharap ada seseorang pangeran tampan baik hati yang menawariku tumpangan. Dan, ternyata doaku yang belakangan, diterima oleh Tuhan -walaupun bukan pangeran tampan yang datang. Tapi Pak Vino Bastian, sopir ambulance tempatku bekerja. Ya, sehari-hari Pak Vino memang memegangi kendali atas ambulance. Sementara, aku bekerja jadi perawat. Dia memanggilku dengan suara cemprengnya.
"Mbak Marsha..." Aku menengok ke asal suara itu. Kutemukan sosok Pak Vino berteriak dari balik pintu. "Kamu mau pulang ya?" tanyanya lagi.
"Iya, Pak, ada apa?" tanyaku.
"Bareng saya aja. Kita searah kok..." tukasnya.
Well, tanpa berpikir panjang pun aku segera masuk ke dalam mobil itu. Walaupun aku tahu kalau itu mobil ambulance. Tak apalah, asalkan kakiku tidak jadi pegal. Pak Vino memang sudah seperti ayahku dan seumuran dengan ayah. Kami banyak ngobrol di dalam mobil ambulance merek Mistubishi Lance. Dia ramah. Dan banyak bercerita tentang kehidupannya sehari-hari. Laki-laki paruh baya yang kutaksir usianya kira-kira 50 tahunan itu menggambarkan betapa sederhananya dia dan bagaimana cara mensyukuri kehidupan.
Tiba-tiba Pak Vino bertanya, "Mbak Marsha tahu apa yang paling mesra di dunia ini?"
"Maksud Bapak?" aku tak mengerti arah pertanyaannya yang absurd buatku. "Tapi, saya rasa, saya nggak tahu apa yang Pak Vino maksud."
"Maut, yang saya maksudkan Mbak Marsha. Ya, mautlah yang paling mesra dengan kita. Bahkan, dia sangat sangat dekat. Tangan-tangan yang kejam siap mencengkeram siapapun dan memisahkan kita dari kebahagiaan dunia..."
Aku sebetulnya terkejut dengan tema pembicaraan, tapi jujur aku tidak mengetahui arah pembicaraannya.
"Kamu siap bila maut menjemputmu? Dia selalu mengintai kita lho. Siap, tidak siap, jika memang sudah waktunya dia pasti datang."
"Ah, Pak Vino, ganti obrolan aja kenapa. Tema ini menakutkan buat saya..."
"Hehehe..." Pak Vino cuma tertawa saja mendengar jawabanku.
Tidak seberapa lama dari kami mengobrolkan tentang kematian. Jalanan begitu ramai sehingga macet. Karena Sudah dekat dengan rumah saya sih, saya memutuskan untuk keluar. Jalan kaki dari sini lebih dekat.
"Pak, dari sini saya jalan kaki aja. Sekalian mau lihat penyebab kemacetan ini," pintaku pada Pak Vino sekalian membuka pintu.
"Silakan. Tapi, kalau Mbak Marsha tahu, jangan kaget ya..." Aku masih melihat senyum janggal di bibir Pak Vino.
Toh, begitu aku tetap berjalan ke depan. Di depan, aku melihat banyak polisi di sana dan sebuah mobil ambulance ringsek ditabrak tronton. Hal itu membuatku ke arah tempat kecelakaan itu untuk melihatnya
"Kecelakan," gumamku, "Pasti mati orang yang ada di dalam mobil ambulance itu."
Beberapa orang, yang kukira adalah polisi, sedang mengevakuasi korban dari dalam mobil itu. Begitu melihat jelas jasad korban, aku shock... Bukankah itu tubuh Pak Vino? Berlumuran darah.
Dan orang kedua yang dievakuasi itu adalah...
Aku.
Aku.
Ya, aku.
Tak salah lagi.
Benar, tak mungkin aku salah mengenali diriku sendiri.
Jasadku yang sudah tanpa nyawa itu diangkat dengan susah payah oleh orang-orang. Kondisiku jauh lebih parah darah Pak Vino.
Aku shock. Horor!
Aku, berlumuran darah. Hilang bentuk.[]
Follow Twitter kami di @CerpenHoror
0 komentar