Perkumpulan Orang Berambut Merah dipublikasikan pertama kali dalam Strand Magazine, Agustus 1891, dengan 10 ilustrasi oleh Sidney Paget.
***
Suatu hari di musim gugur tahun lalu, aku mampir ke tempat temanku, Sherlock Holmes. Saat itu dia sedang berbincang-bincang dengan seorang pria tua gemuk yang wajahnya kemerah-merahan dan rambutnya juga berwarna merah menyala. Aku langsung minta maaf atas kehadiranku yang telah memutus percakapan mereka dan hendak beranjak pergi. Tapi Holmes menarikku masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintu di belakangku.
"Kau justru datang tepat pada waktunya, sobatku Watson," katanya dengan ramah.
"Kukira kau sedang ada urusan."
"Memang demikian."
"Itulah, biarlah aku menunggu dulu di ruang sebelah."
"Tak perlu. Teman saya ini, Mr. Wilson, adalah rekan sekerja saya yang sudah sangat banyak membantu keberhasilan kasus-kasus yang saya- tangani. Dan saya yakin dia pun akan sangat membantu saya dalam menangani kasus Anda ini."
Pria gemuk itu agak berdiri dari kursinya dan mengangguk kepadaku sambil matanya yang sipit karena dipenuhi lemak di sekitarnya, sekilas mencuri pandang kepadaku dengan penuh tanda tanya.
"Silahkan duduk," kata Holmes sambil menjatuhkan dirinya di kursi berlengan. Dikatupkannya ujung-ujung jari kedua tangannya sebagaimana selalu dilakukannya kalau sedang serius. "Aku tahu, sobatku Watson, bahwa kau juga menyukai hal-hal yang ganjil dan tak biasa sebagaimana diriku. Ya, kau juga menunjukkan minat ke arah itu, terbukti dari kegesitanmu untuk menuangkan dan membumbui petualangan-petualangan kecilku dalam bentuk tulisan."
"Kasus-kasusmu benar-benar sangat menarik perhatianku," jawabku.
"Kau ingat aku pernah berkata, sebelum kita menangani kasus kecil Miss Mary Sutherland, bahwa hidup ini jauh lebih aneh daripada apa pun yang dapat kita khayalkan?"
"Aku sempat meragukan hal itu,"
"Ya, Dokter, tapi mau tak mau kau pasti akan menyetujui pandanganku, karena kalau tidak, aku akan menimbun dulu fakta demi fakta sampai terbukti bahwa alasanmu ternyata salah dan alasankulah yang benar. Nah, Mr. Jabez Wilson ini telah menyempatkan diri untuk menemtuku pagi ini, dan dia akan melanjutkan mengisahkan sesuatu yang cukup unik. Sebagian kisahnya sudah diceritakan padaku tadi. Kau sudah dengar komentarku bahwa hal-hal yang sangat aneh dan unik sering berhubungan dengan kejahatan-kejahatan yang sepele, dan kadang-kadang kita jadi ragu-ragu apa benar telah terjadi suatu tindak kejahatan. Sejauh pengetahuanku, tak mungkin aku bisa langsung mengatakan apakah kasus ini merupakan tindak kejahatan atau tidak, Tapi rangkaian kejadiannya termasuk yang paling unik yang pernah kudengar. Silahkan, Mr. Wilson, Anda ulangi penuturan Anda. Bukan hanya supaya teman saya Dr. Watson dapat ikut mengetahuinya, tapi juga supaya saya bisa lebih memahami detail-detail ceritanya yang cukup aneh itu. Biasanya, kalau saya berhasil menemukan sedikit petunjuk saja dari rangkaian suatu kejadian, maka saya akan segera membandingkannya dengan kasus-kasus lain yang serupa. Tapi sampai saat ini, saya harus mengakui bahwa fakta fakta kasus ini ternyata sangatlah unik."
Klien kami yang gemuk itu menggembungkan dadanya karena bangga, sambil menarik sebuah surat kabar yang kotor dan lecek dari saku dalam jasnya. Ketika dia sedang mencari-cari di bagian iklan, dengan kepala tertunduk dan surat kabar diluruskan di atas lututnya, aku memperhatikannya dengan saksama dan berusaha menyimpulkan suatu petunjuk dari cara berpakaian dan penampilannya.
Tapi inspeksiku tak membawa banyak hasil. Tamu kami ini tak banyak berbeda dari kebanyakan pedagang Inggris. Gemuk, agak sombong, dan lamban. Celananya agak longgar berwama abu-abu. Jas panjangnya yang berwarna hitam tak terlalu bersih dan bagian depannya tak dikancingkannya. Penutup pinggangnya dilengkapi sabuk kuning yang berhiaskan gantungan logam berbentuk persegi. Topinya yang berjumbai, mantel luarnya yang berwarna coklat pudar, dan syal beludrunya yang sudah kusut, tergeletak di kursi sebelahnya. Kesimpulanku dari apa yang kuiihat ini ialah bahwa tak ada yang luar biasa pada orang ini, kecuali rambutnya yang berwarna merah menyala dan rasa kekecewaannya yang mendalam.
Mata Sherlock Holmes yang jeli menangkap inspeksi yang kulakukan, dan dia menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat kebingunganku. "Selain fakta fakta yang cukup jelas bahwa dia pernah bekerja kasar selama beberapa saat, pengisap tembakau yang sudah dihaluskan, anggota sebuah perkumpulan pekerja, pernah ke Cina, dan akhir-akhir ini banyak menulis, tak ada lagi yang bisa kusimpulkan."
Mr. Jabez Wilson menegakkan duduknya. Telunjuknya terletak di surat kabar itu, tapi matanya menatap temanku.
"Bagaimana gerangan Anda bisa tahu semua itu, Mr. Holmes?" tanyanya. "Bagaimana Anda bisa tahu, misalnya, bahwa saya pernah me1akukan pekerjaan kasar? Memang benar apa kata Anda, saya mulai bekerja sebagai tukang kayu di kapal."
"Tangan Anda, sir. Tangan kanan Anda jauh lebih besar dibanding yang kiri. Berarti Anda telah memakainya untuk bekerja keras. Otot-ototnya juga lebih besar."
"Kalau tentang pengisap tembakau dan ang-gofa perkumpulan itu?"
"Maaf, bila saya menyinggung perasaan Anda kalau saya katakan bahwa saya tahu itu dari jepit di dada Anda yang bisa juga dipakai sebagai korek api dan kompas itu."
"Ah. tentu saja, saya tak ingat hal itu. Tapi tentang kegiatan menulis saya?"
"Lihat kancing manset baju Anda yang sebelah kanan. Kelimis sekali selebar dua belas setengah sentimeter. Sedangkan lengan baju Anda yang kiri ada tambalannya dekat siku. Pasti karena bekas gesekan-gesekan di meja."
"Betul juga. Tapi bagaimana tentang kepergian saya ke Cina?"
"Tato bergambar ikan di atas pergelangan tangan kanan itu hanya mungkin dibuat di Cina. Saya sempat mempelajari sekilas tentang gambar-gambar tato, bahkan pernah menulis artikel tentang hal itu. Warna sisik ikan yang merah jambu itu khas Cina. Koin Cina yang tergantung di rantai jam Anda juga memudahkan saya menebak."
Mr. Jabez tertawa terbahak-bahak. "Wah, saya tak menduga!" katanya. "Sebelum ini, saya pikir Anda memiliki kemampuan menebak yang hebat sekali, tapi sekarang saya tahu bahwa semuanya itu ternyata cuma begitu saja."
"Aku mulai berpikir, Watson," kata Holmes, "sebaiknya aku tak usah menjelaskan apa apa. 'Alangkah indahnya sesuatu bagi orang yang tidak mengetahuinya'—begitu kata pepatah, kan? Kasihan amat kemampuanku yang tak seberapa ini menjadi tak dihargai gara-gara aku terlalu tulus. Sudah ketemukah iklannya, Mr. Wilson?"
"Ya, sekarang sudah saya temukan," jawabnya sambil menunjuk kolom iklan di bagian tengah surat kabar itu dengan jarinya yang gemuk dan merah. Nih. Gara-gara inilah semuanya terjadi. Silahkan Anda baca sendiri, sir."
Kuambil surat kabar itu dan kubaca iklan yang berbunyi:
Kepada Perkumpulan Orang Berambut Merah—Atas perminlaan almarhum Ezehah Hopkins dari Lebanon, Penn. U.S.A, sekarang ada lowongan pekerjaan lagi bagi anggota perkumpulan ini dengan penghasilan empat pound seminggu hanya untuk pekerjaan yang ringan. Semua anggota yang sehat jasmani dan rohani di atas umur dua puluh satu tahun boleh mendaftar. Harap datang sendiri pada hari Senin, jam sebelas, ke Duncan Rose, di kantor perkumpulan tersebut, Pope's Court No. 7, Fleet Street.
"Apa gerangan maksudnya ini?" seruku sesudah membaca pengumuman yang aneh itu dua kali berturut-turut.
Holmes tetgelak dan menggeliat-geliat di kursinya. Begitulah kebiasaannya kalau sedang gembira hatinya. "Tak mengerti, ya?" katanya. "Nah, Mr. Wilson, sekarang ceritakanlah mengenai diri Anda, kehidupan Anda sehari-hari, dan efek iklan ini pada nasib Anda. Tolong dicatat Dokter, nama surat kabar itu dan tanggalnya."
"The Morning Chronicle, tanggal 27 April 1890. Baru dua bulan yang lalu."
"Baik. Nah, Mr. Wilson?"
"Yah, seperti yang sudah saya katakan kepada Anda sebelumnya, Mr. Sherlock Holmes," kata Jabez Wilson sambil mengelap dahinya. "Saya memiliki rumah gadai kecil di Coburg Square, dekat City. Usaha saya ini tak terlalu besar, dan akhir akhir ini hanya pas-pasan saja untuk menghidupi saya sehari-hari. Dulu saya mempekerjakan dua orang asisten, tapi sekarang tinggal satu. Sebetulnya satu pun terlalu berat bagi saya, tapi dia bersedia digaji hanya separo dari yang seharusnya karena dia ingin belajar tentang usaha pegadaian itu."
"Siapa nama pemuda yang baik hati ini?" tanya Sherlock Holmes.
"Namanya Vincent Spaulding, dan dia sudah tak muda Iagi. Susah untuk menebak berapa umurnya. Dia melakukan tugasnya sebagai asisten saya dengan baik, Mr. Holmes; dan saya tahu bahwa sebetulnya dia bisa saja pindah kerja untuk mendapatkan gaji dua kali lipat dari yang mampu saya berikan kepadanya. Tapi selama dia masih mau kerja untuk saya dengan gaji sejumlah itu, untuk apa saya menyarankannya agar pindah?"
"Ya, untuk apa? Nampaknya Anda cukup beruntung bisa mendapatkan pegawai yang mau digaji di bawah standar. Tak banyak yang mau begitu sekarang ini. Jangan-jangan asisten Anda itu tak sebaik yang Anda ceritakan."
"Oh, tentu saja dia punya kekurangan," kata Mr. Wilson. "Dia tergila-gila memotret. Potret sana, potret sini, pada saat dia seharusnya bekerja; lalu menyelinap ke gudang bawah tanah, bagaikan seekor kelinci masuk ke kandangnya, untuk mengafdruk foto-fotonya. Itulah kekurangannya, tapi secara keseluruhan dia seorang pegawai yang baik. Dia tak pernah berbuat jahat."
"Sekarang tentunya dia masih bekerja di tempat Anda, bukan?"
"Ya. Dan ada juga pegawai lain, seorang gadis berumur empat betas tahun yang memasak dan membersihkan tempat kami. Hanya mereka itu yang ada di rumah saya, karena saya seorang duda yang tak punya anak. Kami hidup dengan tenang, sir, kami bertiga ini; dan kami bertahan hidup seperti ini dari hari ke hari, membayar utang-utang kami kalau tak ada keperluan lain."
"Satu-satunya hal yang lalu mengacaukan kehidupan kami ialah iklan itu. Delapan minggu yang lalu Spaulding datang ke kantor saya dan menunjukkan surat kabar ini kepada saya sambil berkata,
"'Kalau saja rambut saya berwarna merah, Mr. Wilson...'
'"Kenapa, memangnya?' tanya saya.
"'Kenapa?' katanya. 'Lihat, ada lowongan pekerjaan lagi di Perkumpulan Orang Berambut Merah. Beruntung sekali orang yang diterima bekerja di situ, dan saya dengar lowongan kerja yang ada lebih banyak jumlahnya dibanding orang yang mau bekerja di situ, sehingga para walinya sampai kehilangan akal bagaimana caranya memanfaatkan uang warisan sebanyak itu. Kalau saja warna rambut saya bisa berubah, saya pasti akan mau bekerja di situ.'
"'Kenapa, ada apa sebenarnya?' tanya saya. Anda tahu, Mr. Holmes, saya tak banyak keluar rumah. Langganan-langganan bisnis sayalah yang mendatangi saya, sehingga kadang-kadang saya tak keluar rumah selama berminggu-minggu. Saya tak tahu banyak tentang apa yang sedang terjadi di dunia luar, dan tentu saja saya senang kalau ada orang yang yang memberikan informasi kepada saya.'
"'Apakah Anda sama sekali belum pernah mendengar tentang Perkumpulan Orang Berambut Merah?' tanyanya dengan mata terbelalak.
"'Belum.'
"'Aneh, padahal Anda sendiri berambut merah dan bisa mengisi lowongan pekerjaan itu.'
"'Apa untungnya?' tanya saya.
"'Oh, memang hanya mendapat bayaran beberapa ratus pound setahunnya, tapi pekerjaannya sangat ringan, dan bisa dilakukan sambil tetap bekerja Iain.'
"Yah, dapat Anda duga bahwa saya langsung tertarik, karena usaha saya akhir-akhir ini memang tak begitu maju, dan alangkah baiknya kalau ada pemasukan tambahan beberapa ratus pound setahunnya.
"'Coba ceritakan pada saya tentang lowongan pekerjaan itu.' kata saya.
"'Yah,' katanya sambil menunjukkan iklan itu, 'Anda bisa baca sendiri bahwa perkumpulan itu sedang membutuhkan pegawai, alamatnya pun tercantum di sini kalau Anda ingin mendapatkan keterangan lebih Ianjut. Sejauh yang saya tahu, perkumpulan ini didirikan oleh seorang jutawan nyentrik Amerika bernama Ezekiah Hopkins itu. Dia memang berambut merah dan sangat bersimpati pada semua orang yang berambut merah. Waktu dia meninggal, dia mewariskan semua kekayaannya yang amat banyak kepada beberapa wali. Mereka ditugaskan agar memanfaatkan bunga uang warisan itu untuk memberi kemudahan-kemudahan kepada orang-orang yang warna rambutnya seperti dia. Kabarnya, bayarannya cukup baik dibandingkan pekerjaannya yang amat ringan.'
"'Kalau begitu,' kata saya, 'pasti jutaan orang berambut merah bersedia mendaftarkan diri.'
'"Tak sebanyak itu jawabnya. 'Yang boleh mendaftar hanya penduduk kota London yang sudah dewasa. Jutawan Amerika ini memulai bisnisnya di London waktu dia masih muda, dan dia ingin membalas jasa kepada kota tua ini. Lalu, saya juga mendengar bahwa Anda takkan diterima kalau warna rambut Anda cuma merah muda, atau merah gelap. Yang diterima hanya yang warna rambutnya benar-benar merah menyala. Nah, kalau Anda berminat untuk mendaftarkan diri, Mr. Wilson, datang saja ke sana, tapi mungkin juga Anda tak berminat susah-susah keluar rumah hanya untuk beberapa ratus pound saja.'
"Nah, Anda berdua bisa melihat bahwa rambut saya warnanya benar-benar merah menyala. Jadi, kalau saja diadakan perlombaan untuk rambut merah, saya pasti akan menang. Vincent Spaulding banyak tahu tentang perkumpulan itu, sehingga saya mungkin bisa memintanya untuk mengantar saya. Jadi, saya lalu menyuruhnya menutup kantor hari itu, dan menemani saya pergi ke kantor perkumpulan seperti yang diiklankan itu. Dia melakukan semua yang saya perintahkan dengan gembira.
"Rasanya, saya tak mau melihat pemandangan seperti itu lagi, Mr. Holmes. Dari segala penjuru, orang-orang yang berambut merah memenuhi jalanan menuju City untuk mengisi lowongan yang diiklankan itu. Fleet Street dan Pope's Court dipenuhi orang-orang berambut merah, sehingga pemandangannya bagaikan pasar yang penuh dengan gerobak dagangan buah jeruk. Wah, saya tak akan pernah membayangkan bahwa ada begitu banyak orang berambut merah di negeri ini kalau saja bukan karena iklan itu. Warna merahnya memang macam-macam ada yang merah jerami, merah kekuning-kuningan, merah oranye, merah bata, merah coklat, merah hati, merah tanah liat, dan lain-lain. Tapi sebagaimana dikatakan oleh Spaulding, tak banyak yang warna rambutnya benar-benar merah menyala. Ketika saya melihat begitu banyak yang menunggu untuk mendaftar, saya langsung ingin membatalkan niat saya, tapi Spaulding mencegah saya. Bayangkan apa yang dilakukannya! Dia menerobos terus di antara orang-orang yang berjejalan itu dalam upaya untuk mendekati kantor itu. Tangganya terbagi dua jalur. Satu yang merupakan jalan masuk ke atas dan dipenuhi orang-orang yang harap-harap cemas, satunya lagi yang merupakan jalan keluar menurun yang dipenuhi orang-orang yang ditolak. Kami terus mendesak maju ke depan sekuat tenaga, dan akhirnya kami pun berhasil masuk ke kantor itu."
"Pengalaman Anda benar-benar menarik," komentar Holmes ketika klien kami berhenti bicara sejenak untuk mengingat-ingat sambil mengisap tembakau halusnya dalam-dalam "Silahkan dilanjutkan kisah Anda yang menarik ini."
"Tak ada apa-apa di dalam kantor itu kecuali sepasang kursi dan sebuah meja. Di belakang meja itu duduk seorang pria kecil yang warna rambutnya lebih menyala dari warna rambut saya. Dia mengatakan beberapa kata kepada setiap pendaftar yang menemuinya satu per satu, lalu menyebutkan kekurangan pendaftar itu sehingga tak bisa diterima untuk mengisi lowongan pekerjaan yang diiklankan itu. Mencari kerja memang tidak mudah ya. Tapi waktu tiba giliran kami, pria kecil itu terkesan oleh penampilan saya, sehingga ditutupnya pintu ketika kami masuk supaya dia bisa berbicara secara pribadi kepada kami.
"'Kenalkan, Jabez Wilson,' kata asisten saya, 'dia ingin mendaftarkan diri untuk bekerja di perkumpulan ini.'
"'Dia cocok sekali,' jawab pria kecil itu. 'Dan memenuhi syarat. Saya tak ingat kapan terakhir saya melihat rambut warna merah menyala yang seindah miliknya.' Dia mundur selangkah, memalingkan mukanya ke samping, dan menatap rambut saya sedemikian rupa sampai saya jadi malu. Kemudian, tiba-tiba dia maju ke depan, menarik tangan saya dan menyalami saya dengan hangat karena saya dinyatakan diterima.
"'Untuk menghindari keraguan,' katanya, 'perkenankan saya mengecek sebentar.' Dia langsung menjambak rambut saya dengan kedua tangannya, dan menariknya sampai saya berteriak kesakitan. 'Mata Anda berair,' katanya sambil melepaskan rambut saya. 'Berarti rambut Anda asli. Kami memang harus berhati-hati, karena kami telah dua kali tertipu. Sekali oleh rambut palsu dan kemudian oleh cat rambut. Saya bisa menceritakan pada kalian tentang lem dari cairan lilin yang bisa memalsukan penampilan alamiah seseorang.' Dia melangkah menuju jendela, dan berteriak dari situ bahwa lowongan telah terisi. Geraman kekecewaan terdengar dari bawah, dan orang-orang itu segera membubarkan diri ke arah yang berlain-lainan, sampai tak seorang pun yang berambut merah terlihat kecuali diri saya sendiri dan pria kecil itu.
"'Nama saya,' katanya, 'Duncan Ross. Saya salah satu pensiunan perwalian yang diberi tugas untuk memanfaatkan dana milik bangsawan dermawan itu. Apakah Anda sudah menikah, Mr. Wilson? Apakah Anda mempunyai keluarga?'
"Saya menjawab tidak.
"Wajahnya jadi murung seketika.
"'Wah!' katanya dengan muram. 'Ini benar-benar serius! Maaf, kalau begitu. Di samping untuk memberi bantuan, dana ini juga dimaksudkan untuk melestarikan dan mengembang-biakkan orang-orang berambut merah. Sayang sekali Anda seorang bujangan.'
"Saya merasa sangat kecewa, Mr. Holmes. Saya pikir saya akan ditolak. Tapi setelah berpikir selama beberapa menit, dia berkata bahwa tak ada masalah dan saya tetap diterima.
"'Pada pendaftar lainnya,' katanya, 'masalahnya lebih berat, tapi kami harus memberikan kelonggaran kepada seseorang yang rambutnya seindah Anda itu. Kapan Anda bisa mulai masuk kerja?'
"'Yah, bagaimana, ya? Saya punya usaha sendiri,' kata saya.
"'Oh, itu tak jadi masalah, Mr. Wilsonl' kata Vincent Spaulding. 'Akan saya atur.'
"'Bagaimana dengan jam kerja saya?' tanya saya.
"'Jam sepuluh sampai jam dua.'
"Saat ini usaha pegadaian hanya ramai kalau malam, Mr. Holmes, terutama pada hari Kamis dan Jumat malam, sebelum hari gajian; jadi ini cukup baik untuk mengisi kekosongan saya pada pagi hari. Lagi pula asisten saya orangnya baik, sehingga dia bisa saya percayai untuk menjaga usaha saya pada pagi hari.
"'Baiklah,' kata saya. 'Dan gajinya?'
"'Empat pound per minggu.'
"'Apa pekerjaan saya?'
"'Bcnar-benar enteng.'
'"Apa maksud Anda dengan benar-benar enteng?'
"'Yah, Anda harus masuk ke kantor, paling tidak ada di sekitar gedung perkantoran ini sepanjang waktu itu. Kalau Anda pergi, Anda akan kehilangan pekerjaan Anda untuk selama-lamanya. Pesan wasiat itu sangat jelas tentang hal ini. Anda dianggap melanggar peraturan kalau Anda keluar dari kantor pada jam-jam yang ditentukan itu.'
"'Cuma empat jam sehari, saya tak akan ke mana-mana,' kata saya.
'"Kami tak menerima alasan apa pun,' kata Mr. Duncan Ross, 'baik sakit bisnis, atau apa pun. Pokoknya Anda harus ada di kantor, atau Anda tak digaji sama sekali.'
"'Apa yang harus saya lakukan?'
"'Menyalin Encyclopedia Britannica. Volume pertama sudah kami persiapkan. Anda harus menyediakan tinta, pena, dan kertas tulisnya sendiri. Kami hanya menyediakan meja dan kursi. Apakah Anda mau mulai besok pagi?'
"'Tentu saja,' jawab saya.
"'Kalau begitu, sampai ketemu besok, Mr. Jabez Wilson, dan sekali lagi selamat atas keberuntungan Anda mendapatkan pekerjaan ini.' Dia membungkukkan badan sambil mengantar kami keluar ruangan, dan saya pun lalu pulang bersama asisten saya. Saya masih belum tahu harus mengatakan apa-apa atau berbuat apa, karena saya masih terlalu gembira atas keberuntungan saya.
"Yah, saya memikirkan hal itu sepanjang hari, dan pada malam harinya saya menjadi ragu-ragu lagi; karena menurut saya jangan-jangan semuanya ini hanya main-main atau tipuan belaka, walau saya pun tak bisa membayangkan untuk apa mereka menipu dengan cara demikian. Nampaknya sangat tak masuk akal ada orang memberikan wasiat macam begitu, atau menggaji orang hanya untuk menyalin Encyclopedia Britannica. Vincent Spaulding berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan hati saya, tapi waktu mau tidur saya berkeputusan untuk tak berurusan lagi dengan lowongan pekerjaan itu. Tapi keesokan harinya saya berubah pikiran lagi. Tak ada ruginya untuk mencoba dulu. Maka saya membeli sebotol tinta, pena, dan tujuh lembar kertas folio, lalu berangkat ke Pope's Court.
"Saya heran sekaligus gembira, karena ternyata semuanya berjalan dengan lancar. Meja untuk saya bekerja sudah disiapkan, dan Mr. Duncan Ross ada di sana untuk mengecek apakah saya datang hari itu. Dia menunjukkan dari mana saya harus mulai menyalin, yaitu dari huruf A, lalu dia meninggalkan saya. Tapi beberapa kali dia muncul untuk menengok saya. Pada jam dua siang saya berpamitan padanya. Dia memuji hasil pekerjaan saya lalu mengunci kantor.
"Begitu lah hari demi hari berlalu, Mr. Holmes, dan pada hari Sabtu Mr. Duncan Ross datang untuk menyerahkan gaji saya yang berjumlah empat pound itu. Begitu pula minggu-minggu berikutnya. Setiap pagi saya tiba di kantor itu pada jam sepuluh dan pulang pada jam dua. Lama-kelamaan, Mr. Duncan Ross semakin jarang datang, dan akhirnya tak pernah datang sama sekali. Tapi, tentu saja, saya tak pernah berani meninggalkan pekerjaan saya di kantor itu pada jam-jam yang ditentukan. Jangan jangan dia mampir sewaktu-waktu. Gaji mingguan yang saya terima itu sangat berarti bagi saya, sehingga saya tak ingin kehilangan gaji itu.
"Delapan minggu berlalu seperti itu, dan saya sudah menyalin tentang Abbots, Archery, Armour, Architecture, dan Attica. Saya yakin saya akan segera mulai dengan B tak lama lagi. Saya cukup banyak mengeluarkan uang untuk membeli kertas folio, dan hasil salinan saya sudah hampir satu rak penuh. Tapi tiba-tiba pekerjaan saya itu dihentikan."
"Dihentikan?"
"Ya, sir. Baru saja tadi pagi. Saya berangkat kerja seperti biasanya, tapi pintu kantor itu tertutup dan dikunci. Ada pengumuman yang ditulis pada secarik karton persegi yang ditempelkan di papan. Nih, Anda bisa membacanya sendiri."
Ditunjukkannya sebuah pengumuman yang tertulis di secarik karton putih ukuran kertas notes. Begini bunyinya:
DIBUBARKAN 9 OKT, 1890
Sherlock Holmes dan aku mengamati pengumuman singkat dan wajah yang sedih di belakangnya itu secara bergantian, sampai kami tak dapat menahan tawa kami yang keras karena menurut kami semuanya ini amatlah menggelikan.
"Menurut saya tak ada yang lucu," teriak klien kami dengan wajah merah padam. "Kalau kalian hanya bisa menertawakan saya, terima kasih. Lebih baik saya pergi sekarang."
"Jangan, jangan," teriak Holmes sambil mendudukkannya kembali di kursinya. "Saya benar-benar tak akan menyepelekan kasus Anda. Benar-benar luar biasa. Tapi, maaf, sebenarnya memang ada bagian yang amat menggelikan. Katakanlah, apa yang Anda kerjakan setelah membaca pengumuman di pintu itu?"
"Saya jadi bingung, sir. Saya tak tahu harus berbuat apa. Lalu saya masuk ke kantor-kantor di sekelilingnya, tapi tak ada yang tahu-menahu soal itu. Akhirnya, saya pergi ke pemilik gedung itu, seorang akuntan yang berkantor di lantai dasar, dan saya bertanya apa yang terjadi pada Perkumpulan Orang Berambut Merah. Dia berkata bahwa dia belum pernah mendengar tentang perkumpulan semacam itu. Lalu saya tanyakan siapa sebenarnya Mr. Duncan Ross itu. Dia menjawab bahwa dia tak kenal nama itu.
"'Well,' kata saya, 'yang berkantor di Ruang No. 4,'
"'Apa, orang yang berambut merah itu?'
"'Ya.'
"'Oh,' katanya, 'namanya William Morris. Dia seorang pengacara, dan menyewa ruangan itu untuk sementara sambil menunggu diselesaikannya bangunan kantornya yang baru. Dia pindah kemarin.'
'"Ke mana?'
"'Oh, tentu ke kantornya yang baru. Dia memberikan alamatnya pada saya. Ya, King Edward Street No. 17, dekat Gereja St. Paul.'
"Saya lalu mencari alamat itu, Mr. Holmes, tapi ketika sampai, ternyata tempat itu adalah pabrik tempurung lutut palsu, dan tak ada seorang pun di situ yang kenal dengan Mr. William Morris atau Mr. Duncan Ross."
"Lalu?" tanya Holmes.
"Saya pulang ke Saxe-Coburg Square, dan minta nasihat pada asisten saya. Tapi dia tak bisa membantu apa-apa. Dia hanya mengatakan bahwa saya sebaiknya menunggu saja, mungkin saya akan dikabari melalui pos. Tapi saya penasaran, Mr. Holmes. Saya tak ingin kehilangan pekerjaan saya yang enak itu tanpa berusaha mempertahankannya. Itulah sebabnya saya menemui Anda, karena saya dengar Anda bersedia memberikan nasihat kepada orang-orang miskin yang memerlukannya seperti saya "
"Anda bertindak benar," kata Holmes. "Kasus Anda ini luar biasa, dan dengan senang hati saya akan menanganinya. Dari penuturan Anda saya rasa mungkin ada hal-hal yang lebih gawat dari apa yang kelihatan."
"Gawat?" teriak Mr. Jabez Wilson. "Tentu saja, saya kehilangan pendapatan sebanyak empat pound seminggu."
"Dipandang dari kepentingan Anda," komentar Holmes, "menurut saya Anda tak ada alasan untuk menyesali perkumpulan aneh ini. Sebaliknya, Anda telah memperoleh tiga puluh pound lebih, dan mendapat tambahan pengetahuan dari apa yang Anda salin itu. Anda tak dirugikan apa-apa, kan?"
"Tidak, sir. Tapi saya ingin tahu tentang mereka, siapa mereka sebenarnya, dan apa tujuannya mempermainkan saya seperti ini—kalau benar demikian. Permainan mereka cukup mahal... tiga puluh dua pound!"
"Kami akan mencoba semampu kami untuk menyelidiki hal ini. Tapi, tolong jawab dulu satu atau dua pertanyaan saya, Mr. Wilson. Asisten Anda yang pertama kali menunjukkan iklan itu kepada Anda—sudah berapa lama dia bekerja pada Anda?"
"Waktu itu kira-kira sudah sebulan."
"Bagaimana Anda mendapatkan dia?"
"Dia membalas iklan yang saya pasang."
"Apakah hanya dia yang datang melamar?"
"Tidak, ada dua belasan."
"Kenapa Anda memilih dia?"
"Karena dia yang paling gampangan, dan gajinya rendah."
"Separo dari yang umum, kan?"
"Ya."
"Bagaimana tampangnya si Vincent Spaulding ini?"
"Kecil, agak gemuk, cekatan, mukanya mulus walaupun usianya tak kurang dari tiga puluhan. Ada sedikit tembong warna putih di dahinya."
Holmes menegakkan duduknya dengan penuh semangat.
"Sudah saya duga," katanya. "Pernahkah Anda perhatikan bahwa di telinganya ada lubang untuk anting-anting?"
"Ya, sir. Menurutnya, seorang gipsi telah melubangi telinganya ketika dia masih kecil."
"Hm!" kata Holmes sambil berpikir. "Dia masih di tempat Anda?"
"Oh, ya, sir. Saya belum lama meninggalkannya."
"Dan apakah selama ini usaha pegadaian Anda diurusnya dengan baik? Saat Anda tak berada di tempat, maksud saya?"
"Tak ada yang perlu dikeluhkan soal itu, sir. Lagi pula, tak banyak yang datang kalau pagi hari."
"Baiklah, Mr. Wilson. Saya akan memberikan pendapat saya dalam satu atau dua hari. Hari ini Sabtu, jadi besok Senin kita mungkin akan sudah bisa menarik kesimpulan."
"Nah, Watson," kata Holmes ketika tamu kami sudah pulang, "apa komentarmu?"
"Aku tak punya komentar apa-apa," jawabku dengan jujur. "Urusannya amat misterius."
"Sebagaimana biasanya," kata Holmes, "semakin tak menentu sesuatu, ternyata tak terlalu misterius jadinya. Justru yang biasa-biasa saja itulah yang benar-benar memusingkan kepala. Sama halnya dengan wajah yang biasa-biasa saja akan sulit diidentifikasi. Tapi aku harus bertindak cepat untuk kasus ini."
"Apa yang akan kaulakukan?" tanya saya.
"Merokok dulu," jawabnya "Masalah ini akan menghabiskan tiga pipa penuh tembakau. Tolong jangan ganggu aku selama lima puluh menit." Dia mendekam di kursinya, lututnya yang kurus dinaikkannya sampai hampir menyentuh hidungnya yang melengkung. Begitulah dia duduk dengan matanya tertutup dan pipa tanah liatnya mengepul. Benar-benar mirip seekor burung yang aneh! Aku terkantuk-kantuk menungguinya. Kukira dia jatuh tertidur, tapi tiba-tiba dia melompat dari kursinya dengan gaya seseorang yang baru saja mengambil keputusan penting, lalu ditaruhnya pipanya di atas rak.
"Rombongan musik Sarasate main di James's Hall siang ini," katanya. "Bagaimana, Watson? Mau meninggalkan pasien-pasienmu selama beberapa jam?"
"Aku tak praktek hari ini. Aku memang agak malas praktek."
"Kalau begitu, kenakan topimu, dan ayo berangkat. Aku perlu ke City dulu, dan kita makan siang dalam perjalanan. Pementasan nanti siang banyak menampilkan musik Jerman, yang lebih kusukai dibanding musik Italia atau Prancis. Musiknya mengingatkan kita agar mawas diri, dan saat ini aku ingin mawas diri. Yuk!"
Kami pergi dengan kereta api bawah tanah sampai ke Aldersgate, lalu kami berjalan sebentar ke Saxe-Coburg Square, tempat tinggal klien kami yang datang tadi pagi. Tempat itu sempit, kecil, dan kotor, terdiri dari empat deret rumah bata berlantai dua yang depannya berpagar. Di sebelah dalam pagar ada halaman rumput dan beberapa rumpun semak-semak. Asap yang mengepul di mana-mana menambah tak menariknya suasana sekeliling tempat itu. Tiga bola sepuhan dan papan nama coklat bertuliskan JABEZ WILSON dalam huruf berwarna putih tergantung di salah satu rumah yang di ujung. Inilah rumah dan sekaligus tempat usaha klien kami yang berambut merah. Sherlock Holmes berhenti di depan rumah itu sambil mengamatinya secara menyeluruh. Matanya bersinat-sinar. Dia lalu berjalan perlahan-lahan ke arah jalanan dan kembali lagi ke rumah di ujung itu rambil matanya terus mengamati rumah-rumah di sekitar situ. Akhirnya dia kembali ke rumah pegadaian itu, dan mengentak-entakkan tongkatnya dua atau tiga kali dengan keras ke halaman rumah itu. Setelah itu barulah dia menuju ke pintu dan mengetuk. Seorang pria muda yang kelihatannya pintar dan mulus wajahnya langsung membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk.
"Terima kasih," kata Holmes. "Saya cuma mau tanya jalan. Kalau dari sini saya mau menuju ke daerah Strand, bagaimana ya?"
"Belokan ke kanan ketiga, lalu belokan ke kiri keempat," jawab asisten itu dengan cekatan sambil menutup pintu.
"Orangnya pintar, dia itu," kata Holmes ketika kami meninggalkan tempat itu. "Menurutku, dia mungkin orang paling pintar nomor empat di London, dan mungkin saja dia sedang membuktikan dirinya menjadi orang paling pintar nomor tiga. Aku sudah pernah berurusan dengannya sebelum ini."
"Jadi," kataku, "asisten Mr. Wilson ini banyak terlibat dengan misteri Perkumpulan Orang Berambut Merah. Aku yakin, kau tadi pura-pura tanya jalan hanya untuk melihat orang ini, kan?"
"Bukan melihat orangnya."
"Lalu apa?"
"Lutut celananya."
"Apa yang kaudapatkan?"
"Seperti dugaanku sebelumnya."
"Mengapa kaupukul-pukul halaman rumah itu tadi?"
"Pak Dokter, sobatku, saat ini belum waktunya untuk tanya-tanya, karena kita sedang melakukan pengamatan. Kita ini mata-mata yang sedang berada di daerah musuh. Kini kita sudah tahu tentang daerah Saxe-Coburg Square. Mari kita telusuri jalan jalan di belakang rumah-rumah ini."
Jalan yang kami temukan begitu kami membelok dari Saxe-Coburg Square yang kumuh sangat kontras sekali, bagaikan bagian depan sebuah gambar dibandingkan bagian belakangnya. Jalan ini adalah jalan utama yang dipenuhi lalu lintas dari dan ke daerah utara dan barat City. Sepanjang jalan terlihat kantor-kantor perdagangan. Orang-orang sibuk keluar-masuk kantor-kantor itu. Tempat pejalan kaki di kedua samping jalan juga penuh sesak dengan orang-orang yang lalu lalang. Rasanya sulit untuk membayangkan bahwa tepat di balik deretan toko-toko dan kantor-kantor mewah itu terdapat permukiman yang begitu kumuh.
"Coba kulihat," kata Holmes sambil berdiri di sebuah sudut dan menatap sepanjang jalan itu. "Aku ingin mengingat pengaturan gedung di sini. Aku memang hobi mengenal kota London dengan tepat. Ada toko Pak Mortimer, penjual rokok, kios kecil penjual surat kabar, City and Suburban Bank cabang Coburg, Restoran Vegetarian, dan bengkel milik Mcfarlane. Itu yang di blok ini. Dan sekarang, Dokter, cukuplah pekerjaan kita hari ini, dan mari sedikit berekreasi. Beli sandwich dan secangkir kopi, yuk! Sesudah itu nonton pertunjukan musik biola yang suaranya mendayu-dayu, lembut dan harmonis. Di sana nanti kita tak akan diganggu oleh masalah-masalah klien-klien kita."
Temanku sangat menyukai musik. Dia tidak saja bisa main musik, tapi juga telah menggubah beberapa lagu yang cukup indah. Sepanjang siang itu dia duduk tenang di bangku tempat pertunjukan itu, wajahnya memancarkan kebahagiaan sambil jari-jarinya bergoyang-goyang pelan mengikuti alunan musik. Dia tersenyum simpul dan matanya nampak sayu bak orang sedang melamun nun jauh di awang-awang. Sungguh tak mirip dengan penampilan Holmes sang detektif yang biasanya ketus, keras, dan tak pernah bisa tinggal diam. Kedua karakternya ini begitu mencolok perbedaannya, dan aku sering berpikir bahwa kecermatan dan kecerdikannya sebetulnya merupakan reaksinya terhadap suasana hatinya yang kadang-kadang puitis dan kontemplatif. Jadi, di satu saat dia bisa tenang-tenang saja, tapi di lain saat kerja ngebut mati-matian. Dan setahuku—inilah aneh-nya—dia justru menghasilkan hal-hal yang hebat pada saat dia duduk bermalas malasan di kursinya. Lalu, semangatnya akan terbakar untuk mencari-cari sesuatu dan mereka-reka pertimbangan-pertimbangan yang lihai, sehingga orang yang tak terbiasa bekerja dengannya akan mencurigainya sebagai orang sinting. Ketika aku melihatnya begitu terbius oleh musik di St. James's Hall siang ini, aku merasa bahwa usaha pengejarannya berikutnya pasti akan berhasil.
"Kau pasti ingin langsung pulang, Dokter," komentarnya ketika kami meninggalkan tempat pertunjukan musik itu.
"Ya, begitulah."
"Aku masih ada urusan di sini yang akan memakan waktu beberapa jam. Kasus di Coburg Square ini serius."
"Serius bagaimana?"
"Ada tindak kejahatan yang sedang direncanakan. Aku punya alasan kuat untuk merasa yakin bahwa kita akan bisa mencegahnya tepat pada waktunya. Tapi karena ini hari Sabtu jadinya agak menyulitkan keadaan. Aku butuh bantuanmu nanti malam."
"Jam berapa?"
"Bagaimana kalau jam sepuluh?"
"Baik, aku akan tiba di Baker Street jam sepuluh."
"Bagus. Perlu kuperingatkan, Dokter! Nanti mungkin akan agak berbahaya jadi tolong bawa pistol di saku celanamu." Dia melambaikan tangan, melangkah pergi ke arah lain, dan dalam sekejap menghilang di antara orang banyak.
Aku tahu bahwa aku tak lebih bodoh dari kebanyakan orang, tapi kalau berhubungan dengan Sherlock Holmes aku merasa jadi orang yang bodoh sekali. Coba saja sekarang ini, apa yang didengarnya sudah kudengar pula; apa yang dilihatnya kulihat pula, tapi dari pesannya tadi jelaslah bahwa dia tahu dengan jelas tidak hanya apa yang sudah terjadi, tapi juga apa yang akan terjadi. Sedangkan aku masih bingung dan tak tahu apa-apa sehubungan dengan kasus yang sedang kami tangani ini. Dalam perjalanan pulang ke rumahku di Kensington, aku terus memikirkan kasus itu, mulai dari kisah klien kami yang berambut merah yang dipekerjakan sebagai penyalin ensiklopedi sampai ke kunjungan kami ke Saxe-Coburg Square, lalu peringatannya waktu berpisah denganku tadi. Penyelidikan macam apa yang hendak dilakukannya nanti malam? Mengapa aku harus bersenjata? Mau diajak ke mana aku dan mau apa kami di sana nanti? Aku menangkap sedikit petunjuk dari Holmes bahwa asisten rumah gadai yang mulus wajahnya itu adalah orang yang berbahaya—yang mampu bermain curang. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, tapi sia-sia saja. Kusingkirkan masalah ini dari benakku. Toh nanti malam aku akan tahu jawabnya.
Jam sembilan lewat seperempat aku berangkat dari rumah melewati daerah Park, lalu Oxford Streer, untuk menuju ke Baker Street. Dua kereta sudah menunggu di luar, dan begitu aku memasuki halaman, aku mendengar suara dari atas. Ketika aku masuk ke kamarnya, Holmes sedang bersitegang dengan dua orang tamu, salah satunya kukenali sebagai Peter Jones, agen polisi resmi; sedangkan satunya lagi orangnya jangkung, kurus. bermuka murung, mengenakan topi yang mengkilat dan jas panjang yang necis.
"Ha! Rombongan kita sudah lengkap," kata Holmes sambil mengancingkan jaketnya dan mengambil perlengkapan penyelidikannya yang berat dari rak. "Watson, kaukenal Mr. Jones dari Scotland Yard, kan? Mari kuperkenalkan dengan Mr. Merryweather yang akan menemani petualangan kita malam ini."
"Kita berpasangan lagi untuk penyelidikan ini ya, Dokter," kata Jones dengan gaya yang resmi. "Teman kita ini sukanya mengejar-ngejar sesuatu. Yang dia perlukan sebenarnya adalah seekor anjing pemburu."
"Saya harap yang kita kejar ini nanti ternyata bukanlah seekor angsa liar belaka," gerutu Mr. Merryweather dengan muram.
"Sebaiknya kita percaya saja pada Mr. Holmes, sir," kata agen polisi itu dengan angkuh. "Dia punya cara-cara yang khas yang, maaf, saya anggap agak terlalu teoritis dan tak masuk akal. Tapi bagaimanapun dia itu punya bakat sebagai detektif. Mungkin perlu saya katakan bahwa kesimpulan- kesimpulannya memang pernah sekali atau dua kali lebih tepat dibanding kepolisian, misalnya dalam kasus pembunuhan Sholto dan kasus harta Agra."
"Oh, kalau demikian, Mr. Jones, baiklah!" kata orang asing itu dengan hormat. "Tapi Bagaimanapun, saya telah kehilangan kesempatan main bridge. Baru sekali ini dalam tiga puluh tujuh tahun usia saya, saya tak main bridge pada hari Sabtu malam."
"Saya rasa Anda akan punya kesempatan nanti," kata Sherlock Holmes, "untuk main dengan taruhan yang lebih tinggi dari yang pernah Anda lakukan, dan saya jamin permainan kita nanti akan jauh lebih mengasyikkan. Untuk Anda, Mr. Merryweather, taruhannya akan berjumlah sekitar tiga puluh ribu pound; dan untuk Anda, Jones, akan berupa orang yang sudah lama Anda incar untuk ditangkap."
"John Clay, pembunuh, pencuri, perampok, dan pemalsu," sambung Jones. "Dia masih muda Mr. Merryweather, tapi dia sangat ahli dalam bidangnya dan saya akan lebih suka menangkapnya dibanding menangkap penjahat-penjahat lainnya di London. Hebat sekali si John Clay ini. Kakeknya seorang Royal Duke, dan dia sendiri pernah belajar di Eton dan Oxford. Baik otak maupun tangannya sangat lihai, dan walaupun kita melihat jejaknya di tiap sudut kota kita tak pernah tahu di mana kita bisa menangkapnya. Dia bisa saja membongkar lemari besi di Skotlandia minggu ini, dan mengumpulkan dana untuk membangun rumah yatim piatu di Cornwall minggu berikutnya. Saya sudah mengikuti jejaknya selama bertahun-tahun, dan belum berhasil menemukannya."
"Saya harap saya akan bisa mempertemukannya dengan kalian malam ini," sahut temanku. "Saya juga sudah sempat berurusan dengannya satu atau dua kali, dan saya setuju kalau Anda katakan bahwa dia sangat ahli dalam bidangnya. Tapi, ini sudah jam sepuluh lewat, sebaiknya kita berangkat saja. Silahkan Anda berdua naik kereta yang di depan, Watson dan saya akan menyusul di belakang Anda."
Sherlock Holmes lebih banyak diam selama perjalanan yang panjang itu. Dia menyandarkan tubuhnya sambil menyenandungkan lagu-lagu yang didengarnya tadi siang. Kami melaju melewati jalanan yang diterangi lampu pada kedua sisinya. Lama sekali kurasakan perjalanan ini sebelum akhirnya tiba di Farringdon Street.
"Kita hampir sampai," kata temanku. "Si Merryweather ini seorang direktur bank dan secara pribadi tertarik pada masalah yang sedang kita tangani. Lalu, kupikir sebaiknya mengajak Jones juga. Dia orangnya cukup baik, walaupun luar biasa dungu. Ada satu kelebihannya. Dia itu sangat pemberani, dan kalau sudah mencium jejak seorang penjahat dia akan ngotot terus sampai berhasil menangkapnya. Nah, kita sudah sampai. Mereka sudah menunggu kita."
Kami telah tiba di jalan besar yang ramai yang telah kami lewati tadi pagi. Setelah membayar ongkos kereta, kami lalu diantar oleh Mr. Merryweather melewati sebuah lorong sempit yang menurun. Dia membuka sebuah pintu samping, lalu kami semua mengikutinya masuk. Di dalamnya ada sebuah koridor. Pada ujungnya terdapat pintu besi yang sangat besar. Setelah melewati pintu ini, kami menuruni tangga batu yang melingkar, dan sampailah kami pada sebuah pintu besi lagi. Mr. Merryweather berhenti untuk menyalakan lentera kemudian kami pun digiringnya melewati lorong yang gelap dan berbau lumpur. Setelah membuka pintu ketiga, kami mendapatkan diri kami berada di sebuah gudang besar yang penuh dengan peti kayu yang besar-besar.
"Tempat perlindungan yang hebat, tak dapat ditembus dari atas," komentar Holmes ketika dia mengangkat lentera dan memperhatikan sekelilingnya.
"Dari bawah juga tak bisa," kata Mr. Merryweather sambil memukul-mukulkan tongkatnya ke garis-garis lantai. "Wah, kok menggema!" teriaknya sambil mengangkat muka dengan heran.
"Harap jangan berisik," kata Holmes dengan marah. "Anda telah membahayakan keberhasilan penyelidikan ini. Enaknya begini saja. Silahkan Anda duduk di salah satu peti kayu itu, dan jangan ikut campur!"
Mr. Merryweather menurut saja, walau dia sangat tersinggung. Dia lalu bertengger pada salah satu peti kayu itu. Holmes berjongkok di lantai dan dengan menggunakan lentera dan kaca pembesarnya dia mulai mengamati celah-celah lantai dengan teliti. Beberapa detik kemudian, dia berdiri lagi, dan menyimpan lensanya kembali ke dalam sakunya.
"Kita harus menunggu paling sedikit selama satu jam," katanya, "karena mereka baru akan mulai beroperasi kalau pemilik pegadaian itu sudah benar-benar nyenyak tidurnya. Lalu mereka akan bergerak dengan sangat cepat, karena kalau tidak, mereka akan kehilangan waktu untuk meloloskan diri. Saat ini, Dokter, kita berada di gudang bawah tanah milik sebuah bank terkemuka di London. Mr. Merryweather adalah kepala direksinya, dan dia pasti akan menjelaskan padamu mengapa penjahat-penjahat yang nekat sangat menaruh minat pada gudang ini saat ini."
"Sebabnya ialah emas Prancis kami," bisik di-rektur bank itu. "Kami sudah menerima beberapa peringatan bahwa mungkin saja emas Prancis kami itu akan dirampok."
"Emas Prancis?"
"Ya. Beberapa bulan yang lalu kami berhasil menambah sumber pendapatan kami, lalu kami meminjam uang sebanyak tiga puluh ribu napoleon dari Bank of France. Tapi, banyak orang yang tahu bahwa kami belum sempat membongkar uang emas itu, dan semuanya itu tersimpan di gudang bawah tanah ini. Peti yang saya duduki ini berisi dua ribu napoleon yang dikemas di antara tumpukan-tumpukan kertas timah. Persediaan emas murni saat ini jadinya amat banyak, jauh lebih banyak dari yang biasanya pernah disimpan di kantor cabang. Itulah sebabnya para direksi sangat kuatir akan keamanannya."
"Kekuatiran mereka cukup beralasan," kata Holmes. "Dan sekarang sudah waktunya bagi kita untuk mengatur rencana. Saya rasa dalam satu jam ini banyak hal bisa terjadi. Sementara itu, Mr. Merryweather, kita harus menaruh penyekat di depan lentera."
"Jadi kita akan menunggu dalam kegelapan?"
"Maaf, kelihatannya harus demikian. Saya membawa kartu, dan saya pikir karena kita rekan sekerja, Anda bisa main bridge. Tapi saya melihat bahwa persiapan musuh kita sedemikian rapinya, sehingga akan terlalu riskan kalau kita menyalakan lampu. Yuk, kita memilih posisi kita masing-masing. Yang kita tunggu ini penjahat-penjahat yang nekat, dan walaupun posisi kita lebih menguntungkan, mereka bisa saja melukai kita. Jadi kita harus berhati-hati Saya akan berdiri di balik peti kayu ini, dan kalian silahkan bersembunyi di balik peti-peti sana itu. Nanti kalau saya memberi tanda dengan menyalakan lampu sekejap, kalian harus segera mengepung. Kalau mereka menembak, Watson, langsung balas saja. Tak perlu ragu-ragu."
Aku menaruh pistolku dalam keadaan terkokang di atas peti kayu tempatku bersembunyi. Holmes menarik penyekat di depan lenteranya, dan begitulah kami pun menunggu dalam kegelapan—kegelapan total yang tak pernah kualami sebelumnya. Bau logam panas menunjukkan bahwa lenteranya masih menyala di balik penyekat itu, dan kami menunggu sampai lentera itu berkedip sewaktu-waktu. Bagiku yang sedang berkonsentrasi penuh, penantian ini benar-benar amat menekan perasaan. Ditambah pula dengan udara dalam gudang yang dingin dan pengap.
"Mereka hanya bisa keluar melalui rumah di belakang ini, yaitu rumah di Saxe-Coburg Square," bisik Holmes, "Saya harap Anda telah melakukan apa yang saya suruh, Jones?"
"Sudah saya siapkan seorang inspektur polisi dan dua petugas di pintu depan."
"Jadi. kita sudah menjaga semua lubang. Nah, sebaiknya kita sekarang diam saja dan menunggu."
Wah, betapa lambatnya waktu berlalu! Ketika kami mengecek catatan catatan kami kemudian, ternyata kami menunggu dalam kegelapan itu cuma selama satu seperempat jam. Tapi waktu itu rasanya sepanjang malam. Kakiku capek dan kaku semua, karena aku tak berani berganti posisi. Tapi, saraf-sarafku tegang dan waspada dan pendengaranku menjadi amat peka. Aku bisa mendengar napas teman-temanku, bahkan bisa membedakan napas Jones gendut yang berat dengan napas direktur bank yang ringan. Kalau aku melongok dari tempat persembunyianku nampak olehku lantai gudang itu. Tiba-tiba mataku menangkap adanya kilatan cahaya.
Mula-mula cuma berupa seberkas cahaya dari arah lantai batu itu. Kemudian berkas cahaya itu menjadi semakin panjang hingga membentuk sebuah garis berwarna kuning. Lalu, tanpa ada suara atau tanda apa-apa, tampak bayangan sebuah tangan yang putih, mirip tangan wanita, yang meraba-raba di tengah-tengah berkas cahaya itu. Selama satu menit atau lebih, tangan itu nongol dari lantai gudang itu. Lalu tiba-tiba tangan itu ditarik kembali, dan kembali hanya kegelapan yang mengitariku. Cuma berkas cahaya tadi yang menandai celah yang terbuka itu.
Menghilangnya tangan yang kulihat tadi ternyata hanya untuk sementara. Dengan suara keras, salah satu batu putih tergeser ke samping dan tampaklah sebuah bayangan persegi dari sinar lentera. Kemudian dari lubang itu mengintiplah sebuah wajah yang mulus dan kekanak-kanakan. Dia mengamati sekeliling dengan saksama, lalu dengan kedua tangan berpegangan pada pinggiran lubang itu, dia mengangkat tubuhnya masuk ke gudang. Kemudian dia memanggil komplotannya yang juga bertubuh kecil seperti dirinya, berwajah pucat, tapi rambutnya berwarna merah mencolok.
"Semuanya aman," bisiknya. "Mana kapak dan tasnya? Hebat, kau orang Skotlandia! Ayo, Archie, ayo, ayunkan kapak itu!"'
Pada saat itulah Sherlock Holmes melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan menangkap kerah kemeja penjahat itu. Penjahat satunya lagi masuk kembali ke lubang dari mana mereka muncul tadi. Kudengar bunyi kain robek. Rupanya Jones berhasil menangkap bagian belakang jasnya. Terlihat lampu pistol menyala, tapi tongkat Holmes telah lebih dulu memukul pergelangan tangan penjahat itu. Pistol itu terlempar ke lantai.
"Percuma, John Clay," kata Holmes dengan lembut, "kau tak mungkin bisa lari."
"Oh, begitu," jawab si penjahat dengan amat tenang. "Kurasa temanku baik-baik saja walaupun kau bisa menangkap bagian belakang jasnya."
"Ada tiga polisi yang siap menangkapnya di pintu depan," kata Holmes.
"Oh, ya? Rupanya kau telah mengaturnya dengan rapi. Aku memuji kehebatanmu."
"Aku pun pantas memuji kehebatanmu," jawab Holmes. "Ide rambut merahmu benar-benar sesuatu yang baru dan efektif."
"Kau akan bergabung dengan temanmu sebentar lagi," kata Jones. "Dia tadi menyusup dengan cepat sekali. Tunggu sebentar sementara aku menyiapkan kereta untuk mengangkut kalian."
"Jangan sampai tanganmu yang najis menyentuhku," kata tawanan kami itu ketika tangannya diborgol. "Kau mungkin tak sadar bahwa aku masih keturunan bangsawan. Jadi kalau ngomong padaku hendaknya memakai 'sir' dan 'silahkan'."
"Baik," kata Jones sambil melotot dan tertawa cekikikan. 'Yah, silakan, sir, berjalan ke atas dan naik kereta yang akan membawa Yang Mulia menuju kantor polisi."
"Begitu lebih baik," kata John Clay dengan santai. Dia membungkukkan badan kepada kami bertiga dan dengan tenang berjalan keluar didampingi Detektif Jones.
"Wah, Mr. Holmes," kata Mr. Merryweather ketika kami mengikuti di belakang mereka keluar dari gudang bawah tanah itu. "Saya tak tahu bagaimana bank ini harus berterima kasih atau membalas budi kepada Anda. Anda telah mencium dan menggagalkan percobaan perampokan ini dengan cara yang sangat jitu. Baru kali ini saya melihat penjahat yang begitu Iihai."
"Saya telah sekali atau dua kali berurusan dengan Mr. John Clay," kata Holmes. "Nah, ada sedikit biaya yang saya keluarkan untuk urusan ini, moga-moga bank mau menggantinya. Tapi saya tak minta apa-apa lagi. Saya sudah merasa diberi balas budi dengan mengalami pengalaman yang unik ini dan dengan mendengarkan kisah tentang Perkumpulan Orang Berambut Merah."
"Begini, Watson," dia menjelaskan keesokan harinya saat kami sedang minum segelas wiski dicampur soda di Baker Street, "sejak awal aku sudah tahu bahwa tujuan satu-satunya dari iklan perkumpulan yang fantastis dan tawaran pekerjaan menyalin ensiklopedi itu hanyalah upaya agar pemilik pegadaian itu meninggalkan rumahnya selama beberapa jam setiap hari. Memang caranya agak aneh, tapi itulah satu-satu nya jalan bagi mereka. Pasti idenya berasal dari si Clay yang lihai itu, dan diilhami oleh warna rambut temannya. Upah empat pound seminggu hanyalah umpan yang tak seberapa nilaimya dibandingkan dengan buruan mereka yang nilainya ribuan pound. Mereka memasang iklan menyewa sebuah kantor untuk sementara, dan si Clay lalu membujuk pemilik rumah pegadaian itu untuk melamar pekerjaan itu. Dengan demikian mereka aman beroperasi sepanjang pagi sementara pemilik rumah itu pergi bekerja. Sejak aku mendengar bahwa asisten itu mau digaji rendah, aku sudah menduga bahwa dia pasti punya tujuan lain."
"Tapi, bagaimana kau bisa menduga tujuan apa yang diarahnya?"
"Kalau saja di rumah itu ada wanita, aku mungkin akan mencurigai adanya rencana intrik kisah cinta. Tapi, ternyata tidak demikian keadaannya. Rumah pegadaian itu cuma usaha kecil, sehingga aku bertanya-tanya untuk apa semua persiapan yang begitu rapi dan memakan banyak biaya itu. Jadi pasti untuk sesuatu di luar rumah itu. Lalu untuk apa, ya? Aku teringat akan kegemaran asisten itu akan potret-memotret dan menghilangnya dia ke gudang bawah tanah. Gudang bawah tanah! Inilah rupanya petunjuk yang selama ini kubutuhkan. Aku lalu mencari informasi tentang asisten yang misterius ini, dan dari situ aku tahu bahwa aku berhadapan dengan penjahat yang paling kejam dan paling nekat di London ini. Asisten itu mempersiapkan sesuatu di gudang bawah tanah itu—sesuatu yang memakan waktu beberapa jam sehari selama berbulan-bulan. Sekali lagi aku bertanya, untuk apa semua itu? Satu-satunya yang masuk akal ialah bahwa dia sedang membuat terowongan yang menghubungkannya ke gedung lain.
"Hanya sejauh itulah dugaanku sampai akhirnya kita sampai di tempat kejadian. Aku memukul-mukulkan tongkatku pada halaman rumah pegadaian itu, dan kau sempat terheran-heran melihat kelakuanku. Saat itu aku sedang memeriksa apakah gudang bawah tanahnya ada di depan atau di belakang. Ternyata bukan di depan. Lalu aku membunyikan bel pintu, dan sebagaimana yang kuharapkan, asisten itulah yang membuka pintu. Kami memang sudah pernah berurusan sebelum ini, tapi belum pernah berhadapan muka. Aku hampir-hampir tak melihat wajahnya sama sekali. Lututnyalah yang ingin kulihat. Kau sendiri berkomentar betapa lusuh dan kotornya lutut celananya. Itu akibat berjam-jam menggali lubang penghubung itu. Hal lain yang perlu diketahui ialah untuk apa mereka membuat terowongan itu? Aku lalu berjalan mengitari daerah itu, dan kulihat bahwa gedung City and Suburban Bank berdempetan persis di belakang rumah pegadaian itu. Waktu itulah aku merasa telah mendapatkan jawaban atas kasus ini. Ketika kau pulang setelah nonton konser, aku menghubungi Scotland Yard, dan juga kepala direksi bank yang bersangkutan dan selanjutnya kau tahu ceritanya."
"Bagaimana kau tahu bahwa komplotan itu akan beroperasi semalam?" tanyaku.
"Yah, ketika mereka menutup kantor perkumpulan ntereka, itu berarti kehadiran Mr. Jabez Wilson tak diperlukan lagi di situ, atau dengan kata lain mereka telah selesai membuat terowongan. Tapi mereka harus bertindak secepatnya jangan sampai polisi menemukan terowongan itu, atau emas yang tersimpan sudah dipindahkan ke tempat lain. Hari yang paling cocok bagi mereka untuk menjalankan rencana itu ialah hari Sabtu, karena ada waktu dua hari bagi mereka untuk melarikan diri. Dan semua alasan inilah aku menduga mereka pasti akan beroperasi malam tadi."
"Pertimbanganmu hebat sekali," teriakku dengan penuh rasa kagum. "Jalinannya cukup panjang, tapi toh tiap bagian sesuai dengan lainnya."
"Hal-hal beginilah yang menolongku mengatasi kebosanan yang membelenggu hidupku," jawabnya sambil menguap. "Aku sebal kalau hidupku biasa-biasa saja."
"Dengan demikian kau menjadi penolong umat manusia," kataku.
Dia mengangkat bahunya. "Yah, mungkin keahlianku ini ada manfaatnya," komentarnya. "'L’homme c’est rien–l’oeuvre c’est tout,' tulis Gustave Flaubert kepada George Sand."
0 komentar