Saturday, June 8, 2013

Cerpen Horor: Di Balik Diamku

Cerpen horor ini ditulis oleh Dreamer Musume*

Lagu YUI yang berjudul YOU mulai berputar melalui pemutar mp3 di handphoneku. Headset terpasang di telingaku. Aku berharap untuk tak mendengarkan keramaian kelas, keramaian yang disebabkan teman-temanku yang gaduh karena guru yang mengajar di jam pelajaran sekarang tak dapat hadir.

Aku mengambil sebuah buku dari dalam tasku. Sebuah buku yang aku pinjam di hari kemarin dari perpustakaan. Cover buku itu bergambar seorang anak lelaki yang sedang berjalan di gurun pasir dengan bayangan seekor kuda jantan berwarna cokelat, atau hitam barangkali. Dengan jelas tertera judul buku itu “The Chrinocle of Narnia : The Horse and His Boy”. Aku menemukan buku ini di perpustakaan saat membantu Bu Dahlia, pustakawati di sekolahku membereskan perpustakaan.

Lembar demi lembar kubuka dari buku itu, lalu mulai membaca dari halaman pertama. Aku tak peduli pada teman-temanku yang bernyanyi-nyanyi di belakang kelas, bahkan melompati jendela untuk bisa berada di halaman belakang sekolah.

Seseorang menyodorkan kursi ke dekat mejaku dan orang itu duduk di kursi itu. Sejenak kuhentikan kegiatan membacaku dan menatap pada orang itu sambil tersenyum. Ahmad, dialah orang itu. Dia balas menatapku sambil tersenyum, tapi aku yang acuh padanya melanjutkan kegiatan membacaku sambil mendengarkan lagu YUI itu.

“Ehem, “ Ahmad berdehem. Tampaknya ia ingin memulai suatu pembicaraan. Kuangkat kepalaku yang menghadap pada lembaran buku di depanku untuk kembali melihatnya.

“Iya?” tanyaku sambil melepas headsetku yang terpasang di sebelah kanan.

“Boleh aku bertanya sesuatu padamu?” tanyanya dengan mata yang berbinar.

“Tentu, selama bisa kujawab, pasti kujawab,” ujarku sambil menandai halaman dari buku yang sedang kubaca.

“Kenapa kamu selalu sendirian? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?” wajahnya yang penasaran tak dapat ia sembunyikan saat menanyakan hal itu. Andai dapat kukatakn semua sesuai dengan apa yang terjadi. Tapi aku tahu apa yang akan terjadi bila kukatakan yang sesungguhnya, ia pasti tertawa dan mengatakan aku sedang membuat sebuah lelucon yang sama sekali tak lucu. Kuhela nafas barang sejenak untuk menjernihkan pikiranku dari khayalan yang sedang membumbung tinggi menggambarkan cerita dari buku yang kubaca. Kupilah kata-kata yang sebaiknya kujawab hingga dapat diterima oleh logika otak kirinya.

“Oh? Seperti itukah menurutmu?” tanyaku lembut tanpa nada menantang. “Yang pasti ini adalah sesuatu yang membuatku nyaman. Aku tak terlalu suka keramaian bahkan meski dalam kelas. Lagipula kalau tak ada guru seperti ini, lebih baik membaca buku daripada berbuat gaduh seperti yang lain bukan?” jawabku tenang.

“Kamu benar juga. Tapi apa kamu pernah merasa kesepian karena kamu sendirian?” tanyanya lagi. Menurutku sendiri kelas ini terlalu penuh untuk membuatku kesepian. Kelas ini tak hanya ditempati oleh 28 siswa kelas XII IPA 2, tapi juga ada yang lain yang berseliweran di atasku. Jumlahnya justru lebih banyak dari siswa di kelas ini. Aku sempat berfikir untuk menjawab demikian pada Ahmad, tapi kuurungkan.

“Setiap manusia pasti pernah merasa kesepian. Tentu saja aku pernah merasakannya. Tapi aku berusaha tak terbebani oleh hal itu,” kataku sambil tersenyum. Pembicaraanku semakin panjang dengan Ahmad. Bukan sesuatu yang personal, tapi hanya pembicaraan biasa sebatas teman.

Kelasku adalah ruangan yang baru pertama kali digunakan sebagai ruang kelas. Ruangan ini sudah ada sejak sekolahku didirikan tapi fungsinya bukan menjadi ruang kelas melainkan gudang. Setelah dijadikan gudang, kelas ini “disulap” menjadi ruang asrama putri dan sekarang menjadi ruang kelas. Posisinya berada di dekat tangga menuju lantai 2. Pencahayaannya sendiri tak begitu memadai. Cenderung gelap sehingga kadang kami harus menyalakan lampu di siang hari saat belajar. Tampaknya hal inilah yang membuat sekumpulan makhluk dari dunia yang berbeda dengan kami begitu nyaman tinggal di sini. Namun aku tak merasa begitu nyaman dengan hal itu karena hanya aku yang bisa melihat keberadaan mereka.

Suara ringkik kuda yang menyeringai sering kudengar bila tak kupasang headset di telingaku. Mungkin suara kuda itu tak terlalu menyeramkan bila dibandingkan dengan suara bayi yang menangis menjerit sejadi-jadinya atau suara tawa yang seolah ingin melampiaskan hasratnya. Berbagai macam suara itulah yang aku dengar di kelas. Oleh karena itu bila kelas sedang gaduh, ditambah suara-suara dunia lain itu, bisa kalian bayangkan bahwa itu membuat telingaku sakit dan memekakkannya? Kadang ibuku mengingatkanku agar aku tak terlalu sering menggunakan headset. Tapi hatiku ciut bila terus-terusan mendengar suara aneh yang menghantui meski tak bermaksud menghantui. Mungkin memang kesukaan merekalah mengeluarkan suara-suara macam itu. Dan sayang tak ada orang lain di kelasku yang bisa mendengar apa yang sebenarnya selalu kudengar dan kulihat dengan jelas.

“Hihihi….Asik sekali kamu membaca buku….Hihihihi,” ujar sebuah suara dari belakangku. Angin berhawa dingin menusuk tulangku melewati bulu kudukku. Kusapu pandangan ke sekeliling rupanya tiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Kupalingkan kepalaku ke asal suara itu. Tampak jelas di depan mataku seorang wanita yang kecantikannya sudah direnggut hingga berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan. Tapi aku sudah terbiasa dengan wajah itu.

“Ya, seperti yang kamu lihat aku sedang asyik membaca buku,” kataku tenang. Ada yang mencubit pipiku kemudian. Seorang anak kecil yang botak dengan menggunakan celana saja dan membuatnya bertelanjang dada. Kulihat ke sampingku si kembar tuyul yang kupanggil Baga dan Bigi.

“Ah kamu ini. Mending main sama kita yuk! Kan asyik!” ajak Bigi yang tadi mencubit pipiku. Suaranya sangat cempreng, suara anak kecil paling cempreng yang pernah kudengar. Mungkin karena memang dia bukanlah anak kecil melainkan tuyul kecil. Aku menggelengkan kepala sambil menggoyangkan telunjukku tanda aku tak setuju.

“Yah, Kak Yasmin. Selalu saja tak mau kami ajak bermain,” ujar Baga yang suaranya tak kalah cempreng dari Bigi. Mukanya yang hitam tampak cemberut sebagai respon penolakanku atas ajakan mereka.

“Woi, Bu Vita datang,” teriak seseorang yang ternyata adalah Zulfi. Semua anak langsung grasak-grusuk untuk segera duduk dan membereskan bangku yang telah membuat kelas begitu berantakkan. Aku hanya diam dan menghela nafas. Dalam helaan nafas itu, 3 makhluk yang tadi bersamaku lenyap seketika, berkelebat dengan yang lainnya di langit-langit kelas.

“Assalamualaikum!” salam Bu Vita memasuki kelas. Kelas kembali menjadi tertib dan semua siswa menjawab, “Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh.”

“Untuk pelajaran biologi hari ini ibu, akan menerangkan tentang mutasi genetika,” katanya membuka pertemuan KBM. Bu Vita kemudian meminta tolong beberapa anak laki-laki untuk dimintai tolong memasangkan proyektor untuk pembelajaran. Setelah semua yang diperlukan untuk mengajar telah siap, pelajaran biologi pun dimulai. Aku berusaha berkonsentrasi mendengar setiap kata yang meupakan penjelasan dari materi.

“Hihihi….Tak ada salahnya bermain dengan Baga dan Bigi…Hihihi,” sebuah suara yang sudah pasti tertuju padaku. Suara Baga dan Bigi yang cempreng terus mengganggu telingaku karena suara cempreng mereka merengek-rengek padaku. Aku tak tahan dengan suara itu lalu kugunakan tanganku untuk menutup telingaku dan kupejamkan mata. Aku berkonsentrasi memusatkan pikiran pada kata-kata yang ingin kusampaikan pada mereka.

Tolong mengertilah, aku sedang belajar. Bisa kalian tenang dulu? Nanti kita bicarakan. Kuharap mereka mendengar kata-kata yang hanya bisa kudengar tanpa orang lain dengar. Aku menggunakan kekuatan telepati yang sejak dulu ibuku latih untuk mengatasi hal ini di sekolah.

“Tapi aku ingin main dengan kakak, “ rengek Baga.

Iya, tapi sekarang aku harus belajar dulu. Apa kalian tahu betapa sakit telingaku mendengar rengekan kalian? Tolong mengertilah keadaanku.

Suara itu tak kembali kudengar. Yang kudengar hanyalah raungan-raungan tak jelas dari kelebat bayangan hitam yang berada di langit-langit kelas.

Rasa kantuk mulai menjalar padaku setelah 40 menit berlalu. Masih ada waktu 40 menit lagi hingga pembelajaran biologi selesai. Tak seperti biasanya pelajaran ini membuatku merasa sangat bosan. Suara Bu Vita yang sedang menerangkan mulai terdengar sayup karena aku tak berkonsentrasi lagi pada suaranya. Aku menatap pada langit-langit kelas. Melihat betapa banyak bayangan yang berkelebat. Kujatuhkan pandangan ke sekitar jendela. Di luar jendela terlihat jelas pohon hijau nan rindang. Rasanya aku ingin ke sana. Samar-samar mulai terlihat sesuatu berwarna putih hingga akhirnya jelaslah bahwa ada seorang pemuda yang sedang duduk di bawah pohon itu sambil meniup seruling memainkan lagu tampaknya.

“Huaah…” Andini menguap kantuknya tak tertahankan.

“Ngantuk sekali,” keluhnya. Aku hanya menatapnya. Bangku Andini ada di samping kananku. Aku melihatnya dan ternyata ia malah menoleh padaku.

“Tak biasanya pelajaran Biologi begini menjemukan? Ada apa dengan Bu Vita?” ia mengeluh lagi. Ia mengatakan hal itu sambil menatapku. Dipalingkannya kepala ke arah jendela, ke arah yang sama aku dapat melihat seorang pemuda.

“Bisa kubayangkan betapa nyamannya bila aku bisa duduk lalu tertidur pulas di bawah pohon itu. Pohon itu begitu rindang. Rasanya aku bisa merasakan kesejukan di bawah pohon itu,” katanya kemudian.

“Apa kamu melihat sesuatu di sana?” tanyaku. Aku ingin memastikan pemuda yang memainkan seruling itu benar-benar ada atau tidak.

“Tak ada apa pun,” kata Andini tenang.

“Memangnya kenapa?” ia balas bertanya padaku.

“Oh, bukan apa-apa. Kurasa aku melihat seorang pemuda di sana,” kataku polos.

“Ah, kamu ini. Ada-ada saja. Mungkin karena kamu menjomblo membuatmu berkhayal ada seorang pemuda di sana. Jelas-jelas tak ada siapa pun. Tak akan ada yang tertawa denagn leluconmu itu,” ketus Andini. Mungkin ia jengkel karena aku menanyakan sesuatu yang tak penting menurutnya padahal itu penting buatku. Aku mengangkat bahu,kembali menatap lurus ke depan.

Hingga bel pulang berbunyi, pemuda itu masih berada di tempatnya. Aku penasaran karena aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Kuputuskan untuk pergi ke pohon tempat pemuda itu berada.

Sesampainya di sana, aku melihat pemuda itu melihatku juga. Ia menaruh serulingnya lalu tersenyum menyambutku. Aku duduk di sampingnya.

“Boleh kan kalau aku duduk di sini?” aku meminta ijin padanya.

“Selalu ada tempat untukmu, manis,” katanya padaku. Pemuda itu tampaknya seusia denganku, fikirku.

“Semoga tempat ini tetap ada untuk selamanya,” katanya kemudian.

Perbincangan dengannya berlanjut. Ia menceritakan padaku tentang mula-mula sekolahku, tempat yang dahulu berada di sekitar sana. Aku tahu bahwa seseorang yang berada di sampingku ini bukanlah manusia melainkan jelmaan seseorang yang aku pun tak kenal siapa orang itu. Aku merasa nyaman dengan orang itu. Maaf bila kusebut dia orang karena rasanya tak sopan juga kusebut lelembut.

Senja menampilkan kembali senyumnya yang bersemburat warna jingga di atas langit yang makin gelap. Aku berpamitan pada pemuda itu.

“Maaf aku harus segera pulang,” pamitku padanya.

“Ah, aku baru sadar. Pembicaraan kita amat panjang tadi. Tapi aku belum tahu namamu. Siapa namamu gadis manis?” tanyanya.

“Namaku Yasmin,” kataku tenang.

“Yasmin. Semoga laku hidupmu bisa seenak wangi bunga yasmin juga. Shima begitu kuat dalam dirimu. Aku yakin kamu bisa seperti dia,” ia pejamkan mata sambil menghirup udara dalam-dalam seolah benar-benar merasakan wangi bunga itu. Sebuah nama asing, Shima. Kudengar ia mengatakan hal itu. Di hari yang akan datang aku tahu bahwa dia adalah seorang ratu yang adil yang pernah memerintah di tanah jawa ini.

“Oh ya, namamu siapa?” tanyaku padanya.

Tapi dia malah tersenyum lalu menghilang. Hingga akhirnya suatu hari aku tahu, dia adalah leluhurku, kakek buyut dari kakek buyutku yang jelas-jelas terpisah jauh dengan zamanku.[END]

----------
*) Detail penulis cerpen horor: Rachmi Radhini seorang penggila segala hal berbau Jepang, musik, dan gitar. Alamat blognya bisa disambangi di Dreamer Musume [http://rachmiramdhini.wordpress.com].


0 komentar