Huang Ho adalah seorang pelukis di sebuah desa di Cina, menjadi idola bagi sebagian orang dan sekaligus dibenci bagi sebagian lainnya. Huang Ho, entah bagaimana ia dilahirkan, tiba-tiba saja sudah menjadi bagian dari legenda kelam sungai kuning padahal ia tidak pernah tinggal di daerah itu. Huang Ho bersenang-senang dengan lukisan eksekusi kepala terpenggal dan tembakan di kepala. Ia tidak melukis hukuman gantung, suntikan mati atau kursi listrik karena tidak ada darah. Tidak ada darah berarti tidak ada kehidupan.
Kecelakaan merupakan sumber inspirasi lain. Huang Ho pernah melukis sebuah kecelakaan bis yang membunuh tiga puluh penumpang. Seorang penumpang yang terjepit di antara chasis bis dengan tusukan batang besi menembus dada menjadi fokus lukisan. Gubernur daerah menyukai lukisan ini.
“Ini lukisan penting!” kata gubernur dalam pidato duka cita, memerintahkan polisi untuk melarang siapa saja merubah tempat kejadian sebelum Huang Ho hadir dan melukisnya.
Huang Ho membayarnya dengan lukisan mengagumkan. Ia melukis darah dengan darah.
Merekam sebuah kejadian dengan lukisan lebih menarik dibanding dengan teknik fotografi. Bukan hanya wartawan CNN yang berani bertaruh nyawa mengambil gambar di tengah peperangan, Huang Ho beberapa kali melukis di tengah medan perang. Para kritikus lukisan berkata jika lukisan yang bagus tidak halus atau licin seperti gambar foto. Tiap lukisan punya alur indah yang bisa dirasakan dengan tangan. Huang Ho menyukai alur-alur darah.
Hanya orang-orang tertentu yang membeli lukisannya, kebanyakan pejabat negara, diktator dan orang-orang yang punya kuasa atas orang lain. Mereka puas dan berani membeli dengan harga tinggi. Tapi Huang Ho tidak menerima lukisan pesanan. Jika ada yang ingin lukisan diri, maka ia harus dalam posisi berdarah. Huang Ho suka lukisan harakiri.
Tapi tidak selamanya Huang Ho melukis tentang kematian. Setidaknya setelah ia menemukan Buddha, ajaran tentang kasih sayang dan kelembutan.
Saat itu ia sedang memandang laut, imajinasinya mengarah pada kekejaman bajak laut dan akan menjadi lukisan hebat bila darah tumpah di atas kapal, saat dimana bajak laut memenggal kepala saudagar, membunuh pengawal-pengawalnya dan melemparkannya ke dalam laut yang dipenuhi hiu putih.
“Laut memang indah bukan?” tiba-tiba seorang lelaki muda berkata dengan suara lembut sehingga tidak mengejutkan Huang Ho sedikit pun. Ia seorang Biksu muda, mengenakan jubah putih lengan. Kulitnya putih dan halus, alisnya seperti lukisan, bibirnya merah dan tipis seperti malaikat yang baru turun dari langit. Semua orang kenal dengannya. Ia bernama Hui San.
“Ya” jawab Huang Ho masih memandang darah-darah yang berbaur dengan warna laut dan hiu-hiu disekelilingnya.
“Laut itu hidup. Antara laut dan isinya dan apapun yang hidup darinya” Hui San berkata, menepuk pelan pundak Huang Ho.
Huang Ho tersenyum, sebuah senyum palsu. Ia tahu kata-kata itu hanya untuk menyindir dirinya.
“Bukankah kehidupan itu indah?” lanjut Hui San, memerhatikan lumba-lumba yang saling berkejaran dan melompat-lompat di laut yang tenang. Burung camar menyusuri laut, kaki-kakinya cermat menangkap ikan.
Huang Ho terdiam sesaat. Penglihatannya memecah. Darah-darah di lautan memudar dan lautan kembali menjadi biru berkilauan. Ia seperti menangkap pemandangan yang sama dengan pandangan Hui San yang datang bersamaan dengan perasaan yang sama atas keindahan alam. Tapi bagaimana mungkin? Mungkinkah orang ini sedang menyihir dirinya? Tidak. Hui San hanya menyadarkannya dari lamunan yang menyesatkan. Inilah kelebihan Hui San; memberikan pandangan yang sama pada orang lain sehingga yang tampak dalam pandangan adalah sesuatu yang indah.
Bukankah kehidupan itu indah? Pertanyaan itu masih mengiang di telinga Huang Ho dan membuatnya termenung. “Ya, kehidupan memang indah” jawab Huang Ho perlahan. Sebuah jawaban jujur.
Hui San memesona Huang Ho. Ia berkata bahwa orang baik akan bereinkarnasi menjadi apapun yang baik, dan sebaiknya Huang Ho percaya akan hal itu. Kemudian iIa bercerita tentang Yin dan Yang, tentang keseimbangan alam dan cerita dewa-dewa yang memberi berkat pada orang-orang yang berbuat kebajikan. Cerita-cerita itu membuat jantung Huang Ho berdentum, menggetarkan nyalinya padahal sebelumnya ia tidak pernah takut pada kematian. Hui San telah membuatnya berpikir ulang dengan kegemarannya melukis kematian. Ia bertanya pada dirinya sendiri apakah ia termasuk orang baik?
“Ijinkan aku belajar darimu,” kata Huang Ho.
Kedua mata Hui San bersinar, ia tersenyum.
“Aku akan melukis kehidupan, tempat dimana manusia bernyanyi dalam bahagia. Itu pun jika kau mengajarkanku tentang kehidupan dan kebahagiaan”
Mereka membuat janji di tempat yang sama besok hari.
Huang Ho adalah pelukis sejati karena pelukis sejati mampu menerjemahkan kata-kata menjadi sebuah lukisan indah. Ia melukis tiap kata-kata Hui San dalam pikirannya. Kini ia melukis burung-burung bertebaran di langit, anak-anak ayam berlarian, lumba-lumba saling berkejaran. Kabar dirinya melukis kehidupan mulai menjadi isu hangat. Ada yang senang dengan perubahan itu, namun ada pula yang kecewa. Huang Ho tidak peduli karena ia terlanjur senang melukis tentang sesuatu yang hidup.
Tapi bagimanapun juga, dibalik kegembiraannya melukis kehidupan, ada kekecewaan datang padanya. Ia belum bisa melukis manusia bahagia. Ia hanya sanggup melukis hewan-hewan, gunung-gunung, dan lautan padahal ia ingin sekali melukis orang-orang tertawa, ibu yang menyusui bayinya, petani menggarap sawah atau anak-anak bermain tanah. Ia pernah mencobanya beberapa kali. Suatu kali dia melukis potret seorang ayah yang menyambut kedatangan anak pertamanya. Awalnya ia melukis dengan baik. Garis-garisnya menandakan kelenturan, warna-warnanya menghiasi senyum sang Ayah. Tapi tiba-tiba di tengah lukisannya dia mendapatkan sesuatu yang lain. Ia tidak menyadari tangannya merubah senyum sang Ayah menjadi wajah yang suram. Sedangkan bayi yang diangkatnya tinggi-tinggi mempunyai bentuk aneh dengan buntut dan dua tanduk di kepalanya. Ia marah pada dirinya sendiri dan membakar lukisan yang belum selesai itu. Ia merasa ada yang salah pada dirinya. Mungkin dirinya belum menjadi manusia baik.
Di suatu pagi di musim gugur saat alam menampakkan kedamaian dan kejujuran, Huang Ho pergi menemui Hui San di kuil. Ia melihat dari kejauhan Hui San sedang tenang berdo’a. Semakin mendekat semakin jelas ketenangan di wajah Hui San memutuskan menunggunya hingga selesai.
Pengunjung kuil datang silih berganti, tapi Hui San tetap tidak bergerak. Wajahnya sebersih salju dan selembut hembusan-hembusan angin yang menerpanya. Huang Ho gelisah. Ia belum pernah melihat seseorang lebih tenang dari Hui San, dan ia tidak ingin kegelisahannya menjadi prasangka buruk.
“Aku melukis kehidupan,” Huang Ho berkata.
Mereka duduk di batu besar di pinggir kolam. Hui San melempar makanan pada ikan-ikan di kolam. Segerombolan ikan emas mengejar makanan itu. Hui San tersenyum melihat keharmonisan mereka.
“Aku melukis ikan-ikan, burung-burung dan binatang lain tapi aku belum sanggup melukis manusia hidup. Masa lalu seakan menggangguku. Kebahagiaan manusia akan rusak dalam lukisanku” kata Huang Ho dengan perasaan sedih “Kupikir ada perbedaan melukis hewan dengan manusia”
Hui San seorang pendengar yang baik. Kesabarannya dalam mendengar membuat kagum orang-orang. Sering Hui San menolong orang hanya cukup dengan mendengar yang sebenarnya merekalah yang memecahkan masalahnya sendiri.
“Manusia dan hewan sama-sama mempunyai nyawa,” lanjut Huang Ho “tapi hewan tidak punya jiwa seperti kaubilang”
Hui San melempar makanan ke kolam. Dari kantong lain ia mengeluarkan biji-bijian dan melemparkannya ke jalanan. Burung-burung menghampiri dan mematuknya hingga habis.
“Aku memutuskan untuk melukis seseorang yang telah memberiku arti kehidupan. Aku ingin melukis kau” Huang Ho berharap dengan melukis Hui San akan menjadi awal yang baik dalam melukis manusia hidup yang bahagia.
Hui San tersenyum padanya, ia berkata “Jika itu akan memberimu kehidupan.”
Huang Ho mengucapkan terima kasih. Hui San memberinya sebuah biji-bijian dalam kantong dan meminta Huang Ho memberikan makanan itu pada ikan-ikan dan burung-burung.
Cahaya matahari mulai redup, sisa-sisa sinarnya membentuk bayangan panjang dan bayangan-bayangan itu menyatu dengan malam. Lampu-lampu dinyalakan dan membentuk bayangan baru.
***
Huang Ho membuka pintu ruangan dan mempersilahkan Hui San masuk lebih dulu. Huang Ho mengenakan pakaian hitam. Ia selalu mengenakan pakaian hitam karena hitam bukanlah sesuatu yang buruk seperti yang orang lain bilang dan dia akan membuktikannya dengan melukis Hui San. Hui San mengenakan pakaian putih. Ia selalu mengenakan pakaian putih, dan dengan kulitnya yang putih berada di ruangan putih membuatnya hampir tidak terlihat jika alis yang melingkar di kedua mata hitam bagai sapuan lukisan dan bibir yang kemerahan mewarnai dirinya.
Huang Ho membuka kain penutup kursi kayu dan mempersilahkan Hui San duduk.
Hui San mengangkat tangan dan mengucapkan terima kasih. Ia berjalan mengelilingi ruangan dengan penuh keingintahuan tentang lukisan-lukisan yang tergantung di sekelilingnya. Ia berhenti di depan sebuah lukisan yang tertutup kain putih.
Huang Ho duduk di tengah ruangan, wajahnya menampakkan ketenangan, matanya memandang pada satu titik di hadapannya.
“Aku bermimpi tadi malam” Huang Ho berkata “Kau berada dalam mimpiku. Aku melukis dirimu. Kau begitu tenang dan bahagia. Itulah alasannya aku menciptakan putih di ruangan ini untuk lukisanmu …”
Hui San menyingkap kain penutup lukisan hingga setengahnya. Ia dapat mengenali jika ini sebuah lukisan kematian. Ia membuka lebih lebar lagi dan tampak seorang algojo bertubuh besar menyandarkan kedua tangannya pada sebuah kapak besar. Algojo itu tersenyum setelah memenggal kepala seorang tahanan. Di ujung kiri bawah tertulis nama tempat, tanggal dan nama “Huang Ho” ditulis dengan darah.
Hui San menutup lukisan itu dan beralih ke lukisan lain.
“Dalam lukisan … kau begitu indah dan bahagia hingga aku tidak sanggup melanjutkan.”
Hui San berhenti di depan sebuah lukisan besar dan membuka kain penutupnya. Dalam lukisan itu dua tentara menusuk jantung musuh dengan bayonet di bawah bayang-bayang pohon besar yang lebih menyerupai bayangan kematian. Musuh yang terjatuh berhasil menusuk leher salah satu tentara. Darah memancar dari lehernya disertai pekik kematian yang dapat didengar Hui San.
Ia menutup lukisan itu. Ia tidak terganggu lukisan-lukisan kematian.
“Burung-burung bernyanyi, dan kau berada di taman sedang melempr biji-bijian”
Hui San berjalan menuju lukisan lain dan berhenti di depan sebuah lukisan seorang wanita muda dengan sebilah pisau yang tertancap di jantungnya. Wanita itu mencoba mencabutnya. Di sisi lain seorang pria sedang membuka pintu, garis cahaya yang masuk ke ruangan memberi warna penegasan kematian.
Llukisan itu bergerak. Seorang pria yang tadi berdiri di depan pintu berjalan masuk mendekati si wanita muda yang sekarat. Pria itu mengangkat tubuhnya dan memeluknya. Hui San dapat melihat kesedihan mendalam pada pria itu dan perasaan dendam yang memancar dari matanya. Pria itu memalingkan wajahnya ke arah Hui San, menatapnya penuh amarah. Ia membaringkan wanita itu dengan hati-hati dan berjalan menuju Hui San. Tapi tidak … ia tidak menghampiri Hui San, ia berjalan mendekati Huang Ho yang sedang melukis. Huang Ho terlihat lebih muda sedang melukis si wanita muda malang. Huang Ho memunyai teknik kecepatan dalam menulis objek yang sedang sekarat. Ia akan menyelesaikannya pada detik wanita muda itu mati!
Pria itu menghempas kanvas milik Huang Ho, menarik Huang Ho dan memukulnya Huang Ho terjatuh. Huang Ho bangkit, mematahkan kuas dan dengan cepat menusukkan potongan kuas ke jantung pria itu. Pria itu mencoba mencabutnya, tapi kematian lebih cepat datang. Ia terjatuh dan terbaring di samping si wanita muda. Dan lukisan itu pun membeku.
Hui San menutup lukisan itu. Ia terpaku.
Huang Ho beranjak dari kursi dan datang menghampiri Hui San, lalu menaruh tangan di pundaknya. “Kau siap?” Huang Ho berkata.
Hui San menoleh padanya dan tersenyum. Ia melangkah beberapa meter ke depan kanvas. Ia belum pernah menjadi model lukisan sehingga tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Huang Ho mengarahkannya dengan perasaan kikuk dan rendah diri. Dan setelah memantapkan hati, ia mendapatkan sudut pandang yang indah.
Hui San berdiri dalam posisi yang mengagumkan. Wajahnya berpaling ke arah kanan memandang langit, tangan kanannya diangkat terbuka seperti sedang menyambut seseorang dari langit.
Huang Ho membuka kain penutup kanvas, menumpahkan warna ke dalam mangkuk, mencelup kuas ke dalamnya dan siap menggores kanvas.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia ingin melukis Hui San dalam posisi duduk seperti dalam mimpinya. Hui San akan dilukiskan sedang berkomunikasi dengan burung-burung dan alam. Ia meminta maaf padanya dan mengatakan maksudnya dengan perasaan bersalah.
Hui San mengikuti keinginan Huang Ho. Ia duduk dalam posisi yang mengagumkan, tangannya bersandar pada lutut dengan telapak tangan terbuka seperti hendak memberi makan burung-burung, wajahnya menghadap ke langit, tempat di mana burung-burung datang.
Huang Ho senang dengan posisi itu persis seperti yang diinginkannya. Ia mulai melukis dengan hati-hati. Mula-mula membentuk sketsa wajah, lalu senyumnya. Garis-garisnya sempurna, tipis dan menyerupai Hui San.
Setelah beberapa lama ia berhenti sejenak, memandang lukisan dari kejauhan. Ia melihat ada sesuatu mengganjal di hatinya dan sepertinya ada yang hilang dari lukisan ini. Senyumnya tidak sama dengan yang ia inginkan, bahkan lebih buruk. Ia tertunduk sedih dan memutuskan untuk berhenti.
“Aku tidak bisa … kau terlalu indah” kata Huang Ho tanpa menoleh ke arah Hui San.
Hui San menangkap keputusasaan muridnya. Ia berjalan menghampiri dan berdiri di sampingnya. Ia menggenggam jemari Huang Ho seolah ingin mengatakan ‘Kau baik-baik saja. Kau bisa melukis sebuah kehidupan manusia.’
Huang Ho melirik ke wajah Hui San, menyembunyikan kegembiraannya karena bisa sedekat ini dengan gurunya.
Hui San mengarahkan tangannya ke kanvas, menarik garis, membuat lingkaran kehidupan.
“Tentu kau bisa” Hui San membisik di telinga Huang Ho “Lukisan ini akan menghapus semua lukisan kematian dan bayangan-bayangan kematian dalam pikiranmu”
Huang Ho menoleh ke arah Hui San, menatapnya penuh hormat. Mereka melukis seperti sepasang manusia yang sedang menari. Goresan-goresan kuas memberi gambaran wajah cerah Hui San.
Huang Ho memejamkan mata dan membiarkan Hui San membimbingnya. Dan di saat Huang Ho terbuai dalam bayangan keindahan, perlahan Hui San melepaskan pegangannya. Kuas itu terus menari hingga membentuk sebuah lukisan kasar.
Huang Ho membuka mata dan terkejut melihat lukisan itu walaupun sebuah hanya sketsa hitam putih. Ia melihat Hui San duduk pada posisi semula, mengagumkan dan sedang berkomunikasi dengan burung-burung yang kini benar-benar ada di ruangan itu. Ia tinggal meneruskan lukisan itu, memberi warna, menambah tujuh burung di sekitar Hui San, melukis bunga-bunga taman dan beberapa pohon. Semuanya akan nampak indah jika sempurna.
Tapi jika kau berpikir bahwa kisah ini akan berakhir bahagia, kemudian Huang Ho menjadi ahli pelukis kehidupan dan memberi kehidupan bagi orang-orang yang menikmati lukisannya dan di sisi lain Hui San begitu bangga bisa merubah Huang Ho menjadi muridnya yang luar biasa dan kemudian ia akan pergi mencari orang-orang yang butuh bantuannya maka kau salah!
Burung-burung dalam lukisan itu tidak menyanyikan lagu kehidupan. Burung-burung itu berwarna hitam dan sebagian bertengger di pohon kering sedangkan bunga-bunga di taman sudah kehilangan warnanya. Sekarang mereka hanyalah tangkai-tangkai layu. Lukisan Hui San tidak lagi tersenyum, Huang Ho merubahnya menjadi sebuah wajah suram dan tidak hidup. Bagaimana sebuah lukisan bisa hidup tanpa darah?
Burung kematian bernyanyi …
Suaranya parau menyayat hati …
Tapi yang dicintai belum mati …
Huang Ho berjalan menghampiri …
Dari balik baju dia keluarkan belati …
Bukan takdir menghampiri kehidupan …
Baginya kehidupan merupakan kematian …
Bagaimana lukisan hidup tanpa darah …
O, Hui San terluka parah
Huang Ho menampung tetes demi tetes darah Hui San dan membawanya ke hadapan kanvas. Alur-alur darah mewarnai lukisan, dan lukisan kematian dibuat lagi.
Ia menulis namanya di atas kanvas dengan darah Hui San, lalu memandangnya dengan penuh kepuasaan dan keputusasaan dan menyebut lukisan itu sebagai titik pencapaian abadi. Kemudian ia bersihkan belati dengan bajunya hingga tidak satu pun darah Hui San tertinggal. Setelah itu ia berjalan menuju cermin, membuka kain penutupnya, mencermati dirinya dan tertawa dengan penuh kemenangan. Dan ia punya caranya sendiri untuk mengakhiri kisah ini.
Ia menghentikan tawanya, terdiam menahan sakit yang tajam sesaat setelah menggores urat nadinya sendiri hingga belatinya terjatuh. Ruangan kembali sepi kecuali nafasnya yang terdengar cepat. Ia mengepal tangan kirinya kuat-kuat. Darah mengalir deras dari lengannya berjalan melalui telapak tangannya dan jatuh ke dalam sebuah mangkuk putih.
Ia memandang dirinya di cermin dengan senyum yang dipaksakan, seperti sebuah ekpresi kematian. Ia berjalan gontai menuju kanvas dengan ceceran darah di lantai dan tangan yang gemetar. Ia mencelup kuas ke dalam darahnya, mencampurnya dengan warna-warna cat dan bersumpah ini akan menjadi sebuah lukisan terakhirnya. Sebuah potret diri. Dan ia memastikan lukisannya selesai seiring jantungnya berhenti berdetak.
Kisahnya berakhir di sini.
Tidak ada lagi kisah Huang Ho setelah itu. Ia masih meninggalkan hutang sebuah lukisan yang belum selesai. Tidak ada seorang pun yang mau menyelesaikannya hingga generasi berikutnya bahkan hingga akhir dunia ini karena itu adalah lukisan diri Huang Ho. Karena Huang Ho melukis darah dengan darah.
Hwang Ho atau Huang he, sungai panjang itu membunuh ribuan jiwa. Sejarah air mata berkepanjangan.
Penulis: Ali Reza | Teks | Pic
0 komentar