Sampai di suatu saat tempat itu menjadikan St. Pranos sepi, sesepi pemakaman, seperti mengusir penduduknya, seperti sedang menghindari wabah mematikan. Perampokan di Marc-O berlangsung cepat tanpa keributan dan pembunuhan seperti yang digambarkan seorang saksi yaitu salah seorang pelayan Marc-O sebagai pembantaian, atau kau menyebutnya brutal, mengakhiri hidup dua pria St. Pranos.
Enam bulan setelah kejadian itu, baik St. Pranos dan Marc-O berangsur pulih meski pembunuhnya belum tertangkap. Mereka berusaha melupakan, bahkan anak si pemilik bar mengganti nama Marc-O menjadi O-Dann untuk mengurangi trauma atas tempat itu. Hanya si pemilik bar yang masih menyimpan dendam terlebih ia kerap melihat wajah si pembunuh di barnya dengan penampilan berbeda dan mengira jika si pembunuh selalu menyamar sehingga bisa bebas keluar masuk barnya. Tidak banyak yang ia lakukan selain mencatat pakaian dan aksesoris si pembunuh sampai suatu saat ia bisa mengerti pola-polanya dan akhirnya mengirimkannya pada polisi.
Dan malam ini, genap satu tahun setelah pembunuhan, tanggal yang sama, seperti sebuah gambaran yang utuh. Langit mendung, angin menggoyang tirai, peluit kapal terdengar nyaring dengan geliat pekerja pelabuhan yang tidak pernah berhenti. Pemilik bar duduk di kursi nomor sembilan menghadap ke jalanan. Dua kakinya dinaikkan ke atas meja, kursinya dicondongkan ke belakang, asap tipis mengambang dari rokok yang belum diisapnya sejak dinyalakan. Di sebelah kanan kakinya tergeletak sebuah buku catatan dengan sebuah pena disisipkan di dalamnya. Kipas angin di atasnya berputar amat pelan seperti malas untuk menerima pengunjung lagi. Wajah pemilik bar tenggelam dalam tubuhnya yang tambun karena antara kumis, jenggot dan bulu dadanya seperti menyatu. Matanya mengawasi pintu masuk, mengenali satu per satu pengunjung yang datang dan keluar, menanti si pembunuh. Sesekali ia melirik jam dinding. Pengunjung terakhir baru saja keluar. Tapi O-Dann masih harus buka hingga jam satu.
Tiga meja di sebelah kanannya, seorang pelayan laki-laki sedang mengelap meja. Meja yang sudah bersih itu dilap berulang-ulang karena ia merasa masih melihat noda yang menempel. Kiranya noda darah. Setelah menyelesaikannya, ia mengelap meja lain dan kedua kursinya, lalu ia akan kembali mengelap meja pertama dan seterusnya. Aneh. Padahal ia harus menyajikan minuman pada pelanggan yang baru datang atau mencuci gelas atau memeriksa kelengkapan besok. Pemilik bar membiarkannya karena ia masih memiliki seorang pelayan perempuan. Tapi sayangnya, anak laki-lakinya jatuh cinta pada pelayan perempuan itu sehingga sering mereka menghabiskan waktu kerja dengan ngobrol.
“Apa sebutannya buat polisi yang tidak bisa menangkap penjahat?” tanya pemilik bar pada pelayan laki-lakinya.
Pelayan laki-laki tidak menjawab. Ia bosan dengan pertanyaan yang sama padahal dia tidak pernah peduli pada pembunuhan itu. Paling-paling bosnya akan mengatakan jawabannya sebentar lagi, persis seperti malam-malam sebelumnya.
“T-O-L-O-L” jawab pemilik bar, melihat anak laki-lakinya dan pelayan perempuan dari pantulan cermin dengan pandangan pesimis. Ia tidak yakin anak laki-lakinya bisa meneruskan usaha ini. Kalau anak laki-lakinya mengatakan tidak mau mengurusnya, seharusnya dia menikahi anak seorang pengacara kenalannya. Tidak seharusnya sang anak mengganti nama bar yang memang mengambil dari namanya, Marco O’Brian. Memasang nama O-Dann dengan tujuan hanya untuk memberitahu bahwa bar itu kini milik si anak adalah sesuatu yang bodoh. Danniel O’Brian dengan O di depan.
Hujan mulai turun perlahan. Uap dingin menutupi kaca-kaca jendela. Lampu bilboard di depan bar sebentar nyala dan sebentar mati. Pemilik bar sering mengumpat masalah itu tapi tidak pernah tahu bahwa itu semacam permainanan elektrik.
Sebuah Jeep berhenti di depan bar, sinar lampunya menyorot ke dalamnya menerangi wajah si pemilik bar dan sebentar kemudian padam. Suara mesinnya mati lalu terdengar suara pintu mobil menutup. Angin kencang masuk saat seorang pria berkacamata membuka pintu dan sepatunya mulai mengotori lantai. Dengan setengah menggigil ia berjalan ke meja nomor tiga di dekat jendela. Pemilik bar mencibirnya dalam hati, menyamakan pria itu dengan anak laki-lakinya.
“Siapa dia?” tanya pemilik bar pada pelayan laki-lakinya. Pelayan laki-laki memicingkan mata, entah pandangannya kabur atau terlalu mengantuk, ia hanya melihat sekilas lalu mengangkat kedua bahunya kemudian kembali mengelap meja-meja dan kursi-kursi.
Pelayan perempuan datang menghampiri pria berkacamata, menawarkan burger panggang buatannya. Tapi pria berkacamata hanya memesan kopi. Sebenarnya pelayan perempuan tidak terlalu tersinggung ketika seseorang tidak memesan burger panggang buatannya, lagi pula pria ini kelihatannya bukan dari St. Pranos. O-Dann hanya menunjuk orang-orang tertentu untuk memasak burger panggang sedangkan juru masak mereka hari ini pulang lebih awal setelah mengingat hari ini satu tahun sejak pembunuhan itu.
Pelayan perempuan datang kembali membawa kopi, dua bungkus gula dan dua bungkus krim di pinggiran tatakan cangkir. Kopinya hanya kopi biasa, bukan kopi bakar dengan tiga kali penyaringan yang terkenal itu. Ia meletakkannya di atas meja, tersenyum padanya dan sekali lagi menawarkan burger panggangnya.
“Mungkin lain kali.”
“Ini gratis.”
“Terima kasih. Saya tidak lapar.”
“Mungkin lain kali.”
“Ya, mungkin lain kali.”
Pelayan perempuan meninggalkannya, melangkah ke tempat anak laki-laki pemilik bar duduk.
Bodoh, pemilik bar berkata dalam hati. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana cucunya yang akan lahir dari dua orang bodoh dan akan meneruskan usahanya ini.
Pria berkaca mata mengeluarkan buku catatan kecil dari saku bajunya. Pinggiran bukunya basah. Ia mengipas-ngipasnya sebentar kemudian membuka-buka halaman-halamannya, berhenti di sebuah halaman penuh coretan dan membacanya. Ia memiliki wajah yang bersih dan lumayan tampan meski posturnya pendek. Ia seorang polisi dengan reputasi mengagumkan, kecuali untuk kasus pembunuhan di bar ini. Satu tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk mengungkap sebuah kasus dengan bukti dan saksi yang cukup. Ia tahu detail gambaran pembunuhannya dan bahkan ia merasa dekat dengan si pembunuh. Tapi ia kehilangan jejak. Setelah satu tahun sepertinya bar ini tidak menunjukkan pernah terjadi sebuah pembunuhan.
Air masih menetes dari ujung rambutnya, ia menyisirnya dengan jari tangannya. Ia membuka kacamatanya dan dibersihkannya lensanya dari uap dingin. Pada saat itu pemilik bar bersumpah mengenalinya. Ia menduga pria itu seharusnya tidak memakai kacamata. Demi Tuhan, ia sungguh mengenalinya! Mungkin waktu itu rambutnya lebih pendek, mungkin berkumis, atau mungkin apapun kelihatannya tidak seperti ini kecuali matanya yang memancarkan cahaya yang sama seperti satu atau dua tahun lalu. Namun sebelum menduga-duga lebih jauh, tiba-tiba pandangannya dialihkan pada sosok seorang pria yang berdiri di pintu masuk. Seorang pria dengan tubuh tinggi besar dan semakin besar karena jaketnya. Meski brewoknya lebat, pemilik bar dapat mengenalinya dari codet di pipi kanannya. Seandainya satu tahun lalu ia lebih cepat beberapa detik maka ia dapat membuat pria itu menyesal pernah datang ke barnya.
Pria itu tidak melihat pemilik bar. Ia berjalan menuju meja nomor lima dan duduk menghadap pria berkacamata.
“Akhirnya keparat itu datang juga” pemilik bar geram, kakinya diturunkan dan tangan kanannya menampar meja. Tidak ada yang mendengar hentakkannya kecuali pelayan laki-lakinya yang bosan dengan tingkahnya. Ia mengambil buku catatannya dan mulai membuat catatan baru. Di bawah hari dan tanggal, ia membuat daftar pakaian dan perubahan-perubahan tampilan pria yang ia sebut sebagai si pembunuh.
Pelayan perempuan datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa catatan menu. Tapi si pembunuh tidak butuh catatan. Catatan menu hanya untuk waktu-waktu ramai.
“Bir,” ucap si pembunuh, suaranya berat dan kasar, membuat gemetar pelayan perempuan. Tapi pelayan perempuan tidak perlu berlama-lama berhadapan dengan senyum menjijikan itu dan ia tidak akan menawarkan burger panggangnya. Tidak berapa lama ia kembali dengan sebotol bir dan satu gelas kosong di atas nampan. Tapi lagi-lagi si pembunuh membuatnya gemetar.
“Lima … lima botol, sayang.”
Pelayan perempuan tidak ingin salah mengartikan. Apakah yang dimaksud lima botol lagi atau empat botol karena ia sudah mengambil satu untuknya? Ia kembali membawa lima botol di atas sebuah nampan, meletakkannya di atas meja dan cepat-cepat meninggalkannya tempat itu.
Tiba-tiba tangan si pembunuh mencengkram lengannya membuat tubuhnya tertarik dan terhuyung.
“Kau lupa uangnya sayang?” si pembunuh membuka telapak tangan pelayan perempuan, memasukkan lembaran uang dan meremas tangan mungil itu, menarik lengannya hingga wajahnya berhadapan dengan wajah si pembunuh, hampir diciumnya. “Ambil saja kembaliannya” bisiknya dengan suara yang keras.
Pelayan perempuan menarik tangannya dan langsung memasukkan uang itu ke dalam kantong celananya kemudian bergegas meninggalkan meja si pembunuh.
“Hei, mau bersenang-senang denganku sayang?” teriak si pembunuh.
Anak laki-laki pemilik bar memilih diam. Ia sayang perempuan itu dan ia sayang barnya.
Pria berkacamata melirik sebentar ke wajah si pembunuh, memastikannya tidak membuat keributan di sini. Ia menghabiskan kopinya.
Di meja nomor lima, giliran si pembunuh mengawasi pria berkaca mata, menatapnya seperti menghendaki pertarungan, seperti seorang musuh yang lama memendam dendam, seperti seorang pembunuh yang sedang menjaga kemungkinan terburuknya: tertangkap.
Pemilik bar selesai menulis catatannya. Kini catatannya penuh dengan pola-pola. Ia akan memberikannya pada polisi. Atau mungkin ia akan mengirimkannya lewat pos dengan nama samaran seperti ini,
Pengirim : Dari salah seorang korban pembunuhan yang terabaikan.
Alamat : Di liang kubur yang paling dalam.
Ia melipat catatannya dengan sempurna, lalu memasukkannya ke dalam kantong baju.
Pelayan laki-laki sedang mengelap meja nomor empat atau meja terakhir karena di jam satu dia harus mengakhiri kegiatannya. Malam sebelumnya, di jam satu, meja terakhir yang dia lap adalah meja nomor lima seperti sedang membuat pola berurutan. Bulan lalu dia mengelap dengan pola bilangan prima. Aneh.
Si pembunuh bangkit dan berdiri, memasukkan empat botol bir ke dalam kantong jaketnya. Ia menenggak birnya dan kemudian berjalan keluar, matanya menyorot pria berkacamata. Pintu tertutup sesaat setelah pria berkacamata menoleh padanya.
Jam satu kurang lima menit. Beberapa lampu dimatikan, hanya lampu yang menerangi meja nomor tiga masih menyala, bar sebentar lagi tutup. Pelayan perempuan membereskan gelas-gelas dan botol-botol. Di luar, hujan hanya berupa rintik-rintik kecil. Antara di luar dan di dalam bar sama-sama hening.
Pelayan perempuan berjalan menghampiri pria berkacamata. Dia sudah mengganti seragamnya dan memakaijaket kulit. Di sebelahnya berdiri anak laki-laki pemilik bar, tangan kirinya melingkar di pinggangnya.
“Maaf tuan, kami tutup jam satu” kata pelayan perempuan mencoba ramah.
Pria berkacamata memasukkan catatannya ke dalam saku baju dan berdiri. Ia berkata kapan-kapan ia akan menikmati burger panggangnya yang terkenal itu. Untuk terakhir kalinya ia memandang ke sekeliling bar sebentar, lalu memerhatikan ke meja nomor sembilan, tempat salah seorang korban tergeletak bersimbah darah satu tahun lalu.
Mata pemilik bar mengawasi laki-laki berkacamata.
“Kaukenal pria yang barusan?” tanya pemilik bar.
Semua lampu padam, kipas angin berhenti berputar, anak laki-laki pemilik bar dan pelayan perempuan berjalan keluar. Pemilik bar dapat mendengar mereka sedang membicarakan pernikahan mereka bulan depan. Lalu terdengar suara pintu dikunci dari luar.
Angin dingin masuk melalui ventilasi, menggoyang lampu gantung di dalam bar. Pemilik bar mulai kesal pada pelayan laki-lakinya karena tidak menjawabnya.
“Kau kenal pria tadi?” ia melihat ke arah pelayan laki-lakinya dengan pandangan kesal.
Pelayan laki-laki balas menatap, lalu membanting lap keringnya ke atas meja dan berkata: “Dia polisi tolol yang menyelidiki kematian kita!”
Pemilik bar menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Ia memalingkan wajahnya ke jalanan. Rokoknya masih utuh walau baranya terus membakar. Ia memiringkan kursinya dan bersandar pada meja di belakangnya, kakinya dinaikkan ke atas meja. Tidak banyak yang dilakukannya hari itu. Tidak juga tahu apa yang akan dilakukannya nanti.[]
Penulis: Ali Reza | Teks | Pic
0 komentar