Monday, November 19, 2012

Cerpen Horor: Sean Berada di Sini

“Bagaimana perasaanmu saat mereka bertepuk tangan untukmu. Untuk keberanianmu ketika tampil di atas panggung dan menceritakan ketakutanmu? Katakan padaku”

Sean McCleann dibesarkan dalam ketidakharmonisan kedua orang tuanya. Ayahnya seorang pengacara perfeksionis sering menerapkan cara-cara pengadilan terhadap istrinya dan anaknya, menjadikan mereka takut padanya. Sedangkan ibunya bukanlah seorang wanita handal dalam mengurus anak, karirnya tidak gemilang dan hampir tiap hari tenggelam dalam pengaruh alkohol. Tapi Sean memiliki seseorang yang menjadi pelindung dari ketakutannya, seseorang yang membuatnya nyaman. Ia adalah Mrs. Stanley, tetangganya yang tinggal dua blok dari rumahnya.
Mrs. Stanley tinggal bersama suaminya, Joe Stanley, yang tidak pernah menginginkan anak. Ia merasa nyaman dengan kehadiran Sean yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Sean juga menyayangi Mrs. Stanley, dan terkadang ia menginginkan posisi ibunya digantikan oleh Mrs. Stanley. Tentu saja Mrs. Stanley menganggapnya berlebihan.

Susan lahir sebelas tahun setelah Mr. & Mrs. Stanley menikah. Sean senang Mrs. Stanley mempunyai bayi cantik. Ia sering kali minta Mrs. Stanley membiarkannya bermain dengan Susan. Saat Susan berumur tiga bulan Mrs. Stanley mengijinkannya menggendong Susan. Sean menyaksikan pertama kali Susan jalan dan mengajarkannya banyak kata. Namun Joe Stanley menganggap kelahiran Susan adalah sebuah kesalahan prosedur. Kehadiran Susan menjadikan Sean terlalu sering bersama keluarganya hingga timbul perasaan benci. Kebenciannya dilampiaskan dengan menyodomi Sean. Ia akan melakukannya lagi hingga Sean menjauh dari Susan. Tapi Sean tidak pernah pergi dari Susan.

Enam tahun berikutnya Sean hidup tanpa mengetahui dirinya mengidap HIV. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil di perjalanan pulang setelah mengikuti persidangan cerai mereka. Dan setelah melalui tahun-tahun menyedihkan, Sean akhirnya menemukan orang-orang yang mencintainya, orang-orang yang sama seperti dirinya, berkumpul dalam sebuah kelompok pengobatan non medis. Mereka menamakannya Apel.

Apel bukan sekedar nama buah. Ia adalah harapan. Apel didirikan oleh tiga orang penderita AIDS yang menganggap hidup mereka tanpa harapan. Waktu itu mereka kerap terjaga semalaman hanya untuk memastikan bahwa mereka hidup keesokan harinya. Hingga suatu saat mereka menemukan harapan bahwa mereka berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari hari ke harinya. Mereka memulainya dengan menerima keadaan mereka seperti menerima segala kebaikan yang diberikan Tuhan. Kemudian mereka bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing, lalu impian-impian mereka dan hal-hal kecil yang bisa mereka lakukan untuk orang lain. Ketiga pendiri kelompok ini telah tiada. Mereka meninggalkan sebuah pohon indah yang kini buahnya bisa dipetik dari anggota-anggota barunya.

***

Sean berjalan menuju kursi kayu di atas sebuah panggung kecil. Ia semakin bertambah kikuk saat tepuk tangan menyambutnya. Tapi ia tidak segera duduk, alih-alih berdiri memandang rekan-rekannya satu per satu hingga kemudian suara tepuk tangan itu berangsur memelan dan menghilang, kembali kepada kesyahduan. Di ujung panggung dr. Cunning memandangnya dengan kasih sayang.

“Kau bisa melakukannya, Sean” bisik dr. Cunning

Tentu, Sean bisa melalui ini meski belum pernah melakukannya. Kini ia hanya berharap ini tidak akan menjadi sesuatu yang memalukan. Seseorang pernah memberitahunya agar membiarkan semua perasaan mengalir hingga yang terdengar adalah suara dari hati yang terdalam. Meski ia yang paling muda di ruangan ini, rekan-rekannya ingin mendengar ceritanya. Bagi mereka, Sean memiliki daya tarik tersendiri.

Sean menarik nafas perlahan dan dalam lalu menghembuskannya. Ia ingin melihat Dokter Cunning sekali lagi, seorang dokter yang selama ini menjaganya dengan penuh perhatian. Tapi ia tidak melihat dr Cunning di ujung panggung. Seorang gadis kecil dengan rambut hitam panjang menggantikannya. Gadis kecil itu tersenyum padanya.
Sean tahu sosok Susan hanyalah khayalannya, dan karena itu ia kembali memandang teman-teman yang sedang menunggunya bicara. Ia berpikir untuk sebuah kalimat pembuka yang baik.

“Aku belum pernah melihat seseorang bunuh diri” Sean memulainya dengan sebuah kejutan kecil, “apalagi yang mengerikan. Tapi Mrs. Stanley melakukannya. Dia menembak kepalanya di kamar mandi. Aku orang pertama menemukannya dan karena itu polisi menanyaiku.”

Sean sadar betapa berat mengungkapkan perasaannya. Tapi ia harus mengatakannya, begitulah yang dokter Cunning katakan.

“Aku selalu mengagumi polisi. Itu berarti aku harus memberikan kesan baik pada mereka karena mereka adalah pahlawan. Jadi aku harus berkata terus terang dan jujur, terlebih Mrs. Stanley sangat baik padaku dan aku juga tidak ingin memberi kesan buruk tentangnya. Tapi polisi tahu aku yang memakaikan pakaian pada mayat Mrs. Stanley. Menurutku membuat pernyataan Mrs. Stanley menembak dirinya saat telanjang itu tidak baik. Sangat tidak baik.”
Sean mulai menangis.

“Kau mungkin bertanya mengapa Mrs. Stanley melakukannya? Orang-orang mengenalnya sebagai seorang wanita baik. Kautahu, walaupun orang baik terlihat baik, tetapi terkadang orang baik pun menyembunyikan kesalahan.
“Di bulan Juni, seminggu setelah hari ulang tahun Susan yang ke dua belas, aku mendengar Mr. dan Mrs. Stanley bertengkar. Tidak seperti orang tuaku bertengkar, pertengkaran mereka lebih terdengar menyakitkan. Mereka sering menyebut nama Susan. Mr. Stanley menyumpahi Mrs. Stanley sebagai istri brengsek dan tidak bertanggung jawab. Aku kasihan pada Mrs. Stanley. Ia lebih memilih diam dan menangis. Mr. Stanley mengatakan Mrs. Stanley-lah penyebab Susan sakit!

“Aku mencuri dengar di bawah jendela, memerhatikan satu persatu ucapan mereka dan berharap mereka mengatakan sesuatu tentang Susan. Aku menutup telinga saat Mr. Stanley mengatakan Susan mati. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya dan mengatakan di depan mereka jika mereka berbohong. Tapi tidak kulakukan. Aku berlari pulang dan mengunci pintu kamar. Aku menangis.”

Sean terdiam dan memejamkan mata seakan merasakan kejadian itu sedang menimpanya saat ini. Ia menyeka hidungnya, lalu mengangkat kepalanya hingga dapat terlihat dua matanya memerah dan berair.

“Sehari setelah pertengkaran itu Mr. Stanley pergi keluar kota. Aku diam-diam menemui Mrs. Stanley. Aku melihat Mrs. Stanley menangis. Tapi waktu aku datang dia mencoba menyembunyikannya.

“Mrs. Stanley berkata: ‘Susan akan kembali bulan depan … dia senang tinggal bersama neneknya. Kuberitahu kau jika Susan kembali’

“Aku tahu Mrs. Stanley sedang berbohong. Aku menatapnya penuh kemarahan, mencoba membongkar kebohongannya lewat mataku.

“Dia berkata: ‘Sean, mengapa kau menatapku seperti itu?’

“Mendadak pikiranku kacau, ingatanku pada Susan datang. Aku berteriak di wajahnya, ‘Kaubohong! Susan mati! Kau membunuhnya! … Kau membunuhnya!’

“Mrs. Stanley memelukku dan berusaha meredam kemarahanku. Aku merasakan dadanya turun naik, air matanya jatuh ke bahuku. Dia tahu aku merasakan kehilangan yang sama. Tapi Mrs. Stanley tidak pernah mengatakan penyebab kematiannya. Dia memintaku untuk tidak mengatakan ini pada suaminya. Aku berjanji tidak tahu apa-apa tentang Susan dan menganggap Susan masih hidup tinggal bersama neneknya.

“Aku bohong. Aku menemui Mr. Stanley dan memaksanya untuk mengatakan penyebab kematian Susan.

“Mr. Stanley menuduhku membunuh Susan … Lalu dia tertawa.”

Sean terdiam sebentar. Sepertinya kalimat selanjutnya terasa berat untuk diucapkan.

“Virus itu bisa masuk tubuh Susan melalui apa saja. Saat itu aku belum tahu aku mengidap HIV, dan kurasa kalian lebih tahu bagaimana virus itu bisa masuk. Satu-satunya kemungkinan penyebabnya adalah aku. Karena aku terlalu sayang padanya sehingga bukan hanya hati yang kami saling memiliki. Tubuhku adalah tubuh Susan dan tubuh Susan adalah tubuhku.”

Ruangan mendesah, Sean mencoba tegar. Ini pertama kali ia mengungkapkan kesalahannya. Ia tahu jika orang-orang di hadapannya tidak akan menyalahkannya melainkan akan bersama-sama membantunya.

“Jadi, kalian menyangkaku membunuh Susan? Tidak, bukan aku. Ini semua gara-gara laki-laki sialan itu. Aku tidak akan kena HIV jika dia tidak melakukannya padaku. Uh, harusnya aku tahu, ia pula yang melakukan itu pada Arnold, Steve dan Josh. Laki-laki keparat itu pula yang membunuh teman-temanku. Aku harus membalas! Dia harus mati! Stanley harus mati … Joe Stanley harus mati!

Ruangan menjadi sunyi. Sean seperti melengkapi cerita sedih kelompok ini padahal ia tidak bermaksud demikian.
“Ma’afkan aku. Aku terlalu marah. Kalian pasti merasakan hal yang sama karena kita sama-sama dapat sesuatu yang tidak kita inginkan, bukan?

“Kurasa waktuku sudah habis. Kita di sini tidak untuk bersedih, bukan? Lagipula aku tidak sabar untuk mendengar cerita Margareth.”

Ruangan ini masih merasakan emosinya, kebencian pada Joe Stanley, kasih sayang pada Susan, kehampaan Mrs. Stanley. Semua mata memandangnya, sebagian tersenyum, sebagian lain menangis. Sean sendiri menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya seperti menyesal telah menceritakannya. Ia berharap ada senyum lagi di wajah rekan-rekannya, atau setidaknya mereka tidak lagi menangis.

Beberapa saat ruangan itu hening sebelum seorang pria bertopi hitam duduk di barisan paling belakang berdiri, wajahnya tertutup bayangan topinya. Dia bertepuk tangan perlahan dan kemudian berangsur cepat seakan sedang memberi kehormatan pada Sean, ia menyulut gairah yang lain untuk ikut memberikan dukungan. Satu per satu rekan-rekan Sean mulai berdiri dan memberikan semangat, atau mungkin kegembiraan yang berlebihan atau sebuah penghargaan yang seakan tidak pernah berhenti.

Sean tidak tahu bagaimana menghentikannya karena ia memang sangat membutuhkannya saat ini. Ucapan terima kasih hanya terucap dalam hati, mungkin mereka dapat melihat dari matanya.

Suara tepuk tangan berangsur-angsur memelan. Mereka kembali duduk. Di mata masing-masing berkilauan, memandangnya penuh iba. Hanya tepuk tangan dokter Cunning yang masih nyaring walau iramanya melambat. Dokter Cunning berjalan ke arahnya, menjulurkan kedua tangannya dan mendapatkan Sean dalam pelukannya.
“Kau hebat, Sean. Aku bangga padamu” kata dokter Cunning, melepaskan pelukannya. Dua tangannya masih memegang pundaknya dari belakang.

“Kau ingin menyampaikan sesuatu sebelum kembali?” tanya dokter Cunning

Sean menatapnya lebih dalam, sebuah pertanda ia sedang memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Ia berpikir bahwa tiap kata yang dikeluarkan sangat berharga seperti nafas yang dihirup. Tapi ia tidak punya kata-kata teramat istimewa. Ia menjawab dengan anggukan kepala dan sedikit senyum dan keraguan. Ia memalingkan pandangan ke arah rekan-rekannya yang sedang sabar menunggu mengatakan sesuatu, memandang mereka dari ujung kanan ruangan ke ujung kirinya, dari barisan belakang kemudian ke barisan depan. Sean hanya mengucapkan terima kasih dan betapa dia mencintai mereka.

Mereka menyambutnya dengan jabat tangan, pelukan dan ciuman di pipi. Namun hanya Margareth-lah yang membuatnya tertegun hingga ia terpaku berdiri lama di hadapannya.

Margareth, wanita berusia enam puluh lima tahun ini paling tua diantara mereka dan Margareth pula-lah yang paling lama bergabung di grup ini. Mereka menganggapnya sebagai ibu. Entah sudah berapa kali Margareth bercerita sejak pertama kali kedatangannya, tapi mereka selalu menunggu kisahnya. Dari Margareth mereka belajar banyak hal termasuk menghadapi ketakutan dengan pikiran yang tenang. Kehadirannya bercerita di depan membuat santai dan nyaman.

“Kurasa ini yang keseratus kali aku duduk di sini. Aku cocok dengan kursi ini. Ini kursi panas.” Margareth berkata sambil menepuk dua sisi kursi. “Rasanya selama aku duduk di sini, aku tidak akan mati karena HIV. Boleh-kan aku memilikinya dok?” Ia melihat dokter Cunning. Dokter Cunning tersenyum padanya.

Tiba-tiba ia terdiam, ditundukkannya kepalanya dan mulutnya ditutupi kedua telapak tangannya seakan tidak ingin mengatakan apa pun. Ia sedang menahan kesedihannya. Mereka tidak menyangka seorang wanita yang selalu membuat gurauan ini mendadak menjadi rentetan kesedihan cerita-cerita sebelumnya.

“Menjadi penderita AIDS tentu bukan keinginan kita,” dia melanjutkan “tapi medis telah menentukan usia kita. Kadang aku bertanya dimana Tuhan? Kapan Dia akan menurunkan seorang penyelamat?”

Sesi berakhir jam satu. Satu jam lebih lambat dari malam-malam sebelumnya. Sean mendapat suntikan terakhir hari ini dan seperti biasa suster Maria yang memberikannya. Ia berkata padanya jika obat-obatan hanya memperlambat kematian sedangkan dirinya tidak berharap seseorang menemukan penyembuhnya. Tapi suster Maria berkata: ‘Kau akan sembuh, Sean. Berharap adalah bagian dari usaha. Tuhan yang akan menyembuhkanmu.’

Suster Maria menyayangi Sean karena mengingatkannya pada anak pertamanya. Dan sungguh, wanita itu memperlakukan Sean seperti anaknya. Ia meninggalkan Sean dengan sebuah ciuman di kening dan menyuruhnya berdo’a agar seseorang menemukan penyembuhnya. Jika suatu saat Sean sembuh maka ia akan memintanya untuk tinggal bersamanya.

Hujan turun. Sean masih belum bisa memejamkan mata. Ia memikirkan membuat sebuah novel tentang dirinya dimana kata-kata Margareth tertulis di halaman pertama. Semua orang akan membeli novelnya. Ia akan membelikan rekan-rekannya komputer dari uang hasil penjualan novelnya agar mereka bisa menulis kisah hidup mereka.

Irama hujan yang teratur akhirnya menidurkannya dan membawanya dalam mimpi. Susan datang padanya dan mengajaknya menari di padang rumput. Ia tumbuh dewasa, cantik dan cerdas. Sean memegang kedua tangannya yang lembut, memutar tubuhnya hingga melayang. Mereka saling memandang, tertawa dan menari. Dan ketika mereka kelelahan, mereka menjatuhkan diri di atas rumput yang lembut. Tapi keindahan mimpinya tidak sepenuhnya usai. Sesuatu di luar mimpi membangunkannya.

Sean memerhatikannya dengan seksama pada detak jam, degup jantungnya, nafasnya dan keheningan. Ia mencoba tidur lagi dan berharap mimpi tadi berlanjut. Ia menarik nafas panjang hingga merasakan paru-parunya penuh oksigen dan menghembuskannya. Ia membayangkan seperti inilah HIV membunuhnya: perlahan-lahan. Mungkin tidak akan terasa sakit, mungkin akan lebih menyenangkan, setidaknya itu yang membuat hatinya lebih tenang karena kematiannya tidak terlalu menyakitkan.

Seseorang membuka pintu. Cahaya masuk ke dalamnya. Sesosok bayangan memasuki kamar. Sean menduga mungkin pria itu dokter jaga. Pria itu menutup pintu, menguncinya dan berjalan mendekat. Ia kelihatan seperti dokter baru di sini.

Mengapa dia tidak menyalakan lampu? Dan mengapa mengunci pintu? Sean berkata dalam hati.

Pria itu mengeluarkan jarum suntik dari kantong jasnya.

Bukankah aku sudah dapat suntikan? Siapa dia? Mau apa dia? Aku tidak bisa mengenalinya, dia memakai masker.
Sean beranjak duduk dan menyalakan lampu meja hingga dapat melihat samar mata cekung pria itu, kulit pucatnya dan rambutnya yang putih dan jarang.

Pria itu tidak menjawab ketika Sean menanyakan dirinya. Ia terus mendekati Sean hingga wajahnya berhadapan dengan wajah Sean. Ia menatapnya dengan mata cekungnya yang memerah, memperlihatkan di depan hidungnya suntikan dan cairan yang keluar dari ujung jarum.

Sean bergerak mundur, mencoba menahan tangan pria itu. Tapi ia hanya menangkap tempat kosong. Pria itu meraih pergelangan tangan kiri Sean dengan cepat. Sean meraba sesuatu di atas meja di sampingnya. Ia menjatuhkan gelas dan menumpahkan airnya di ranjang. Ia berteriak. Suaranya hanya sebatas erangan. Pria itu membekap mulutnya, lalu mendekatkan wajahnya dan membuka maskernya. Sean melihat jelas wajahnya yang buruk dan masih membawa kebencian dalam dirinya, membuatnya ingin mengorek biji matanya dan melemparnya ke tembok. Ia Joe Stanley.

Stanley tertawa kecil hingga kelihatan beberapa gigi depannya yang gompal dan bau alkohol, membuat Sean ingin muntah.

“Aku tidak akan membunuhmu sebelum kita melakukannya lagi nak .. kita akan melakukannya lagi” Stanley berkata seperti tikus bernyanyi.

Sean membuang wajahnya ke samping kanan untuk menghindari nafasnya. Kenangan pahit masa kecilnya muncul kembali saat Stanley memaksa dan mengancam akan membunuhnya. Kini ia seperti bayi yang ketakutan dan tidak berdaya. Ia memejamkan mata, mencoba menghapus trauma itu dan meyakinkan dirinya jika di hadapannya bukanlah Joe Stanley muda, melainkan hanya pria sekarat yang sebentar lagi menemui ajalnya.

“Aku tahu kau tidak akan mengatakannya, nak. Tidak pada polisi, tidak pada siapa pun”

Sean menyesal tidak menceritakan yang sebenarnya pada polisi bagaimana Mrs. Stanley mati.

“Aku melihatmu, kau memang pembicara hebat, nak” Stanley mengeluarkan topi hitam dari kantong jasnya dan memakainya. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya, menari seperti badut bodoh yang sedang memaksa ingatan Sean pada pria yang duduk di kursi paling belakang, bertepuk tangan menyorakinya agar lekas mati. Stanley melepas topinya dan melemparnya.

“Aku melihatmu tiap hari. Aku mengawasimu, nak”

Sean mundur hingga membentur tembok. Stanley mencengkram dan mengguncang lengannya. Nafasnya berat dan mengeluarkan bunyi seperti tikus, ia batuk beberapa kali. Sean dapat melihat penderitaannya. Stanley mulai menciumi lehernya. Namun Sean hanya sanggup menjauhkan mukanya, menahan dengan dua tangannya. Ia seperti tidak sabar untuk membunuh Stanley saat merasakan jarum suntik menyentuh kulitnya. Tangannya terus menahan desakan Stanley. Ia memejamkan mata, lalu berkata dalam hati, bukankah semua manusia akan mati? Dan kalaupun ia mati sekarang, maka ia akan segera bertemu Susan. Kemudian ia teringat dokter Cunning. Seandainya dirinya hidup dalam keadaan yang lebih baik bolehkah ia mencintainya? Apakah dunia selamanya buruk baginya setelah ia mendapatkan kenyamanan di tempat ini lalu tiba-tiba Joe Stanley muncul dan menghancurkan mimpinya? Makhluk ini seharusnya ditempatkan di neraka yang paling dalam. Jika Tuhan mengijinkan biarlah tangannya yang akan melemparkannya.

Tangan Sean menggeliat, memanfaatkan keringatnya agar bisa lolos. Ia tidak lagi peduli sentuhan-sentuhan liar Stanley yang terus menjelajahi tubuhnya. Dan hingga pada suatu kesempatan, saat Stanley mengendurkan pegangan, ia merasa ini adalah kesempatannya, suara dalam kepalanya berteriak “Sekarang!”

Ia mendorong dan menarik tangan secepat kilat hingga lepas dari cengkraman Stanley. Ia menarik kabel lampu, melingkarkannya dileher Stanley dan melilitnya beberapa kali lalu menarik lilitan itu dengan kedua tangan hingga kedua mata Stanley seperti hendak melompat keluar. Stanley mencoba menusuk-nusuk suntikan ke lengan Sean. Sean mengelak, memukul sikutnya ke lengan Stanley dan berhasil membuat Stanley menjatuhkan suntikan.
Tangan kanan Stanley masih cukup kuat meremas pergelangan tangan kirinya, mencoba menariknya. Tapi tindakannya itu membuat kabel semakin kuat mengikatnya hingga dia semakin kesulitan bernafas. Sean tidak butuh waktu lama untuk membuat Stanley terdiam. Kekuatan Stanley berangsur mengendur. Beberapa saat kemudian dia jatuh di atas dadanya. Sean terus mengikatnya seperti akan memutuskan lehernya, menunggu dan memastikan keparat ini benar-benar mati.

Ia menjatuhkan dua tangannya yang kecapaian, nafasnya terengah-engah. Ia memandang mayat Stanley dengan jijik, menyingkirkan kepalanya hingga menyisakan sebagian rambutnya yang melekat di tangannya. Kondisi Stanley parah, jika masih hidup, mungkin tidak akan bertahan sampai sebulan.

***

Margareth meninggal dalam tidurnya seminggu setelah kejadian itu. Sean masih mendengar Margareth berkata padanya jika ia senang Joe Stanley mati. Ia menunggu Sean menerbitkan bukunya dan membacakan untuknya.
Semua berduka cita untuk Margareth. Satu hari persembahan pidato untuk mengenangnya. Semua tahu Margareth sangat menyayangi Sean dan karena itu mereka memberi kesempatan padanya untuk menjadi yang pertama. Antara Sean dan Margareth, yang paling muda dan paling tua. Kali ini tidak ada lagi keraguan bagi Sean untuk mengungkapkan perasaannya, terlebih untuk seseorang yang sudah ia anggap sebagai ibu.

Di akhir pidatonya Sean merasakan tangan dokter Cunning yang lembut menyentuh bahunya sedangkan matanya mengatakan agar dia tetap kuat. Ia seorang dokter yang baik dan senang berada di sini bersamanya.

Sean memejamkan matanya, kembali membayangkan dokter Cunning adalah sosok Susan. Namun ia tidak bisa, karena sekarang ia sudah bisa menerima kematian Susan.

“Sean .. kau ingin mengatakan sesuatu?” tanya dokter Cunning.

Sean mengangguk, menatap teman-temannya satu per satu.

“Margareth bilang, dia tidak akan mati selama duduk di kursi ini. Kurasa, … aku sependapat dengannya.” Ia membuat mereka terharu. Mereka pun bertepuk tangan untuknya dan mengatakan mereka mencintainya.
Sean berjalan kembali ke tempat duduk semula bersama Dokter Cunning yang memapahnya.

Mereka masih bertepuk tangan dan satu persatu ingin bersalaman dengannya. Ya, Sean senang berada di sini.[]

Penulis: Ali Reza | Dufix

0 komentar