Thursday, November 15, 2012

Cerpen Horor: Kandang Anjing Tiang Listrik

Apalah guna aku menatap layar kosong. Tidak, tidak kosong, sebenarnya. Hanya saja di depanku ini terdapat secarik “kertas” yang masih kosong. Setidaknya sebelum kuputuskan untuk menulis di sana. Di sini.

Ya, intinya, tulisan ini keluar begitu saja saking tidak adanya ide di kepalaku.

Ping tiping tiang lampu
Gading maling hilang tersapu
Pis tipis teriris lagi
Gadis manis histeris terbagi

Aku sudah mulai meracau.

Aku masih sering bingung dengan apa yang seharusnya kulakukan malam ini. Selain mengetik di laptop. Selain menerawang televisi. Selain menggenggam ponsel. Bingung, ya, entah mengapa. Padahal seharusnya aku bangga bisa melakukan tiga hal sekaligus.

Ah, tadi aku berbohong.

Apa yang kulakukan sekarang ini hanyalah terdiam di depan layar komputer. Televisi memang menyala, tetapi tidak kutonton. Ponsel… hanya tergeletak di kiri laptop. Aku bingung karena ya ini: sekarang aku hanya terdiam di depan layar. Tidak tahu mau melakukan apa lagi di jam sepuluh malam ini. Padahal ini malam minggu. Seharusnya aku sedang keluyuran di Pondok Indah atau Kelapa Gading.

Tunggu. Aku berbohong lagi.

Sekarang malam Jumat. Rumahku sepi, seperti apa yang memang seharusnya tiap hari Jumat. Hanya ada aku, diriku, diri sendiri, dan bayangan diriku di cermin. Singkatnya, aku sendiri. Lebih jelasnya, aku sendiri di ruang tengah ini.

Kurasa barusan aku tidak berbohong.

Ayah dan Bunda sudah tidur dari jam sembilan. Kakak pasti sedang—ah, aku tidak peduli. Kakak sudah di kamar dengan pacarnya dari jam tujuh. Aku benar-benar sendiri di ruang tengah ini. Jam setengah dua belas, sendiri. Berempat. Sendiri.

Berempat? Di rumah ini ada aku, Ayah, Bunda, dan Kakak. Iya berempat. Tapi itu di rumah ini. Di ruang tengah hanya ada aku. Aku berempat. Bagaimana bisa “aku berempat”? Mungkin maksudku “kami berempat”. Entahlah, aku kadang bingung sendiri.

Sepertinya itulah alasan mengapa aku bingung. Sepertinya. Karena aku masih perawan, jadi tidak mungkin ada aku berempat. Tidak mungkin juga aku bingung karena itu. Tapi aku jadi bingung apa hubungan antara perawan dan berempat dan bingung.

Ini sudah berubah menjadi racauan. Baiklah, kubiarkan saja tertulis.

Aku, sendiri di ruang tengah, bersama laptop yang menyala dan televisi yang meracau. “Ibuku bukan Maria,” kataku kemudian.

Orang yang ada di seberang ponsel menjawab, “Lebih buruk lagi, Kawan. Ibumu kan sudah diceraikan.”

“Maria itu ibumu, Sobat.”

“Oh ya?” suara entah pria entah wanita tersebut agak meninggi. Sependengaranku. Imbuhnya, “Padahal kemarin kaubilang bahwa Maria itu janda yang tinggal di depan rumahmu.”

Kuakhiri pembicaraan aneh tadi. Sungguh aneh. Mungkin ini akibat pusingku yang menyerang mulai dari jam sebelas sampai sekarang, jam sepuluh kurang tiga. Kulihat matahari baru terbenam jam enam kurang lima, lima belas menit yang lalu.

Begini. Aku masih pusing. Dari tadi aku tidak tahu apa yang kulakukan di ruang tengah ini. Bahkan membaca jam pun aku salah melulu. Aku tidak yakin apakah sekarang jam setengah dua belas (menurut jam dinding di dekat meja makan) atau jam sepuluh (di laptop-ku) atau jam enam (di ponselku). Aku tak tahu mana yang benar. Suasana luar sih sepertinya jam sepuluh malam. Atau jam setengah dua belas. Ah, masih susah juga membedakannya. Pokoknya aku di ruang tengah ini berempat. Bersama suara dari televisi, ketikan jam dinding, ketikan keyboard laptop, dan bunyi aneh di luar.

Skreeeeeeeek.

Kira-kira seperti itu bunyinya. Logam beradu logam. Beradu beton. Bunyi itu tepat di luar. Dari tadi. Sangat mengganggu. Sekaligus sangat menenangkan. Entah bagaimana aku bisa mendapatkan ketenangan dari bunyi tersebut. Sreeeeng. Craaaaaask. Mengingatkanku pada Maria, janda yang tinggal di depan rumah. Mengapa bisa? Kurasa karena arah bunyinya dari depan rumahku, yang merupakan depan rumahnya juga.

Hehe...

Bunyi tersebut memang sering menghiasi malamku jika kebetulan aku bergadang online. Seperti hari ini. Awalnya aku merasa sangat terganggu. Bunyi itu muncul dua-tiga kali berturut-turut lalu hilang. Senyap. Lalu tiba-tiba ada lagi, dua-tiga kali. Sungguh mengganggu. Namun setelah beberapa kali bergadang dengan ditemani bunyi tersebut telingaku mulai merasa tenang. Merasa bahwa bunyi tersebut sama wajarnya seperti bunyi jangkrik di taman kosong di sebelah rumah, atau seperti bunyi detak jam dinding di dekat meja makan. Tapi sekarang yang muncul adalah rasa penasaran.

Akhirnya. Aku lega karena sekarang aku bisa penasaran. Sekarang ya sekarang. Telingaku rupanya sudah puas terganggu dan puas tenang. Sekarang telingaku muak, ingin tahu sebenarnya itu bunyi apa. Aku akan meninggalkan laptop dan televisi menyala di ruang tengah sendiri. Aku akan keluar dan mencari sumber suara tersebut.

Pada saat itulah aku mendengar suara aneh lagi. Teng. Dung. Beng. Antara tiga-tiganya atau salah satunya. Dung. Dung. Beng. Atau salah dua dan salah satunya, atau macam lainnya. Baru kali ini kudengar suara tersebut. Seperti suara kandang anjing.

Kandang anjing macam apa yang bisa mengeluarkan suara tengteng?

Tunggu. Bunyi yang sebelumnya, skreeeeeek sreeeeng craaaask, setelah kupikir ulang ternyata bisa jadi suara kandang anjing. Berarti bunyi teng dung beng bukan berasal dari kandang anjing. Tambah penasaran, aku beranjak menghadap pintu depan rumah. Semoga saja apa yang kulihat di luar bisa memuaskan.

Sreeeeng.

Bunyi itu muncul lagi ketika kuraih pintu depan. Aku diam sejenak untuk memastikan bahwa tadi itu memang bunyi sungguhan. Sungguhan, putusku. Kubukalah pintu depan setelahnya, dan kuterawang jalanan kosong di depan rumahku.

Yang namanya jalanan kosong ya kosong. Tak ada apa-apa kecuali aspal. Ada sih sinar dari lampu jalan. Ada juga gadis kecil di perempatan sana. Biasa saja, seperti malam tak berbintang lainnya. Hening, dengan sesekali bresakan daun akibat angin yang melandayu tersendat. Dingin, juga.

Aku berlari ke ruang tengah dan mengambil laptop untuk menuliskan semua tadi. Di luar. Iya, kubawa laptop ke teras depan dan, sambil duduk di kursi di sana, kuketik semua ini. Lalu aku menyadari bahwa “bresakan” dan “melandayu” tidaklah kuketahui artinya. Ternyata kekuatan racauanku semakin meninggi. Biarlah, tidak akan kuhapus.

Gadis kecil?

Kutaruh laptop di kursi dan kukejar pagar rumah. Melongo ke arah perempatan, tidak kulihat ada gadis kecil.
Kecuali Maria.

“Kamu malem-malem ngapain celingukan di luar?” kata si tante. Aku membalasnya dengan cengengesan, karena aku sendiri tidak tahu mengapa aku keluar.

Teng. Maria, ya. Tante depan rumahku ini bernama Maria, atau itu yang tadi kudengar dari ponsel. Aku masih ragu. Kubuka pagar rumah dan kini aku berjalan mendekati pagar rumah si tante, karena ada wangi bulan baru datang dari arahnya, dan bukan hanya itu.

Merdu suara sinar mentari pagi. Tangisan pipit dimakan rumput. Gemeretak pelipis terhadap marmer. Semua menyatu dalam sosok wanita di depanku ini, malam ini, di tengah jalan antara rumahku—rumah orangtuaku—dan rumahnya. Sejurus kemudian ada pesta.

“Di luar gak ada apa-apa, dingin lagi. Kecuali kamu mau nyari hantu, ya terserah.”

Tanpa peduli racauan Maria, tanganku menyelip di antara tulang belakangnya. Menyusur tiap jengkal rusuk, jemariku merasakan sesuatu yang manis, lebih manis dari lendir paru. Ujung hidungku berhasil menjilatnya. Teng dung beng.

“Kamu ngapain berdiri diem terus di situ?”

Tengkuknya gatal, gigiku tahu itu. Maka gerahamku mencabik laiknya taring, setelah selesai bertarung dengan taring, mencabik ke arah anak-rambut jalang. Setelah itu kakiku mendapat bola sepak. Jantungku senang, buktinya ia berdetak sekali. Maria bukanlah Maria. Skreeek.

“Janganjanganjangan jangan yang bawah! Jangan yang bawah! Ahhhhhh…”

Craaaask.

Kemudian aku sadar bahwa semua tadi bukanlah suara si tante depan rumah. Aku tahu karena aku sering menghabiskan siang denganya. Beda. Berarti itu suara orang lain, yang sepertinya adalah…

Maria?

Aku bergegas kembali ke teras rumah. Kutuliskan semua itu di laptop. Semua. Mengenai si tante yang tiba-tiba menyerangku, mengenai gadis kecil yang menonton di ujung jalan, mengenai bunyi kandang anjing yang tak berhenti. Jemariku kesetanan; awalnya kiasan, tapi entah bagaimana semakin terasa harfiah.

Berhenti sejenak, kudapati bahwa keyboard laptop berlumuran darah. Darah. Bukan hanya darah, tapi juga lendir-lendir yang tidak kuketahui. Ingus? Dahak? Cairan kewanitaan? Liur? Empedu? Limfe? Semua teraduk tidak merata di sana, membuat noda hitam kemerahan. Anehnya di tanganku tidak ada.

Tidakadatidakadatidakadatidakadatidakada

Tanganku bersih. Aku menyempatkan untuk cuci muka terlebih dahulu sebelum kulanjutkan menulis.

Nah, sekarang, aku harus cari tahu apa sumber suara teng dung beng. Tentu saja skreek sreeng craask adalah suara dari kandang anjing si tante (yang sudah bukan si tante). Tentu saja aku tahu, karena sekarang aku baru mau memastikan juga.

Aku beranjak, membawa laptop, ke depan rumah si tante (yang sudah bukan si tante). Lantas aku terkejut. Untung saja tidak kulempar laptop ini. Iya, aku terkejut karena ternyata ada gadis kecil sedang memakan buah-buahan yang tergeletak di jalan depan rumahku dan rumah si tante (yang sudah bukan si tante).

Lebih kaget lagi setelah sadar bahwa si gadis tidak berb*sana.

Di bawah pudaran lampu jalan, si gadis kecil masih mengunyah apel sementara tangannya meremas beberapa anggur. Aku masih terdiam dalam heran. Si gadis kini membasuh rambutnya dengan perasan anggur, rambutnya yang hitam panjang.

Tambak kaget aku setelah sadar bahwa noda hitam kemerahan juga menghiasi beberapa buah-buahan tersebut. Namun tampaknya si gadis tidak hirau. Mengesampingkan dua kekagetan tadi, aku berjalan semakin dekat ke si gadis dan buahnya. Aku berjongkok di sebelahnya. Bisa kulihat bahwa si gadis ini memang masih kecil.

“Kandang anjing ingin keluar,” jawabnya setelah kutanya mengapa di sini bisa tiba-tiba ada buah dan mengapa ia duduk di sini tanpa busana. “Buah-buahan yang indah harus dimasukkan ke kandang, karena begitu yang kamu lakukan,” jawabnya sekali lagi atas pertanyaan keduaku tentang apakah si gadis masih perawan.

Ia mencium keningku.

Langsung kubuka pagar rumah si tante (yang sudah bukan si tante) dan mencari kandang anjingnya. Sreeeeng bunyi si kandang. Kini aku harus mencari cara agar si kandang mau mengikutiku keluar. Bagaimana ya? Akhirnya kuputuskan bahwa darah dari jempolku harus bisa menggiringnya.

Benar saja. Kini aku dan si gadis mengumpulkan buah-buahan ke dalam kandang anjing milik si tante (yang sudah bukan si tante), meski beberapa kusisakan untuk kumakan juga. Kami makan, lebih tepatnya. Aku dan si gadis. Kami salign menyuap daging buah dan lendir hitam kemerahan. Iya, salign, bukan saling, meski kupikir maksud jemariku adalah saling. Kutuliskan semua ini ke dalam cerita.

“Kamu suka makan buah. Aku.”

Mendengar omongannya, aku menghentikan kunyahan. Kami berdua, di tengah aspal sepi perumahan, saling berhadapan dengan sekandang buah indah dan ceceran buah ternoda. Teng dung beng. Aku terdiam mendengar suara yang… yang… ah itu dia! Pasti itu suara tiang listrik. Saking girangnya aku sampai melepehkan beberapa buah yang belum kutelan. Aku menoleh ke si gadis, yang berpandangan kosong, lalu tanpa peduli apapun kupeluk gadis itu. Lalu hujan.

Hujan reda. Pelukannya belum kulepaskan, dan baru kulepaskan setelah si gadis agak menggeliat terkejut. Mungkin tanganku salah sentuh.

Maka kulihat apa yang selama ini begitu membuatku penasaran. “Tiang listrik laiknya lingga,” sahut si gadis. “Berdentang akibat benturan. Lelaki sesal. Kamu.”

Aku?

Aku…

…yang kuingat adalah masa lalu. Ketika aku duduk di tengah jalan di malam hari dan kutatap tiang listrik, dan kulihat sesosok pria membenturkan kepalanya ke sana sesekali. Teng. Ketika ketika kusingkap tirai kamar di malam hari dan kulihat sesosok pria membenturkan kepalanya ke sana sesekali. Dung. Ketika ketika ketika sedang becermin di malam hari dan kulihat sesosok pria membenturkan kepalanya ke sana sesekali. Beng.

Tidak tahu aku apa maksudnya. Ia berdiri. Menghadap tiang listrik. Membenturkan kepalanya, dahinya, ke sana. Menahan dahinya sebentar, kemudian menarik menjauh. Lalu diulang.

Aku.

Masih kutekan dahiku ke tiang listrik tersebut. Belum mau kutarik menjauh. Belum mau kumulai siklus teng dung beng. Belum apa-apa, kurasakan si gadis memelukku dari belakang. “Ingatlah,” katanya. “Ingatlah apa yang kamu lakukan.”

Ingatan apa? Aku bahkan baru melihat si gadis malam ini. Oke, mungkin sudah beberapa bulan terakhir. Tapi apa hubunganku dengan gadis ini?

“Tidak ada,” jawabnya. “Tidak ada hubungan batin. Jasmani iya.”

Kuminta ia menjelaskan. Ia malah menggeleng—aku tahu karena kepalanya terkulai di pundakku—dan mempererat pelukan.

“Kamu harus ingat.”

Tapi aku tidak bisa ingat apa yang tidak kuingat.

“Bukankah sudah jelas? Pertanda apa lagi yang akan kamu ingkari?”

Aku tidak mungkin punya hubungan jasmani dengan gadis ini.

“Buah indah hasil pahatan jasmani. Kaumakan.”

Aku tidak mungkin memakan buah ternoda seandainya secarik gadis bug*l tidak memakannya penuh nafsu di tengah malam.

“Beberapa kausimpan di kandang anjing, yang tanpa kauketahui masih segar. Anjing.”

Tidak kumengerti kalimat barusan.

“Tiang listrik ini menjadi saksi ganas penyesalanmu. Ingatlah. Ingatlah. Pertanda apa lagi yang akan kamu ingkari?”
Dasar gadis hantu tengah malam! Sundal! Bocah kecil! Dada rata! Dasar nimfomaniak! Nimfet! Aku bukan budakmu, aku bukan peliharaanmu! Kaulah yang akan jadi peliharaanku, kumasukkan ke kandang anjing, lalu kubenturkan ke tiang listrik sampah sialan anjing ini!

…karena, mana mungkin?

Mana mungkin, ya kan? Mana mungkin aku pernah menyekap anak gadis depan rumah ketika rumah tersebut sepi. Mana mungkin mayatnya kusumpal di kandang anjing bersama dengan sisa-sisa anjing peliharaanya. Mana mungkin kumakan beberapa jeroan gadis kecil itu. Mana mungkin tiap tengah malam aku membenturkan kepala di tiang listrik sebagai bentuk penyesalan.

Ya kan?

“Mari ulang dari awal. Malam ini saja. Terakhir kali. Semoga kamu puas mengingat.”

***

Hari-hariku menjadi tidak biasa. Ketika bergadang malam, tidak lagi kudengar kerekan kandang anjing. Tidak lagi kudengar dentungan tiang listrik. Paling mengganggu dari semua adalah, tidak lagi kutemui sosok gadis kecil di sudut-sudut ruangan ataupun tempat yang sering mataku lupakan.

Aku ingin mengulang malam itu. Tapi untuk apa? Aku tidak tahu mengapa ada keinginan seperti itu di pikiranku. Mungkin karena sudah terbiasa. Maria. Maria.

Kehidupanku jadi sangat biasa setelah malam itu. Aku kesal. Namun pada akhirnya aku jadi kebanjiran ide untuk menulis.

Ah ya, ini harus kumasukkan juga.[]

Penulis: Rea_Sekar

0 komentar