Thursday, November 15, 2012

Cerpen Horor: Elise


Gemakanlah dendang surgawi
Tarikanlah tarian kebahagiaan
Bunyikanlah seruling dan kecapi
Sebab jiwaku penuh
Melayang bak merpati melintas mega
Gembira di atas bumi
Bersama alam nan manis dan lembut
Membelai insan-insan dunia
Curahkanlah mata air sukacita
Sebab aku menangis dalam deritaku
Menang atas sengsara dan belenggu
Terlepas dari cengkeraman kebinasaan
Hingga sangkakala ‘kan dibunyikan

Entah aku harus apa, antara gembira dan sedih. Tapi lagu itu mengingatkanku pada dukacita seorang teman yang kehilangan belahan jiwanya. Hmm, kira-kira seperti itu. Mungkin aku terlalu puitis menggambarkannya, namun tidak ada kata yang tepat untuk menunjukkan kegalauan hati temanku itu.

Setiap hari ia selalu bermain piano. Enggan keluar rumah, bahkan menyapa seseorang terasa bagaikan siksaan dalam hidupnya. Ia menganggap berhubungan dekat dengan imajinasi merupakan pelarian terakhir dari kesedihan yang merajamnya. Aku ingat kata-kata terakhirnya saat di pemakaman beberapa hari lalu :

“Mungkin inilah akhirnya, aku memang ditakdirkan hidup sendiri.”

Sehari setelahnya, ia sudah berubah menjadi sosok yang berbalik arah.

Berkali-kali aku mengunjungi rumahnya, berharap ia mau menerimaku mengalahkan rasa sepinya. Namun semuanya sia-sia. Kunjungan pertama ia tidak merespon, kunjungan kedua ia tetap acuh tak acuh, dan kunjungan ketiga – karena tak tahan dengan segala perhatianku padanya – ia meneriakiku kemudian menekan tuts pianonya dengan kasar, menghasilkan suara sumbang yang membuat bulu kudukku berdiri. Jadi kuputuskan untuk berdiam diri menanti keajaiban agar sahabatku itu bisa kembali menjadi pribadinya yang dulu.

Ketika hendak melangkah pergi, telingaku mendengar nyanyian duka itu lagi.

Tapi yang ini terdengar lebih mengerikan dari sebelumnya. Aku yakin sekarang tubuhku menggigil akibat rasa takut yang melanda sekujur tubuhku. Setiap nadanya seakan menusuk batinku bagai belati. Pikiranku melayang tak keruan, rasanya seperti sesuatu sedang merasukiku,  mengacaukan pancainderaku dan menajamkannya. Spontan aku menutup kedua telinga. Gema alunan musik itu sekarang membuatku gila. Jika dibayangkan, aku seolah masuk ke dalam lubang neraka, siksa yang bertubi-tubi merajam jiwaku. Aku segera berlari menjauh dari kediaman temanku.

Aku memaksa kedua kakiku untuk terus berlari, dan melarangnya berhenti. Denyut lelah di lututku tak kuhiraukan. Perlahan otot-otot di kakiku menegang menagih untuk istirahat. Namun ketakutan menguasai akal sehatku. Kini jantungku berdetak semakin kencang, dan aku semakin panik. Bulir-bulir keringat menetes dari pelipis meluncur ke bawah, hal yang aneh sebab malam sedang berangin. Ketika melewati perempatan jalan yang letaknya lumayan jauh dari lagu setan itu, aku berhenti. Kucoba mengatur napas sambil memastikan tidak ada sesuatu yang akan muncul dan mencoba menakutiku. Sekilas kudapati diriku berada di jalan sendirian, ditemani rembulan yang bersinar penuh di balik punggungku. Bukannya merasa aman atau lega, bayang-bayang kekhawatiran menyelubungiku. Pundakku seperti dicengkeram sesuatu, sangat kuat. Aku berada dalam kekuasaan ketakutanku sendiri, begitu menyiksa.

Ditengah-tengah cobaan itu, sesosok putih muncul di depanku dan mendekat. Ia tak berwujud apa - apa sampai pada titik dimana kami berjarak cukup dekat, kemudian ia berubah sepenuhnya menjadi sosok yang dulu pernah kukenal.

Nathan…

Aku tersungkur ke tanah disertai rasa panik yang amat sangat. Ia tahu namaku, dan aku mengenalnya.

Nathan…

Namun aku tetap diam. Bisa jadi ia hantu gentayangan yang berpura-pura menjadi seseorang yang kukenal agar ia bisa menerorku. Lagipula aku baru pertama melihat penampakan sedekat ini.

Nathan…

“S-s-s-si-si-sii-sii-siapa k-k-kk-ka-kau?”

Suaraku bergetar hebat. Walau secara jelas aku mengenalnya, perkataan itulah yang hanya terpikirkan olehku.

Ia tidak merespon.

Sebaliknya, ia malah mendekat hingga jarak kami hanya tinggal beberapa inci.

“J-j-jjj-jjaa-jangan m-m-mm-mme-mendekat!”

Ia terus saja mendekatiku. Aku memalingkan wajah darinya dan menutup mata. Sekarang sekujur tubuhku gemetar, keringat mengucur deras di setiap pori-pori kulitku, seluruh ototku menegang menolak bergerak. Selama beberapa saat aku dilanda kecemasan. Kurasakan sensasi dingin menembus tubuhku, tapi aku tidak yakin apa itu sebab mataku masih terpejam. Lalu sedikit demi sedikit kubuka mataku untuk memastikan bahwa hantu itu hilang dari pandangan. Ketika kedua mataku terbuka seutuhnya …

Ia telah menghilang!

Hal yang kupikirkan selanjutnya adalah cepat-cepat menyingkir dari tempat itu. Aku lari terbirit-birit seraya menengok ke belakang. Begitu tiba di rumah, aku langsung mengunci pintu kamar kemudian meringkuk di kasur hingga tertidur.

Dua hari setelah peristiwa penampakan itu, hidupku secara total berubah sama sekali. Setiap kali merasakan sesuatu yang mencurigakan, aku berpaling ke segala arah, mengintip setiap sudut kalau-kalau aku kelewatan sesuatu yang mencurigkan. Itu terlihat sangat berlebihan, tapi harus kuakui bahwa kejadian buruk itu telah menciptakan semacam fobia dalam diriku, yang disebut spectrophobia.

Tapi hantu yang muncul menampakkan diri dalam penglihatanku tempo hari adalah seseorang yang semasa hidupnya kukenal dekat. Ia adalah saudari kandung Aeon, Armetha.

Tunggu dulu! Belum tentu hantu itu Armetha!

Mungkin dia hantu lain!

Menggoda ragaku!

Mengganggu jiwaku!

Aku yakin ia Armetha. Ia juga tahu namaku, dan sepertinya, ia begitu dingin dan sedih. Tunggu, kenapa aku langsung percaya? Tidak, tidak! Pasti ia dikirim dari alam baka untuk menakutiku. Dewa kematian ingin hidupku segera berakhir dengan teror gila yang menyiksa batinku. Bukan, bukan dia! Hantu hanya muncul bila urusannya di dunia belum selesai. Tapi apakah aku punya masalah terhadapnya?

Jangan!

Aku tidak mengharapkan hal tersebut menimpaku!

Sudah cukup aku dibuat pusing oleh masalah Aeon. Dan diganggu hantu? Bisa-bisa aku kehilangan kewarasan kalau begini.

Beranjak keluar rumah, seketika tekanan kuat melandaku. Lagi-lagi pancainderaku menajam sehingga dapat merasakan maya, yang kini kembali menghampiriku. Seluruh ototku menegang, atau membatu.

Apa lagi sekarang? Tak bisakah satu hari dalam hidupku dipenuhi ketenangan?

Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering musim gugur yang pasrah dihempas kesana kemari. Jantungku mulai menyesuaikan keadaan dan berdetak lumayan tenang meski tubuhku masih syok. Aku berjuang melawan siksa batin itu, mencoba menggerakkan setiap sendi yang seolah menolak perintah otak. Beberapa menit kemudian aku sudah bisa melangkah pelan-pelan, mengangkat tangan ke atas lalu ke bawah, menolehkan kepala ke segala arah, seraya menangkal semua kegalauan yang memenuhi benakku. Akhirnya aku terbebas sepenuhnya dari cengkeraman maut, menit-menit penuh teror dan siksa batin.

Ketika kakiku menginjak jalan setapak, tak sengaja aku menginjak selembar kertas. Kupungut kertas itu, yang kutaksir umurnya cukup tua sebab terdapat noda kuning dan bentuknya sudah lecek. Di situ aku mendapati tulisan tangan-tulisan itu memang ditulis menggunakan tangan – sehingga tulisannya membuat mataku pusing. Namun aku masih bisa mengeja huruf-hurufnya. Ada yang aneh dengan tulisan itu. Di kertas itu tertulis:

Gemakanlah dendang surgawi
Tarikanlah tarian kebahagiaanBunyikanlah seruling dan kecapi
Sebab jiwaku penuh
Melayang bak merpati melintas mega
Gembira di atas bumi
Bersama alam nan manis dan lembut
Membelai insan-insan dunia
Curahkanlah mata air sukacita
Sebab aku menangis dalam deritaku
Menang atas sengsara dan belenggu
Terlepas dari cengkeraman kebinasaan
Hingga sangkakala ‘kan dibunyikan

Ini adalah lirik lagu ciptaan Aeon!

Tapi bukan itu yang membuatnya aneh walau aku merasa ngeri membacanya. Tinta tulisan itu terlihat masih segar, belum kering sepenuhnya. Dan sebagian meleleh ke bawah hingga jatuh ke tanah. Keanehan lainnya, warna tinta itu tak lazim. Biasanya orang menulis menggunakan tinta hitam, tapi yang tertulis disini berwarna merah…

Darah?

Terbersit di pikiranku tentang Aeon. Tanpa sadar, kakiku berlari ke utara. Tujuanku berikutnya: Rumah Aeon.

Butuh waktu tiga menit untuk bisa sampai ke rumahnya. Aku berhenti tepat di depan pintu. Tanpa mengetuk atau berkata apapun, aku segera memutar gagang pintu lalu membukanya perlahan. Engsel pintu berdecit cukup keras, mestinya suara itu didengar oleh si pemilik rumah. Namun sepertinya keberuntungan berpihak padaku. Layaknya pencuri  (bukan berarti aku ini pencuri sungguhan), aku mengendap-endap masuk mengatur langkah kaki agar tidak menimbulkan suara.

Di ruang tamu, aku bisa melihat pemandangan mengerikan dengan jelas : pecahan kaca berserakan di lantai, darah menempel di dinding dan mengotorinya, ceceran noda hitam memenuhi lantai (yang menurutku itu darah kering), dan bau bangkai menyeruak memenuhi ruangan. Bau itu membuatku mual. Segera kulewati ruang tamu itu menuju kamar Aeon di lantai atas. Begitu kubuka pintu kamarnya…

“Membusuklah kau dalam neraka!”

Aeon berteriak dengan suara parau. Tubuhnya berlumuran darah, tangan kanannya menggenggam pisau perak yang juga terlumuri darah, serta sesosok mayat yang sudah membusuk cukup lama.

“Aeon, apa yang kau lakukan?” seruku tak percaya akan penglihatan itu.

Ia berdiri sambil membawa jantung milik si mayat, lalu menengadahkannya ke atas, “Ini adalah hukuman untuknya, hewan bengis nan keji yang membunuh sesamanya sendiri!” ia berkata parau namun buas.

Inikah sosok Aeon sebenarnya?

Ditinggal oleh adiknya membuatnya menjadi pembunuh berdarah dingin.

“Ada apa denganmu?” tanyaku lantang. ”Siapa mayat yang kaubunuh itu? Kenapa kau membunuhnya?” suaraku tertahan karena gelombang rasa tak percaya itu. “Kenapa kau jadi seperti ini?”

“Itu bukan urusanmu,” teriaknya. Seraya menunjuk mayat di belakangnya, ia berkata, “Ia pantas mendapat ganjaran yang setimpal. Ia harus jatuh ke neraka, setelah apa yang ia lakukan terhadap kami.“

Kami?

Apa mungkin, ia dengan…

“Ia wali paling buruk yang pernah kukenal,” lanjutnya. Suaranya melemah, ia menundukkan kepala. “Setiap hari kami bekerja hanya untuk memuaskan hobi berjudinya. Sebagai imbalan, kami mendapat pukulan, cambukan, caci maki, dan bentakan. Ia ingin kami menghasilkan uang banyak agar kami bisa tetap tinggal di rumahnya. Ia sungguh kejam, tak berperasaan dan berhati buas.”

Ia baru saja menjelaskan penyebab luka di tangan, kaki dan wajahnya yang selama ini disembunyikan dariku. Rahasia luka itu terkuak sudah.

“Suatu hari, aku berencana untuk keluar dari rumah terkutuk ini. Adikku takur kalau-kalau ia mengetahui aksi kami itu. Dan kekhawatirannya terjadi. Di saat kami hendak menghindari dari kejarannya, tangan besarnya menarik pakaian adikku. Lalu dengan pisau ini, pisau jahanam ini, ia membunuh adikku…, tepat di depan mataku!” Suaranya mulai meninggi. “Aku berusaha melawan, tapi ia terlalu kuat untukku. Lantas ia menangkapku dan mengurungku di ruang bawah tanah. Kejadian itu menumbuhkan kebencianku padanya. Aku menunggu saat tepat untuk balas dendam. Dan sekarang, aku telah berhasil membalas kematian adikku. IA PANTAS MATI SEPERTI INI!”

Kulihat wajahnya mengeras. Walinya mungkin kejam dan berhati buas, tapi ia lebih menakutkan dan lebih buas lagi.

“Kaulihat itu, adikku,” teriaknya sambil menatap ke langit-langit atap. “Aku berhasil membunuhnya. Kini beristirahatlah dengan tenang!”

Ditengah situasi menyeramkan itu, tiba-tiba tekanan batin yang menyiksa datang lagi. Tapi bukan aku saja yang merasakannya. Aeon juga ketakutan, terlihat jelas mimik kepanikan di wajahnya. Lalu jendela terbuka oleh hempasan angin kencang, menerbangkan tirai putih serta membawa masuk dedaunan ke dalam kamar. Kemudian di hadapanku (juga dihadapan Aeon) muncul sesosok hantu. Dia adalah Armetha.

“Armetha?” kata Aeon, saat pertama melihat hantu adiknya.

Armetha terdiam. Ia terlihat sedih dan kecewa.

Aku terpana menyaksikan peristiwa ini. Kakak beradik disatukan kembali, di dua dunia yang memisahkan mereka.

Kenapa kakak melakukan ini?

“Aku berhasil membunuhnya,” jawab Aeon. “Harusnya kau senang!”

Tidak, aku tidak merasa senang sedikitpun…
Aku kecewa kepadamu, kakak…

“Kenapa? Kenapa kau kecewa padaku? Kau tidak bisa mati dengan tenang karena masih punya urusan dengan setan itu. Sekarang aku telah membunuhnya, dan kau bisa ke alam baka tanpa beban. Harusnya kau senang!”

Armetha terdiam.

Tidak, aku tidak senang sedikitpun, kakak…
Aku masih disini bukan karena berurusan dnegan wali kita itu, tapi yang kuinginkan adalah… Aku ingin kakak keluar dari rumah ini, menjalani hidup layaknya manusia lainnya, dan hidup bahagia selamanya tanpa diganggu lagi oleh kesedihan dan ratapan…
Tapi, kakak malah membunuhnya…
Aku sangat kecewa terhadap kakak…
Aku akan mati dengan tenang seandainya kakak bisa hidup bahagia di dunia…
Namun kakak telah menghancurkan harapanku…
Aku benci kakak…

Kemudian Armetha menghilang.

Aeon merasa sangat terpukul. Ia tersungkur ke lantai sambil memukul-mukul dadanya berkali-kali. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia telah melakukan perbuatan diluar rasional. Ia merasa sangat bersalah.

Dua hari setelah insiden itu, ia dibawa ke kantor polisi kemudian dipenjara. Rasa sesal masih membayangi pikirannya, hingga ia merasa tersiksa dalam jeruji besi.

Aku duduk di teras rumah sambil memikirkan nasib kakak beradik itu. Mereka menempuh cobaan yang begitu berat semasa tinggal berasa wali mereka yang kejam, dan kini mereka dipisahkan untuk selamanya. Aku merenungi semua itu seraya menatap bulan nan sedih, memancarkan cahaya kuning sayu yang membuat suasana kian menyedihkan. Saat itulah hantu Armetha menampakkan diri dihadapanku, lalu menyerahkan selembar kertas usang kepadaku kemudian menghilang.

Itu adalah kertas berisi lirik lagu karangan Aeon.

Aku menyimpan kertas itu dalam buku catatanku, sebagai bukti cinta kakak kepada adiknya meski akhirnya mereka tidak menemukan arti kebahagiaan sejati di dunia ini.[]

Penulis: Erick

0 komentar