Thursday, November 15, 2012

Cerpen Horor: Namaku Rei...

Namaku Rei, aku adalah anak berusia 15 tahun yang hidup bersama dengan anak-anak jalanan di rumah kecil di bawah jembatan layang kota metropolitan yang megah. Untuk menyambung hidup aku bekerja di sebagai pengamen jalanan, aku mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membeli sesuap nasi. Secara fisik aku terlihat seperti anak jalanan lainnya yang berusia sama. Aku bertubuh tidak begitu tinggi, berkulit cokelat, bermata hitam, berambut agak merah, dan lain sebagainya, tetapi membedakan hanya satu aku memiliki sebuah kutukan yang membelengguku selama sejak aku berusia 12 tahun. Kutukan yang didapat dari ayah ibuku yang sudah pergi meninggalkan dunia ini karena usia dan sakit, padahal aku sangat menyayangi mereka berdua.

Angin malam berhembus sangat dingin malam ini, dinginnya hingga menusuk tulang belulangku. Nyamuk-nyamuk yang berterbangan di sekitar kepalaku terasa sangat bising di telingaku. Malam ini aku harus tidur di luar rumah karena aku kurang dalam memberikan jatah setoran hasil ngamenku kepada preman-preman penguasa kolong jembatan ini. Ingin rasanya aku membantai mereka, kemudian kubuang mayatnya ke rel kereta api agar terlindas kereta. Tapi aku tidak mau melakukannya karena preman-preman tersebut selalu mengancam akan menyiksa teman-temanku apabila aku melawannya.

Keesokan paginya.

“Byuuuurrr…” suara air tumpah.

Segayung air mengguyur tubuhku membuatku tersentak kaget dan sekaligus membuatku terbangun dari tidurku.

“AYO BANGUN ANAK SETAN!!!” teriak salah seorang preman sambil bertolak pinggang.

Dengan sedikit malas aku bangun dan berdiri lalu menatapnya dengan tajam, ingin rasanya aku menghajar mukanya yang jelek dan menyebalkan. Tapi lagi-lagi niat itu kuurungkan. Beberapa meter di belakangnya berdiri seorang gadis kecil berpakaian daster kumal dan Kedua tangannya yang mungil memegang sebuah okulele. Aku tersenyum melihatnya.

“PLAAAKKK!!” sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.

“Hei… kamu malah diam saja, cepat kerja. Dan bayaran kali ini harus 2x lipat lebih besar,” ucapnya.

“Ya,” jawabku singkat.

Kemudian aku pergi menghampiri gadis kecil tersebut, dan menyapanya.

“Hei, Mira. Hari ini kamu mau ngamen di mana?” tanyaku.

“Nggak tau kak, Mira juga bingung, mau di perempatan udah ada yang make, klo naik metromini, Mira masih takut kak,” ucapnya polos.

“Ikut kakak aja yuk, kita ngamen di kereta,” ucapku.

“Di kereta ?“ tanyanya.

“He eh, sekarang kan hari minggu pasti banyak penumpangnya,” ucapku sambil mengangguk-angguk.

“Tapi Mira takut kak, Mira kan belum pernah ngamen di kereta,” ucapnya.

“Tenang aja kan ada kakak,” ucapku sambil menepuk dada kiriku dengan tangan kananku.

Hari itu aku pergi mengamen di dalam kereta api bersama Mira, gadis kecil yang selama ini aku anggap sebagai adikku sendiri. Dan aku selalu menjaganya, membelanya dan menyayanginya. Kami berdua mengamen hingga sore dan saatnya untuk menghitung penghasilan kami.

“Seratus..dua ratus..tiga ratus… lima ratus…seribu..,” kami berdua menghitung-hitung.

“Kakak, klo di bagi dua hasilnya tetep kurang kak, gimana nih?” tanyanya.

“Ini ambil aja sebagian punya kakak,” ucapku sambil memberikan sebagian storan miliku.

“Nggak ah kak, nanti kakak tidur di luar lagi,” ucapnya.

“Tenang aja, nggak apa-apa kok,” ucapku menenangkannya.

Dengan storan yang seadanya, aku dan Mira pulang ke rumah tempat kami berkumpul. Saat aku tiba di sana ternyata anak-anak lain sudah berkumpul di halaman rumah menunggu para preman tersebut keluar dari rumah. Tak lama preman yang biasa menagih storan kamipun keluar dari rumah, tapi di temani oleh seseorang pria berpakaian bagus, tubuhnya tegap dan berisi, rambutnya tersisir rapih, serta memakai kaca mata hitam. Dia membuka kaca matanya dan terlihatlah wajahnya yang tampan dan bersih, kemudian dia menoleh kearah kami semua dan tatapannya berhenti kearahku dan Mira. Lalu dia berbisik kepada preman yang biasa menagih setoran, Preman tersebut mengangguk-angguk saat orang itu membisikinya. Aku tidak tahu apa yang di bisiki kepadanya, tapi aku merasa hal yang buruk akan terjadi padaku dan Mira. Kemudian orang tersebut pergi meninggalkan tempat kami semua, dan penagihan storanpun di mulai. Satu persatu memberikan storannya, ada yang mendapatkan senyuman dan ada juga yang mendapatkan tamparan. Dan saat aku hendak memberikan storan, Mira menarikku mundur.

“Biar ma Mira aja kak, Mira nggak mau kakak kena marah lagi,” ucapnya.

Aku hanya tersenyum saat Mira mengambil hasil ngamenku dan memberikannya pada preman tersebut. Dan ternyata benar saja aku dan Mira tidak terkena marah ataupun tamparan yang menyakitkan tapi sebaliknya si preman malah memberikan dua bungkus nasi untukku dan Mira. Mira berlari menghampiriku dengan senang sekali, serta mengajakku untuk makan bersamanya. Menurutku hari itu adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku. Dan saat malam tiba aku bisa tidur di dalam rumah dengan nyaman tanpa gangguan nyamuk-nyamuk yang melayang-layang di sekitar kepalaku.

Keesokan paginya aku bangun pagi sekali, bermaksud untuk membangunkan Mira. Tapi Mira tidak ada di tempat tidurnya, padahal semalam sebelum aku tidur aku melihatnya tidur di tempat itu. Aku mencoba mencari-cari keluar rumah tetapi tidak pernah ku temukan. Satu hari, dua hari, tiga hari, sampai satu minggu aku tidak juga kunjung menemukannya, aku sudah bertanya kepada para preman dan anak jalanan lainnya tapi mereka tidak ada yang tahu. Ini aneh sangat aneh sejak hilangnya Mira storanku selalu cukup bahkan lebih sampai-sampai aku bisa menyimpannya sebagian di suatu tempat yang tentu saja tidak di ketahui siapapun. Hingga pada suatu malam aku tidak bisa tidur, aku hanya bisa berbaring saja melepas lelah. Suasana begitu hening, yang terdengar hanya deru kendaraan yang sekali-kali melintas di jembatan layang di atas rumah kami. Saat aku sedang melamun tiba-tiba aku mendengar suara tangisan dari luar rumah.

“Siapa yang menangis malam-malam begini?” tanyaku dalam hati.

Aku dengarkan baik-baik suara tangisan tersebut dan aku sangat terkejut, karena itu suara tangisan Mira. Aku langsung bergegas keluar dari rumah, aku lihat sekeliling tapi tidak ada siapapun. Aku berjalan menjauhi rumah mencari sumber tangisan tersebut. Dan saat aku sampai di sebuah tiang penyangga jembatan layang aku melihat seorang gadis kecil sedang berjongkok.

“Mira…,” panggilku pelan.

Gadis itu tidak menoleh, terus saja berjongkok dan menagis. Ku beranikan diri menyentuh pundaknya.

“Mira?” panggiku kembali sambil menyentuh pundaknya.

Dan saat gadis itu menoleh kearahku, aku langsung melompat mundur dan terjatuh. Wajah gadis itu hancur, matanya tidak ada, mulutnya tengkorak, hidungnya tidak ada yang ada hanya besar di tengah wajahnya serta darah segar masih mengucur dari wajahnya yang hancur. Gadis itu berdiri menghampiriku, dan aku bergerak mundur menjauhinya. Benar-benar mengerikan, bajunya copang-samping dengan banyak darah di bajunya. Aku hendak berlari tapi sesuatu menahan kakiku untuk berdiri dan berlari.

“Ka… ka… to… long… Mi... ra…,” gadis itu mengeluarkan suara yang serak dan memilukan.

“Mi… mi.. ra,” aku berkata dengan terbata-bata.

“Ka..ka.. to..long…sa…kkiiitt…,” ucapnya lagi.

Dengan mendengar penderitaannya, rasa takutku menjadi hilang, yang ada adalah rasa kasihan dan rasa bersalah karena aku telah gagal melindunginya. Aku memeluknya, tidak peduli betapa mengerikannya dan menakutkannya Mira sekarang.

“Mira apa yang terjadi denganmu ?,” tanyaku.

Kemudian dia memegang keningku, dan “Wuuuuuzzzzzzzzzzzzz…………” tiba-tiba saja aku kembali ke dalam rumah. Aku sedikit bingung, kemudian melihat sekeliling. Aku tersentak kaget saat kulihat diriku sedang tidur di sebelahku.

“HAH !!!, ini…,” ucapanku terputus.

Aku menyadari kejadian ini adalah kejadian di mana Mira menghilang, aku langsung bergegas masuk kedalam kamar Mira. Kulihat para preman membekamnya dengan sebuah sapu tangan.

“MIIIIRAAAAAAAAA…….!!!” Aku berteriak lalu menerjang preman-preman itu, tapi tubuhku menembusnya.

“Apa !?,” aku heran sendiri. Sambil ku perhatikan kedua tanganku.

“Apa ini, aku…aku….,” ucapanku terhenti saat preman-preman itu menggedong Mira dan membawanya keluar rumah melewati tubuhku yang hanya bayangan.

Aku mengikuti di belakangnya, preman-preman itu menuju sebuah mobil sedan merah yang bagus. Dari dalam mobil itu keluar seseorang berkaca mata hitam. Pria yang aku lihat saat melakukan storan dengan Mira. Preman-preman itu menaruh Mira di dalam mobil tersebut, kemudian pria berkaca mata hitam memberikan amplop berwarna coklat kepada preman-preman tersebut. Lalu pergi masuk kedalam mobil dan pergi membawa Mira. Sesaat pandanganku menjadi gelap lalu kembali terang, kali ini aku berada di belakang sebuah gedung rumah sakit. Aku melihat pria berkaca mata tersebut menggendong Mira keluar dari mobilnya dan membawanya masuk ke dalam gedung. Aku mengikuti pria tersebut sampai pria tersebut berhenti di sebuah ruangan tanpa nama. Sebelum masuk pria tersebut menengok kekiri dan kekanan lalu masuk kedalam ruangan tersebut. Dan aku masih terus mengikutinya, di dalam ruangan tersebut terlihat sebuah meja yang terbuat besi dan lampu besar di atasnya. Kemudian pria tersebut membaringkan Mira di meja tersebut lalu pergi ke sebuah ruangan. Aku memperhatikan ruangan tersebut, ku temukan sebuah rak berisi botol-botol berbagai macam ukuran. Saat aku pehatikan botol-botol itu dari dekat, aku langsung merasa mual dan ingin muntah.

“HUEEEKKK….Gila… !!!” ucapku sambil memegang mulutku dengan kedua tanganku.

Botol-botol tersebut berisi organ-organ tubuh manusia, seperti mata, otak, jantung, terlinga, lidah, kulit wajah, hati, dan lain sebagainya. Dalam keadaan yang masih mual, pria tersebut keluar dari ruangannya, dia mengenakan pakaian seperti dokter bedah, bermasker, bersarung tangan karet, baju khusus bedah dan membawa pisau bedah. Tak lama terjadi hal mengerikan di hadapanku, aku melihat pria itu melakukannya sambil tertawa-tawa.

“TIDAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKK…………….!!!!!” Aku berteriak dan semuanya langsung menjauh, menjauh dan menjauh sampai…

“Hah !...hah…hah…” aku kembali ke tempatku bertemu dengan arwah Mira. Aku kembali melihat sekeliling tak ada Mira di tempat itu, kulihat langit suasana masih malam dan dingin. Tubuhku menggigil, dadaku sakit, jantungku berdekup kencang seolah-olah ingin keluar dari dadaku, kepalaku pening, semua terasa berputar, aku berbaring di tanah sambil memegang dadaku.

“Ah…ahhh… tidak… kutukan ini…..AAAHHHKKK…Aahhhkkk…” aku berteriak kesakitan. Dan semua menjadi gelap.

Berlahan kubuka mataku, semua pandangan menjadi berwarna merah darah. Kemudian aku berdiri dan tersenyum seperti setan.

“Ha..ha…ha..HA..HA..HA..HA..HA,” aku tertawa panjang, lalu berjalan menuju rumah tempatku tidur.

Didalam aku mengambil sebuah sapu kayu, lalu mematahkannya menjadi runcing. Dengan sebuah kayu runcing di tanganku, aku berjalan menuju sebuah ruangan tempat preman-preman tersebut tidur. Kulihat wajah-wajah menyebalkan mereka sedang tertidur dengan pulasnya. Aku terseyum lalu kupegang erat kayu runcing di tanganku dan “Creeeeebbbbbb……” kutusukan kayu runcing itu ke mulutnya, preman yang sedang tidur itupun langsung terbelalak matanya dan meronta-ronta kesakitan. Akibat rontaannya itu preman yang lainnya ikut terbangun, dengan cepat aku langsung mencabut kayu runcing tersebut dari mulutnya dan menusukan ke leher preman yang pertama kali bangun, darah langsung tersebur dari lehernya. Seorang preman langsung menendangku hingga jatuh lalu mengambil botol kosong di sampingnya dan “Praaanggg….” Botol itu di pukulkan kekepalaku hingga pecah. Tak hanya sampai di situ pecahan botol tadi langsung di tusukan ke perutku lalu di lepaskannya.

“HE..HE..HE..HE..HE…,” aku tertawa terkehkeh. Sambil mencabut pecahan botol yang menancap di perutku.

Kemudian aku mengambil sebuah serpihan botol yang agak besar, aku berdiri sambil melihat tajam ke arah preman yang masih berdiri tersebut, wajahnya sangat ketakutan, tubuhnya berkeringat dan gemetaran itu membuatku tersenyum lebar dan “Sreeetttt…..” tanpa terlihat oleh mata serpihan kaca botol di tanganku sudah bersimbah darah. Preman di hadapanku langsung tersedak dan memegang lehernya dengan kedua tangannya, darah segarpun keluar dari sela-sela jarinya lalu jatuh tersungkur di kakiku. Kini lantai ruangan ini berubah menjadi kolam darah, aku tersenyum dan tertawa lebar. Aku menoleh kearah pintu masuk, kulihat anak-anak jalanan lainnya berkumpul melihatku dengan ngeri. Aku ambil sebuah telepon genggam yang tergeletak di sebuah meja. Aku tekan empat buah tombol dan mulai menelpon.

“Halo, polisi…, telah di temukan tiga orang mayat preman di daerah jembatan layang dekat….. harap segera datang,” ucapku.

Aku tersenyum pada anak-anak jalanan lainnya, lalu mendekatinya. Tapi semuanya langsung berlari ketakutan dan aku hanya tersenyum melihatnya, aku ambil sebuah selimut berwarna coklat yang sudah robek di mana-mana lalu pergi meninggalkan rumah itu menuju tempat dimana Mira tewas dengan tragis. Aku berjalan dan terus berjalan tak ku pedulikan orang-orang yang melihatku dan jejak darah dari sendal yang kupakai. Mungkin orang mengira aku mabuk, atau seorang pecandu narkotika, atau apalah aku tidak peduli, orang-orang melihatku dengan ngeri dan berbisik-bisik. Hingga hari memasuki malam akhirnya aku tiba di depan rumah sakit di mana pria berkaca mata hitam tersebut membunuh adikku Mira. Aku mencari jalan untuk menyusup masuk kedalam rumah sakit tersebut, aku mengelilingi gedung rumah sakit tersebut dan kutemukan sebuah tembok besar dan tinggi kira-kira 20 meter di belakang gedung rumah sakit. Tapi dalam keadaan seperti ini tembok setinggi apapun sangat mudah aku lewati.

Dalam waktu singkat aku sudah berhasil masuk kedalam area belakang rumah sakit. Aku mengendap-endap mendekati pintu belakang rumah sakit, saat aku hendak membukanya ternyata pintunya terkunci. Lalu aku tarik pintu tersebut hingga kuncinya rusak dan hancur, akupun langsung masuk kedalam. Hawa dingin langsung terasa di dalam ruangan tersebut, kutukan yang kuderita semakin bertambah kuat. Suara-suara anehpun mulai terdengar….

“Toloooooongg….,” suaranya sangat lembut terdengar.

“Matakuuuu…,”

“Kembalikan tubuhkuuuu….”

“Ibuuuuu… aku takut…”

“Kaaakaaakkkk….,”

Suara-suara itu bergema di kepalaku dan kulihat hantu-hantu anak kecil bergentanyan di lorong ruangan ini. Ada yang menangis, ada yang berlari-lari, ada yang berjongkok diam, dan Mira berada di sampingku memegang tanganku yang berlumuran darah yang sudah kering. Aku menatap wajahnya yang sudah tidak berbentuk.

“Jiwamu akan tenang sesaat lagi, Mira,” ucapku sambil membelai arwah Mira.

“Drep..dreep..drep…” terdengar suara langkah kaki bergema memenuhi ruangan.

Arwah anak-anak tersebut langsung berterbangan menembus atap dan tembok koridor kecuali arwah Mira yang masih ada di sampingku. Aku sendiri langsung bersembunyi di balik sebuah pintu tempat penyimpanan alat-alat kebersihan. Aku intip dari balik pintu siapa yang datang, ternyata yang datang adalah pria yang telah membunuh Mira. Pria tersebut masuk kedalam ruangan yang waktu itu aku lihat, ruangan yang penuh dengan organ-oragan tubuh yang di awetkan dalam botol. Dengan cepat aku langsung mendobrak masuk kedalam ruangan tersebut bermaksud membuatnya terkejut. Tapi ternyata di luar dugaan pria tersebut tidak terkejut sama sekali.

“Ha..ha…ha…ha…ha…, sudah kuduga kau akan datang,” ucapnya.

“KAUUUU… RASAKAN INI…. !!!!” aku berteriak padanya. Dan aku langsung menerjangnya.

Tapi dengan mudah dia menghajarku hingga aku terjungkal kebelakang. Pria tersebut mendekatiku, kedua tangannya di masukan kesaku celananya.

“Kau pikir kau bisa mengalahkanku,” ucapnya.

“Uhuk…uhukkk.. si..siapa…kau sebenarnya ?,” aku terbatuk-batuk, akibat serangannya.

“Apa kau tidak mengenalku ?, lihat baik-baik wajahku,” ucapnya sambil mendekatkan wajahnya pada wajahku.

Mataku langsung terbelalak kaget.

“TIIIIDAAAAAAKKKKK…. MUNGKIIIIINNNNN…..!!!!, siapa kau sebenarnya ?,” aku berteriak seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat.

“Ha..ha…ha,…ha,…ha… Apa kau kaget ?, kau kaget melihat ayahmu sendiri HAAAAAhhhhh!!,” ucapnya sambil memegang keningnya dengan tangan kirinya.

“TIIIDAKKKK… TIIIDAAAKKK… Ayahku tidak seperti ini, ayahku sudah mati..,” teriakku.

“Kau pikir dari mana kau dapatkan kutukan itu ?, usiamu akan tetap bertambah dan menjadi tua, tapi kau tidak akan bisa mati… satu-satunya cara dengan memakan organ tubuh anak-anak untuk memperbaiki tubuh kita yang rusak,” ucapnya.

“TIDAAAAAAKKKKKK… aku tidak akan pernah melakukan itu,” ucapku.

“Itu sudah takdir kita anakku,” balasnya sambil mendekatiku.

Dengan cepat aku langsung menghajar wajahnya, hingga dia terpental menabrak meja bedah. Aku berjalan cepat menghampirinya sambil menyambar pisau bedah yang berada di atas meja. Dengan cepat sekali aku menyabet-nyabetkan pisau bedah itu ke seluruh tubuhnya hingga darahnya tercecer dan menyembur ke segala arah. Aku terus meyabet dan menusuknya dengan penuh kebencian dan amarah, sampai sebuah cengkraman keras mencengram punggungku dan meleparku ke samping hingga menjebol sebuah pintu. Tubuhku terasa sakit sekali saat, aku melihat sekeliling, ruangan ini terasa sangat dingin sekali seperti ruangan pendingin. Di sekelilingku berjejer mayat anak-anak kecil yang sudah membeku dan kondisinya sangat mengenaskan, wajahnya hilang, dan tubuhnya berlubang tanpa organ apapun di dalamnya. Rasanya ingin muntah melihat hal mengerikan seperti itu, dan aku semakin terkejut saat membalikan tubuhku, ternyata pria yang mengaku ayahku sudah berdiri di belakangku.

“Hai Boy, kau akan segera bergabung dengan mereka,” ucapnya sambil mendorong tubuhku kedinding.

Kemudian mulutnya berkomat-kamit seperti membacakan sesuatu, saat mulutnya berkomat-kamit tubuhku terasa sangat panas sekali seperti terbakar. Aku berteriak keras.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA…………..” aku berteriak membuat seisi ruangan tersebut bergetar seperti terkena gempa bumi.

“Hahaha.. kau ingin kutukan ini hilang kan, aku akan mengambilnya,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

“TIIIIDAAAAAAAAAKKKKK……. HEEENNNNTIIIIKKKAAAAANNN….,” teriakku.

Berlahan-lahan tubuhku menjadi sangat lemas sekali, hingga untuk membuka matapun terasa sangat berat dan sulit sekali. Dalam keadaan setengah sadar aku melihat sekelilingku banyak bayangan berkelebat di sekeliling tubuh pria yang mengaku ayahku.

“Kaka…” sebuah suara lembut terdengar di telingaku.

Dan tiba-tiba saja pria yang mengaku ayahku itu melepaskan pegangannya dan berjalan mundur menjauhiku. Aku menjadi bingung dengan apa yang kulihat pria tersebut terus mundur menjauhiku seperti ketakutan.

“Ke..ke..na..pa… a..ak..aku ?,” ucapannya terputus-putus seperti orang ketakutan.

Lalu dari tembok tempat aku tersandar muncul bayangan-bayangan berkelebat dengan cepat menerjang ke arah pria tersebut dan berputar-putar mengelilinginya. Suara-suara anak kecil terdengar menggema di sekeliling ruangan tersebut.

“Ayo dokter kita bermain…”

“Iya.. kita bermain bedah…”

“Ayo…”

“ayoo…”

“Hi..hi..hi…hi…hi…hi..hii…”

“HENTIKAN, DIAM KALIAN SEMUA, KALIAN SUDAH MATI,” pria tersebut berteriak-teriak dan berputar-putar tidak karuan.

Sampai terakhir sebuah bayangan hitam pekat muncul dari langit-langit, bayangan yang menakutkan dengan mata berwarna merah terang dan seluruh tubuhnya seperti sebuah jubah besar berwarna hitam pekat melayang ke belakan pria tersebut. Kemudian tangannya yang hitam dan tajam seperti kuku mencengkram kepala pria tersebut dan….

“ARKK.AARRKK..AARRKK..ARK..ARK…..,” pria tersebut mengerluarkan suara seperti orang tercekik.

Kemudian bayangan hitam tersebut melesat terbang menembus langit-langit diikuti oleh bayangan-bayangan putih yang tadi mengelilingi si pria. Bersamaan dengan itu pria yang berdiri di hadapanku langsung ambruk ke lantai yang dingin. Aku sendiri masih diam terpaku dengan apa yang baru saja terjadi sampai arwah Mira datang mendekatiku dengan wajah yang tidak mengerikan dan menakutkan.

“Terima Kasih kakak,” ucapnya lembut sambil tersenyum dan terbang perlahan.

Aku langsung bersandar di dinding kamar mayat tersebut melepas lelahku, tubuhku terasa sakit semua. Luka-luka yang aku derita tidak kunjung sembuh padahal saat kutukan itu bereaksi luka apapun yang aku derita akan langsung sembuh tapi kali ini tidak. Apakah itu artinya kutukan yang aku alami sudah hilang ?... aku bertanya pada diri sendiri sampai akhirnya tubuhku terasa melayang ke langit mengikuti Arwah Mira yang terbang di depanku tapi kemudian Arwah Mira berbalik dan terseyum.

“Mi..ra..,” ucapku. Mira tidak membalas ucapanku dia hanya melambaikan tangannya padaku dan aku semakin jauh darinya dan….

“Tit..tit…tit….tit..tit…,” sebuah suara terdengar di telingaku.

Aku mencoba membuka mataku, kulihat langit-langit berwana putih bersih. Aku mencoba untuk bangkit tapi “Uhhkkk..” tubuhku terasa sakit semua.

“Ah anda sudah sadar Tuan,” sebuah suara pria terdengar dari sampingku.

“Si..siapa ?,” tanyaku.

“Aku adalah pelayan tuan,” jawabnya.

“Apa pelayanku ?,” tanyaku dengan heran.

“Ya, secara resmi dan hukum yang berlaku di negara ini sekarang Tuan Rei adalah Majikanku,” jawabnya.

“Majikan ?, hukum ?, apa maksudnya ini ?, aku tidak mengerti, dan… ini… ini ada di mana ?,” jawabannya membuatku bingung dan membuatku bertanya kembali.

“Tuan berada di rumah sakit karena tubuh Tuan terluka sangat parah, dan sungguh suatu keajaiban tuan bisa selamat dan sadar,” ucapnya.

Dengan susah payah aku gerakan leherku ke samping di mana suara itu berasal, di sampingku duduk seorang pria tua dengan pakaian jas hitam rapi dan dasi berbentuk pita mengikat di kerah bajunya. Dia mendekatiku dan berkata,

“Jangan banyak bergerak dulu Tuan, nanti luka Tuan terbuka kembali,”

“Mi..ra..dan anak-anak itu bagaimana ?,” tanyaku dengan lirih.

“Mereka semua sudah di urus dan di makamkan dengan layak,”jawabnya.

“Syukurlah,” ucapku lega. Dan akupun kembali tidur.

Dua minggu kemudian aku sudah keluar dari rumah sakit dan bisa beraktivitas seperti biasanya. Dan sekarang aku bukanlah anak jalanan lagi yang biasa mengamen di kereta atau di perempatan tapi sekarang aku adalah orang terkaya di kota ini. Aku mewarisi semua aset kekayaan ayahku yang mencoba ingin membunuhku, ya ternyata dia adalah ayahku yang sudah kembali muda dengan memakan organ-organ tubuh anak-anak untuk memperbaiki tubuhnya yang tua. Dan selama ini tak seorangpun tahu kecuali aku. Saat ini aku sedang berada di pemakaman umum untuk berziarah kemakam adik angkatku Mira, tapi saat aku tiba seorang wanita muda sedang berdoa sambil meletakan bunga di atas makam Mira.

“Maaf, kamu siapa?” tanyaku.

“Apa kau Rei?” wanita itu berbalik bertanya.

“Ya aku Rei, dan kau?” jawabku.

Wanita tersebut langsung berdiri dan memelukku.

“Ibu kangen sekali padamu Rei, ternyata kau sudah besar,” ucapnya sambil menangis.

Aku melepaskan pelukannya.

“Sepertinya banyak yang harus ibu ceritakan padaku,” ucapku sambil tersenyum.[]

Penulis: Centuryno

0 komentar