Pagi itu dokter memberi tahu bahwa kakek Marbuat, tetangganya, tak lama lagi meninggal dunia. Faktor usia yang sudah hampir 90 tahun plus berbagai penyakit membuat nyawanya tak mungkin tertolong.
Budiman sempat menjenguk sang kakek pada hari pertama dirawat di rumah sakit. Berada di ruang ICU, kondisi kakek Marbuat memang memprihatinkan. Sedikitnya empat alat bantu, termasuk selang infus terpasang di tubuhnya. Hanya gerak nafas yang masih menandakan bahwa sang kakek masih hidup.
Bapak dua anak itu percaya bahwa kakek Marbuat yang sudah sejak 10 tahun menjadi tetangganya tak mungkin sembuh seperti sedia kala. Dokter bilang, bila alat bantunya dicabut, maka dalam hitungan jam nyawanya akan melayang.
Makanya semua anak harus berada di rumah sakit pada detik-detik terakhir menjelang ajal kakek Marbuat. Sebagai tetangga terdekat, Budiman menawarkan diri untuk mengantar mereka ke rumah sakit. Tujuannya biar lebih cepat dan nggak repot dibanding naik angkutan umum. Apalagi sebagian anak kakek Marbuat datang dari luar Jakarta.
Meski percaya usia sang kakek takkan panjang lagi, Budiman sebenarnya tak percaya dengan prediksi dokter tentang kematian. “Soal kapan seseorang meninggal dunia hanya urusan Tuhan semata,” ucap Budiman yang diikuti anggukan istrinya.
Benar saja. Setelah sejumlah alat bantu dicabut, kondisi sang kakek malah membaik. Tekanan darah yang tadinya dibawah 40 mmhg menjadi 100 mmhg.
Memang hal itu tetap saja tak membuat kakek Marbuat sadar, apalagi diajak berkomunikasi. Yang pasti sejak itu ia masih bernafas hingga seminggu kemudian.
Dokter yang merawat sang kakek hanya geleng kepala. Prediksinya sebagai seorang dokter dengan jam terbang puluhan tahun kali ini meleset.
Belakangan diketahui bahwa sang kakek sudah lama mendalami ilmu kebatinan dan tingkatannya sudah master. Energi dari ilmu yang dipelajari itulah membuat ia menjadi sosok bukan manusia biasa.
Sebagian anaknya yang semula tak percaya, akhirnya menuruti aturan-aturan yang tak lazim untuk mengantar kepulangan sang ayah mereka ke alam baka. Misalnya seperti mencari daun pisang tertentu, beberapa jenis bunga, hingga mencari orang “pintar”.
Terakhir mereka berhasil memperoleh nomor telepon seseorang yang dianggap ilmu kebatinannya lebih tinggi dari kakek Marbuat. Cara-cara seperti itu terbukti cukup berhasil. Sang kakek meninggal dunia pada hari terakhir masa cuti anak-anaknya.
Saat itu semua anaknya masih kumpul. Masih bisa memandikan jasad kakek Marbuat dan mengantarnya ke liang lahat.
***
Budiman pun kembali disibukkan untuk membantu mempersiapkan prosesi pemakaman tetangganya itu. Pihak keluarga memutuskan kakek Marbuat akan dimakamkan di kampung halaman, di Jogyakarta, Jawa Tengah.
Budiman diajak untuk ikut mengantar jenazah sang kakek. Karena kesibukannya, ia minta maaf tak bisa ikut. Budiman lalu izin atasannya terlambat sampai ke kantor karena urusan sosial itu.
Dalam satu kesempatan Budiman mengobrol dengan sopir mobil ambulans yang akan mengantar jenazah kakek Marbuat ke Jawa. Pengalaman sopir itu ternyata sangat menarik bagi Budiman. Salah satunya adalah pengalaman dia mengantar jenazah seorang pria yang semasa hidupnya dikenal sakti.
Katanya mengantar mayat seperti itu kadang susah kadang mudah. Mungkin tergantung ilmunya selama hidup. Jika ilmunya ilmu hitam, mobil menjadi terasa lebih berat. Perjalanan jauh pun menjadi terasa lebih panjang.
Sebaliknya, jika jenazah yang dibawa adalah jenazah yang semasa hidupnya berilmu tinggi tapi bukan ilmu hitam, mobil yang dikemudikannya bisa terasa lebih ringan dan perjalanan menjadi lebih cepat.
Biasanya membawa jenazah seperti itu memang banyak kejutannya. Pernah sebuah kendaraan yang tak mau memberi jalan tiba-tiba bannya kempes. Atau pernah juga lampu rumah yang dituju padam tatkala mobil ambulans pembawa jenazah tiba di kampung halaman. Padahal tak ada pemadaman listrik.
“Percaya tak percaya, saya mengalaminya.” Sopir itu berucap serius.
Meski mungkin terkait, Budiman tak berminat menceritakan bahwa kakek Marbuat juga berkategori sakti seperti itu.
“Mungkin saja sopir itu sudah tahu tanpa harus saya menceritakannya.” Budiman menebak-nebak dalam hati.
***
Malam itu Budiman kembali menceritakan pengalaman si sopir kepada istrinya. Sang istri lalu mengenang sifat-sifat aneh sang kakek. Misal, ketika anak pertamanya sakit setelah disunat, kakek Marbuat datang dan meniup ubun-ubun anaknya agar cepat sembuh. Tak lama kemudian memang sembuh.
Kebiasaan sang kakek yang membiarkan rumahnya terbuka seolah membenarkan keanehan selama ini. Tak seperti rumah di kompleks itu pada umumnya, yang ditutup rapat bahkan dikunci saat malam tiba, rumah kakek tidak diapa-apakan.
Kaca jendela tanpa korden, apalagi teralis. Pagar juga dibiarkan selalu terbuka. Dari kejauhan saja bisa terlihat sebagian isi dari rumah kakek Marbuat.
Meski begitu rumah kakek aman-aman saja, tak pernah kecurian, apalagi dimasuki perampok. Justru rumah-rumah yang tertutup rapat yang pernah kemalingan.
Kata istri Budiman, di rumah sang kakek juga kerap tercium bau bunga dan kemenyan. Persis seperti aroma bau bunga malam itu yang menyebabkan ia beranjak masuk ke kamar tidur duluan. Kamar itu berada di lantai atas.
Budiman sendiri bertahan di meja komputer dengan alasan menyelesaikan tulisan. Ketika istrinya bertanya tulisan apa? Budiman menjawab tulisan fiksi horor untuk Kompasiana.
Baru lima menit ditinggal istri, tiba-tiba saja lampu penerang ruangan tempat ia bekerja padam. Budiman terkejut. Hatinya berdesir. Ia berusaha tak mengaitkannya lampu mati itu dengan kesaktian kakek Marbuat.
Setelah mengecek saklarnya, ternyata lampu itu bisa hidup lagi. Ia berkesimpulan sementara bahwa lampu itu memang waktunya diganti karena sudah lama.
Baru beberapa menit duduk, giliran televisi yang biasa ikut menemani membuat tulisan di kala malam yang tiba-tiba padam. Bulu kuduk Budiman segera merinding. Saat itu juga ia memilih mematikan komputer, dan lupa melakukan save tulisannya.
Ia seolah baru ingat bahwa malam itu malam pertama kematian sang kakek. Pikirnya, mungkin saja rohnya masih gentayangan, apalagi ia termasuk sakti
Di kamar tidur sang istri yang masih terjaga kaget. Ia spontan bertanya apakah tulisannya sudah selesai. Budiman mengiyakannya tanpa bercerita bahwa ia baru memperoleh pengalaman serupa seperti yang dialami sopir ambulans pengantar jenazah.
Penulis: Wito Karyono | Kompasiana | Pic
0 komentar