Monday, October 8, 2012

Cerpen Horor: Kau Bukan Dia!

19:30, setelah selesai rapat di kantor, aku bergegas pulang menuju rumah. Seperti biasanya, angkot hijau no 07 jurusan Cibinong, menjadi langgananku setiap pulang kerja. Tak terlalu berdesakan sepertinya sore ini, mungkin hujan yang mengguyur kota Bogor sejak siang tadi, membuat orang-orang enggan untuk keluar rumah. Angkot melaju dengan pelan, diiringi suara petir dan rebas air hujan yang jatuh bersahutan diatas diatap angkot yang aku tumpangi, yang membawaku menuju pulang ke Cibinong.

“Mau pulang kemana pak?” tanya sopir padaku.

“Saya pulang ke Babakan Cibinong pak” sahutku, sambil menutup kaca angkot yang terbuka.

“Sepertinya, saya tidak bisa mengantarkan bapak sampai ke Cibinong.”

“Memangnya kenapa pak?” jawabku.

“Ada genang air besar setelah perempatan jalan didepan sana, mungkin luapan air dari kali Ciliwung” jawab pak sopir, sambil memperlambat laju, lalu menghentikan mobil tepat didepan sebuah toko yang sudah tutup.

Setelah membayar ongkos mobil, sejenak aku berteduh di emperan toko, sambil mencari Handphone yang aku simpan didalam tas. “bangsattt.. Lowbat ternyata!” aku mengumpat, sambil mencoba berusaha menghidupkan kembali Hp yang sudah Lowbat tersebut. Sepertinya malam ini kota Cibinong mati suri, areal bertokoan yang berjejer sepanjang jalan R.E Martadinata sepertinya sudah tutup semua. Terpaksa aku harus berjalan kaki sepanjang 1 kilometer menuju pulang ke rumah. ”Duaaarrrr….” Kilat menyambar yang di iringi suara halilintar, serasa jiwaku hilang untuk beberapa saat, dan setelah aku sadar, Cibinong sudah terkubur dalam kegelapan.

Aku coba mempercepat ritme jalanku, walau terkadang kakiku terjerembab  kedalam jalan yang berlubang. Malam ini Cibinong terkena aliran (Mati lampu), sehingga membuatku tersesat dan membawa-ku menuju ke sebuah perempatan jalan yang belum pernah aku lihat.

“Mau kemana kisanak?” Terdengar suara  seseorang di belakangku sambil menepuk pundak.

“Mau ke  Babakan Cibinong pak” jawabku, sambil mencoba menoleh kebelakang.

“Plakkk… ” sebuah hantaman keras, bersarang dipundaku. Sebelum aku sempat melihat orang yang memukulku, aku sudah tak sadarkan diri.

***

“Bangun mas sudah pagi” samar-samar terdengar suara perempuan membangunkanku.

Aku mencoba membuka mata, walau kantuk sebenarnya masih kuat mendekapku.

“Dimana aku?” tanyaku ketika melihat sebuah ruangan asing, dengan berbagai macam ornamen dan lukisan abstrak, serta wewangian melati yang menusuk hidungku.

“Kamu dirumahmu mas, masa kamu lupa” jawab perempuan itu, di balik sebuah sekat pembatas kamar yang terbuat dari kain berwarna putih.

Terlihat siluet tubuh perempuan dibalik kain pembatas itu, sebuah siluet dengan rambut panjang terurai, serta pinggul yang membentuk bodi guitar.

“Aku Laras mas, Larasati, apa mas sudah lupa? sambil membuka tirai pembatas, perempuan itu keluar dan menghampiriku.

Betapa kaget aku, ketika melihat dengan jelas, sosok perempuan muda dan cantik, berkulit kuning langsat, dengan rambut panjang terurai, serta lesung pipit yang membuatnya  tidak asing bagiku. Rambut yang dibiarkan terurai, dengan poni di bagian depannya, membuatku terpaksa harus memutar balik lagi memori hidupku, ketika lima tahun yang lalu.

“Larasati, bukankah kamu sudah meninggal lima tahun yang lalu?” tanyaku.

“Ia mas, namun aku tidak tenang dialam sana mas” jawabnya, sambil berjalan menghampiriku.

“Maksud kamu?” tanyaku lagi, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini.

“Aku mencintaimu mas, dan cinta serta hasratku ini membuatku tak bisa mati dengan tenang”

Dalam keadaan yang masih bingung dengan apa yang terjadi di depan mataku ini, tiba-tiba sebuah kecupan dingin sudah bersarang dan membalut bibirku yang kering.

“Untuk bisa mati dengan tenang, aku harus menunaikan hasrat dan cintaku yang tak trucap” ujar laras, sambil menatap mataku dengan tajam.

“Maksud kamu laras?” tanyaku

“Aku akan mati dengan tenang, apabila malam ini mas bisa memenuhi hasrat arwah perawan yang penasaram ini!”

“Aku tak bisa melakukan itu, aku sudah punya anak istri sekarang” jawabku.

“Apa mas sudah tak mencintai aku lagi sekarang?” ucapnya, sambil kembali membalut bibirku dengan liarnya.

Belum sempat aku bertanya,   Laras sudah mendekapku dengan erat, bahkan kini ia mencoba melucuti pakian yang kukenakan. Dalam keadaan yang masih belum kumengerti ini, aku memejamkan mataku lalu entah kenapa aku teringat istri dan anaku “Dewi istriku, Putri anaku. Maafkan Papah”.

Duarrr..  Suara petir kembali terdengar. Samar-samar terdengar suara tangisan, makin lama makin jelas terdengar di telingaku. Terdengar bait-bait suci alquran dan suara tangisan anak kecil yang suaranya tak asing ditelingaku “papa… papa… jangan tinggalkan putri, putri sayang sama papa”. Aku berusaha membuka mata kembali, perlahan-lahan aku berusaha membuka mataku. Pertamakali yang kulihat sosok anak kecil yang menangis disampingku, lalu istriku dengan memakai kerudung hitam bersimbah air mata. Ketika aku mencoba bangun, baru kusadari ternyata tubuhku sudah ter-lilit kain kafan putih dalam keranda mayat, disamping lubang yang siap menguburku. [nd]

Penulis: Odang Rodiana | Kompasiana | Pic

0 komentar