Tubuhku remuk. Sulit sekali untuk digerakkan. Kehitaman ini sungguh menyesatkanku, sekedar untuk tahu dimana letak tangan dan kakiku. Hanya pada borok bernanah di tempurung lututku yang terbuka menganga, serta bau busuknya tepat menempel di mulut, membuatku yakin, aku tengah meringkuk mirip janin dalam kolam ketubannya. Inikah lahat, liang sempit dan gelap yang menjadi tujuan akhir dari hidup manusia di dunia ?
Butuh waktu, untuk tersadar bahwa ini bukan lahat sebenar lahat. Ini sebentuk lubang vertikal, hampa udara dan cahaya. Pengap dan sangat bau tanah bercampur amis dan anyir dari sesuatu yang membusuk, tajam menusuk hidung bonyokku.
Ada sesuatu yang terasa empuk −terlampau empuk bahkan− di bokong dan punggungku yang bertulang belakang remuk. Benda apakah tempatku duduk dan bersandar ini ? Namun gelap dan hitam −sekali lagi− enggan benar beri ku jawaban. Sempat ku meraba, sesuatu yang lebih keras dan terasa rambut menjuntai daripadanya. Kepala ? Lalu kucoba membandingkannya dengan bentuk kepalaku sendiri, walau sulit rasanya dengan fiturnya yang tak lagi sempurna dalam kepungan gelap yang menggulita. Namun, ya! ini benar kepala ! Kepala manusia !
Amboi, ternyata aku tidak sendiri. Ada teman-teman yang mengitari, menemaniku di lubang sempit penuh jelaga hitam ini. Depan belakang, kiri dan kanan, atas juga bawah… aku benar tak sendiri. Aku sempat mensyukuri dengan hati yang terasa nyeri, karena kesendirian selamanya adalah hal yang paling kubenci.
Kuraba lagi sudut terdekat yang dapat kugapai. Ada yang terjamah, yaitu leher-leher yang tak lagi punya kuasa menopang kepala. Terkulai. Lentur. Patah.
Jari-jemari terasa dingin dan membengkak sebesar lengan tempatnya bergantung. Seperti halnya pelupuk-pelupuk yang menggembung parah, mengatup rongga-rongga mata yang pasti telah buta.
Anehnya, tak hadir rasa bergidik ngeri. Tak singgah rasa merinding yang bangkitkan kuduk. Pasti karena tubuhku pun, telah sama busung dan busuk; seperti jasad-jasad yang menjadi teman-temanku di lubang hitam, dan penuh sesak ini; para jasad yang telah bercerai dengan sukmanya…
Sekonyong-konyong sekilas cahaya menyeruak masuk dari atas sana. Belum pun sempat kutengadahkan kepala, −mensyukuri hadirnya sang cahaya, lalu mencari tahu gerangan apa− tiba-tiba… blugkgkhh ! Bocor di kepalaku tak meraung meski tertimpa sesuatu itu. Keras disusul cairan kental yang jatuh menetes tepat di patah tulang hidungku. Meleleh dan hinggap di bibirku. Disambut segera oleh kerongkongan yang menuntut karena menahun gersang, dan dehidrasi entah sejak kapan. Kemudian ia mendesak lidahku yang luka terbelah agar bergegas mengecapnya. Manis ? Pahit ? Getir ? Yang pasti baunya anyir seperti bau darah yang pernah kuingat.
Yang jatuh menimbunku itu, menambah jumlah mayat. Masih hangat. Pasti belum lama sekarat, sebelum ajal benar-benar menjegat. Jadi, lubang kecil penuh sesak ini adalah sumur mayat? Bukan lahat selayaknya lahat tempat para jasad beristirahat…
Lamat-lamat, kudengar suara hingar bingar. Palu dan arit menjerit-jerit. Teriakkan nama dan makian. Pekikkan cacian dan sumpah serapah. Tentang suksesi pada jasad-jasad yang tlah terjagal. “Sudah lengkap semua? Sebutkan siapa saja ! Yani? Harjono? Siswondo? Prapto? Donald? Sutojo? Tubun? Pierre? Pastikan potong kemaluannya sebelum mereka dijebloskan ke dalam lubang itu! Hancurkan batok kepalanya. Remukkan tulang hidungnya. Patahkan tulang belakangnya. Congkel keluar bola matanya. Keringkan darah yang berkumpul di jantungnya.”
Lamat-lamat merambat senyap. Gelap itu kian memekat. Hitam itu kian menjelaga. Lubang itu pun menutuplah sempurna. Lubang; rumah bagiku kini, dan jasad-jasad pengukir history… buah revolusi, konon.
Penulis Jasmine | Kompasiana | Pic
0 komentar