Dengan terburu-buru kukemasi kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerjaku. Aku panik karena belum pernah pulang selarut ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 wib dengan sedikit berlari aku menuju lift dan sepanjang lorong perkantoran sudah tampak sepi dan gelap gulita. Sambil menunggu pintu lift terbuka aku merasa sedikit takut. Karena, gedung ini benar-benar sepi dan mengerikan. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri, Aku pun mulai berkomat-kamit baca doa.
Begitu pintu lift terbuka tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke dalam. Di dalam lift ternyata ada seorang pria. Agak lega juga karena aku tidak sendirian dalam lift tersebut. Aku melangkahkan kaki memasuki lift dan membelakangi pria tersebut.
“Hi…baru pulang juga?” tanya pria di belakangku.
Sebenernya males juga mau menjawabnya. Tapi, demi sopan santun dan sikap ramah, akhirnya aku berbalik dan membalas sapaan pria tersebut.
“Iya…” jawabku sambil tersenyum.
Dan, ternyata oh ternyata pria itu yang selama ini menarik perhatianku. Namanya Reza. Kita bekerja di perusahaan yang sama, beda divisi. Sudah lama aku menyukai pria ini. Tapi, tampaknya Reza acuh sekali. Kesempatan nih pikirku. Lumayan dong ngobrol-ngobrol, biar cuma di lift juga.
“Nggak takut, pulang malem-malem jam segini?” Reza kembali bertanya.
Aku menggeleng pelan tampak sekali ada keraguan di raut wajahku. Nyata sekali kalo sebenarnya aku ketakutan untuk pulang sendiri.
“Oh iya... kenalkan saya Reza...” pria itu mengulurkan tangannya. 'Udah tau mas,' gumamku dalam hati.
“Saya Ami…” jawabku ramah. Kita berjabat tangan.
“Ok Ami, kamu dijemput? Atau pulang sendiri?” Reza kembali bertanya.
“Pulang sendiri, Mas,” jawabku.
“Aduh, saya anter aja deh... nggak tega lihat cewek pulang sendiri. Apalagi, sekarang sedang banyak kejahatan yang menimpa kaum perempuan, gimana?” tanya Reza.
'Iya juga,' pikirku, toh Reza satu kantor kenapa enggak. Akhirnya kuputuskan pulang bareng Reza.
“Kalau kamu nggak keberatan dan nggak ngerepotin kamunya ya,” kataku kemudian.
Kami berjalan beriringan keluar dari gedung perkantoran tersebut. Kebetulan kami sama-sama tidak bawa kendaraan. Sambil berdiri mematung di pinggir jalan dan kami terdiam tanpa bicara sambil menunggu kendaraan umum yang lewat.
Dari kejauhan tampak segerombolan pemuda berandal menuju ke arah kami berdiri - sekitar 6 atau 7 orang. Tiba-tiba Reza menggenggam tanganku.
“Mereka itu perampok, kita harus cepat cepat lari dari sini, Ami. Ikuti aku ya,” kata Reza.
Secepat kilat Reza menarik dan setengah menyeret tanganku. Benar saja gerombolan berandal itu serta merta mengejar kami.
“Lewat sini Ami,” kata Reza.
Kami berlari secepat kilat melewati nisan nisan di area perkuburan Karet, sekitar Bendungan Hilir. Tiba-tiba Reza memelukku. Dia berusaha melindungi aku. Reza dihujam belati berulang kali tepat mengenai punggungnya. Darah segar membasahi sekujur tubuhku. Kemudian aku pingsan.
***
Kejadian itu terjadi sekitar seminggu yang lalu. Peristiwa itu menggoreskan trauma pada diriku. Hari ini aku kembali bekerja seperti biasa. Teman-teman sekantor menyambutku penuh suka cita.
“Selamat bekerja kembali, Ami...” sahabatku Desi datang memelukku.
“Terima Kasih... bagaimana keadaan Reza, Desi ?” ujarku.
“Reza? Dia mengalami nasib yang sama sepertimu Ami. Sayangnya, dia meninggal. Luka aikibat tusukan belati berulang kali di tubuhnya yang menyebabkannya meninggal,” jawab Desi bingung.
Aku menatap Desi dengan nanar dan perasaan tak karuan.
“Dia yang melindungi aku dari tikaman para pemuda bromocorah itu. Sebetulnya, aku mau berterimakasih padanya,” kataku penuh harap.
“Lho, Reza meninggalnya sebulan lalu lho...” kata Desi kemudian.
'Hah? Jadi, yang melindungiku waktu itu arwahnya Reza?' Tanpa terasa aku menitikan air mata, ternyata Reza sudah meninggal sebulan lalu. Arwah Reza telah melindungi aku. Tiba-tiba ada perasaan rindu. Baru kali ini aku merindukan dan berharap kembali bertemu sesosok arwah yang kutemui dalam lift... pada suatu malam yang naas.
Penulis Coretan Embun | Kompasiana | Pic
0 komentar