Thursday, October 11, 2012

Cerita Horor: In Memoriam, Abangku

Aku memiliki satu kakak lelaki/abang. Dia merupakan anak sulung dalam keluargaku. Saat itu abangku menjadi salah satu mahasiswa fakultas pertanian di Universitas Tidar Magelang. Namun setiap kali dia pulang ke rumah, dia selalu menghabiskan waktu dengan teman-teman dekatnya yang merupakan alumni dari SMA Cepiring-Kendal. Ada beberapa dari mereka yang aku tau namanya yaitu : Oni, Ari, Ilham dan Irfan (Ilham dan Irfan adalah kakak beradik yang tinggal tak jauh dari rumah kami).

Namun semejak abangku merayakan ulang tahunnya yang ke-21 di tahun 1996, dia mulai menunjukkan perubahan sikap. Sering terlihat murung, melamun, dan sangat manja terhadap Ibu. Abangku memiliki rambut yang terbilang panjang. Hampir tiap hari abang meminta Ibu untuk menyisiri rambutnya. Lalu yang biasanya paling malas untuk mengantar Ibu ke suatu tempat, saat itu justru sering menawarkan bantuannya untuk mengantar walaupun sampai jauh malam.

Dua minggu setelah hari ulang tahunnya, tepat di hari Sabtu, aku memiliki janji untuk bertemu temanku Maya di rumahnya. Kami akan membahas tentang acara perpisahan murid SMP di salah satu rumah teman kami yang bernama Dipa. Seperti biasa bila di hari Sabtu, rumahku sepi penghuni. Ayah dan Ibu mengurus bisnis keluarga di daerah Salatiga. Kakak keduaku masih dalam perjalanan pulang dari kampusnya di daerah Jogjakarta. Sedangkan kakak ketigaku sudah dari pagi tadi pergi main ke rumah temannya. Tinggal aku dan abangku yang saat itu sedang menonton televisi.

Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Segera aku berganti pakaian di kamar Ibu dan menyemprotkan sedikit parfum Ayah di tubuhku (aku lebih suka wangi parfum laki-laki dibanding parfum perempuan). Abang melihatku lalu menghampiri sambil membawa sebuah kaos kesayangannya. “Mau kemana, Dek?” tanya-nya dengan mata yang seolah sayu dan tatapan kosong. “Ke rumah Maya, Bang. Abang jaga rumah sebentar gak apa-apa kan? Soalnya sudah terlanjur janji dengan teman-teman.” Jelasku merasa sedikit tidak enak karena harus meninggalkan abangku sendirian. Lalu dia menyodorkan kaos yang sedari tadi dipegangnya kepadaku “Pakailah kaos ini.” Pintanya. “Gak usah, Bang. Nanti kotor lho. itu kan kaos kesayanganmu.” Tolakku halus. “Pakailah kaos ini.” Pintanya sekali lagi. Akhirnya aku mengganti pakaianku dengan kaos kesayangannya. Abang menatapku sambil tersenyum “Yuk, Abang antar ke rumah Maya. Naik motor mas Ari saja ya.” Ajaknya. “Wah, makasih Bang. Tapi knapa naik motor? Mobil abang rusak?” tanyaku kebingungan. “Enggak rusak kok. Abang juga mau mampir ke rumah teman nanti. Lebih leluasa kalo naik motor. Ayo kita pergi sekarang.” jelasnya sambil menarik tanganku.

Untuk menuju rumah Maya harus melalui beberapa gang sempit. Hmm…ada benarnya juga Abangku menggunakan motor sebagai sarana transportasi. Setiba di halaman rumah Maya, Abangku tiba-tiba berpamitan kepadaku, “Abang pergi ya, Dek. Sebentar lagi Abang akan dijemput. Kalo abang pergi kamu jangan nakal. Jangan pernah sakiti hati mama.” Pesannya kepadaku. Jujur aku benar-benar dibuatnya kebingungan saat itu. Aku hanya bertanya “Mau pergi kemana? Dengan siapa? Yang jemput siapa? Trus kalo abang pergi yang jaga rumah siapa?” cecarku. Abangku hanya tersenyum dan mengecup keningku (hal yang belum pernah terjadi sebelumnya!). Lalu dia langsung melajukan motornya dan sempat berhenti di ujung gang untuk sekedar melambaikan tangan kepadaku yang kebingungan setengah mati.

“Kok kesini sendiri? Gak diantar Ibu?” tanya Ibunya Maya yang biasa kupanggil Tante, saat aku sudah berada di ambang pintu masuk. “ Tadi diantar abang, Tante. Ibu pergi dengan Ayah ke Salatiga.” Jelasku sambil duduk setelah dipersilahkan. “Lho?? sama Abang? Mana Abangnya? Kok tante hanya lihat kamu tadi di halaman sedang berdiri. Kamu ngapain tadi? Bukannya langsung masuk.” Tanya beliau. Aku hanya mengerutkan kening “Tadi ada Abang kok Tante. Saya diantar naik motor. Emang tante gak lihat?” sungguh aku benar-benar kebingungan saat itu. “Oh ya??”…terdiam sejenak “Ah, pasti mata saya nih yang salah. Maklum sudah tua.” Jawab Tante sambil tersenyum. Akhirnya aku dan Maya berpamitan ke rumah Dipa.

Jam 13.15 WIB, telepon rumah Dipa berbunyi. Nampaknya Tante meminta kami untuk segera pulang. Sama sekali tidak ada firasat apapun di diriku. Kupikir mungkin orangtua tengah mencariku di rumah. Akhirnya aku pulang diantar sopirnya Dipa ke rumah Maya. Dan dari rumah Maya, aku segera ditarik ke sebuah becak oleh Tante dan kami langsung menuju ke arah rumahku. Namun ternyata becak itu tidak berhenti di depan gerbang rumah melainkan terus menuju ke arah rumah sakit dan berhenti tepat di UGD. Aku kebingungan menyaksikan beberapa teman dari abangku sudah berkumpul disana dengan muka yang galau. Sayup-sayup kudengar suara kakak keduaku di dalam UGD menangis meraung dengan ceracau tak jelas. Kupikir telah terjadi sesuatu atas dirinya. Aku segera berlari ke dalam dan menemukannya dalam keadaan mata sembab, baju basah oleh keringat dan airmata. Sambil menangis kakak memberitahuku bahwa abang sudah meninggal akibat kecelakaan motor beberapa waktu lalu. Aku hanya bisa terdiam membisu.

Banyak kisah yang diceritakan oleh teman-teman abangku terkait kematiannya. Diceritakan bahwa abangku (bila dirinci waktunya bertepatan setelah dia mengantarku ke rumah Maya) sempat mengunjungi rumah teman-teman alumni SMA-nya dan meminta mereka untuk datang ke rumah malam itu jam 7 karena akan ada acara selamatan (ternyata memang benar di hari itu ada selamatan meninggalnya Abangku tepat jam 7 malam). Irfan-salah satu teman akrabnya-menjadi curiga dan memutuskan untuk membuntuti abangku pergi. Betapa terkejutnya Irfan saat dia menyaksikan motor yang dikendarai Abang oleng ke kiri tanpa ada sesuatu yang menyenggol atau ada lubang untuk dihindari. Dan motor itu berputar searah jarum jam dengan posisi tubuh Abang masih berada di atas jok dan kedua tangan memegang stang motor. Kepalanya terbentur keras di pinggiran tembok jembatan—berputar lagi—dan terbentur untuk kedua kalinya. Irfan segera berhenti dan mencoba untuk membangunkan Abang yang saat itu tubuhnya tidak mengeluarkan darah seperti tidak pernah terjadi kecelakaan. Sama sekali tidak ada orang atau kendaraan yang lewat saat itu. Benar-benar sepi, hanya mereka berdua. Entah bagaimana kelanjutannya sehingga Irfan berhasil memanggil polisi dan ambulance untuk mengangkut tubuh Abang. Namun yang mengejutkan adalah, saat Irfan membuka Helm Full Face yang masih dalam kondisi bagus (sekali lagi, seperti tidak pernah terjadi kecelakaan) ternyata kepala Abang sudah terbelah dua dengan otak yang terburai keluar. Hal inilah yang sempat membuat Irfan hampir hilang ingatan selama beberapa minggu karena terbayang oleh peristiwa itu.

Kejadian aneh kedua yang dialami oleh teman dekat Abang di Universitas Tidar-Magelang adalah, saat 2 minggu setelah kematian beliau. Teman ini bermimpi didatangi oleh Abang namun tanpa kepala. Abang hanya menyerahkan cincin kesayangannya dan berpesan untuk merawat cincin itu. Setelah bangun, teman ini kaget karena tiba-tiba melihat cincin milik Abang sudah tergeletak di meja belajarnya. Karena penasaran, temannya pergi berkunjung ke rumahku dan menceritakan tentang mimpinya tanpa dia tau bahwa Abang sudah meninggal. Ibu hanya menangis dan menceritakan semuanya. Tentu saja hal ini membuat temannya Abang menjadi kaget dan sedih.

Lalu kejadian aneh ketiga adalah kejadian yang beberapa kali dialami oleh keluargaku. Setiap jumat malam jam 11.00 dan Sabtu malam sekitar jam 3.00 akan terdengar langkah kaki Abang yang berjalan dari pintu garasi ke arah kamarnya, lalu berhenti di depan pintu kamar. Semasa hidup, almarhum selalu pulang dari Magelang di hari Jumat malam dan tiba di rumah sekitar jam 11.00. Lalu bila hari Sabtu, seringnya pulang jam 3.00 malam karena menghabiskan waktu dengan teman-temannya di Semarang. Ada satu cerita terkait dengan hal ini dari PRT di rumah yang sengaja kami minta untuk menempati kamar Abang (Ayah mengubah kamar Abang menjadi kamar PRT agar tidak kosong). Di depan pintu kamar Abang terdapat tirai dari rumah keong (jaman dulu memang happening tirai rumah keong). Dan di hari serta jam yang kusebutkan tadi, PRT bercerita bahwa terdengar langkah kaki dari arah garasi (jarak garasi dengan kamar abang bersebelahan) lalu berhenti di depan pintu kamar. Setelah itu terdengar tirai rumah keong yang dihempas berkali-kali seolah ada energi yang berusaha untuk masuk ke dalam kamar namun tidak bisa.

Sedangkan aku sendiri hanya sesekali melihat dan merasakan kehadiran Abang di tepi kasurku sambil menutup muka dan memegang lembut tanganku. Atau melihat Abang menonton TV tengah malam, namun sedetik kemudian kulihat TV dalam keadaan mati dan tidak ada seorangpun disana selain aku. Abang sangat suka menonton suatu acara di RCTI. Dan seringnya saat aku (yang kala itu getol-getolnya menonton MTV) tiba-tiba acara TV berubah ke RCTI tanpa seorangpun yang memencet tombol TV/Remote. Terus saja begitu sampai aku mengucapkan “Adek mau nonton MTV ya, bang. Jangan diganti dulu channelnya. Boleh kan?” setelah itu baru deh berhenti.

Itulah kisah tentang Abangku. Entah kenapa aku tiba-tiba teringat akan beliau. Namun aku percaya beliau sudah tenang di alamnya.

Penulis: Rachel Indie | Kisah-mistis | Pic

0 komentar