Sunday, March 10, 2013

Mata Indah

Burung murai berwarna merah, terbang melompat dari batang berbunga indah. Angin menyelinap membawakan lagu megah. Kemari, kemarilah. Tataplah aku pada mataku. Ada sepenggal cinta pada setiap butir air mataku. Mata yang berdarah.

Aku tidak dapat mengingat sejak kapan aku membenci adikku sendiri. Lea dilahirkan ketika bulan membulat sempurna pada bubungan langit. Aku ingat matanya yang masih tertutup dan tangisnya yang menggetarkan dinding-dinding rumah. Aku telah mencoba membunuhnya sejak dia masih menggelendot di dada ibu, rakus menyedot seluruh sisa energi dan waktu milik ibu dan diriku.

Apakah aku membenci Lea karena dia begitu cantik seperti lanskap senja? Tidak, bukan karena itu. Aku tak pernah mencemburui wajah jelitanya. Aku membenci adikku karena bayangan gelap yang membungkus seluruh tubuhnya, dari helai rambut sampai kuku kakinya. Heran, tak ada yang mampu melihat sinar hitam itu. Hanya aku. Itu adalah tirai tipis yang berbentuk halo pada kepala Lea, mencadarkan wajahnya, dan menyelubungi dirinya bagai gaun penyihir yang terhitam. Bayangan pekat itu mengelilingi Lea sejak hari pertama ia dilahirkan.

Aku pernah mengatakan pada ibu bahwa kupikir adikku adalah jelmaan iblis. Ibu menertawakanku sambil mengacak-acak rambutku yang berwarna jelaga. Katanya aku terlalu banyak membaca cerita horor sehingga pikiranku teracuni. Aku tak menyela perkataan ibu, tapi tetap tak percaya. Mengapa hanya Lea dan bayangan hitamnya saja yang membuatku gerah? Tak ada orang lain lagi yang tinggal di rumah kami yang mempunyai bayangan seperti Lea; tidak tukang kebun kami, tidak tukang masak kami, tidak pula para pelayan rumah kami yang jumlahnya puluhan.

Dorongan untuk membunuh Lea semakin tebal dalam tekadku. Aku mendorongnya dari buaian tidurnya. Aku menjambak rambutnya kuat-kuat. Aku mencakar kulit halusnya. Aku mencampurkan jus buahnya dengan tinta. Aku menaburkan silet dan paku halus di atas ranjangnya. Ibuku melihatnya sebagai bentuk kenakalan anak kecil. Beliau murka dan menamparku di pantat.

Musim pun berdandan dan berganti, tapi kecantikan Lea semakin melebihi kecantikan musim mana pun. Orang-orang membicarakannya, ibu bangga padanya, dan para pelayan memujanya. Kecantikan Lea melegenda. Lelaki-lelaki seantero negeri datang untuk melamar Lea. Bahkan lelaki yang kucintai terpikat oleh pesonanya. Sungguh sial nasibku.

“Jangan menatapku seperti itu,” ucap Lea ketus ketika kami berdua sedang makan malam, suatu hari.

Aku mendengus dan memalingkan wajah. Kegelisahanku menjadi-jadi. Tak ada seorang pun di meja makan yang turut memerhatikan apa yang sedang kuperhatikan. Aku benar-benar heran. Kutolehkan kepalaku sekali lagi, sedetik. Hanya sedetik, tak lebih. Jantungku seketika melompat keluar.

Mata itu.

Aku menggigil. Sekali lagi aku membuang muka, tidak tahan bertabrak pandang.

Mata itu bertengger persis di atas hidung mancungnya, menempel di kulit putih mulusnya, tepat di bawah ombak anak-anak rambut hitamnya yang penuh. Wajah Lea terpahat indah, bagai wajah dewi yang diciptakan sangat sempurna oleh Allah milik kaum pagan. Tapi lihatlah matanya, demi Putri Guinevere! Matanya itu, dua bola mata berwarna kelabu tua, memancar aura mati, aura kekelaman yang hanya dimiliki oleh roh-roh setan dan kegelapan abadi. Huh. Betapa jelek matanya! Betapa tidak sesuai dengan keseluruhan fisiknya yang sempurna. Mata itu bagai jendela rumah yang diletakkan tidak pada tempatnya dan sekarang kini compang-camping karena tak pernah terawat.

Mata buruk itu selalu menghantuiku. Kehadiran Lea selalu menggelisahkanku. Terkadang membuatku mengompol di ranjang. Itu pasti pengaruh setan yang memancar keluar dari mata buruknya. Aku gigih tak pernah ingin bertatapan mata Lea. Aku membencinya.

Aku berusia enam belas tahun ketika pertama kali mendengar nyanyian merdu yang menyusup di udara. Luar biasa cantiknya suara itu, batinku terpesona. Aku belum pernah mendengar suara yang keindahannya melebihi nyanyian burung mana pun. Seluruh rumah bergetar oleh dentuman puja-puji surgawi. Bersih dan bening. Kuat dan sehat. Jernih dan mengalir. Aku ingin tahu dari mana suara malaikat itu berasal.

Aku pergi ke ujung lorong dan berhenti di depan sebuah pintu. Aku terpaku. Inilah detik itu, detik di mana indra keenamku membisiki sesuatu tapi aku tidak berhasil mendengar. Pintu terbuka dan tampaklah Lea dengan rambut hitamnya yang berombak-ombak mengalir menutupi bahu dan punggung. Dia bernyanyi. Mulut merah delimanya yang indah membuka lalu menutup mengikuti gelombang kata.

The falling leaves

drift by the window

The autumn leaves

of red and gold

I see your lips

The summer kisses

The sunburnt hand–*

Mendadak tanganku melayang dan menampar telak pipi putihnya. “Diam!” raungku. Aku memegangi pelipisku yang tiba-tiba berdenyut-denyut liar. Di hadapanku, rambut hitam Lea tergerai di pipinya karena kerasnya tamparanku. Adikku mengintip dari ratusan helai rambut bagai cadar di wajahnya. Kecantikannya tiada pudar. Mata kelabu hangusnya memandangku dengan ekspresi mati.

***

AKU tidak dapat mengingat sejak kapan kakakku membenciku. Mulanya aku tidak pernah sedikit pun membencinya, tapi siapa yang tahan jika kamu diperlakukan dengan tidak baik? Untunglah kakakku pengecut. Aku tahu dia berusaha membunuhku, tapi sebenarnya dia tidak terlalu berani melakukannya.

Kami adalah kakak-beradik yang berbeda. Aku memuja Nat King Cole dan menyukai lagu-lagu jazz. Lei menghabiskan waktu berjam-jam dengan membaca. Katanya itu puisi. Cis! Puisi? Aku tidak percaya Lei menyukai puisi.

Kakakku buruk rupa. Seluruh orang di kota kecilku mengetahuinya. Wajahnya bopeng-bopeng akibat penyakit cacar di masa kanak-kanaknya. Rambutnya berwarna jelaga suram dan tidak bercahaya walaupun telah disikat seratus kali tiap malam oleh ibu. Hidungnya aneh, bengkok dengan lubang yang kelewat besar. Dan bibirnya… oh, demi Putri Guinevere! Bibir itu adalah bibir terburuk yang dimiliki seorang perempuan. Melenc
eng aneh ke kiri, di mana neraka berada. Tempat iblis berdiri, membisikkan kata-kata godaan di telinga hati. Kupikir wajah kakakku adalah wajah roh setan yang paling jahat yang pernah hidup di dalam tubuh manusia. Aku tidak pernah tahan berdekatan dengan kakakku. Auranya mengundang petaka. Ucapannya setajam parang, sanggup mengiris nadi hati. Dan yang paling mengerikan dari semuanya adalah matanya.

Mata itu.

Matanya berwarna hijau toska. Benda terindah yang menempel di topeng bopengnya. Dikerumuni bulu mata yang lebat dan panjang, mata itu bagaikan oase teduh yang menarikmu ke sana untuk beristirahat. Kamu akan mengapung di mata itu, lenyap menjadi butir salju di tengah gugusan semesta.

Aku tidak pernah ingin berlabuh di mata Lei. Bagiku, mata itu sarang penyamun, kandang perompak yang dapat mencuri seluruh cinta di hati yang kamu punyai. Aku tidak sudi membiarkan diriku terlena di sana, walaupun diam-diam kuakui, aku cemburu dengan keindahan matanya. Seandainya mataku seindah miliknya, maka kecantikanku menjadi sempurna.

Bukan salahku jika lelaki terpesona oleh kecantikan dan kesempurnaan tubuhku. Aku tidak pernah tertarik dengan mereka, apalagi dengan lelaki yang dicintai Lei mati-matian. Bagiku mereka hanya lalat-lalat gemuk yang menggangguku. Mereka tidak ada artinya bagiku. Sejak kecil, aku mempunyai ketertarikan yang kuat dengan sesama perempuan. Perempuanlah yang kupuja. Mereka cantik, lembut, dan sensual. Aku selalu ingin membelai kulit halus mereka dan berdekatan dengan napas wangi mereka.

Malam itu, kami bertengkar. Lei menampar pipiku karena nyanyianku yang indah, yang bercerita tentang segala hal yang halus di dunia. Suaraku bening dan menyejukkan seperti wajahku yang secantik aroma pagi. Semakin dia tidak mau mendengar, aku bernyanyi semakin keras. Nada indah itu membubung keluar dari mulutku, memeluk setiap inci rumah kami, membangkitkan kehidupan bunga-bunga yang layu, menciptakan angin sepoi-sepoi, dan menghijaukan rumput-rumput.

Lei semakin marah. Dia menjerit, menerkamku, menjambak rambutku kuat-kuat. Kami bergumul, membanting ke kiri dan kanan, menabrak semua mebel yang ada di dalam rumah. Dia merobek bajuku, mendorong kepalaku ke cermin, dan memelintir lenganku yang mungil. Tubuhku diselimuti darah. Darah! Darah di mana-mana. Meleleh turun dari kepalaku, tubuhku. Menempel di setiap kursi, lemari, dan meja. Aku tergeletak nyaris tidak sadar diri. Di atasku, Lei menjulang tinggi dengan pisau kecilnya. Dia menempelkan pisau itu di leher; menebasnya, merobeknya.

Dengan tangannya, dia mengambil pita suaraku.



***



AKU menjerit. Sialan dia! Aku bukan pengecut seperti yang dikatakan Lea. Aku bisa membunuhnya benar-benar jika aku mau. Dasar perempuan setan dengan aura gelap. Akan kukirim dia ke neraka! Suara malaikat itu hanyalah sekadar topeng untuk mengelabui manusia. Dia busuk, iblis yang bersembunyi, mencari saat yang tepat untuk menghujat Tuhan dan mencuri cinta di setiap hati manusia.

Tapi Lea yang tinggi memang bukan sainganku. Ketika dia kuterkam, dia balas mencakarku. Ternyata tubuhnya tidak serapuh yang terlihat. Kulitnya liat dan gerakannya selincah ibu babon ketika melindungi bayinya. Hantaman tinjunya meremukkan tulang pipiku menjadi dua dengan sungai darah di tengahnya. Ayunan kakinya keras seperti beton, mendorongku hingga terpental ke dinding. Ketika aku terbaring dekat pintu dengan sebagian batok kepala remuk, Lea mengeluarkan silet tajamnya. Dia menempelkan di kelopak mata; menebasnya, merobeknya.

Dengan tangannya, dia mengambil kedua bola mataku.

***

RUMAH itu ada di sana, hening termakan usia. Sepasang lelaki dan perempuan yang baru saja menikah menatap rumah megah itu dalam diam yang memabukkan. Ini adalah rumah impian kita, Sayang, kata istri. Ya, mari kita lihat, kata suami.

Mereka berjalan mengitari pagar tanaman yang tumbuh tak beraturan. Pada jendela besar, sang istri terkejut. Lihat, ada seseorang di balik jendela itu. Suaminya mendongak, alisnya menyatu. Benar juga, serunya bingung. Ada orang di sana. Istri mengelap keringatnya. Matahari pagi bersinar sempurna. Si suami kembali berkata, Kupikir ini rumah yang tidak berpenghuni lagi. Aneh. Yuk, coba kita tanya kepada tetangga.

***

KAMI berdua mati pada malam itu dengan mata tercungkil dan pita suara terampas. Ibu menangis sejadi-jadinya, tak ada yang mampu menghiburnya. Ketika saatnya pemakaman, ibu tidak tega memasukkan Lea ke dalam liang kubur. Setelah tubuhnya dibersihkan, Lea tampak begitu cantik, begitu bersinar dalam kematiannya.

Ibu mendandani Lea, menyuntikan sejenis cairan pengawet ke dalam tubuhnya, memasangkan bola mataku ke dalam kelopak matanya, dan meletakkan Lea di depan jendela yang paling kaya dengan matahari pagi. Dia duduk dengan cantik dan sempurna di sana selama berpuluh-puluh tahun, sampai ibu meninggal, dan para pelayan pun satu per satu mati. Rumah itu perlahan-lahan termakan usia, melayu, dan ringkih. Tapi tembok-tembok kebangsawanannya masih tampak kokoh dan gagah. Membuat setiap orang yang melewatinya pasti terpaksa harus menoleh dan mengagumi rumah tersebut.

Lea pasti senang berada di depan jendela. Dia adalah perempuan terjelita yang tak bercela. Gaunnya indah, rambutnya tergerai sempurna, dan pahatan wajahnya elok menyerupai dewi. Dan yang paling membanggakannya adalah matanya yang kehijauan. Kelopaknya terbuka, memandang jalanan depan rumah kami, mengamati musim yang terus-menerus berganti. Musim yang indah, tapi tidak pernah seindah kecantikan Lea. Dari sana dia dapat mengamati perempuan-perempuan anggun berseliweran, berharap dapat bercinta dengan salah satu dari mereka sekali saja dalam satu abad. Ah ya, jangan kaget, aku telah mengetahui bayangan rahasia tergelapnya yang dulu pernah mengerubungi tubuhnya bagai lebah mengelilingi ratu.

Sedangkan aku? Apa yang terjadi denganku? Tubuhku yang buruk rupa tidak pantas diawetkan. Ibuku memakaikan pakaian terbagus di tubuhku, mencium pipiku, dan meratapi kematianku. Dia juga tidak tega menguburku, membiarkanku memeluk tanah sendirian dalam keheningan abadi. Karena itu dia meletakkanku di gudang bawah, tempat harta karun keluarga disembunyikan. Aku bahagia. Berarti aku disamakan dengan harta keluarga walaupun tempatnya gelap, senyap, suram, dan lembap.

Puluhan tahun—aku tidak tahu persis, mungkin sudah seratus tahun berlalu. Dagingku perlahan-lahan terkelupas, sebagian dimakan tikus sebagian lagi dikerat belatung. Aku mengumpulkan debu dan bermain dengan sarang laba-laba. Aku menyulam kegelapan. Aku menjaring keheningan total. Sejak kematian pelayan ibu yang terakhir, tidak ada lagi yang menjengukku ke bawah. Mungkin aku telah terlupakan.

Hari ini tiba-tiba terdengar kegaduhan yang aneh dari atas.

“Oh! Hanya patung perempuan!” Itu suara perempuan. Lalu langkah berderap. “Oh, lihat! Betapa cantiknya patung porselen ini. Pipinya putih, rambutnya berkeriap hitam, wajahnya sempurna, dan… matanya! Lihat, Sayang, matanya! Hijau sekali. Seperti danau yang berada di belakang hotel tempat kita berbulan madu!”

Terdengar lagi suara bariton lelaki. Tidak terlalu jelas. Hanya langkah kaki yang tadinya remang kini semakin berderap. Tiba-tiba terdengar suara pintu gudang menjeblak terbuka. Dalam bayang samar, aku melihat sosok laki-laki. Aku mengajaknya semakin masuk.

Ya, mari. Mendekatlah.

Lihat jantung hatiku.

Dengarkan suaraku.

Setelah puluhan tahun, akhirnya aku dapat bernyanyi, mendeklamasikan puisi gubahanku. Apakah Lea mengatakan bahwa aku sangat menyukai puisi? Ya, aku adalah penyair. Si pemuja seni. Si penguasa kata. Dan sekarang, akulah satu-satunya si pemilik suara malaikat surgawi. Bersih dan bening. Kuat dan sehat. Jernih dan mengalir.

Burung murai berwarna merah, terbang melompat dari batang berbunga indah. Angin menyelinap membawakan lagu megah. Kemari, kemarilah. Tataplah aku pada mataku. Ada sepenggal cinta pada setiap butir air mataku. Mata yang berdarah.

***

Catatan: (*) The Autumn Leaves, gubahan Joseph Kosma, lirik oleh Johnny Mercer.
Lagu ini menjadi sangat terkenal setelah dinyanyikan oleh Nat King Cole

Penulis: Clara Ng adalah pengarang aktif yang telah menulis banyak sekali fiksi, untuk dewasa dan kanak-kanak. Perempuan berbintang Leo lahir di Jakarta tahun 1973. Senang menghibur lewat karya-karyanya. Menurutnya, menulis adalah satu-satunya cara yang brilyan agar dirinya tidak menjadi gila. | Koran Tempo, 17 Juni 2007.

0 komentar