Seperti saat ini. Aku tidak bisa menahan tangisku ketika para penggali kubur mulai menimbun liang kubur ibu dengan tanah. Ayah berdiri di sampingku dan memegang pundakku seraya berkata, “Ikhlaskan… Ikhlaskan… supaya jalan ibumu bisa lancar menuju kepada-Nya.”
Aku menyeka lelehan air mata yang masih mengalir dari kedua mataku, walaupun aku berusaha menegarkan diri. Isak tangisku masih terdengar dan membuat bahuku tersedak-sedak.
Aku menaburkan bunga dan menuangkan air ke tanah yang menggunduk itu hingga selesai. Beberapa orang pelayat sudah pergi meninggalkan makam. Sementara mbah kaum – orang yang biasa dituakan untuk memimpin acara adat atau keagamaan – mulai membacakan doa. Setelah selesai, seluruh pelayat tersisa meninggalkan makam. Mereka menyalamiku dan ayah. Dan menasihatiku supaya bersabar.
Aku pun harus pergi, move on untuk melanjutkan hidupku kembali. Dalam tujuh langkahku meninggalkan makam ibu, aku menengok ke makam ibu, mencoba membayangkan apa yang terjadi pada ibu sekarang. Apakah ia sedang ditanyai Malaikat? Apakah ia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat? Aku kembali merasa sedih. Tapi aku harus kuat melangkah. Ini sudah suratan takdir.
“Selamat jalan ibu…” tuturku seraya membalikkan badanku. Pergi.
Hari-hari di rumah kini menjadi begitu berbeda. Tak ada lagi yang sama. Tak ada canda tawa. Tak ada curhat bersama ibu. Tak ada ceria ayah. Rumah terasa begitu sepi. Karena ayahku kembali menyibukkan diri dalam pekerjaan. Mungkin akibat kesedihannya, ia melarutkan diri untuk melupakan ibu.
Tapi apa yang kuduga semuanya salah! Ia tak hanya melupakan ibu, tapi melupakanku juga.
Ayah pulang, mengetuk pintu dengan sangat keras. “FIKAAA… buka pintu !!!”
Dengan tergopoh-gopoh, aku membukakan pintu untuk ayah. Kupikir ia hanya seorang diri. Nyatanya, ia membawa seorang wanita. Keduanya dalam kondisi mabuk. Aku heran bagaimana keduanya bisa mengendarai mobil dalam kondisi mabuk dan pulang dengan selamat. Bukankah sangat berbahaya?
Wanita yang dibawa ayah - walaupun dalam kondisi mabuk - memandangiku dengan tajam. Aku bergidik, kemudian menundukkan kepalaku. Kemudian melangkahkan kakiku pergi ke kamarku.
Di sana, aku menangis tersedu-sedu, bertanya pada diri sendiri mengapa ini semua bisa terjadi? Sementara kudengar suara dari kedua orang tersebut tertawa-tawa, bahkan suara-suara nakal pun masih terdengar.
Aku pun melihat kacamata ibu. Hanya itu benda yang masih ada di rumah ini. Semuanya telah dibakar oleh ayah. Entah demi apa aku kemudian memegang kacamata ibu. Membolak-baliknya. Lalu mengenakannya.
Tiba-tiba, aku merasakan keadaan sekitarku bergerak. Aku bingung ada apa ini. Dan aku mendapati diriku berada di pagi hari.
Dari sudut pandangku, yang kupahami aku juga melihat sebagai ibu, aku melihat ayah berjalan ke arah ibu. Terjadi obrolan singkat di antara mereka. Aku tak tahu apa yang mereka obrolkan. Kulihat ayah marah-marah dan membanting sesuatu - sepertinya gelas. Ia menghampiri ibu. Sebuah tentakel menjuntai-juntai keluar dari arah belakang ayah dan mengangkat ibu ke udara beberapa senti. Dan kacamata ibu terjatuh ke lantai.
Aku masih bisa melihatnya dengan jelas. Ayah mengambil pemukul baseball dan memukuli ibu yang terangkat beberapa senti oleh tentakel-tentakel dengan beringas. Hingga ia mengembuskan napas terakhirnya. Aku menutup mulutku dengan tangan kanan. Aku terkejut dengan apa yang kulihat. Tak terasa air mataku meleleh. Kulihat wanita yang pulang bersama ayah kemudian muncul, dan segera mencium ayah dengan laknat.
‘Oh, tidak! Sandiwara apakah ini? Benarkah semua ini?’ tanyaku sendiri.
Ternyata ayah berbohong padaku selama ini. Dia menyebutkan kalau kematian ibu akibat terjatuh di kamar mandi.
Yang benar adalah ibu meninggal karena dibunuh ayah!
Aku melepaskan kacamata ibu. Aku menangis dan ketakutan. Lantas meringkuk di sudut tempat tidurku.
Ketakutan itu bertambah kala ayah masuk ke dalam kamarku diiringi wanita itu. Mata ayah memerah. Sungguh menyeramkan. Baru kali ini kulihat mata ayah memerah. Ayah kemudian tersenyum janggal. Tangan kanannya yang memegang pemukul baseball. Ia berjalan ke arahku. Dengan cepat, ia mengayunkan pemukul baseball itu ke arah kepalaku. Tanpa sanggup menghindar, kepalaku menerima sebuah hantaman keras. Membuatku jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Hanya sesaat karena aku segera tersadar kembali.
Aku mencoba bangkit. Darah menetes-netes dari kepalaku ke lantai. Aku memegangnya. Dan menjadi shock! Kulihat dari ekor mataku, ayah bergerak maju dan mengayunkan pemukul baseballnya kembali. Namun, kali ini aku lebih cepat. Aku berhasil menghindarnya.
Kulihat wanita jalang itu. Tangannya berubah menjadi tentakel dan terjulur menangkapku. Oh, ini seperti yang kulihat dari kacamata ibu. Tentakel-tentakel wanita itu kini sudah mengangkatku beberapa senti dari lantai.
Aku meronta-ronta sekuat tenaga. Sayangnya, kekuatanku tidak cukup kuat. Karena aku hanyalah seorang bocah laki-laki berusia 11 tahun. Apalah arti tenagaku dibanding kekuatan yang mereka miliki?
Ayunan pemukul baseball yang dilakukan ayahku pun dengan cepat menghajar kepalaku, andai wanita tidak menghentikannya. Dengan bahasa yang bisa kumengerti, wanita itu berkata kepada ayahku.
“Jangan dibunuh,” katanya, “Kita jadikan dia pion kita.” Ayah menurut. Diam. Mematung.
Tepat di saat itu, seekor binatang berbentuk seperti lintah keluar dari mulut wanita itu. Kemudian, binatang itu masuk ke dalam hidungku.
Aku pun terjatuh dalam jurang gelap tanpa dasar. [END]
diambil dari blog Lilih Prilian Ari Pranowo
0 komentar