Sebuah mayat yang telah busuk keluar dari liangnya sambil mengheluh. “Aku yang mati. Aku yang terdera. Aku yang menjadi korban.Aku menderita. Aku yang sudah kesakitan. Aku yang menanggung seluruh kerugian. Aku diberitakan, diperdebatkan, dipergunjingkan, diselidiki, dan dipakai sebagai contoh, sebagai obyek untuk berbagai menyelidikan, analisis-analisis, yang menyebabkan banyak orang menjadi terkenal dan kaya.”
“Aku sudah mencetak duit buat banyak orang, yang memanfaatkan dengan cerdik seluruh peristiwa dahsyat ini, sehingga mereka menjadi terkenal, terkemuka, memegang posisi puncak, dan akhirnya menang. Tetapi, aku sama sekali tak kebagian apa-apa. Aku tetap saja hanya sebuah mayat yang sepi. Yang akhirnya tak lebih penting dari segala manipulasi orang-orang tersebut. Ini sama sekali tidak adil!”
Ia bangkit dari kebisuan dan kekakuannya, dan mulai menyusun protes. Ia menggugat perilaku semena-mena tersebut, yang jelas sekali memperlihatkan keserakahan manusia.
“Peradaban sudah merosot. Kebudayaan tidak lagi membuahbudikan keluhuran, tapi membuat manusia semakin tamak dan tipis rasa kemanusiannya.Dunia sudah menjadi sebuah pasar besar. Semua orang berdagang.”
“Dan dagang sendiri bukan lagi menjadi ajang tukar-menukar jasa dengan saling menguntungkan, saling bergotong-royong, tetapi sudah menjadi perang siasat untuk menipu dan membuat bangkrut orang lain.”
“Kehidupan sudah rusak. Aku menginginkan pencerahan atas kabut hitam yang akan membuat dunia dan kehidupan, serta segala manusia berikut isinya ini, kiamat kobra,” kata mayat itu.
Ia berdiri di pinggir jalan. Lalu mulai mengganggu setiap orang lewat, dengan berbagai keluhan, kemudian sindiran-sindiran, dan akhirnya menjadi umpatan-umpatan yang terdengar tidak bedanya dengan kutukan.
“Aku yang mati, kamu yang enak! Aku yang kejepit, kamu yang melejit. Kamu semua kelihatannya saja menangis, meringis, tapi sebetulnya kamu semua tertawa. Kamu terus hidup ngakak.”
“Kematianku sudah menghasilkan lebih banyak uang lagi ke dalam bisnismu. Air matamu hanya kelambu untuk menutup segala kebahagiaan dan keuntunganmu menjual berita-berita perih, menciptakan esai-esai, elegi-elegi, balada-balada, dan orasi-orasi, yang meratapi dan menggugat kematianku. Kamu tidak punya malu lagi mengeruk keuntungan dari orang yang mati!”
Mayat itu mengetuk pintu sebuah media massa yang mengalami cetak ulang ketika memuat secara lengkap cerita dan foto-foto kematiannya. Para wartawan yang ditemuinya semua menghindar, mengangkat bahu, dan menunjuk atasannya. Sedang atasannya yang paling atas sibuk menunjuk wakilnya supaya meladeni mayat yang cerewet itu.
Akhirnya sekretaris redaksi terpaksa membatalkan niatnya untuk pulang lebih dulu. Ia menhadapi mayat itu dengan senyum ramah. Sama-sama wanita, mungkin dapat diselesaikan secara baik-baik.
“Silakan menuliskan semua keberatan Anda terhadap pemberitaan kami. Kalau memang ada yang salah, meskipun kami sudah sangat berhati-hati, kami bersedia meralatnya untuk kebahagiaan dan ketenangan Anda di sana,” katanya mempersilakan mayat itu menumpahkan semua sumpah serapahnya.
Mayat itu langsung duduk di depan komputer. Seperti bendungan ambrol, ia menembakkan seluruh unek-unek perutnya. Apa saja yang sudah menyakitkan, apa saja yang sudah menyinggung, semua yang tidak adil, seluruh ketidakbenaran, kesalahkaprahan, bahkan yang mungkin akan menyiksanya di kemudian hari, ia beberkan dengan kata-kata yang tajam dan berbisa. Ia menguras seluruh dendam, luka, prasangka, dan kesakitannya.
Berjam-jam mayat itu mencurahkan segala tuntutannya. Komputer penuh dengan kata-kata kotor. Dalam uraian mayat itu, dunia menjadi pabrik kejahatan yang hanya dihuni oleh bandit-bandit tengik. Moral, susila, tata krama,kapatutan, keluhuran budi, apalagi kemanusiaan yang dikibar-kibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka untuk membungkus kebiadaban.
“Semuanya busuk,” erang mayat itu. Dan, setelah itu komputer tersebut sepertinya tak mampu lagi menampung semua kata-kata sumpah serapahnya. Ia terenyak di kursi ketika seluruh unek-unek tuntutannya berhasil ia lemparkan keluar dari perut, hati, dan otaknya. Seperti balon kempes, ia menggepeng di atas kursi. Nampak begitu lelah, namun damai.
Penjaga kantor yang tua bangka menghampirinya, menanyakan apakah ia memerlukan sesuatu. Minuman panas, air dingin untuk penyegar. Mungkin juga makanan, semacam roti bakar yang masih bisa disambar dari perempatan jalan di malam selarut itu. Sekaligus mengingatkan bahwa subuh sebentar lagi akan menyundul di langit timur.
Mayat itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak menginginkan apa-apa lagi. Semua bentuk protes dalam pikirannya sudah tersalurkan. Kini ia memerlukan sebuah tidur yang panjang. Barangkali sepotong dua potong mimpi yang benar-benar mimpi.
Panjaga kantor itu mengerti. Tetapi sebelum pergi meninggalkan tamu eksklusif itu, yang diwanti-wanti oleh sekretaris supaya diperlakukan ekstra istimewa, ia sempat mengerling ke atas layar komputer. Ia berdecak-decak kagum. Seakan-akan ikut menikmati kepuasan mayat tersebut. Ini menyebabkan kantuk mayat itu hilang. Ia menoleh pada penjaga malam, yang sudah lancang itu, dengan mata berkilat-kilat.
“Kamu mengerti?”
“Ya, saya mengerti sekali.”
“Kamu bisa merasakan?”
“Kenapa tidak? Jelas sekali.”
“Apa kamu menganggap semua ini neko-neko?”
“Tidak. Itu memang benar.” Mayat itu menjadi amat girang menemukan untuk pertama kalinya orang yang mampu memahami segala tuntutannya.
“Jadi kamu percaya saya sekarang, betapa tidak adilnya semua ini?”
“Saya percaya.”
Mayat itu mengulurkan tangannya. Penjaga malam itu juga mengulurkan tangannya. Keduanya berjabatan tangan, seperti orang yang mau bersekongkol. Tapi, tangan penjaga malam itu dingin sekali seperti beku. Mayat itu terkejut.
“Kenapa tanganmu dingin sekali? Kamu takut?
“Tidak.”
“Kamu heran atau kaget karena membaca semua ini?”
“Tidak.”
“Lalu, kenapa tanganmu lebih dingin dari es?”
“Ya, memang begini keadaannya.”
“Tapi, kenapa?”
“Karena inilah hidup saya.”
Mayat itu terkejut. Ia curiga kalau-kalau bukan menghadapi seorang penjaga malam. Siapa tahu itu agen polisi. Paling sedikit mata-mata yang diutus oleh kepala kantor. Tetapi, ketika ia memandangi mata penjaga malam itu, ia hampir terpekik, karena di kedua mata itu nampak ruang kosong.
“Astaga, kamu tidak punya mata lagi?”
“Tidak.”
“Tapi, kenapa kamu masih bisa melihat?”
“Saya harus bisa melihat meskipun tidak punya mata.”
“Kenapa?”
“Karena itu kewajiban saya.”
Mayat itu bergidik. Buku kuduknya meremang.
“Apalagi kewajiban kamu?”
“Semuanya!”
Mayat itu tercengang.
“Kewajiban? Kewajiban apa? Kamu ngomong seperti seorang budak?!”
“Ya, memang.”
“Apa? Kamu budak?”
“Betul. Saya budak.”
“Budak apa? Budak siapa?”
“Budak segala-galanya. Saya budak komplet.”
Mayat itu bingung. Dia berdiri dan memperhatikan penjaga malam itu lebih cermat. Tak puas hanya melihat, ia lalu menyentuh, kemudian meraba-raba, selanjutnya merogoh tubuh penjaga malam itu. Tiba-tiba ia terpekik ngeri.
“Wow! Badan kamu seperti tak punya tulang. Daging kamu bonyok!”
“Memang!”
“Bukan cuma itu. Aku jadi curiga, jangan-jangan kamu … Maaf, boleh aku kobok sekali lagi?”
“Silakan.”
Mayat itu mendekat, lalu ngobok sekali lagi badan penjaga malam itu. Ia terpekik kembali dan meloncat keluar. Matanya sampai tumpah keluar karena takjub.
“Ya Tuhan, kamu kok sepertinya tidak punya hati dan juga tidak punya otak.”
“Memang begitu.”
“Apa? Kamu betul-betul tidak punya perasaan dan pikiran? Edhan!”
“Ya. Jangankan perasaandan pikiran, apa pun saya tidak punya. Lihat, kemaluan juga tidak ada lagi. Maaf, ya … “
Penjaga malam itu membuka seluruh pakaiannya. Mayat itu menggigil dibuatnya. Orang itu memang sudah dikebiri total. Ia tak punya segala-galanya.
“Kamu sudah bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Kamu tidak punya apa-apa.Kamu sudah kalah komplet. Apa kamu bukan manusia?”
“Saya manusia.”
“Apa kamu sakit?”
“Tidak.”
“Lha, kenapa kamu bisa hidup?”
“Ya, begitulah saya harus hidup meskipun tidak punya semua itu lagi.”
“Tidak mungkin!”
“Memang, tidak mungkin. Tetapi, apa boleh buat, wong ini harus kok. Ini kewajiban saya.”
Mayat itu berpikir keras, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Siapa sih sebenarnya kamu?”
“Boleh panggil saya siapa saja. Saya tidak milih-milih nama. Terserah orang, suka manggil saya apa saja. Silakan. Saya manut-manut saja.” “Itu namanya pasrah. Apa kamu orang Jawa?”
Penjaga malam itu berpikir.
“Nah sekarang kamu berpikir!”
“Saya memang telmi, telat mikir.”
“Coba ceritakan sedikit kehidupan kamu. Gaji kamu berapa sih? Pasti besar sekali karena kewajiban kamu begitu berat. Berapa?”
“Tiga puluh.”
“Tiga puluh juta?”
“Bukan, tiga puluh saja.”
“Maksud kamu, gaji kamu seperak satu hari?”
“Ya!”
“Gila! Bagaimana kamu bisa hidup hanya dengan gaji segitu?”
“Itu juga diangap sudah terlalu banyak. Bukan hanya saya yang harus hidup. Istri saya dan sepuluh orang anak saya juga harus hidup.”
Mayat itu duduk kembali. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang yang bergaji seperak sehari, dengan tanggungan istri dan sepuluh orang anak, bisa hidup. Pasti penjaga malam itu korupsi.
“Kamu pasti korupsi?”
“Tidak, Pak. Saya hanya jualin kertas-kertas kantor yang sudah tidak terpakai.”
“Kalau begitu,kamu ngobyek!”
“Terserah, Pak.”
Mayat itu termenung. Ia lupa pada masalahnya sendiri dan mulai kagum. Memang, pada orang kecil sering muncul sifat-sifat luhur yang dahsyat.
“Kamu luar biasa.” gumam mayat itu terpesona. “Orang lain sudah mati kalau kondisinya seperti kamu ini.”
“Memang saya sudah mati.”
“Ah! Apa?”
“kata saya, saya sudah mati.”
“Kamu sudah mati?”
“Ya.”
“Jadi kamu ini mayat?”
“Betul sekali.”
“Mayat seperti gua ini?”
“Benar!”
“Wow! Kalau begitu, kita sama dong!” teriak mayat itu kegirangan, karena merasa mendapat seorang teman secara tiba-tiba, sambil mengulurkan tangannya mau berjabatan.
Tetapi sekali ini, penjaga malam itu tak menyambut uluran tangannya.
“Ayo, salaman. Kita sama! Tadinya kukira aku sendirian. Sekarang aku tahu masih ada orang lain. Sedikitnya, kita bisa berbagi kemalangan. Ayo salaman!”
Penjaga malam itu menggeleng.
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa? Kamu tidak mau salaman? Ini hanya ekspresi, bukan kolusi. Jangan takut, tidak akan dituntut.”
“Tidak bisa. Saya tidak bisa salam. Jangan keliru.”
“Keliru bagaimana?”
“Saya bukan mayat seperti di situ.”
“Lho, tadi kamu bilang, kamu mayat.”
“Betul.”
“Tetapi bukan?”
“Betul sekali. Saya memang mayat, tetapi bukan.”
“Kenapa bukan?”
“Karena, meskipun saya mayat, tempat saya tidak di kuburan. Tetapi di kantor ini.”
“O, kalau begitu kamu hantu?”
“Boleh saja disebut begitu.”
Mayat itu berpikir.
“Kamu jangan main-main. Ini bukan waktuna untuk guyonan.” “Tidak. Sumpah, saya sungguh-sungguh. Boleh saja tidak percaya. Tidak apa. Saya sudah biasa tidak dipercaya. saya tidak tersinggung atau sakit hati. Dipercaya atau tidak, memang beginilah saya. Saya mayat yang harus hidup. Harus. Saya tidak boleh istirahat. Mati pun saya tetap harus bertugas.”
Mayat itu bengong.
“Jadi, kamu mayat hidup?”
“Ya, itu.”
“Kenapa kamu mau?”
“Kalau tidak, siapa yang harus melakukan pekerjaan yang jahanam tidak mengunguntungkan dan menyakitkan ini? Baiklah, saya tidak boleh bicara terlalu banyak. Ini juga sudah menyalahi aturan. Saya pasti akan kena hukuman. Selamat beristirahat. Kalau perlu apa-apa, jangan ragu-ragu memanggil saya. Saya tidak tidur. Mayat, kan, sudah tidak perlu tidur lagi. Saya hanya parkir di situ supaya tidak mengganggu.”
Mayat itu terpesona.
“Ya Tuhan, kalau begitu, nasibku tidak terlalu jelek. Ada yang lebih jelek. Bahkan aku boleh dikata agak mendingan dibandingkan dengan penjaga malam itu,” desis mayat itu.
Ia mencuri-curi kesempatan untuk melirik ke sudut. Remang-remang dalam kegelapan, ia melihat tubuh penjaga malam itu mencair dalam gelap.
“Kasihan…”
Penjaga malam itu tiba-tiba keluar dari gelap. Dengan tergopoh-gopoh menghampiri.
“Maaf, memanggil saya? Perlu sesuatu?”
Mayat itu terkejut.
“O tidak, tidak, sudah cukup. Aku tidak perlu apa-apa lagi!”
Penjaga malam itu mengangguk, lalu kembali lagi ke tempatnya. Waktu itu mayat tersebut merasa malu hati. Diliriknya komputer yang sudah dipenuhi dengan tumpahan tuntutannya.
Setelah melihat nasib penjaga malam itu, apa yang dirasanya sebagai kesakitan seperti tidak ada artinya sama sekali. Ia merasa sudah terlalu cengeng.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan sudah berbuat kekeliruan yang fatal, mayat itu lalu kembali kepada komputer. Disertai penyesalan penuh, hanya dengan satu gerakan, ia menyentuh keyboard komputer untuk menghapus semua keluh kesahnya.
Tetapi apa daya, seluruh tulisan di dalam komputer itu sudah diprotek, sama sekali tidak bisa dihapus lagi. Ia abadi. Mayat itu lalu mencoba mengalihkan pikirannya. Tetapi, apa yang barusan ia tulis seperti berbunyi dengan sendirinya. Ternyata begitu panjang tuntutan dan protesnya.
MAYAT…. Karya putu wijaya
Kemudian ia merasa sangat malu. Begitu malunya, karena ia nampak begitu rakus kalau dibandingkan dengan penjaga malam itu.
***
Jakarta, 3 - 11 - 1997
Penulis: Putu Wijaya | Majalah Horison, April 2000
“Aku sudah mencetak duit buat banyak orang, yang memanfaatkan dengan cerdik seluruh peristiwa dahsyat ini, sehingga mereka menjadi terkenal, terkemuka, memegang posisi puncak, dan akhirnya menang. Tetapi, aku sama sekali tak kebagian apa-apa. Aku tetap saja hanya sebuah mayat yang sepi. Yang akhirnya tak lebih penting dari segala manipulasi orang-orang tersebut. Ini sama sekali tidak adil!”
Ia bangkit dari kebisuan dan kekakuannya, dan mulai menyusun protes. Ia menggugat perilaku semena-mena tersebut, yang jelas sekali memperlihatkan keserakahan manusia.
“Peradaban sudah merosot. Kebudayaan tidak lagi membuahbudikan keluhuran, tapi membuat manusia semakin tamak dan tipis rasa kemanusiannya.Dunia sudah menjadi sebuah pasar besar. Semua orang berdagang.”
“Dan dagang sendiri bukan lagi menjadi ajang tukar-menukar jasa dengan saling menguntungkan, saling bergotong-royong, tetapi sudah menjadi perang siasat untuk menipu dan membuat bangkrut orang lain.”
“Kehidupan sudah rusak. Aku menginginkan pencerahan atas kabut hitam yang akan membuat dunia dan kehidupan, serta segala manusia berikut isinya ini, kiamat kobra,” kata mayat itu.
Ia berdiri di pinggir jalan. Lalu mulai mengganggu setiap orang lewat, dengan berbagai keluhan, kemudian sindiran-sindiran, dan akhirnya menjadi umpatan-umpatan yang terdengar tidak bedanya dengan kutukan.
“Aku yang mati, kamu yang enak! Aku yang kejepit, kamu yang melejit. Kamu semua kelihatannya saja menangis, meringis, tapi sebetulnya kamu semua tertawa. Kamu terus hidup ngakak.”
“Kematianku sudah menghasilkan lebih banyak uang lagi ke dalam bisnismu. Air matamu hanya kelambu untuk menutup segala kebahagiaan dan keuntunganmu menjual berita-berita perih, menciptakan esai-esai, elegi-elegi, balada-balada, dan orasi-orasi, yang meratapi dan menggugat kematianku. Kamu tidak punya malu lagi mengeruk keuntungan dari orang yang mati!”
Mayat itu mengetuk pintu sebuah media massa yang mengalami cetak ulang ketika memuat secara lengkap cerita dan foto-foto kematiannya. Para wartawan yang ditemuinya semua menghindar, mengangkat bahu, dan menunjuk atasannya. Sedang atasannya yang paling atas sibuk menunjuk wakilnya supaya meladeni mayat yang cerewet itu.
Akhirnya sekretaris redaksi terpaksa membatalkan niatnya untuk pulang lebih dulu. Ia menhadapi mayat itu dengan senyum ramah. Sama-sama wanita, mungkin dapat diselesaikan secara baik-baik.
“Silakan menuliskan semua keberatan Anda terhadap pemberitaan kami. Kalau memang ada yang salah, meskipun kami sudah sangat berhati-hati, kami bersedia meralatnya untuk kebahagiaan dan ketenangan Anda di sana,” katanya mempersilakan mayat itu menumpahkan semua sumpah serapahnya.
Mayat itu langsung duduk di depan komputer. Seperti bendungan ambrol, ia menembakkan seluruh unek-unek perutnya. Apa saja yang sudah menyakitkan, apa saja yang sudah menyinggung, semua yang tidak adil, seluruh ketidakbenaran, kesalahkaprahan, bahkan yang mungkin akan menyiksanya di kemudian hari, ia beberkan dengan kata-kata yang tajam dan berbisa. Ia menguras seluruh dendam, luka, prasangka, dan kesakitannya.
Berjam-jam mayat itu mencurahkan segala tuntutannya. Komputer penuh dengan kata-kata kotor. Dalam uraian mayat itu, dunia menjadi pabrik kejahatan yang hanya dihuni oleh bandit-bandit tengik. Moral, susila, tata krama,kapatutan, keluhuran budi, apalagi kemanusiaan yang dikibar-kibarkan selama ini, ternyata hanya sebuah koteka untuk membungkus kebiadaban.
“Semuanya busuk,” erang mayat itu. Dan, setelah itu komputer tersebut sepertinya tak mampu lagi menampung semua kata-kata sumpah serapahnya. Ia terenyak di kursi ketika seluruh unek-unek tuntutannya berhasil ia lemparkan keluar dari perut, hati, dan otaknya. Seperti balon kempes, ia menggepeng di atas kursi. Nampak begitu lelah, namun damai.
Penjaga kantor yang tua bangka menghampirinya, menanyakan apakah ia memerlukan sesuatu. Minuman panas, air dingin untuk penyegar. Mungkin juga makanan, semacam roti bakar yang masih bisa disambar dari perempatan jalan di malam selarut itu. Sekaligus mengingatkan bahwa subuh sebentar lagi akan menyundul di langit timur.
Mayat itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak menginginkan apa-apa lagi. Semua bentuk protes dalam pikirannya sudah tersalurkan. Kini ia memerlukan sebuah tidur yang panjang. Barangkali sepotong dua potong mimpi yang benar-benar mimpi.
Panjaga kantor itu mengerti. Tetapi sebelum pergi meninggalkan tamu eksklusif itu, yang diwanti-wanti oleh sekretaris supaya diperlakukan ekstra istimewa, ia sempat mengerling ke atas layar komputer. Ia berdecak-decak kagum. Seakan-akan ikut menikmati kepuasan mayat tersebut. Ini menyebabkan kantuk mayat itu hilang. Ia menoleh pada penjaga malam, yang sudah lancang itu, dengan mata berkilat-kilat.
“Kamu mengerti?”
“Ya, saya mengerti sekali.”
“Kamu bisa merasakan?”
“Kenapa tidak? Jelas sekali.”
“Apa kamu menganggap semua ini neko-neko?”
“Tidak. Itu memang benar.” Mayat itu menjadi amat girang menemukan untuk pertama kalinya orang yang mampu memahami segala tuntutannya.
“Jadi kamu percaya saya sekarang, betapa tidak adilnya semua ini?”
“Saya percaya.”
Mayat itu mengulurkan tangannya. Penjaga malam itu juga mengulurkan tangannya. Keduanya berjabatan tangan, seperti orang yang mau bersekongkol. Tapi, tangan penjaga malam itu dingin sekali seperti beku. Mayat itu terkejut.
“Kenapa tanganmu dingin sekali? Kamu takut?
“Tidak.”
“Kamu heran atau kaget karena membaca semua ini?”
“Tidak.”
“Lalu, kenapa tanganmu lebih dingin dari es?”
“Ya, memang begini keadaannya.”
“Tapi, kenapa?”
“Karena inilah hidup saya.”
Mayat itu terkejut. Ia curiga kalau-kalau bukan menghadapi seorang penjaga malam. Siapa tahu itu agen polisi. Paling sedikit mata-mata yang diutus oleh kepala kantor. Tetapi, ketika ia memandangi mata penjaga malam itu, ia hampir terpekik, karena di kedua mata itu nampak ruang kosong.
“Astaga, kamu tidak punya mata lagi?”
“Tidak.”
“Tapi, kenapa kamu masih bisa melihat?”
“Saya harus bisa melihat meskipun tidak punya mata.”
“Kenapa?”
“Karena itu kewajiban saya.”
Mayat itu bergidik. Buku kuduknya meremang.
“Apalagi kewajiban kamu?”
“Semuanya!”
Mayat itu tercengang.
“Kewajiban? Kewajiban apa? Kamu ngomong seperti seorang budak?!”
“Ya, memang.”
“Apa? Kamu budak?”
“Betul. Saya budak.”
“Budak apa? Budak siapa?”
“Budak segala-galanya. Saya budak komplet.”
Mayat itu bingung. Dia berdiri dan memperhatikan penjaga malam itu lebih cermat. Tak puas hanya melihat, ia lalu menyentuh, kemudian meraba-raba, selanjutnya merogoh tubuh penjaga malam itu. Tiba-tiba ia terpekik ngeri.
“Wow! Badan kamu seperti tak punya tulang. Daging kamu bonyok!”
“Memang!”
“Bukan cuma itu. Aku jadi curiga, jangan-jangan kamu … Maaf, boleh aku kobok sekali lagi?”
“Silakan.”
Mayat itu mendekat, lalu ngobok sekali lagi badan penjaga malam itu. Ia terpekik kembali dan meloncat keluar. Matanya sampai tumpah keluar karena takjub.
“Ya Tuhan, kamu kok sepertinya tidak punya hati dan juga tidak punya otak.”
“Memang begitu.”
“Apa? Kamu betul-betul tidak punya perasaan dan pikiran? Edhan!”
“Ya. Jangankan perasaandan pikiran, apa pun saya tidak punya. Lihat, kemaluan juga tidak ada lagi. Maaf, ya … “
Penjaga malam itu membuka seluruh pakaiannya. Mayat itu menggigil dibuatnya. Orang itu memang sudah dikebiri total. Ia tak punya segala-galanya.
“Kamu sudah bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Kamu tidak punya apa-apa.Kamu sudah kalah komplet. Apa kamu bukan manusia?”
“Saya manusia.”
“Apa kamu sakit?”
“Tidak.”
“Lha, kenapa kamu bisa hidup?”
“Ya, begitulah saya harus hidup meskipun tidak punya semua itu lagi.”
“Tidak mungkin!”
“Memang, tidak mungkin. Tetapi, apa boleh buat, wong ini harus kok. Ini kewajiban saya.”
Mayat itu berpikir keras, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Siapa sih sebenarnya kamu?”
“Boleh panggil saya siapa saja. Saya tidak milih-milih nama. Terserah orang, suka manggil saya apa saja. Silakan. Saya manut-manut saja.” “Itu namanya pasrah. Apa kamu orang Jawa?”
Penjaga malam itu berpikir.
“Nah sekarang kamu berpikir!”
“Saya memang telmi, telat mikir.”
“Coba ceritakan sedikit kehidupan kamu. Gaji kamu berapa sih? Pasti besar sekali karena kewajiban kamu begitu berat. Berapa?”
“Tiga puluh.”
“Tiga puluh juta?”
“Bukan, tiga puluh saja.”
“Maksud kamu, gaji kamu seperak satu hari?”
“Ya!”
“Gila! Bagaimana kamu bisa hidup hanya dengan gaji segitu?”
“Itu juga diangap sudah terlalu banyak. Bukan hanya saya yang harus hidup. Istri saya dan sepuluh orang anak saya juga harus hidup.”
Mayat itu duduk kembali. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang yang bergaji seperak sehari, dengan tanggungan istri dan sepuluh orang anak, bisa hidup. Pasti penjaga malam itu korupsi.
“Kamu pasti korupsi?”
“Tidak, Pak. Saya hanya jualin kertas-kertas kantor yang sudah tidak terpakai.”
“Kalau begitu,kamu ngobyek!”
“Terserah, Pak.”
Mayat itu termenung. Ia lupa pada masalahnya sendiri dan mulai kagum. Memang, pada orang kecil sering muncul sifat-sifat luhur yang dahsyat.
“Kamu luar biasa.” gumam mayat itu terpesona. “Orang lain sudah mati kalau kondisinya seperti kamu ini.”
“Memang saya sudah mati.”
“Ah! Apa?”
“kata saya, saya sudah mati.”
“Kamu sudah mati?”
“Ya.”
“Jadi kamu ini mayat?”
“Betul sekali.”
“Mayat seperti gua ini?”
“Benar!”
“Wow! Kalau begitu, kita sama dong!” teriak mayat itu kegirangan, karena merasa mendapat seorang teman secara tiba-tiba, sambil mengulurkan tangannya mau berjabatan.
Tetapi sekali ini, penjaga malam itu tak menyambut uluran tangannya.
“Ayo, salaman. Kita sama! Tadinya kukira aku sendirian. Sekarang aku tahu masih ada orang lain. Sedikitnya, kita bisa berbagi kemalangan. Ayo salaman!”
Penjaga malam itu menggeleng.
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa? Kamu tidak mau salaman? Ini hanya ekspresi, bukan kolusi. Jangan takut, tidak akan dituntut.”
“Tidak bisa. Saya tidak bisa salam. Jangan keliru.”
“Keliru bagaimana?”
“Saya bukan mayat seperti di situ.”
“Lho, tadi kamu bilang, kamu mayat.”
“Betul.”
“Tetapi bukan?”
“Betul sekali. Saya memang mayat, tetapi bukan.”
“Kenapa bukan?”
“Karena, meskipun saya mayat, tempat saya tidak di kuburan. Tetapi di kantor ini.”
“O, kalau begitu kamu hantu?”
“Boleh saja disebut begitu.”
Mayat itu berpikir.
“Kamu jangan main-main. Ini bukan waktuna untuk guyonan.” “Tidak. Sumpah, saya sungguh-sungguh. Boleh saja tidak percaya. Tidak apa. Saya sudah biasa tidak dipercaya. saya tidak tersinggung atau sakit hati. Dipercaya atau tidak, memang beginilah saya. Saya mayat yang harus hidup. Harus. Saya tidak boleh istirahat. Mati pun saya tetap harus bertugas.”
Mayat itu bengong.
“Jadi, kamu mayat hidup?”
“Ya, itu.”
“Kenapa kamu mau?”
“Kalau tidak, siapa yang harus melakukan pekerjaan yang jahanam tidak mengunguntungkan dan menyakitkan ini? Baiklah, saya tidak boleh bicara terlalu banyak. Ini juga sudah menyalahi aturan. Saya pasti akan kena hukuman. Selamat beristirahat. Kalau perlu apa-apa, jangan ragu-ragu memanggil saya. Saya tidak tidur. Mayat, kan, sudah tidak perlu tidur lagi. Saya hanya parkir di situ supaya tidak mengganggu.”
Mayat itu terpesona.
“Ya Tuhan, kalau begitu, nasibku tidak terlalu jelek. Ada yang lebih jelek. Bahkan aku boleh dikata agak mendingan dibandingkan dengan penjaga malam itu,” desis mayat itu.
Ia mencuri-curi kesempatan untuk melirik ke sudut. Remang-remang dalam kegelapan, ia melihat tubuh penjaga malam itu mencair dalam gelap.
“Kasihan…”
Penjaga malam itu tiba-tiba keluar dari gelap. Dengan tergopoh-gopoh menghampiri.
“Maaf, memanggil saya? Perlu sesuatu?”
Mayat itu terkejut.
“O tidak, tidak, sudah cukup. Aku tidak perlu apa-apa lagi!”
Penjaga malam itu mengangguk, lalu kembali lagi ke tempatnya. Waktu itu mayat tersebut merasa malu hati. Diliriknya komputer yang sudah dipenuhi dengan tumpahan tuntutannya.
Setelah melihat nasib penjaga malam itu, apa yang dirasanya sebagai kesakitan seperti tidak ada artinya sama sekali. Ia merasa sudah terlalu cengeng.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan sudah berbuat kekeliruan yang fatal, mayat itu lalu kembali kepada komputer. Disertai penyesalan penuh, hanya dengan satu gerakan, ia menyentuh keyboard komputer untuk menghapus semua keluh kesahnya.
Tetapi apa daya, seluruh tulisan di dalam komputer itu sudah diprotek, sama sekali tidak bisa dihapus lagi. Ia abadi. Mayat itu lalu mencoba mengalihkan pikirannya. Tetapi, apa yang barusan ia tulis seperti berbunyi dengan sendirinya. Ternyata begitu panjang tuntutan dan protesnya.
MAYAT…. Karya putu wijaya
Kemudian ia merasa sangat malu. Begitu malunya, karena ia nampak begitu rakus kalau dibandingkan dengan penjaga malam itu.
***
Jakarta, 3 - 11 - 1997
Penulis: Putu Wijaya | Majalah Horison, April 2000
0 komentar