Saturday, February 2, 2013

Cerpen Horor: Surat Kematian

SUTRADARA teater berbakat, Dom (26) ditemukan tewas di ruang rias gedung bertunjukan Dewi Kencana, terkena serangan jantung. Boleh jadi, kematiannya itu disebabkan oleh sepucuk surat yang mengabarkan bahwa kekasih yang dicintainya selama ini telah dinikahkan oleh kedua orangtuanya pada orang lain, yang selama ini tak diketahui oleh Dom. Disamping sepucuk surat berwarna hijau muda, ditemukan pula beberapa butir obat sakit kepala dan segelas kopi yang tinggal separoh.

***

SAYA tersentak membaca berita tersebut yang dimuat oleh sebuah koran lokal di kota kami. Pasalnya, dua hari lalu -- saya masih menyaksikan hasil garapannya yang digelar dengan amat memukau. Dalam garapannya itu pula, ia main sebagai pangeran yang dikhianati kekasihnya. Ia main dengan gemilang.Sesampainya di kampus, saya segera menemui Ihin. Ya, sebagaimana dikatakan koran lokal itu, Ihin paling tahu apa dan bagaimana Dom sebelum ditemukan tewas di ruang rias.

"Jadi ceritanya bagaimana Hin?" tanya saya.

Ihin tampak enggan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada saat itu. Boleh jadi ia sudah bosan dalam menghadapi pertanyaan yang sama.

"Malam itu seusai pertunjukan, Dom bilang pada kami bahwa dirinya merasa lelah dan pusing. Ia ingin tidur di ruang rias, dan minta pada kami agar kami menjaganya," jelas Ihin.

"Saya kurang tahu pasti pada jam berapa Dom tidur," sela Jabo, yang saat itu duduk pula di sebelah Ihin, "yang jelas setelah gedung pertunjukan ditinggal penonton dan para pemain, hanya tinggal kami bertiga yang ada di ruangan ini. Sekitar jam dua kami dikagetkan oleh kedatangan Delifa, kekasih Dom yang menghilang entah ke mana selama ini. Ia berkata pada kami bahwa dirinya ingin bertemu dengan Dom. Lalu kami bilang Dom sedang tidur di ruang rias."

"Lalu?"

"Saat itu juga Delifa mendatangi ruang rias. Tapi Dom tertidur dengan lelapnya. Delifa menatap Dom lama sekali. Airmatanya tumpah di kedua pipinya. Dengan sangat hati-hati Delifa menyimpan surat itu di dada Dom, kemudian ia pergi, dan kami mengantarnya hingga ke bibir jalan raya," papar Ihin.

"Setelah itu?"

"Kami kembali lagi ke ruang rias. Dom masih tidur. Tak lama kemudian kami disergap kantuk, lalu kami tidur di ruang pertunjukan, di atas panggung. Pagi-paginya kami dikejutkan oleh teriakan Mang Abud yang menemukan Dom sudah meninggal dunia. Sedangkan suratnya tampak sudah dibaca dan jatuh di lantai," lanjut Ihin.

"Maksudmu Dom kemungkinan mati setelah baca surat itu?"

"Kata dokter, ya, mungkin kena serangan jantung!"

"Delifa sendiri bagaimana?"

"Tak ada seorang pun tahu, di mana Delifa. Boleh jadi ia kini sudah tahu bahwa Dom telah mati. Bukankah beritanya sudah tersebar ke mana-mana?"

"Tapi, Delifa itu siapa?"

"Ia pacar Dom sejak masih remaja. Delifa itu orangnya misterius, meski sering main teater bersama Dom!"

"Apa mungkin Dom dibunuh Delifa?"

"Maksudmu?"

"Apakah surat yang diletakkan Delifa di dada Dom itu tidak mengandung racun yang mematikan?"

"Itulah yang tidak kami tahu. Toh sampai sekarang surat itu masih ada di tangan Polisi. Jika Dom mati dibunuh oleh Delifa, ini artinya bisa gawat. Kami pasti bisa disangka terlibat membatu lancarnya rencana pembunuhan tersebut. Wah, kau jangan menakut-nakuti aku dengan kemungkinan semacam itu dong?"

"Tapi apa mungkin Dom mati kena penyakit jantung? Bukankan selama ini sehat-sehat saja? Dom itu sama berbakatnya dengan Iman Soleh sebagai sutradara!"

"Ya, Dom memang berbakat. Tapi mengenai kematiannya kena sakit jantung itu, aku tidak tahu. Dom tidak mengeluhkan tentang hal tersebut, selain merasa kesepian ditinggal Dalifa," sela Jabo.

"Dalifa lagi. Dalifa lagi. Siapa sih perempuan itu?"

"Itulah yang tidak kami tahu," kata keduanya.

***

ESOK harinya, koran lokal kami digemparkan oleh sebuah surat pembaca -- yang mengabarkan bahwa Dalifa sesungguhnya telah meninggal dunia 7 bulan lalu. Kematiannya memang sengaja dirahasiakan kepada Dom, karena sebelum meninggal Dalifa berpesan demikian. Di hari kemudian, polisi rupanya tidak percaya dengan surat pembaca tersebut. Ia kemudian mendatangi keluarga Dalifa. Polisi baru yakin setelah mendatangi kuburan Dalifa yang sudah ditumbuhi oleh rerumputan di atas kuburannya yang memang tidak ditembok.

Saya benar-benar tidak mengerti dengan kasus yang aneh dan ruwet ini. Kalau demikian, apa mungkin arwah Dalifa yang datang pada saat itu -- menjemput Dom? Ketika tengah asyik merenung, tiba-tiba saya dikejutkan oleh sebuah ketukan di pintu depan dengan amat kerasnya.

"Hin? Aku kira siapa!"

"Kau percaya bahwa malam itu aku didatangi arwah Dalifa?"

"Entahlah. Tapi kalau pada kenyataannya Dalifa telah meninggal dunia, lantas siapa yang mendatangi Dom pada saat itu? Apa mungkin ada orang lain yang mirip dengan Dalifa -- lantas mengirimkan surat yang ditulis oleh Dalifa untuk Dom?"

"Mustahil. Dalifa sendiri anak tunggal. Lain halnya kalau ia anak kembar."

"Apa mungkin yang mendatangi Dom, aku dan Ihin pada saat itu adalah malaikat maut yang menyamar?"

"Wah, kau jangan menduga-duga semacam itu. Kini malah urusannya menjadi rumit, polisi akan meminta keterangan dari kami lebih lanjut, apakah kami berencana membunuhnya atau tidak. Bagaimana ini?"

"Lho surat Dalifa sendiri bagaimana?"

"Menurut keluarganya memang itu tulisan Dalifa. Tanggal dan tahunnya ditulis pada hari itu juga, ya, sehari sebelum Dom ditemukan mati itu?"

"Ini benar-benar masalah yang rumit. Jika hidup ini sebuah cerita pendek, maka apa yang kau lakoni saat ini benar-benar sebuah cerita pendek yang aneh, absurd, tak masuk akal."

"Apa mungkin Dom mati dibunuh?"

"Oleh siapa?"

"Oleh malaikat maut?"

"Tugas malaikat mau memang mencabut nyawa."

"Ya, memang. Tapi maksud aku bukan begitu?"

"Bagaimana?"

"Kuncinya adalah kita harus menemukan jejak orang mirip Dalifa, yang mendatangi Jabo, kau, dan Dom pada saat itu?"

"Ya. Tapi bagaimana caranya?"

"Kita datangi orang pintar, siapa tahu kita bisa menemukan jawabannya!"

"Kau saja yang mencari. Siang ini pula aku harus ke kantor polisi. Aku harus memberikan jawaban, karena pada saat itu aku dan Jabo yang ada di gedung itu meski di ruang yang berbeda!"

"Kau sendiri tidak berniat membunuh Dom kan?"

"Untuk apa? Aku dan Dom baik-baik saja. Tak punya persoalan apapun!"

"Kalau Jabo?"

"Sama dengan aku. Jabo itu pemuja Dom. Jabo sangat ingin seperti Dom, karena itu ia bergabung dengan Dom agar segala ilmu Dom bisa diserapnya!"

"Kau yakin?"

"Untuk apa aku berbohong?"

Hari agak siang. Ihin meninggalkan aku menuju kantor polisi. Kematian Dom benar-benar aneh dan tak masuk akal, tak bisa diungkap dengan jelas dan pasti: selain keterangan dokter yang menyatakan Dom kena serangan jantung.[]

Penulis: Doni Muhamad Nur | Pikiran Rakyat, 7/15/2002

0 komentar