Karena pagi buta, tak ada yang tahu bagaimana peristiwa sebenarnya. Tapi seorang wartawan, yang mengutip keterangan polisi, menulis berita begini:
”… Pembunuhan itu terjadi sekitar pukul 05.00. Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun menolak memberikan upah yang ia minta.”
Dan hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim digiring ke ruang sidang. Seperti sidang-sidang lalu, wajah Sadim masih tampak terheran-heran, celingukan mencari-cari, atau kadang bagai termangu. Dan pakaian putih-putihnya yang lusuh—terlihat nyaris cokelat karena bekas-bekas tanah yang tak mau hilang; cara duduknya yang aneh—membungkuk dalam dengan dua tangan jatuh telentang bagai ditampungkan di pangkuan, melengkapkan kesan lelaki 40-an tahun yang menyebut diri urang Rawayan itu seolah tak berada di dalam ruang sidang.
Dan memang, sebenarnyalah, Sadim tidak sedang berada di dalam ruang sidang.
Ia berada pada suatu tempat dalam pikirannya: Liang Harimau.
Liang Harimau, atau dalam bahasa urang Rawayan disebut Liang Maung, terletak di kaki Gunung Rorongocongok. Merupakan hutan lindung yang tak boleh dirambah, tetapi entah bagaimana Rasikun bisa memiliki sebidang tanah sangat luas lalu membuka ladang di sana. Dan Sadim, yang telah dua tahun ini bekerja serabutan di kampung-kampung sekitar, pun menerima kontrak kerja dari Rasikun. Dengan upah empat liter beras perhari, setiap dinihari, dari rumah si majikan, Sadim berangkat ke Liang Harimau.
Sebetulnya, berat bagi Sadim menerima pekerjaan itu. Bukan karena luas atau liarnya hutan yang harus dirambah, tetapi karena Liang Harimau bagi mereka urang-urang Rawayan adalah salah satu hutan yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya ruh nenek moyang. Orang-orang luar tangtu (kampung) seperti Rasikun mungkin hanya mengenal lokasi itu sebagai ”angker”, tetapi bagi urang-urang Rawayan Liang Harimau adalah tempat ruh nenek moyang turun bermain setelah hidup abadi di lemah bodas (surga). Tanpa harus ditegur Puun atau Kepala Adat pun, takkan ada urang Rawayan yang berani sembarangan ke—apalagi ”mengganggu” di—Liang Harimau.
Tetapi begitulah, betapa sulitnya memperoleh pekerjaan. Sejak tanah humanya mulai tandus dan hasil panennya tak pernah lagi cukup pengisi leuit atau lumbung padi keluarga, Sadim terpaksa mencari kerja ke tangtu atau kampung-kampung luar untuk mendapat tambahan atau upah apa saja. Kadang, melihat sawah atau tanah kampung-kampung luar yang seperti bisa ditanami selamanya, ia berpikir dan kemudian heran, kenapa adatnya tak membolehkan urang-urang Rawayan memakai apa yang disebut orang-orang kampung luar sebagai pupuk? Dan juga, kenapa para leluhur tak membolehkan mereka bertanam padi dengan cara bersawah? Ah, larangan-larangan itu: tak boleh merokok, mandi menggunakan sabun, memiliki alat rumah tangga yang terbuat dari barang pecah-belah; dilarang memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing; dilarang tidur berbantal dan bertikar, memakai pici, naik kendaraan….
Tetapi, larangan dari Rasikun, sungguh di luar perkiraan Sadim.
Tiga hari sebelum pembunuhan itu, Sadim dikunjungi saudaranya dari Cibeo yang khusus datang ke rumah Rasikun mengabarkan bahwa orang-orang kampungnya akan menggelar upacara Ngasep Serang. Inilah upacara adat sangat penting, upacara membakar lahan sebelum musim tanam, yang harus diikuti oleh segenap warga urang Rawayan. Bagi Sadim, larangan-larangan atau pantangan-pantangan lain yang sangat banyak itu—dengan mencuri-curi—masih bisa dirinya langgar. Tetapi upacara Ngasep Serang, bahkan andai tak diwajibkan hadir pun, sungguh Sadim tak berani.
”Ngasep Serang? Upacara apa itu?” tanya Rasikun, dalam bahasa Sunda bercampur Rawayan, ketika Sadim minta izin tak berangkat kerja ke Liang Harimau, nanti, di hari upacara, karena harus pulang ke Cibeo.
Sadim pun menerangkan. Entah karena memang kurang peduli, atau entah karena Sadim menerangkan dengan banyak kata dan istilah dalam bahasa Rawayan, Rasikun tak begitu mengerti. Tapi dengan tahu bahwa Ngasep Serang adalah semacam upacara agar tanaman urang Rawayan nantinya berhasil baik dan diberkati Sahiyang Tunggal (Tuhan), Rasikun merasa cukup. Memang Sadim menyebut-nyebut Girang Puun, puun tertua, Jaro Tangtu, jaro pengurus masalah-masalah adat, Tangkesan, pembantu Puun yang mengurus masalah pertanian, dan Dukun dan Penujum yang mengurus masalah keagamaan dan upacara-upacara adat, tetapi bukankah Sadim tidak salah seorang dari mereka?
”Kalau kau tak ada, Sadim, bukankah upacara itu tetap terselenggara?” tanya Rasikun.
Sadim bingung. Diam, tak bisa menjawab.
”Kau tak boleh pulang. Ladang di Liang Harimau sudah harus bisa ditanam sebelum musim hujan.”
Dan hari itu, Sadim berangkat kerja ke Liang Harimau dengan hati gundah. Di sepanjang jalan, ia terbayang leuit yang kosong. Juga tanah huma yang tandus. Ketakhadirannya di Ngasep Serang tak hanya akan membuat tanah dan tanaman marah, tetapi, seperti pernah dibilang Penujum, ”Seluruh alam dan isinya bakal melawan, jadi musuh urang, mengincar di kala sempat.” Mengincar? Sebelum pulang, senja itu, Sadim merasa ada sepasang mata mengawasinya. Saat ia menoleh ke seberang sungai—sungai kecil yang meliuk mengalir dari pinggang Gunung Rorongocongok sekaligus pembatas tanah Rasikun, Sadim terkejut: seekor harimau! Seekor harimau menatap nanap ke arahnya!
Sadim pulang dengan menggigil. Ketakutan. Saat ia ceritakan kepada Rasikun, si majikan tertawa seraya bilang tentu saja wajar di hutan selebat itu hidup bermacam binatang buas termasuk harimau. ”Kau tahu, mereka tak bakal mengganggu, takkan melakukan apa-apa sepanjang kita juga tak mengganggu mereka,” tambah Rasikun. Tetapi, besoknya, senja juga, Sadim kembali mendapati si harimau ada di sana. Menatap, bukan hanya nanap—tetapi kini bagai mengancam, ke arahnya. Sungai itu … sungai kecil itu, tidakkah bisa saja dilompati olehnya?
Saat pulang, Sadim merasa harimau itu mengikutinya.
Dan lalu, besoknya, pembunuhan itu terjadi, di pagi buta.
Dan begitulah hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim berada di ruang sidang. Dan seperti sidang-sidang lalu, majelis hakim kembali tampak seolah kebingungan, kehilangan akal, mendapati jawaban Sadim yang bagai tak nyambung, tak runut, bahkan tak sesuai dengan berita acara pemeriksaan.
”Nu maneh tempo harita teh saha (dulu, yang kau lihat itu siapa),” tanya Kepala Desa Kanekes menerjemahkan pertanyaan Ketua Majelis Hakim tentang siapa yang ditusuk Sadim sekitar pukul 05.00 enam bulan lalu itu.
"Maung (harimau),” jawab Sadim, lirih ….[]
Payakumbuh, 20 November 2008
”… Pembunuhan itu terjadi sekitar pukul 05.00. Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun menolak memberikan upah yang ia minta.”
Dan hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim digiring ke ruang sidang. Seperti sidang-sidang lalu, wajah Sadim masih tampak terheran-heran, celingukan mencari-cari, atau kadang bagai termangu. Dan pakaian putih-putihnya yang lusuh—terlihat nyaris cokelat karena bekas-bekas tanah yang tak mau hilang; cara duduknya yang aneh—membungkuk dalam dengan dua tangan jatuh telentang bagai ditampungkan di pangkuan, melengkapkan kesan lelaki 40-an tahun yang menyebut diri urang Rawayan itu seolah tak berada di dalam ruang sidang.
Dan memang, sebenarnyalah, Sadim tidak sedang berada di dalam ruang sidang.
Ia berada pada suatu tempat dalam pikirannya: Liang Harimau.
Liang Harimau, atau dalam bahasa urang Rawayan disebut Liang Maung, terletak di kaki Gunung Rorongocongok. Merupakan hutan lindung yang tak boleh dirambah, tetapi entah bagaimana Rasikun bisa memiliki sebidang tanah sangat luas lalu membuka ladang di sana. Dan Sadim, yang telah dua tahun ini bekerja serabutan di kampung-kampung sekitar, pun menerima kontrak kerja dari Rasikun. Dengan upah empat liter beras perhari, setiap dinihari, dari rumah si majikan, Sadim berangkat ke Liang Harimau.
Sebetulnya, berat bagi Sadim menerima pekerjaan itu. Bukan karena luas atau liarnya hutan yang harus dirambah, tetapi karena Liang Harimau bagi mereka urang-urang Rawayan adalah salah satu hutan yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya ruh nenek moyang. Orang-orang luar tangtu (kampung) seperti Rasikun mungkin hanya mengenal lokasi itu sebagai ”angker”, tetapi bagi urang-urang Rawayan Liang Harimau adalah tempat ruh nenek moyang turun bermain setelah hidup abadi di lemah bodas (surga). Tanpa harus ditegur Puun atau Kepala Adat pun, takkan ada urang Rawayan yang berani sembarangan ke—apalagi ”mengganggu” di—Liang Harimau.
Tetapi begitulah, betapa sulitnya memperoleh pekerjaan. Sejak tanah humanya mulai tandus dan hasil panennya tak pernah lagi cukup pengisi leuit atau lumbung padi keluarga, Sadim terpaksa mencari kerja ke tangtu atau kampung-kampung luar untuk mendapat tambahan atau upah apa saja. Kadang, melihat sawah atau tanah kampung-kampung luar yang seperti bisa ditanami selamanya, ia berpikir dan kemudian heran, kenapa adatnya tak membolehkan urang-urang Rawayan memakai apa yang disebut orang-orang kampung luar sebagai pupuk? Dan juga, kenapa para leluhur tak membolehkan mereka bertanam padi dengan cara bersawah? Ah, larangan-larangan itu: tak boleh merokok, mandi menggunakan sabun, memiliki alat rumah tangga yang terbuat dari barang pecah-belah; dilarang memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing; dilarang tidur berbantal dan bertikar, memakai pici, naik kendaraan….
Tetapi, larangan dari Rasikun, sungguh di luar perkiraan Sadim.
Tiga hari sebelum pembunuhan itu, Sadim dikunjungi saudaranya dari Cibeo yang khusus datang ke rumah Rasikun mengabarkan bahwa orang-orang kampungnya akan menggelar upacara Ngasep Serang. Inilah upacara adat sangat penting, upacara membakar lahan sebelum musim tanam, yang harus diikuti oleh segenap warga urang Rawayan. Bagi Sadim, larangan-larangan atau pantangan-pantangan lain yang sangat banyak itu—dengan mencuri-curi—masih bisa dirinya langgar. Tetapi upacara Ngasep Serang, bahkan andai tak diwajibkan hadir pun, sungguh Sadim tak berani.
”Ngasep Serang? Upacara apa itu?” tanya Rasikun, dalam bahasa Sunda bercampur Rawayan, ketika Sadim minta izin tak berangkat kerja ke Liang Harimau, nanti, di hari upacara, karena harus pulang ke Cibeo.
Sadim pun menerangkan. Entah karena memang kurang peduli, atau entah karena Sadim menerangkan dengan banyak kata dan istilah dalam bahasa Rawayan, Rasikun tak begitu mengerti. Tapi dengan tahu bahwa Ngasep Serang adalah semacam upacara agar tanaman urang Rawayan nantinya berhasil baik dan diberkati Sahiyang Tunggal (Tuhan), Rasikun merasa cukup. Memang Sadim menyebut-nyebut Girang Puun, puun tertua, Jaro Tangtu, jaro pengurus masalah-masalah adat, Tangkesan, pembantu Puun yang mengurus masalah pertanian, dan Dukun dan Penujum yang mengurus masalah keagamaan dan upacara-upacara adat, tetapi bukankah Sadim tidak salah seorang dari mereka?
”Kalau kau tak ada, Sadim, bukankah upacara itu tetap terselenggara?” tanya Rasikun.
Sadim bingung. Diam, tak bisa menjawab.
”Kau tak boleh pulang. Ladang di Liang Harimau sudah harus bisa ditanam sebelum musim hujan.”
Dan hari itu, Sadim berangkat kerja ke Liang Harimau dengan hati gundah. Di sepanjang jalan, ia terbayang leuit yang kosong. Juga tanah huma yang tandus. Ketakhadirannya di Ngasep Serang tak hanya akan membuat tanah dan tanaman marah, tetapi, seperti pernah dibilang Penujum, ”Seluruh alam dan isinya bakal melawan, jadi musuh urang, mengincar di kala sempat.” Mengincar? Sebelum pulang, senja itu, Sadim merasa ada sepasang mata mengawasinya. Saat ia menoleh ke seberang sungai—sungai kecil yang meliuk mengalir dari pinggang Gunung Rorongocongok sekaligus pembatas tanah Rasikun, Sadim terkejut: seekor harimau! Seekor harimau menatap nanap ke arahnya!
Sadim pulang dengan menggigil. Ketakutan. Saat ia ceritakan kepada Rasikun, si majikan tertawa seraya bilang tentu saja wajar di hutan selebat itu hidup bermacam binatang buas termasuk harimau. ”Kau tahu, mereka tak bakal mengganggu, takkan melakukan apa-apa sepanjang kita juga tak mengganggu mereka,” tambah Rasikun. Tetapi, besoknya, senja juga, Sadim kembali mendapati si harimau ada di sana. Menatap, bukan hanya nanap—tetapi kini bagai mengancam, ke arahnya. Sungai itu … sungai kecil itu, tidakkah bisa saja dilompati olehnya?
Saat pulang, Sadim merasa harimau itu mengikutinya.
Dan lalu, besoknya, pembunuhan itu terjadi, di pagi buta.
Dan begitulah hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim berada di ruang sidang. Dan seperti sidang-sidang lalu, majelis hakim kembali tampak seolah kebingungan, kehilangan akal, mendapati jawaban Sadim yang bagai tak nyambung, tak runut, bahkan tak sesuai dengan berita acara pemeriksaan.
”Nu maneh tempo harita teh saha (dulu, yang kau lihat itu siapa),” tanya Kepala Desa Kanekes menerjemahkan pertanyaan Ketua Majelis Hakim tentang siapa yang ditusuk Sadim sekitar pukul 05.00 enam bulan lalu itu.
"Maung (harimau),” jawab Sadim, lirih ….[]
Payakumbuh, 20 November 2008
Penulis: Gus tf Sakai | Kompas, 12/28/2008
0 komentar