Di sebuah rumah bertegel Italia tampak beberapa orang berbincang-bincang. Di bawah naungan cahaya sayu lampu yang tertutup kaca. Jam besar yang melekat paksa pada dinding rumah itu berdentang dua belas kali.
“Apakah kita harus menghabisinya?” tanya seorang lelaki bermuka macan.
“Sebelum fajar perempuan itu harus lenyap dari bumi Noling ini!”
Seorang lelaki gemuk berkata serius. Ia mengatup rahangnya yang menanjak. Matanya menyorot ganas. Ia menyandarkan tubuhnya seraya menatap langit-langit rumah besar itu. Sementara auman anjing penjaga menusuk malam.
Patung-patung batu hitam yang mengitari halaman rumah itu berdiri kokoh. Air mancur kecil memancar mengelilinginya. Seperti percikan darah pembantaian. Keangkuhan dan kekejaman terpaut di sana.
Tepat di tengah taman berdiri patung keris besar menjulang. Tidak ada mata yang senang memandangnya. Hanya mata berapi yang menyukai simbol-simbol kekejaman.
“Ia biasa ke sumur di samping rumahnya sebelum subuh!”
“Kita menghabisinya di situ!”
Kedua laki-laki itu merencanakan pembunuhan. Tiga lelaki lainnya hanya diam mematung. Pikiran mereka mungkin membayangkan akhir sebuah kisah manis.
***
Sementara itu di sebuah rumah lain. Di Malenggang.
“Bapak sudah mendengar kabar yang melanda Noling?”
Seorang istri bertanya kepada suaminya.
“Ya, tentang Isna, anaknya Pak Rauf,” jawab suaminya.
“Dia terlalu berani!”
“Kita memang harus berani berkata benar, Bu!”
“Tapi karakter Pak Camat kan militeristik. Ia bisa menempuh berbagai cara mengusir Isna. Anak buahnya banyak. Hampir semua anak muda nakal yang tidak menggunakan otaknya ia kuasai. Ia militer jadi ditakuti. Bangsawan dan sangat kaya,” sang istri was-was.
“Memang tidak mudah menjadi oposisi dalam kerajaan!”
“Kerajaan?”
“Pemerintahan kita demokrasi. Tetapi, praktik-praktik penguasa masih berbau kerajaan. Mereka seperti raja masa lalu. Berkuasa dan kaya raya,” jelas suaminya.
“Bapak cepat menyerah!”
“Saya hanya mengungkapkan kenyataan!”
Kedua suami istri itu akhirnya terdiam. Mereka merasakan kejadian yang akan menimpa orang yang mereka perbincangkan. Orang yang diharapkan membawa perubahan. Mata mereka tidak bisa terpejam, jiwa mereka mengembara.
***
Menjelang subuh hujan menghantam bumi. Air tumpah ke atas atap rumah warga. Bunyinya membangunkan. Tetapi tidak ada yang beranjak dari tempat tidur. Dingin mengungkung para warga ibukota kecamatan itu.
“Nak, ibu sudah bilang perempuan lebih baik shalat di rumah. Lagipula hujan keras. Tidak perlu ke mesjid!”
Seorang ibu renta menahan anaknya pergi ke mesjid. Ibu itu sering membaca atau mungkin pernah mendengar bahwa perempuan tidak wajib shalat di mesjid.
“Tapi mesjid dekat sekali. Tidak cukup sepuluh langkah,” ujar anaknya.
Anaknya bernama Isnawati. Seorang gadis berjilbab anggun. Ia juga sangat cantik, ramah dan sopan. Tetapi kata-katanya beberapa bulan silam membuat tubuh tambun penguasa tergodam. Ia mengkritik korupsi. Penyimpangan bantuan dana untuk para transmigran.
“Para penguasa tidak perlu membangun istana di tengah-tengah barisan gubuk. Kita tentu tidak habis pikir ke mana dana bantuan itu!”
Setiap orang yang belum siap menerima demokrasi pasti terbakar mendengar sindiran itu. Warga lain menganggapnya biasa saja dan sudah seharusnya. Tidak dengan pemerintah setempat yang dipegang oleh pribumi. Mereka merasa harus melakukan sesuatu.
Cahaya kilat menyambar. Isna berjalan pelan-pelan di bawah payung hitam menuju mesjid. Di samping rumahnya. Ia melangkah masuk tanpa rasa curiga. Seseorang dilihatnya sedang duduk menghadap ke arah kiblat.
Gadis anggun itu membentangkan sajadahnya. Saat itulah, seperti biasa matanya basah oleh air mata. Ia selalu menangis saat menghadap Tuhan.
Di luar hujan masih deras. Sosok bayangan keluar dari tempat persembunyiannya.
“Kenapa Durusi tidak bertindak?” gumamnya.
Ia melihat ke dalam. Lelaki yang bernama Durusi itu masih terpaku di tempatnya. Tidak bergerak.
“Aku yang harus melakukannya!” kata sosok itu seraya menerjang masuk.
Lelaki itu menghantam Isna dari belakang. Gadis yang sedang sujud itu terkapar. Hanya suara Tuhan yang keluar dari mulutnya. Sebelum lelaki pembunuh itu berpaling, sebuah pukulan membuatnya terjejer.
“Hei!”
“Durusi, ini aku. Aku Randy!”
“Kau membunuh orang tidak bersalah. Kau pantas mati!”
Lelaki yang bernama Durusi itu menyerang Randy. Keduanya sebenarnya ditugaskan untuk membunuh. Aneh, Durusi berubah. Kini ia malah menyerang Randy, sahabatnya.
“Maaf!”
“Srekh!”
Randy melayangkan kerisnya ke perut Durusi. Seketika Durusi terlentang di dekat tubuh Isna.
Randy meletakkan kerisnya dalam genggaman Durusi. Lalu melangkah pergi. Keris itu meninggalkan saksi. Lukisan jari manusia. Tetapi warga tidak mampu memahami rahasia di balik tubuh manusia. Mereka yakin Isna dibunuh Durusi, lalu bunuh diri. Tidak ada penyidikan. Semua lembaga penyidik berada dalam gengaman para pembunuh.[]
Penulis: Nurbing Asselayari | Kompasiana
0 komentar