Melihat Tino ada di rumah Dea, amarah The Slaughter meledak, tanpa basa basi lagi mereka langsung menarik kerah baju Tino dan langsung menghajarnya.
Tino terhuyung huyung, terjerembab jatuh. The Slaughter Topan, Micky, Anjas terus menghajarnya.
“Masih nekad lo kemari, setan lo! Melanggar perjanjian lo!”
“Gue mampusin lo sekarang!”
“Gue cuma mampir, kebetulan gue lewat. Oke, lo semua mati lo! Tunggu pembalasan gue!” Tino mengancam dan lari terbirit birit, dia gak mungkin melawan tiga sekawan itu. Sebelumnya tadi dia sempat ragu mampir ke rumah Dea, tapi balasan SMS Dea yang menyebutnya banci kalo gak berani datang, bikin kelaki lakiannya terusik, maka dia pun nekad, walau inilah risikonya.
Tino terhuyung huyung, terjerembab jatuh. The Slaughter Topan, Micky, Anjas terus menghajarnya.
“Masih nekad lo kemari, setan lo! Melanggar perjanjian lo!”
“Gue mampusin lo sekarang!”
“Gue cuma mampir, kebetulan gue lewat. Oke, lo semua mati lo! Tunggu pembalasan gue!” Tino mengancam dan lari terbirit birit, dia gak mungkin melawan tiga sekawan itu. Sebelumnya tadi dia sempat ragu mampir ke rumah Dea, tapi balasan SMS Dea yang menyebutnya banci kalo gak berani datang, bikin kelaki lakiannya terusik, maka dia pun nekad, walau inilah risikonya.
Tino meraba bibirnya yang pecah, hidungnya yang berdarah. Dia memang salah sudah melanggar perjanjian!
Awal permusuhan mereka belum lama, dimuali sebulan yang lalu.
Gara garanya Carinta yang dipojokin Bramo di bangku belakang kepergok anak anak 1-3. Semua anak anak juga udah tau kalau Carinta nggak demen sama Bramo. Perlakuan kasar Bramo yang mencium Carinta bagi anak anak 1-3 adalah pemerkosaan. Carinta juga mengiyakan kalau Bramo telah mengasarinya. Bramo ngaku katanya nggak sadar, dia seperti kerasukan makhluk yang masuk ke dalam tubuhnya. Anak anak 1-3 nggak ada yang percaya pengakuan itu, itu pasti cuma akal akalan Bramo.
Itulah awal dari pertikaian mereka, urusan sedikit saja kini bisa menyulut perang Baratayudha.
Berita Tino melanggar penjanjian yang dikabarkan tiga sekawan keesokan paginya langsung disambut semua anak anak 1-3, nggak cewek nggak cowok, penuh luapan emosi, mereka langsung menyerbu anak anak 1-4, perkelahian masal terjadi, bahkan kelas kelas yang lain pun ikut kerasukan emosi. Suasana kacau tak terlerai, hingga para penduduk di sekitar sekolahan kali ini turun tangan beserta aparat kelurahan yang datang membawa satpol, tramtib dan hansip, barulah perkelahian bisa dihentikan.
Lalu seorang tetua kampung bercerita….
Bahwa di atas tanah sekolahan yang baru saja selesai pembangunannya beberapa bulan yang lalu itu adalah tanah kutukan. Pada zaman Belanda disitu adalah bekas gelanggang adu ayam se Batavia. Perkelahian sering terjadi antara para penyabung, penjudi, pencoleng, pejabat kompeni serta aparat pribumi yang korup, bahkan arena adu ayam itu kerap menjadi tumpahan darah mereka.
Pada suatu hari, Si Pitung, pendekar muda yang disegani dari di tanah Betawi muncul di arena adu ayam. Kehadiran si Pitung di arena sabung ayam itu tak disukai para begundal begundal hingga terjadilah perkelahian. Si Pitung dikeroyok oleh puluhan penjudi yang sedang mabuk dengan golok berkilau tajam siap membunuh.
Si Pitung bukanlah pendekar sembarangan, hanya dengan beberapa kali gebrakan, para pencoleng dan penjudi yang mengeroyoknya lari tunggang langgang, bahkan bandit nomer satu di arena adu ayam itu pun ditebasnya hingga tewas, dan sebelum bandit itu menghembuskan napasnya yang terakhir, kepala gerombolan pencoleng itu bersumpah, bahwa bandit bandit dan pencoleng yang lebih hebat lagi akan bermunculan jika menginjak tanah arena adu ayam itu, hatinya akan selalu diselimuti kebencian, kejahatan dan permusuhan.
Cerita yang disampaikan salah seorang tetua kampung, dimana tanah itu dulunya adalah pusat adu ayam dan kematian raja pencoleng yang kepalanya ditebas golok si Pitung, membuat mereka saling berpandangan.
Wajah wajah mereka yang tadi bertikai penuh permusuhan mulai was was, jangan jangan mereka sudah dirasuki arwah para bandit bandit yang sudah meninggal itu.
Lalu mereka mulai teringat ucapan Bramo saat dituduh mau memperkosa Carinta, benarkah Bramo kerasukan atau dia pintar mencari kambing hitam?
***
Anak anak 1-3 dan 1-4 masuk kelas seperti biasa. Hari ini rencananya mereka akan dipersatukan, mereka akan menjalani konseling bersama seorang psykolog yang biasa nanganin anak anak bermasalah.
Bukan rahasia lagi, Tino, salah satu anak gank 1-4 naksir Dea. Bramo ketua kelas 1-4 yang badannya tinggi item naksir Carinta, mereka sering ngancam nggak boleh ada cowok 1-3 yang boleh naksir Carinta, kesannya kan norak dan cuma nyari masalah. Begitu juga sebaliknya, Topan naksir Mimi si calon ketua OSIS yang pake kaca mata minus tapi jagoan debat. Micky naksir Mayang, juga anak 1-4, begitu juga Anjas yang naksir Rindu, teman sebangku Mayang.
Akhirnya, Mbak Avi, psykolog yang didatangkan kepala sekolah mengambil kesimpulan bahwa pertikaian yang terjadi selama ini bukan karena mitos arena adu ayam, tapi dipicu oleh persoalan sepele karena cinta yang tak tersalurkan dengan aman.
Anak anak cewek kedua kelas berteriak Hhuuuuu!! Sementara anak anak cowok tersipu sipu malu.
“Adik adikku sekalian, persahabatan itu lebih indah dari pada permusuhan. Persahabatan membuat kita bisa saling tolong menolong jika ada yang kesusahan. Lagipula masalah kalian cuma sepele kok, urusan cinta. Lebih baik mulai malam minggu depan kalian saling mengapeli ceweknya masing masing dengan nyaman, daripada seperti sekarang, ketemu usir, pukul, berantem….”
“Cuma masalahnya Bramo yang pertama mau ngejahatin Carinta, Bu. Kita semua kan kesal, anak kelas kita dilecehin!” seru Topan, yang diikuti yel yel Micky, Anjas dan anak anak 1-3 yang lain.
“Untuk itu Bramo punya urusan sendiri nanti sama saya!”
“Tapi, Bu… saya waktu itu kerasukan arwah Bandit yang mengutuk tempat ini, Bu! Makanya saya jadi gitu, Bu!”
“Bohong! Bohong!” teriak anak anak 1-3 emosi.
“Sebelum kejadian itu saya baru aja ngirim balasan surat cintanya yang saya tolak, Bu! Kata katanya sengaja saya bikin kasar!” ujar Carinta.
Huuuu! Sukurin! Anak anak berteriak mengejek Bramo.
“Bramo, kamu jangan percaya mitos. Dalam diri manusia memang ada sisi baik dan buruknya, mungkin pada saat itu kamu dirasuki pikiran pikiran kamu yang kotor!”
Anak anak kembali meneriaki Bramo.
“Sudah sudah, mulai sekarang tidak ada lagi permusuhan, anak 1-3 sudah boleh ngapelin Mayang, Mimi dan Rindu. Juga anak anak 1-4 yang mau ngapelin anak anak 1-3!”
Anak anak itu pun semua bersorak gembira.
“Jadi masalah kalian bener bener cuma ususan pacaran, bikin semua jadi runyam. Ayo sekarang saling berjabatan….”
Semua anak anak itu pun saling berjabatan tangan.
***
Topan ngamuk nggak karuan waktu menaruh ranselnya, di lacinya ada bangkai tigus got. Topan nggak terima, bangkai tikus itu cepat dia bungkus pake koran dan berlari mencari anak anak 1-4.
Bramo, Tino, Robert, Ponti dan beberapa anak anak 1-4 yang kebetulan lagi nongkrong di kantin dekat perumahan penduduk sambil makan ketoprak tersenyum ramah menerima kedatangan Topan. Topan pun balas tersenyum.
“Ini bakwan buat lo, masih anget!” Topan mengeluarkan isi plastik ke piring Bramo.
“Wah asyik Nih, lo ternyata baek banget, Pan!” ujar Bramo sambil menadahkan piringnya yang masih penuh ketoprak.
“Gue bagi dong,” ujar Ponti pula.
“Sabar,” sela Topan.
Isi plastik itu pun jatuh ke piring Bramo. Bramo kontan ngamuk melihat tikus got dipiringnya.
“Brengsek, kurang ajar lo!” Bramo langsung menghajar Topan dibantu Tino, Ponti dan Robert. Beberapa pukulan saling hantam. Sesaat kemudian Micky dan Anjas tiba membantu Topan, perkelahian pun jadi seimbang.
Tetua kampung si pembawa cerita mitos arena adu ayam muncul dengan membawa seekor ajam jantan aduan dan golok di pinggang, dia ikut melerai perkelahian bersama guru guru dan anak anak kelas yang lain.
“Daripada kalian berantem, mendingan adu ayam saja,” katanya setelah perkelahian bisa dilerai.
“Aku punya banyak ayam jago di rumah, kalian boleh pinjam untuk diadu, tapi bagusnya kalian harus beli. Daripada wajah kalian yang ganteng pada bonyok berantem kan lebih asyik ngadu ayam,” katanya sambil tertawa.
“Ya, ada benarnya juga, demi untuk persahabatan kalian sementara ini kalian boleh ngadu ayam, tapi tidak boleh pake taruhan. Ingat, kalo pake taruhan akan Bapak panggil polisi untuk menangkap kalian, mengerti.” Pasrah kepala sekolah yang terpaksa membolehkan anak didiknya ngadu ayam. Soalnya waktu kecil di kampungnya si Bapak juga sering ngadu ayam.
“Mengerti pak…!!!” jawab anak anak itu serentak.
Maka suatu hari, di belakang komplek sekolahan, di sekitar rumah penduduk kampung, Topan cs dan Bramo cs asyik ngadu ayam, malah pake taruhan. Mereka terlihat kompak.
Tetua kampung si pembawa cerita tersenyum senang ayam ayam piaraannya dibeli anak anak ingusan itu.
Mula mula mereka adu ayam, lalu sebentar lagi mereka akan berantem pake golok, senyum dalam hati si pembawa mitos gembira.
Lalu tampak matanya berkilat, seperti mata Iblis.[]
Penulis: Ganda Pekasih | Majalah Hai, Edisi Mei 2006.
0 komentar