Halim terkejut melihat anak lelakinya, Jevan, muncul dengan kepala gundul. Kaila, adik Jevan bahkan langsung menertawakan kepala gundul kakaknya.
“Tau tuh tukang cukur main papras rambut aku saja.” Keluhan itu langsung meluncur dari mulut Jevan. Ia seolah tahu, papanya akan melontarkan pertanyaan beruntun tentang rambutnya: kenapa? kok bisa? harusnya?
Jangankan papanya, Jevan sendiri bingung dengan kejadian bodoh yang dialaminya. Ia kesal kepada tukang cukur, tapi tak berdaya. Seolah nasi telah menjadi bubur. Meski kesal, Jevan tak mungkin meminta rambutnya yang telah dipotong dikembalikan.
Pertanyaan beruntun kemudian datang dari mamanya di rumah. Dengan disisakan rambut kurang satu centimeter, kata sang mama, Jevan jadi tampak kian bundar mendukung tubuhnya yang gemuk.
Sebelum berkepala gundul, hampir semua isi rumah mendorong agar Jevan memotong rambutnya yang sudah panjang dan cenderung kriting. Kata papa-mamanya, rambut Jevan sebenarnya bagus. Sayangnya ia malas merawat. Keramas kalau pas ingat. Akhirnya rambut yang seharusnya bagus itu jadi tampak gimbal. Kayak gembel!
“Masa rambut gimbal tidurnya di kamar ber-AC. Nggak cocok kale.” Papanya menyindir.
Saking gemesnya, mama Jevan pernah memaksa untuk mengeramasi rambutnya. Tapi itu hanya terjadi sekali saja. Setelah itu Jevan menolak mamanya melakukan hal serupa. Alasannya ia sudah dewasa, sudah disunat.
Hanya karena gurunya ikut menegur rambut Jevan yang tak terurus, akhirnya ia menuruti ajakan papanya untuk potong rambut.
Kali ini Jevan diajak potong rambut bukan pada tukang cukur langganan mereka. Alasannya pada saat bersamaan Kaila harus ke mini market untuk menukar kupon berhadiah yang sudah dikumpulkannya. Minimarket itu persis disamping kios tukang cukur.
Maka setelah memesan potongan yang diinginkan, bukan potongan gundul, Halim dan Kaila meninggalkan Jevan ke minimarket sebelah. Di mini market itu ternyata Kaila bukan hanya menukar kupon, tapi juga memilih-milih makanan dan minuman kesukaannya.
Eh, pas hendak membayar, komputer onlinenya mati sehingga harus dicatat kodenya satu persatu.
Saat antre membayar itulah Jevan muncul dengan kepala Gundul. Halim terkejut. Adiknya yang berbeda tujuh tahun dari Jevan langsung berteriak “Kepala kakak botak kaya Hadi hahaha….”
Hadi adalah teman main Kaila yang kerap diledekin Jevan dengan sebutan Hadi botak meski kepalanya tidak botak. Rupanya ia seperti kena hukum karma?
“Kepala gundul kan sama dengan kepala botak ya, Pa?” Jevan tersenyum seperti membenarkan perkataan adiknya.
***
Satu kali di akhir pekan, Halim mengantar kedua anaknya les. Istrinya kebetulan sedang ada pekerjaan tambahan di kantornya. Usai les, seperti biasanya, mereka jalan-jalan dan makan di mal.
Nah, saat makan di sebuah restoran cepat saji yang ada di mal, serombongan polisi datang mengiringi komandan mereka berpangkat Komisaris Besar, pangkat setingkat Kapolres. Halim menduga ada peresmian penting di mal tersebut.
Salah seorang polisi tiba-tiba menatap Jevan dengan serius. Jevan tampak terkejut dan segera tertunduk. Untungnya polisi itu segera berlalu. Namun peristiwa yang berlangsung sekitar satu menit itu mengusik keingin tahuan Halim.
Di rumah Jevan memenuhi janji untuk bercerita terkait tatapan polisi tadi. Ternyata Jevan mengungkapkan cerita yang mengejutkan bahwa ia menjadi saksi mata pembunuhan seorang pengedar narkoba.
Kala itu, Jevan sedang mencari Edo, teman sekolahnya, di sebuah gedung mangkrak sekitar 500 meter dari SMP negeri, tempat mereka bersekolah.
Ia hendak meminta flash disk yang dipinjam sang teman. Dalam flash disk tersebut ada data tugas sekolah yang belum dikoreksi dan harus dikumpulkan esok harinya. Jevan pun terpaksa memberanikan diri mencari sang kawan di gedung angker yang belum pernah dimasukinya itu.
Lalu ia berpapasan dengan seorang pria berambut cepak, bertubuh kekar, dan mengenakan jaket kulit hitam. Setelah bertanya ini dan itu, lelaki itu melarang Jevan meneruskan tujuannya. Pria itu seperti bisa menyimpulkan bahwa Jevan masih polos, bukanlah orang yang dicarinya.
Jevan akhirnya menuruti larangan itu karena takut. Namun ia tidak pulang karena harus mendapatkan flash disk pentingnya. Ia menyelinap masuk gedung melalui jalan lain.
Dengan mengendap-endap ia melihat bayang-bayang dua pria sedang berbincang-bincang. Salah satunya, pria berambut cepak yang tadi mengusirnya. Jevan berkosentrasi mendengarkan perbincangan keduanya.
Lalu si pria bertubuh kekar itu tampak marah besar. Sejurus kemudian ia mengeluarkan pistol dan menembak lelaki kurus di hadapannya. Pistol itu tampak kedap suara. Namun Jevan melihat korban penembakan berteriak dan tersungkur. “Jantung Jevan terasa berhenti sejenak , lalu berdegub kencang menyaksikan pemandangan itu.”
Esoknya Jevan membaca berita di koran lokal bahwa mayat di gedung angker itu adalah seorang pengedar narkoba. Lalu disebutkan, diduga korban dibunuh oleh sesama pengedar narkoba terkait urusan perebutan daerah kekuasaan.
Teman Jevan, Edo, membenarkan hal itu. Ia menyebut korban pembunuhan adalah alumni di sekolah mereka yang salah memilih teman. Edo bersyukur hari itu tak jadi datang menemui korban karena sepeda motor yang dinaikinya kempis, kena paku di jalan.
Halim terbengong mendegar cerita Jevan. Ia seolah tak percaya pengalaman mengerikan itu harus disaksikan anak sulungnya.
“Lalu apa hubungannya dengan polisi yang membikin kamu takut di mal tadi?” Halim bertanya serius sambil menatap lekat-lekat wajah anaknya yang mulai berjerawat kecil di dahinya.
“Masalahnya, wajah pria tadi persis dengan wajah polisi itu, Pa!” tegas Jevan.
“Hah! Serius kamu.”
“Seriuslah, Pa. Tahi lalat di pipinya sama persis. Pandangan matanya juga. Jevan berani sumpah!”
Halim bingung. Kepalanya tiba-tiba terasa berat karena disesaki banyak tanda tanya. Seorang polisi menembak pengedar narkoba sudah biasa jadi berita. Polisi menjadi beking peredaran narkoba juga bukan isapan jempol semata di negeri ini. Tapi tentu harus ada alasannya? Harus ada motifnya? Bukankah pengedar narkoba yang jadi korban pembunuhan itu juga punya keluarga?
Halim merasa apa yang dialami anaknya seperti kisah dalam sebuah film yang pernah disaksikannya, tapi entah film apa?
“Waktu bertemu polisi itu rambutku kan gimbal. Untungnya kepala aku sekarang gundul ya Pa. Jadi polisi itu tak mengenaliku lagi ,” duga Jevan sambil mengusap-usap rambut gundulnya.
Halim tertawa dalam hati.
***
Halim menceritakan kembali apa yang dikisahkan anaknya kepada sang istri. Mulanya sang istri serius. Namun begitu semua kisah dirampungkan, dan Halim menyebut sebuah film, ia tertawa ngakak.
“Papa…, itu kan kisah film Witness yang kita saksikan beberapa malam lalu.”
Ya, film yang dibuat sekitar tahun 1985 itu dan diputar ulang di saluran televisi berlangganan. Halim jadi inget, film itu dibintangi salah satu aktor idolanya, Harrison Ford.
Dalam film itu sang aktor menjadi polisi putih bernama John Book yang harus melindungi seorang bocah sekaligus saksi mata pembunuhan yang dilakukan polisi hitam, rekan sekantornya. Ironisnya, polisi hitam itu dilindungi atasannya langsung.
Seperti biasa, Book akhirnya berhasil membongkar persekongkolan polisi jahat dengan geng narkoba itu. Nah, usai nonton film, Halim sempat melontarkan tanya kepada istrinya; masih adakah polisi putih seperti detektif John Book di negeri ini?
Istrinya memberikan jawaban menggantung. “Mungkin ada, tapi Mama nggak tahu siapa?”
“Ah, sudahlah. Begitulah jadinya jika terlalu banyak nonton film detektif.” Kata sang istri, lalu ngeloyor pergi ke kamar tidur.
Di depan laptop, Halim tercenung lama. Antara mimpi dan kenyataan seperti berbeda tipis.
Benarkan apa yang telah diceritakan Jevan tadi siang? Mengapa polisi bersih di negeri ini selalu menunjuk contoh yang sudah meninggal dunia seperti Jendral Hoegeng dan Jendral Kunarto?
Ia lalu menutup laptopnya dan menyudahi fiksi yang sedang dibuatnya dengan dua alinea.
“Jika apa yang diceritakan Jevan benar, semoga keluarga korban pembunuhan diberikan ketabahan, semoga polisi yang melakukannya segera bertobat, dan kasusnya terungkap.”
“Jika ternyata salah atau mimpi belaka, semoga pembaca bisa memakluminya.”
Penulis: Fiksikulo
“Tau tuh tukang cukur main papras rambut aku saja.” Keluhan itu langsung meluncur dari mulut Jevan. Ia seolah tahu, papanya akan melontarkan pertanyaan beruntun tentang rambutnya: kenapa? kok bisa? harusnya?
Jangankan papanya, Jevan sendiri bingung dengan kejadian bodoh yang dialaminya. Ia kesal kepada tukang cukur, tapi tak berdaya. Seolah nasi telah menjadi bubur. Meski kesal, Jevan tak mungkin meminta rambutnya yang telah dipotong dikembalikan.
Pertanyaan beruntun kemudian datang dari mamanya di rumah. Dengan disisakan rambut kurang satu centimeter, kata sang mama, Jevan jadi tampak kian bundar mendukung tubuhnya yang gemuk.
Sebelum berkepala gundul, hampir semua isi rumah mendorong agar Jevan memotong rambutnya yang sudah panjang dan cenderung kriting. Kata papa-mamanya, rambut Jevan sebenarnya bagus. Sayangnya ia malas merawat. Keramas kalau pas ingat. Akhirnya rambut yang seharusnya bagus itu jadi tampak gimbal. Kayak gembel!
“Masa rambut gimbal tidurnya di kamar ber-AC. Nggak cocok kale.” Papanya menyindir.
Saking gemesnya, mama Jevan pernah memaksa untuk mengeramasi rambutnya. Tapi itu hanya terjadi sekali saja. Setelah itu Jevan menolak mamanya melakukan hal serupa. Alasannya ia sudah dewasa, sudah disunat.
Hanya karena gurunya ikut menegur rambut Jevan yang tak terurus, akhirnya ia menuruti ajakan papanya untuk potong rambut.
Kali ini Jevan diajak potong rambut bukan pada tukang cukur langganan mereka. Alasannya pada saat bersamaan Kaila harus ke mini market untuk menukar kupon berhadiah yang sudah dikumpulkannya. Minimarket itu persis disamping kios tukang cukur.
Maka setelah memesan potongan yang diinginkan, bukan potongan gundul, Halim dan Kaila meninggalkan Jevan ke minimarket sebelah. Di mini market itu ternyata Kaila bukan hanya menukar kupon, tapi juga memilih-milih makanan dan minuman kesukaannya.
Eh, pas hendak membayar, komputer onlinenya mati sehingga harus dicatat kodenya satu persatu.
Saat antre membayar itulah Jevan muncul dengan kepala Gundul. Halim terkejut. Adiknya yang berbeda tujuh tahun dari Jevan langsung berteriak “Kepala kakak botak kaya Hadi hahaha….”
Hadi adalah teman main Kaila yang kerap diledekin Jevan dengan sebutan Hadi botak meski kepalanya tidak botak. Rupanya ia seperti kena hukum karma?
“Kepala gundul kan sama dengan kepala botak ya, Pa?” Jevan tersenyum seperti membenarkan perkataan adiknya.
***
Satu kali di akhir pekan, Halim mengantar kedua anaknya les. Istrinya kebetulan sedang ada pekerjaan tambahan di kantornya. Usai les, seperti biasanya, mereka jalan-jalan dan makan di mal.
Nah, saat makan di sebuah restoran cepat saji yang ada di mal, serombongan polisi datang mengiringi komandan mereka berpangkat Komisaris Besar, pangkat setingkat Kapolres. Halim menduga ada peresmian penting di mal tersebut.
Salah seorang polisi tiba-tiba menatap Jevan dengan serius. Jevan tampak terkejut dan segera tertunduk. Untungnya polisi itu segera berlalu. Namun peristiwa yang berlangsung sekitar satu menit itu mengusik keingin tahuan Halim.
Di rumah Jevan memenuhi janji untuk bercerita terkait tatapan polisi tadi. Ternyata Jevan mengungkapkan cerita yang mengejutkan bahwa ia menjadi saksi mata pembunuhan seorang pengedar narkoba.
Kala itu, Jevan sedang mencari Edo, teman sekolahnya, di sebuah gedung mangkrak sekitar 500 meter dari SMP negeri, tempat mereka bersekolah.
Ia hendak meminta flash disk yang dipinjam sang teman. Dalam flash disk tersebut ada data tugas sekolah yang belum dikoreksi dan harus dikumpulkan esok harinya. Jevan pun terpaksa memberanikan diri mencari sang kawan di gedung angker yang belum pernah dimasukinya itu.
Lalu ia berpapasan dengan seorang pria berambut cepak, bertubuh kekar, dan mengenakan jaket kulit hitam. Setelah bertanya ini dan itu, lelaki itu melarang Jevan meneruskan tujuannya. Pria itu seperti bisa menyimpulkan bahwa Jevan masih polos, bukanlah orang yang dicarinya.
Jevan akhirnya menuruti larangan itu karena takut. Namun ia tidak pulang karena harus mendapatkan flash disk pentingnya. Ia menyelinap masuk gedung melalui jalan lain.
Dengan mengendap-endap ia melihat bayang-bayang dua pria sedang berbincang-bincang. Salah satunya, pria berambut cepak yang tadi mengusirnya. Jevan berkosentrasi mendengarkan perbincangan keduanya.
Lalu si pria bertubuh kekar itu tampak marah besar. Sejurus kemudian ia mengeluarkan pistol dan menembak lelaki kurus di hadapannya. Pistol itu tampak kedap suara. Namun Jevan melihat korban penembakan berteriak dan tersungkur. “Jantung Jevan terasa berhenti sejenak , lalu berdegub kencang menyaksikan pemandangan itu.”
Esoknya Jevan membaca berita di koran lokal bahwa mayat di gedung angker itu adalah seorang pengedar narkoba. Lalu disebutkan, diduga korban dibunuh oleh sesama pengedar narkoba terkait urusan perebutan daerah kekuasaan.
Teman Jevan, Edo, membenarkan hal itu. Ia menyebut korban pembunuhan adalah alumni di sekolah mereka yang salah memilih teman. Edo bersyukur hari itu tak jadi datang menemui korban karena sepeda motor yang dinaikinya kempis, kena paku di jalan.
Halim terbengong mendegar cerita Jevan. Ia seolah tak percaya pengalaman mengerikan itu harus disaksikan anak sulungnya.
“Lalu apa hubungannya dengan polisi yang membikin kamu takut di mal tadi?” Halim bertanya serius sambil menatap lekat-lekat wajah anaknya yang mulai berjerawat kecil di dahinya.
“Masalahnya, wajah pria tadi persis dengan wajah polisi itu, Pa!” tegas Jevan.
“Hah! Serius kamu.”
“Seriuslah, Pa. Tahi lalat di pipinya sama persis. Pandangan matanya juga. Jevan berani sumpah!”
Halim bingung. Kepalanya tiba-tiba terasa berat karena disesaki banyak tanda tanya. Seorang polisi menembak pengedar narkoba sudah biasa jadi berita. Polisi menjadi beking peredaran narkoba juga bukan isapan jempol semata di negeri ini. Tapi tentu harus ada alasannya? Harus ada motifnya? Bukankah pengedar narkoba yang jadi korban pembunuhan itu juga punya keluarga?
Halim merasa apa yang dialami anaknya seperti kisah dalam sebuah film yang pernah disaksikannya, tapi entah film apa?
“Waktu bertemu polisi itu rambutku kan gimbal. Untungnya kepala aku sekarang gundul ya Pa. Jadi polisi itu tak mengenaliku lagi ,” duga Jevan sambil mengusap-usap rambut gundulnya.
Halim tertawa dalam hati.
***
Halim menceritakan kembali apa yang dikisahkan anaknya kepada sang istri. Mulanya sang istri serius. Namun begitu semua kisah dirampungkan, dan Halim menyebut sebuah film, ia tertawa ngakak.
“Papa…, itu kan kisah film Witness yang kita saksikan beberapa malam lalu.”
Ya, film yang dibuat sekitar tahun 1985 itu dan diputar ulang di saluran televisi berlangganan. Halim jadi inget, film itu dibintangi salah satu aktor idolanya, Harrison Ford.
Dalam film itu sang aktor menjadi polisi putih bernama John Book yang harus melindungi seorang bocah sekaligus saksi mata pembunuhan yang dilakukan polisi hitam, rekan sekantornya. Ironisnya, polisi hitam itu dilindungi atasannya langsung.
Seperti biasa, Book akhirnya berhasil membongkar persekongkolan polisi jahat dengan geng narkoba itu. Nah, usai nonton film, Halim sempat melontarkan tanya kepada istrinya; masih adakah polisi putih seperti detektif John Book di negeri ini?
Istrinya memberikan jawaban menggantung. “Mungkin ada, tapi Mama nggak tahu siapa?”
“Ah, sudahlah. Begitulah jadinya jika terlalu banyak nonton film detektif.” Kata sang istri, lalu ngeloyor pergi ke kamar tidur.
Di depan laptop, Halim tercenung lama. Antara mimpi dan kenyataan seperti berbeda tipis.
Benarkan apa yang telah diceritakan Jevan tadi siang? Mengapa polisi bersih di negeri ini selalu menunjuk contoh yang sudah meninggal dunia seperti Jendral Hoegeng dan Jendral Kunarto?
Ia lalu menutup laptopnya dan menyudahi fiksi yang sedang dibuatnya dengan dua alinea.
“Jika apa yang diceritakan Jevan benar, semoga keluarga korban pembunuhan diberikan ketabahan, semoga polisi yang melakukannya segera bertobat, dan kasusnya terungkap.”
“Jika ternyata salah atau mimpi belaka, semoga pembaca bisa memakluminya.”
Penulis: Fiksikulo
0 komentar