Monday, November 12, 2012

Cerpen Horor: "Tempat Persembunyian"

"Lucky!"

Gawat! Mereka datang.

"Jahat sekali, mengapa kau tak menunggu kami?" sahut Rina sambil cekikikan bersama kembarannya. Rina dan Sasha, mereka bukan kembar sebenarnya, hanya saja wajah dan penampilan mereka memang mirip atau sengaja disamakan. Kelihatan jelas kalau mereka berdua tertarik padaku dan berusaha menarik perhatianku.

"Kami boleh ikut masuk bersama kalian, kan? Bukankah lebih asik kalau kita masuk beramai-ramai?" timpal Sasha masih cekikikan.

Mereka berdua selalu menggangguku, padahal sekarang aku ingin masuk rumah hantu ini berdua saja dengan Mika. Berbeda dengan duo centil, Mika sangat pendiam dan tenang, dia hampir tak menunjukkan ekspresi apapun. Menurutku tipe gadis sepertinya sangat manis, dia juga cantik. Aku ingin jadi pria pertama selain ayahnya yang melihat senyumnya, air matanya, ketakutannya. Seharusnya rumah hantu di taman bermain ini adalah kesempatanku melihat semua ekspresinya itu.

"Benarkah kalian mau ikut masuk? Katanya rumah hantu ini menyeramkan, lho," kataku menakut-nakuti mereka, namun mereka tetap cekikikan.

"Tak apa-apa. Selama ada Lucky kami akan baik-baik saja. Iya kan, Sha?" Rina mengedipkan mata pada temannya, sangat menyebalkan. Aku hanya bisa pasrah saat palang pembatas dibuka dan duo centil itu terus mengikuti kami ke dalam.

Kekurangan cahaya sangat terasa ketika kami mulai memasuki rumah hantu itu. Kami berempat berjalan dalam barisan seperti saat di antrian tadi. Mika mendapat tempat kehormatan di depan, aku di belakangnya, Rina menempel di punggungku, dan Sasha mengikuti paling akhir. Jujur saja, aku tak begitu berani dalam hal seperti ini. Tapi aku tahu Mika sangat tertarik pada makhluk halus dan hal mistis sejenisnya, jadi sebaiknya dia saja yang berjalan paling depan daripada aku mempermalukan diriku sendiri.

Ruang pertama dibatasi tirai manik-manik. Terlihat patung atau boneka bertampang seram yang duduk memakai baju tak beraturan, mungkin dia dimaksudkan sebagai penjaga gerbang. Di sekelilingnya ditebarkan dedaunan dan ranting kering. Kami melangkah perlahan dan mengamati ruangan itu dalam diam, tampaknya efek bunyi menyeramkan yang berkumandang dalam rumah ini telah membungkam tawa duo centil. Baguslah.

Srrreekk...

Mika berhenti tiba-tiba.

"Ada apa?" Meskipun bertanya begitu, sebenarnya aku juga melihat apa yang membuatnya berhenti. Sekilas ada bayangan melesat dan menghilang di antara ranting kering. Gerakan itu mengenai boneka berwajah seram dan membuat posisi duduknya sedikit miring ke depan.

"Kau lihat? Patung itu bergerak..." Senyuman aneh menghiasi wajah Mika.

"Mungkin ini robot, mereka sengaja membuatnya bergerak untuk menakuti kita," jawabku berusaha tetap rasional.

"Mengapa kalian berhenti? Ayo maju." Rina mendorong punggungku agar kami melanjutkan ke ruangan selanjutnya.

Ruang kedua seperti ruang tamu atau ruang keluarga. Deretan pigura foto tergantung di dindingnya. Rina dan Sasha segera menjerit ketika gambar-gambar dalam foto itu berubah dan berdarah, sangat berisik. Dering telepon di sudut ruangan semakin mengeraskan jeritan mereka. Aku sendiri tak terlalu memperhatikan gambar-gambar itu jadi menurutku ruang ini tak begitu menyeramkan.

Ssssttt...

Bisikan itu membuatku merinding. Aku yakin suara itu bukan berasal dari speaker yang memutar efek bunyi horor sepanjang ruangan. Aku hampir saja berteriak ketika dinding kosong yang kusentuh bergerak. Mataku menipuku, dinding kusam itu terus menonjol membentuk pigura, terbentuk wajah seorang gadis kecil yang meletakan jari telunjuk di depan mulutnya sebagai isyarat diam. Dalam satu kedipan, penampakan itu lenyap. Sial, ini juga pasti salah satu trik rumah hantu seperti gerakan ranting dan boneka di ruangan pertama tadi. Segera kupercepat langkahku mengajak ketiga gadis lainnya ke ruang berikutnya.

Cerpen Horor: "Tempat Persembunyian"
Ruang ketiga berwarna merah. Cahaya lampunya merah. Dinding, lantai, dan perabotan dilumuri cat merah yang mungkin dimaksudkan sebagai darah. Tawa kuntilanak membuat duo centil menjerit sesekali. Di atas meja makan disajikan model organ dalam manusia dan darah dalam piring dan gelasnya. Boneka-boneka vampir, monster, dan makhluk tak jelas duduk di sekelilingnya dalam ekspresi girang siap menyantap makanan kesukaan mereka. Mendadak boneka lain dalam bentuk mayat wanita dengan perut terbuka meluncur ke bawah meja. Rina dan Sasha semakin histeris, terdengar isakan tangis mereka. Aku yang juga sangat terkejut malah jadi ingin tertawa.

Boneka mayat itu sepertinya tersangkut, setengah tubuhnya masih tertinggal di luar perlindungan taplak meja berwarna hitam. Awalnya kupikir dia memang didesain seperti itu, sampai perlahan-lahan boneka berwajah memelas itu mulai tertarik ke dalam. Tersendat-sendat, boneka itu terus ditarik ke bawah meja. Jantungku serasa berhenti berdetak, ada tangan putih kecil yang mencengkeram kepala benda mati itu ke balik taplak meja!

Hey, apakah selain boneka dan robot wahana ini juga memakai manusia hidup sebagai model hantunya?

Aku tak mau memikirkannya terlalu serius. Namun tetap saja menurutku manusia yang pura-pura menjadi hantu lebih menyeramkan daripada boneka dan mesin. Sudahlah, tujuanku masuk ke sini adalah untuk bersenang-senang bersama Mika, bukan untuk memperhatikan hal remeh seperti itu. Sebaiknya kunikmati saja adegan-adegan horor dalam rumah ini.

Ruang keempat seperti memasuki ruang bawah tanah, cahayanya semakin redup di dalam sini. Ruang ini berupa lorong panjang berliku yang menunjukkan penyiksaan dan eksekusi kejam pada abad pertengahan di eropa, seperti tengkorak yang digantung, kursi listrik yang tiba-tiba menyala, model boneka yang dipancung, dan seterusnya. Duo centil semakin sering menjerit setiap beberapa langkah karena terkejut. Hebatnya, Mika tetap berjalan tenang di depan kami seperti pemandu saja. Matanya berbinar senang melihat semua atraksi itu.

Terkadang sekumpulan kelelawar mainan berkepak melintasi kepala kami, diiringi teriakan korban penyiksaan dari speaker. Kurasakan sesuatu menetes di tengkukku, aku segera menoleh ke belakang karena berpikir itu adalah tetesan air mata Rina. Gadis itu dan kembarannya memang menangis, tapi tinggi tubuh mereka tak melebihi bahuku, jadi tak mungkin ini air mata mereka. Aku mengusap tetesan itu lalu mencium tanganku, bau pesing. Sial, ini mungkin air kencing kelelawar tadi. Ternyata mereka bukan mainan.

Ruang kelima melewati sungai. Sungai asli, bukan selokan atau sungai buatan. Pernak-pernik dalam ruangan ini juga lebih alami dengan rerumputan, semak, pohon-pohon, dan rumpun bambu. Terdengar lolongan serigala sesuai gambar yang dilukis di kedua sisi ruangan, yaitu gambar serigala di atas gunung yang melolong pada bulan purnama. Tantangan dalam ruangan ini adalah... kami harus melewati jembatan gantung!

Di sini keberanianku kembali muncul, aku sengaja melompat dan menggoyangkan jembatan itu, Mika juga dengan senang hati mengikuti tingkahku. Seperti yang kuduga, Rina dan Sasha menangis sejadi-jadinya. Mereka hanya duduk gemetar di tengah jembatan sambil mencengkram ujung bajuku erat sehingga aku tak bisa maju. Mereka terus memohon agar aku berhenti melompat. Karena kasihan akhirnya aku menurut. Rasanya butuh waktu puluhan menit sampai akhirnya mereka mau meneruskan perjalanan sampai di ujung jembatan.

"Ada apa?" tanyaku pada Mika yang tampak kebingungan.

"Pintunya tak bisa terbuka," jawab gadis itu gugup. Keringat dingin membasahi wajanya.

"Coba kulihat." Aku melewatinya mendekati pintu jeruji itu.

Kudorong, tak bergerak. Kutarik, masih tak bergerak. Kupukul dan kutendang, sepertinya pintu ini macet. Gawat!

"Lucky, ada apa?" tanya Sasha dari belakang. Dandanannya luntur karena air mata, begitu pula dengan Rina. Arrgh, sekarang bukan saatnya memperhatikan dandanan mereka!

"Pintunya macet, tunggu sebentar," kataku berusaha tetap tenang. Kukerahkan segenap tenaga untuk menarik dan mendorongnya. Sial! Aku tak mau terjebak dalam tempat ini!

"Bagaimana ini? Kita terjebak?" rengek Rina mulai panik, disusul tangisan Sasha. Menyebalkan, aku tak butuh tangisan mereka untuk membuatku semakin cemas.

"Apa kalian tak bisa diam!?" raungku kesal.

"Rina, Sasha, tenanglah. Lucky, sudahlah. Mungkin kita tersesat. Coba kita kembali ke ruangan sebelumnya, mungkin ada pintu lain menuju jalan keluarnya." Aku mengangguk menyetujui usul Mika. Rina dan Sasha merengek lagi karena tak mau melewati jembatan gantung.

"Tak apa-apa. Kami akan berjalan pelan-pelan," hibur Mika. Setelah puluhan menit berikutnya, akhirnya duo cengeng mulai meniti papan jembatan itu. Formasi kami kini berubah, Sasha di depan, diikuti Rina, kemudian Mika, dan aku paling belakang. Perjalanan kami makin lambat karena dipimpin duo cengeng itu.

"Tidak!" Mendadak Sasha duduk dan menutup wajahnya di tengah jembatan.

"Ada apa lagi? Ayo jalan," seruku tak sabar.

"Di bawah... Di bawah... ada mayat!" jerit Sasha sambil menggeleng keras.

Serentak aku, Mika, dan Rina melongok ke bawah. Bukan mayat, hanya secarik pakaian anak-anak yang hanyut dan tersangkut di pinggir sungai. Arus sungai di bawah jembatan ini memang cukup deras, kurasa mereka sengaja menggunakannya untuk menghanyutkan sampah seperti itu.

"Itu cuma pakaian. Tidak ada mayat di sini. Cepat berdiri!" perintahku pada Sasha. Setengah mengintip, gadis berbaju pink itu melirik ke arah sungai lalu mulai berjalan lagi.

Aku merasa lega setelah memasuki ruang keempat. Ruang ini sedikit lebih terang daripada ruangan jembatan gantung itu. Dua kali melewati lorong ini, aku sudah tak takut lagi melihat atraksinya. Sedangkan tangisan duo cengeng semakin keras. Aku baru menyadari jeritan mereka sebelumnya hanyalah lelucon, jeritan kali ini adalah ekspresi ketakutan mereka yang asli. Aku juga khawatir, namun aku merasa lebih baik tetap bergerak sambil mencari jalan keluarnya daripada hanya berdiam diri dan menangis.

Cring cring cring...
Cring cring cring...

Dari arah sebaliknya muncul serombongan keluarga berjalan mendekat. Keluarga itu terdiri atas pasangan suami istri yang mesra dan kedua putri mereka yang kelihatannya sama-sama berumur di bawah sepuluh tahun. Entah mengapa aku yakin kedua pasangan itu baru saja menikah sambil membawa anak dari pernikahan mereka sebelumnya, maksudku kedua gadis kecil itu bukan saudara kandung. Aku tak ingat melihat mereka saat di antrian, mungkin mereka datang setelah kami masuk.

"Maaf, Pak. Sepertinya kami tersesat. Bisakah anda membantu kami mencari jalan keluarnya?" Pertanyaan Mika pada kepala keluarga itu membuatku malu. Yaah, mungkin dengan cara ini kami bisa keluar dari tempat menyebalkan ini. Tapi keluarga itu terus berlalu seolah tak melihat kami.

"Hey, kami bicara padamu. Mengapa kau mengacuhkan kami!?" seruku pada pria itu lagi. Mereka tetap berpura-pura tak melihat kami.

"Lucky, Mika, kalian bicara pada siapa?" Sasha dan Rina saling memeluk sambil menatap kami kebingungan.

"Mereka. Keluarga itu. Kalian tak lihat?" jawabku menunjuk ke arah mereka pergi. Saat aku menoleh, suami istri itu menghilang. Hanya ada kedua anak gadis mereka yang tampaknya sedang berdiskusi dalam bisikan.

Tunggu dulu, gadis kecil yang satunya mirip dengan gambar timbul di dinding ruangan penuh foto hantu itu! Ya, gadis itu! Gadis kecil yang memakai bel kecil di pita rambutnya! Setelah kuperhatikan, baju putihnya juga mirip dengan pakaian yang hanyut di sungai! Jangan bilang kalau dia itu hantu!

"Tapi, Kak. Aku takut..." bisik gadis kecil berpita bel itu.

"Jangan khawatir, kami akan segera kembali. Kau tunggu saja di sini, bersembunyilah agar tak dilihat petugas. Kita akan membuat kejutan ulang tahun pernikahan ayah dan ibu. Pegang hadiah ini, jangan sampai hilang. Berjanjilah kau takan keluar sampai kami datang." Gadis kecil itu mengangguk menuruti perintah kakak tirinya. Kemudian kakaknya pergi, meninggalkan si gadis kecil yang kebingungan mencari tempat persembunyian.

Setelah itu gelap. Sangat gelap. Sunyi. Listrik padam. Rina dan Sasha menjerit bersamaan, mereka panik dan menangis sejadinya. Dengan cepat kugenggam tangan Mika yang sedikit licin karena berkeringat. Aku menggapai ke arah suara tangisan untuk meraih duo cengeng. Tapi tangisan mereka seolah bergaung bergema, semakin pelan, lalu senyap. Hanya terdengar hembusan napas Mika yang tersendat.

Cring...

Sial! Itu bukan suara Mika! Tangan kecil yang kugenggam menarikku. Aku segera berlari mengikutinya, hampir saja aku tersandung dan jatuh. Entah kemana hantu gadis kecil ini akan membawaku. Kemudian tiba-tiba genggamannya juga lenyap.

Terengah, kurogoh isi saku celanaku mencari ponsel. Ada. Baterainya cukup. Untungnya sinar dari layar ponsel ini bisa menerangi sejauh tiga kaki di depanku. Baiklah, apa yang harus kulakukan sekarang? Kurasa aku akan mencari ketiga temanku dulu.

Krrrrkkk Krrrkk...
Bip.

Cahaya ponselku berkedip-kedip lalu mati. Bagus sekali.

"Hey!"

Sial, sepertinya hantu itu sengaja merusak ponselku agar aku mau mengikuti keinginannya. Baiklah. Tak perlu berpikir panjang untuk mengetahui bahwa dia ingin aku mencari sesuatu. Menurut dugaanku, orang tua dan kakak tirinya tak kembali saat itu, jadi mungkin dia masih bersembunyi dalam rumah hantu ini sampai sekarang. Karena menunggu terlalu lama, dia pasti sudah meninggal. Jadi yang harus kulakukan sekarang adalah mencari mayatnya, atau bel kecil pita rambutnya, atau arwahnya, entahlah. Sebaiknya aku segera mulai mencari bila tak mau terlalu lama terjebak di sini. Ajaibnya, setelah berpikir seperti itu ponselku menyala lagi.

Bagaimanapun, tempat ini jadi seribu kali lebih menyeramkan dalam kegelapan dan keheningan. Bercak darah, tengkorak mainan, boneka model hantu, mereka semua tak henti-hentinya memberiku serangan jantung. Apalagi dengan adanya hantu sungguhan di sini. Bulu kudukku meremang, kepalaku terasa membesar dua kali lipat, seolah aku juga akan melebur dalam kegelapan ini.

Di bawah jembatan gantung, tak ada apa-apa, pakaian hanyut itu juga tak ada. Di dalam peti mati, tidak ada. Di sela-sela dinding, nihil. Di ruang penyiksaan, kosong. Di belakang boneka dan robot, bukan. Di bawah meja makan?

Aku meringkuk untuk mengintip di balik taplak meja makan. Boneka model mayat wanita usus terburai itu menghalangi pandanganku, susah payah aku menariknya untuk menyingkirkannya. Bau pesing menguar menyumbat pernapasanku. Tetap tidak ada apa-apa di bawah meja. Hanya ada kotak biru berkelip tak berguna. Ah, itu kan...? Kotak hadiah ulang tahun pernikahan orang tuanya!

Kuraih kotak itu dan membukanya. Hanya tersisa remah roti di dasarnya. Mendadak aku merasa sangat sedih. Bisa kubayangkan gadis kecil itu bersembunyi di sini, selama berhari-hari, sendirian. Dia pasti terus menangis, memanggil nama ayah, ibu, dan kakaknya, tapi suaranya tenggelam dalam bunyi efek rumah hantu ini. Karena telah berjanji pada kakaknya dia tak pernah keluar meskipun hanya untuk ke toilet. Ketika lapar, dia membuka kotak ini dan memakan potongan roti di dalamnya sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya roti itu habis dan dia kelaparan, dia tetap menunggu. Kemudian gadis kecil berpita bel kecil itu meninggal...

Pats!

Listrik kembali menyala. Aku mengerjapkan mataku untuk menyesuaikan dengan cahaya. Seorang pria berseragam mendekatiku, butuh beberapa puluh detik bagiku untuk menyadari kalau dia adalah manusia hidup. Maksudku, dia adalah petugas wahana rumah hantu ini.

"Kau baik-baik saja?" Aku mengangguk menjawab pertanyaan pria itu. Lalu dia mengantarku kembali lewat pintu depan. Sekarang aku takan pernah tahu kelanjutan atraksi rumah hantu ini, padahal mungkin saja akan ada pocong atau makhluk yang lebih menyeramkan lagi. Namun keinginanku untuk kembali ke sini telah hilang bersama penyesalan hantu gadis kecil itu.

Setelah sampai di luar, kupaksakan tenggorokanku yang kering bersuara, "Maaf, Pak. Aku menemukan kotak ini di bawah meja. Kurasa ini milik seorang gadis kecil yang meninggal di dalam sana." Petugas itu terkejut mendengarku. Aku benar, gadis itu memang meninggal di dalam rumah hantu.

"Itu kasus tiga tahun yang lalu. Kejadian anak hilang di taman bermain memang biasa terjadi, tapi kami sama sekali tak menduga dia bersembunyi di rumah hantu itu. Kami baru mengetahuinya setelah beberapa hari kemudian keluarganya kembali, kakaknya berteriak mengatakan gadis itu bersembunyi di dalam sana. Awalnya kakaknya itu hanya ingin mengerjainya karena tak suka ayahnya lebih menyayangi gadis kecil itu. Dia pikir gadis itu akan segera keluar karena ketakutan. Tapi terlambat, saat ditemukan gadis kecil itu sudah meninggal. Kudengar sekarang kakaknya jadi gila karena merasa bersalah," cerita petugas itu menjelaskan semuanya.

Jadi mayatnya sudah ditemukan, dan sudah dikuburkan. Hanya tersisa kotak hadiah ini yang selalu dijaganya dalam tempat persembunyiannya. Sekarang dia sudah bisa tenang di alam sana. Semoga dia tak tersesat dalam rumah hantu itu lagi.

"Oh ya, Pak. Di mana teman-temanku?"

"Mereka ada di pos satpam, sepertinya mereka baik-baik saja. Tak perlu khawatir," jawaban petugas itu melegakanku. Aku bergegas menuju arah yang ditunjuknya untuk menemui ketiga gadis itu.

"Lucky! Kau baik-baik saja. Syukurlah..." Mika menyambutku gembira. Aku tak segan memeluknya mengungkapkan rasa syukurku.

"Rina dan Sasha?" tanyaku mencari duo cengeng. Mika menoleh mengarahkan pandanganku ke samping. Mereka berdua duduk tenang di atas bangku panjang, kelihatannya terguncang. Ada yang aneh. Pandangan mereka kosong.

"Apa yang terjadi pada mereka?" Mika malah tertawa mendengar pertanyaanku.

"Rumah hantu itu sangat luar biasa. Ternyata ada hantu sungguhan di dalamnya. Mereka berdua sangat berisik, jadi aku minta bantuan hantu itu untuk membungkam mereka," jawab gadis itu sambil menyeringai.

Baru kusadari Mika berubah jadi lebih ekspresif daripada biasanya.

Cring cring...

Penulis: Yellowmoon | Teks | Pic

0 komentar