Monday, November 12, 2012

Cerpen Horor: Simfoni Altaria

“Buka pelan-pelan, Nak…” Aku mengangguk mengiyakan. Jantungku berdegup tak keruan. Mesipun aku cowok, deg-degan sedikit tak masalah, bukan? Terutama karena ini akan jadi pertama kalinya setelah sekian lama. Aku membuka perban yang mengelilingi lingkar kepalaku sedikit demi sedikit. Udara dingin khas rumah sakit segera menyergap kedua pelupukku begitu kain kasa itu terlepas. Perlahan aku mengangkat kelopak mataku. Awalnya semua putih, lalu menjadi siluet, kemudian menjelma sebagai berbagai benda dan wajah-wajah cemas dokter serta keluargaku.

“Bagaimana?”Dokter bertanya, keraguan nampak dari tatapannya. Mungkin disebabkan oleh raut wajahku yang tak meyakinkan. Memang mata kananku dapat melihat dengan sangat jelas – tentu, yang kanan sejak awal baik-baik saja – sedangkan yang sebelah kiri sedikit kabur. Tapi, sedikit kabur masih lebih baik daripada tidak sama sekali.
“Ini sempurna,” dustaku. Ibu menyambut dengan desahan lega.


“Kak Revooooo!!!!” Bocah berusia 6 tahun itu berlari menerjangku saat turun dari taksi. Ekh! Dia mau apa?! Greb. Oh, rupanya sebuah dekapan hangat.

“Kak, maafin Raka, ya… Gara-gara Raka, Kakak,….” Dia tiba-tiba terisak, tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Adikku tetap cengeng seperti biasanya. Hahaha. “Sudah, sudah… Toh aku sudah ngak apa-apa, kan?” Mata kiriku dulu rusak ketika awal liburan, aku dan Raka iseng mendatangi hutan di dekat rumah Kakek. Salah satu cabang pohon yang sudah lapuk nyaris menimpa anak itu. Aku sempat menariknya namun serpihan kayu terlanjur masuk ke mataku.

Yah, yang lalu biarlah berlalu.


Hal paling kunanti setelah mataku dapat melihat lagi adalah melanjutkan novelku. Tidak, maksudku novel kami. Milikku dan Nanda.

Tempat paling inspiratif di perumahan ini, adalah taman kecil berjarak lima rumah dari kediaman keluargaku. Bukan taman sungguhan, sih. Cuma sebidang tanah kosong penuh pepohonan teduh. Fasilitasnya juga hanya sebuah air mancur kecil dan kursi panjang. Bagaimana pun, itu tempat yang sangat kusukai. Yang paling mudah memancing imajinasi. Sejak kembali ke kota ini setengah tahun lalu, ‘taman’ inilah yang paling sering kukunjungi.

Hmh? Kursinya sedang dipakai, ya? Ada seorang gadis kecil berambut sebahu duduk di bangku taman. Ia mengenakan baju terusan putih tanpa lengan, memperlihatkan tangannya yang kurus. Rona kulitnya pucat seperti orang sakit. Aku tak bisa melihat wajahnya dari arah sini. Tapi aku berani menjamin belum pernah mengenal anak itu. Seingatku tak ada putri tetanggaku yang berciri-ciri seperti dia. Aku menghampirinya. Setidaknya, ia pasti mengizinkanku duduk di sebelahnya. Biasanya anak kecil baik padaku. Aku terkesiap ketika mencapai kursi tersebut.

Hei, aku yakin tadi ada orang di sini. Jelas-jelas aku melihat seorang gadis kecil. Lalu kenapa tak ada siapa pun sekarang? Paling-paling hal barusan hanya ilusi. Sekedar halusinasi. Ayo, Revo, fokus pada tujuanmu ke sini. Aku segera duduk manis menyalakan laptop, melanjutkan adegan yang terakhir kali kutorehkan di sana. Benakku langsung saja berpacu. Memasuki gerbang mimpi.

Ah. Sudah dua jam. Lumayan, chapter sembilan hampir selesai. Ehm, tapi adegan ini, selanjutnya bagaimana, ya…? Melemparkan punggung di sandaran bangku, aku mulai membayangkan apa yang ingin kutulis.
Saat itulah aku menyadari sesuatu.Dari sudut mata, aku melihat ada yang berdiri di belakangku. Siapa pun itu, dia sedikit menjulurkan kepalanya, seolah mengintip pekerjaanku. Dia gadis kecil yang tadi! “Apa yang–,“ seruku terputus. Gadis itu menghilang sewaktu aku membalikkan badan. Tidak, kurasa sejak awal aku memang sendirian. Lagi. Ini sudah dua kali. Ada apa dengan otakku hari ini?


Perjalanan ke rumah kali ini sedikit lebih lama dari biasanya. Aku memilih jalan memutar agar dapat mampir ke rumah Nanda. Maksudku ke depan rumahnya. Tetap terlihat suram seperti sedia kala. Masih belum ada yang mau membeli rumah besar tersebut sejak usiaku tujuh tahun.

Aku memukul dahiku pelan. Bodoh. Tentu saja bila ada tetangga baru atau Nanda kembali, aku pasti diberitahu. Belakangan ini, kan, hanya sebelah mataku yang mengalami malfungsi, bukan keduanya. Aku masih sering melintasi rumah ini ketika ‘bermata satu’. Namun entah mengapa hari ini kakiku kembali menarikku ke sini. Seolah ada kabar baru tentang Nanda.

"Kak Revo, malam ini aku tidur di sini, ya?” Raka berdiri di ambang pintu. Dia membawa beberapa dvd kartun anak-anak favoritnya. Pandangan laparnya tertuju ke arah dvd player yang tersimpan rapi di atas lemari buku. Orang tuaku terlalu sibuk untuk memutar film, jadi benda itu ditaruh di sini. “Terserah. Tapi jangan berisik, aku mau nulis,” sahutku. Raka bersorak girang. Ternyata setelah diizinkan, dia berbohong. Bukannya tenang, tawa malah membahana di kamarku. Pada akhirnya, aku terpaksa ikut menonton dan terbahak bersamanya.

Tengah malam. Dari kejauhan menggema gonggongan anjing liar. Terdengar dengkuran lembut di dekatku. Tidak ada suara televisi ataupun putaran kaset. Berarti Ibu sudah berpatroli dan mematikan alat elektronik yang tidak sedang dipakai. Aku memaksakan diri membuka mata, memastikan semua alat elektronik benar-benar telah dimatikan. Ternyata televisi belum. Namun dvd player-nya sudah, karena permukaan tv hanya menampilkan layar kosong berwarna biru. Lampu kamar juga padam. Di bawah, Raka memeluk lutunya dengan wajah terpaku pada layar. Apa yang dia lakukan?

Duduk di tempat tidur, aku baru hendak memanggil anak itu ketika aku mendengar kembali suara nafas teratur. Aku menoleh. Raka terlelap di sebelahku. Lalu siapa yang duduk di karpet di depan meja televisi? Berusaha tidak termakan ketakutan, aku mengecek sekali lagi. Televisi dalam kondisi sama seperti tadi, tapi tak ada anak kecil duduk di depannya.

Setelah mematikan tv, aku mencoba tidur. Mencoba, karena sulit sekali untuk tidur tenang. Tiap memejamkan mata, aku selalu merasa seseorang mengawasi dari samping kasurku. Padahal di ruangan ini hanya ada kami berdua.


Aku terbangun oleh cekikik geli. Pagi-pagi begini Raka sudah menyetel televisi. Lho, kenapa suaranya dekat sekali? Sepenuhnya terbangun, aku menyadari Raka bukannya menertawai Crayon Sinchan, Spongebob atau Donald Duck di televisi. Dia menertawaiku. Tepatnya mukaku. Tangannya menggenggam spidol warna. Ini tidak beres!

Aku melompat berdiri. Ponselku tersenggol hingga jatuh. Peduli amat. Aku berlari ke kamar mandi terdekat. Untungnya yang ini ada wastafel serta cerminnya. Benar saja, wajahku sudah penuh gambar bunga, kumis, dan berbagai ornamen lainnya. Raka..!

Ngh? Di pojok kanan atas cermin tertera sebuah tulisan. Merah, sepertinya ditulis dengan lipstick. Aku berjinjit agar dapat melihat dengan jelas. Tulisannya tidak rapi, penempatan huruf kapitalnya juga tak jelas. Seperti tulisan anak-anak.

jaDi reVo SudaH LuPa? 

Aku? ‘Lupa’ apa?

Setelah itu aku menanyai Ibu. Ibu malah balik bertanya apa aku melihat lipsticknya. Sedangkan Ayah cuma menjawab dengan gurauan garing saat aku menceritakan tulisan di kamar mandi. Beliau pikir aku yang sengaja menulisnya untuk menciptakan sensasi. Aku tentunya bukan. Berarti Raka. Tapi kalau dipikir-pikir, tak mungkin Raka yang menulisnya. Dia kan pendek. Selain itu dia juga belum mengerti tanda baca. Dan mustahil pula dia memikirkan kalimat seambigu dan sesusah itu buat mengerjaiku.


Pukul 14.49. Matahari bersinar terik. Peluh sampai menetes di pipiku. Suasana begini, enaknya tidur siang. Tapi aku harus segera menyelesaikan naskahku selama libur panjang kelulusan ini. Kudengar para guru di SMA hobi memberi banyak tugas pada murid-muridnya. Takkan ada waktu luang nanti. Aku melangkah menuju kamarku, melintasi sebuah jendela yang menghadap ke jalanan. Melewati seorang anak kecil yang termenung memandang ke luar. Awalnya aku tenang-tenang saja, mengira itu Raka. Namun kemudian aku teringat, bahwa adikku laki-laki. Bukan perempuan.

Dia gadis kecil itu. Yang selalu muncul dan menghilang tiba-tiba. Kenapa aku terus berhalusinasi tentang dia?! Dan lagi, dia menatap ke luar. Ada apa di sana? Aku berderap kembali ke jendela tempatku berilusi. Tirainya menari tertiup angin. Sepi, tanpa ada aura kehidupan. Aku mendekat. Terlihat seorang pria paruh baya di seberang rumah. Sembari tersenyum sangar pada diri sendiri, matanya terfokus pada rumahku. Lalu dia bicara pada rekannya, pria berjenggot lebat yang bertengger di atas sepeda motor. Sebuah instruksi, kurasa. Perawakan mereka memang agak mengerikan. Memakai jaket kulit hitam dengan celana jeans robek-robek. Tetapi aku tidak boleh menghakimi seseorang hanya dari penampilan luarnya. Biarkan saja mereka di situ. Tiap manusia kan punya urusan masing-masing.

Keruntuhan Altaria – the Fall of Altaria – adalah judul karya yang kukerjakan. Aku yang memikirkan detilnya, serta mengetik semuanya. Tapi novel ini bukan milikku seorang. Nanda merupakan yang pertama membuat gagasan intinya. Ia selalu menggoreskan imajinasinya ke dalam gambar-gambar. Waktu itu kami masih kecil, jadi wajar saja kalau gambar ciptaannya belum bisa dibilang bagus. Anehnya, dulu aku yang masih polos dengan gampang terpesona oleh lukisannya. Kurasa karena ia akan menuturkan segala kisah yang dibayangkannya ketika tangannya menari di atas kertas. Karena gadis cilik berkepang satu itu akan membawakan cerita yang berada di luar pemikiran otak anak-anakku. Dan kata-katanya selalu terdengar benar. Bahkan ia bisa begitu mudahnya menyogokku membuat sebuah janji hanya dengan imbalan selembar coretan tangan. Aku berjanji akan menuliskan untaian mimpi yang telah kami susun setelah besar nanti.

Seandainya Nanda masih di sini. Seandainya ia tidak pindah. Nanda dan keluarganya pergi ke luar negeri delapan tahun lalu. Kalau ia masih tinggal di sini, proses pembuatan novel kami akan lebih mudah. Selain itu… Jujur, aku merindukannya. Aku rindu gaya bicara sok-tahu-tapi-rasanya-meyakinkan miliknya. Sejak kepergiannya, kami sama sekali tak pernah saling mengontak lagi. Gadis yang dulu berambut panjang berkepang itu bagaikan menghilang dari kehidupanku.

Asik menulis, kudengar Ibu memanggil dari dapur. “Ada apa?” Wajah Ibu tampak cemas. “Kamu lihat Raka?” Aku menggeleng. Kelihatannya Raka memang tak di rumah sedari tadi. “Aduh, padahal dia keluar sudah setengah jam lalu, masih belum pulang juga.” Ibu menatapku penuh harap. “Tolong cari Raka, ya, Nak.”

“Tumben Ibu khawatir banget. Paling dia main bareng temannya.” Ibu menggeleng. “Biasanya dia pamit dulu sama Ibu. Tadi Raka bilang ada pengemis di luar, terus Ibu suruh dia ngasih dua ribu. Adikmu keluar, tapi nggak masuk-masuk lagi. Pas Ibu cek sudah nggak ada.” Hening. “Eh, Nak. Kata mamanya Dika, tetangga sebelah, sekarang ini lagi musimnya penculikan anak, loh. Makanya Ibu takut si Raka kenapa-napa.” Wah, gawat juga. Ya sudah, aku akan mencari bocah itu.


Aneh. Aku telah mendatangi kediaman teman-teman dekat Raka, lapangan bola, taman, daerah pertokoan, bahkan sampai ke rumah para musuhnya. Tak satupun mengaku melihatnya. Satpam penjaga perumahan juga mengaku tidak melihat dua orang pria misterius yang sempat kulihat itu keluar dari kawasan ini. Aku jadi curiga, jangan-jangan hilangnya Raka ada hubungannya dengan mereka. Setelah meminta bantuan petugas jaga, aku kembali berkeliling pemukiman. Di mana, sih, bocah itu? Ini kayaknya sudah jelas penculikan. Lagipula si bodoh itu terlalu mudah diperdaya!

“Raka, kau di mana..?”

Lagu opening anime BLEACH yang berjudul Alone berdering. Aku merogoh saku celana tiga perempatku. Nomor tak dikenal muncul di layar ponselku. Aku mengangkat telepon. “Halo,” sapa suara berlogat Jawa kental di seberang. “Ini dengan yang tadi katanya adeknya diculik?” Aku mengiyakan. “Penculik adeknya Mas sudah digerebek. Mereka ketangkap di Blok D. Mending sekarang Mas kesini, deh.” Blok D. ‘Mantan’ rumah Nanda juga di blok D.

Aku bergegas menuju daerah blok D. Di pertigaan – berjarak sekitar 20 meter dari kediaman Nanda – tercipta keramaian. Suara yang familiar terdengar dari lingkar luar massa. Ibuku juga ada di sana, kelihatannya. Aku mendekat, menyibak kerumunan manusia. Di tengah mereka, sepasang petugas jaga mengamankan dua orang pria berwajah familiar. Mereka kedua orang itu! Yang kulihat dari jendela! Di sebelah mereka motor yang sama persis dengan tadi siang berdiri tegak. Sebuah tas jinjing besar tergeletak di sampingnya. Kulihat seorang wanita berlutut di dekat tas jinjing tersebut. Lengannya mendekap erat pundak Raka yang terpejam. Raka! “Ibu, Raka kenapa?” Tergesa aku berlari menuju tubuh terkulai adikku. Ibu menoleh. Ada kilatan kemarahan tersirat di sana. Membuat bulu kudukku berdiri. “Dia dibius dan mereka berniat membawanya dengan tas itu!” Beliau memalingkan wajah kepada dua pria penculik yang sedang diringkus. “Mau kalian apakan anakku kalau kalian berhasil menculiknya, hah?! Jawab!” Si pria berwajah sangar hanya mendengus lalu meludahi tanah di dekat tempatnya berpijak. Sikap apa itu?! Kurang ajar sekali! Jelas Ibu takkan melepaskan mereka begitu saja.


Begitu di rumah, aku tersadar. Ini merupakan penangkapan sebuah kasus penculikan yang terlalu mudah. Selain itu kenapa alih-alih kabur dari sini, mereka malah membawa Raka ke blok D? Padahal blok itu berada tepat di jantung pemukiman ini. Di tengah-tengah. Entah karena ada maksud tersembunyi atau pada dasarnya mereka memang terlalu amatiran. Tapi biar bagaimana pun, perbuatan mereka tetap tak bisa diampuni. Kami takkan pernah lega bila kasus ini belum dibawa ke pihak yang berwajib.

Ibu masuk membawa baki berisi dua cangkir teh hangat. “Gimana, Nak? Raka sudah bangun?” “Tadi sempat, Bu,” jawabku. “Tapi dia bilang kepalanya pusing. Jadi Revo suruh dia tidur lagi.” Langit telah berubah keunguan. Namun Raka masih terpengaruh obat bius. Gara-gara penculik itu Raka yang biasanya ceria kini tergolek lemah! Ibu mendekat dan menyerahkan salah satu cangkir padaku. “Sudah, kamu istirahat saja. Raka Ibu yang jaga.” Aku mengangguk. “Oh, ya, Nak. Tolong sekalian cek apa pintu depan sudah dikunci, ya.” Setelah mengiyakan, aku beranjak menuju kamarku. Dengan mengecek pintu utama terlebih dahulu tentunya. Apalagi hari ini Ayah ada tugas di lapangan, jadi besok siang baru pulang. Kami bertiga akan sendirian tanpa ada lelaki dewasa di rumah.


Apa ini? Kenapa suhu udara di ruangan ini begitu rendah? Di depan kamar dan di bagian rumah yang lain tidak sedingin ini. Kamarku ini kan, tidak dipasangi AC.. Menuju tempat tidur, sekilas mataku menangkap sesuatu. Sebuah pensil tergeletak di atas karpet kecil depan tv. Di sampingnya terdapat dua sobekan kertas yang diremas hingga membentuk bulatan. Aku membukanya. Gaya tulisan yang tertera di sana sama persis dengan yang kulihat di cermin kamar mandi tadi pagi.

reVo AkU tiDaK mAu kEMbaLi, bunyi yang pertama. Aku mengurai remasan kedua.

kUmoHon tOLonG !!! Lelucon apa lagi, ini? Tidak mungkin Ibu yang menulisnya, kan?

Suara bel menggema di penjuru rumah. Ada yang datang. Siapa tamu malam-malam begini? Aku tidak jadi menenggelamkan diri dalam lelap, bergegas menuju ruang tamu. Kuintip dari jendela, sesosok wanita terlihat cemas di luar. Itu mamanya Dika. Aku membuka pintu.

“Kenapa, Tante? Tidak biasanya malam-malam berkunjung.” Pipi beliau terlihat sedikit basah.

“Dek Revo, Dika ada main ke sini, kah?” Aku menggeleng. “Bagaimana ini… Ganti.. Dika yang hilang. Padahal Tante tadi masih liat dia main puzzle di ruang tamu…” Nada suara kalimat terbata beliau terdengar getir.

“Tante, sudah coba lapor satpam?”

“Sudah tapi belum ada kabar dari sana. Papanya Dika juga lagi ikut nyari.” Apa mereka sudah mencari ke blok D?

“Ya, sudah, Tante. Sebentar Revo juga bantu cari Dika. Tapi Revo pamit dulu sama Ibu.” Mama Dika berterima kasih, lalu kembali melanjutkan pencariannya sendiri.

Derap langkahku beradu dengan bebatuan rapi penyusun jalan terdengar keras di malam yang hening. Aku terus memacu langkah, sangat takut akan terlambat. Ini sungguh tidak wajar. Dua penculikan dalam sehari? Apa itu?! Sebuah hal yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Kan penculik Raka sudah diringkus. Tapi bukan tidak mungkin, kalau ada seseorang di balik layar. Tidak bisa dibilang mustahil, seandainya, anak-anak itu hendak dimanfaatkan untuk keperluan tertentu. Belakangan ini, perumahan memang agak sepi. Aku jadi takut membayangkan apa yang mungkin terjadi pada para bocah lainnya yang telah diculik.

Blok D.

Semua pintu bangunan yang kulewati rata-rata tertutup. Cahaya lampu yang hangat memancar dari tiap jendela. Tidak ada yang berkeliaran di luar tengah malam begini. Hanya aku seorang. Tak ada pria berwajah sangar atau sejenisnya. Auw! Ada debu yang terbang memasuki mata kananku. Sembari mengucek mata, aku terus berlari. Hingga akhirnya sampai di depan rumah besar itu. Rumah Nanda yang dulu.

Ngh? Siapa itu berdiri di balkon lantai dua? Kelihatannya seorang gadis kecil. Agar dapat melihat lebih jelas, aku berhenti mengusap mata. Memaksakan mata yang kemasukan debu untuk membuka. Hilang. Tak terlihat siapa pun. Aneh. Aku menutup lagi mata kananku. Sosok kabur seorang anak terlihat lagi, kali ini di dekat pagar, tersenyum miring padaku. Membuatku merinding. Jadi mata kiriku ini?

Wajah anak itu setengah membusuk. Di bawah mata kirinya terdapat sepasang lubang kecil. Seperti gigitan vampir. Matanya sendiri hancur. Sedangkan bagian mukanya yang utuh, terasa familiar. Namun aku tak bisa menentukan siapa dia. Citraannya terlalu buram.

Gadis kecil berambut sebahu itu melangkah riang menuju pintu utama. Lalu ia menembus pintu. Dengan sesekali terus membuka tutup mata kananku – kugunakan untuk meninjau area yang kupijak karena yang kiri tak bisa – aku mengikutinya masuk. Pintunya tidak dikunci. Aku jadi penasaran apakah benar ada seseorang di dalam.

Tahu-tahu dia muncul di tangga, naik ke lantai dua. Aku terus mengekor dari belakang. Entahlah apa yang kulakukan ini keputusan yang benar atau tidak. Benakku terus memperingatkanku untuk lari, namun hati kecilku menolak. Biarlah ini tindakan gila. Setidaknya dengan begini aku bisa menyingkirkan perasaan aneh yang menyeruak tiap melintasi rumah Nanda.

Deretan tangga ini kalau tidak salah mengarah ke tiga ruangan di lantai atas. Salah satunya ruang berfasilitas musik yang lengkap, sebuah ruangan kedap suara. Sepatuku berdecit di anak tangga tangga. Gadis kecil yang telah berdiri beberapa meter di depanku itu menoleh lalu meletakkan telunjuk di depan bibirnya yang membiru. Aku mengangguk setengah hati. Kemudian dia menghilang, membuatku merasa hilang arah.

Akhirnya dengan segenap keberanian yang tersisa, aku membuka sebuah pintu. Perabotan berdebu terlihat di dalamnya. Sinar bulan merembes dari jendela yang terbuka. Dari bentuk furniturnya, dugaanku ini kamar utama. Yah, tentu saja tetap ada perabotannya biarpun mereka telah pindah. Seingatku rumah ini dijual beserta isinya.
Pintu berikutnya. Jantungku berdetak semakin kencang. Aku meletakkan telapak tanganku di gagang pintu. Besi tersebut terasa hangat. Kemudian muncul berbagai kilasan. Semuanya berkelebat di benakku. Bukan seperti flashback yang ada di film. Ini lebih seperti mengingat sesuatu. Sesuatu yang kualami. Atau lebih tepatnya pengalaman orang lain yang terasa seperti milikku.

Saat itu aku sedang menapaki tangga ke lantai dua. Hatiku benar-benar ceria. Di pelukanku, sebuah sketch book dan satu set pensil warna kudekap erat. Lalu terdengar suara. Suara Ayah. Dengan sebuah suara lagi. Wanita. Aku merasa mengenalinya, namun tak bisa mengingat siapa dia. Tetapi kedua suara itu berasal dari kamar utama.
Aku membuka pintu. Sebuah pemandangan mengerikan membuatku shok. Ayahku hanya menggenakan celana panjang, sedangkan wanita yang bersamanya berpakaian seksi. Mereka yang tadinya bermesraan itu menoleh menyadari keberadaanku. Ayah. Bersama Tante Nina, kakaknya Bunda. 

Sekonyong-konyong wanita itu bergerak ke sini, tangan kirinya menarik tanganku, yang kanan menjambakku. Aku memberontak, menjerit membela diri. Aku berusaha melepaskan cengkeramannya di kepanganku. Namun, tenaga seorang anak kecil kalah kuat dari orang dewasa. Ia menyeretku, menarikku masuk ke ruang musik. Aku melihat sebuah gunting di atas meja dekat pintu. Meraihnya, aku memangkas kepanganku yang berada di tangannya. Dia tercengang, memberiku waktu lari. Aku berlari menuju tangga. Akan tetapi sebuah tangan kuat terlanjur menahan bahuku. Ayah. Kemudian si wanita jahat mengambilku dari Ayah, melemparku ke ruang musik, dan membanting pintunya. 

Aku terus berteriak dan menggedor pintu. Tak ada yang membukakan. Di luar Ayah berkata dengan suara iba, meminta agar aku dilepaskan. Namun Tante Nina tetap berkeras kalau aku keluar, aku pasti melapor pada Bunda. Katanya aku harus diberi sedikit pelajaran agar bungkam. Ayah terus mendesak, menurutnya aku akan terus berteriak dan tetangga pasti akan sadar apa yang terjadi. Tante Nina dengan tenang mengatakan, aku pasti akan lelah sendiri dan berhenti berteriak. Lagipula di dalam sini aku tidak sendiri. 

Tidak sendiri? Apa maksudnya? Bulu kudukku meremang. Aku menoleh. Dari salah satu dus di atas meja, seekor hewan melata turun. Hewan berbisa dengan lidah terjulur. Semoga ular itu tak melihatku. Kumohon, Tuhan…
Tidak. Dia mendekat. Aku menjerit-jerit minta tolong, mengerahkan semua tenagaku. Tak ada yang datang. Ular itu makin dekat. Nafasku mulai sesak. Aku terus menerus berteriak. Samar-samar kudengar suara Bunda di luar. Bunda, tolong aku! Bunda menjerit. Setelah itu suaranya tak terdengar lagi. Aku jatuh terduduk lemas. Suatu hal buruk terjadi pada Bunda. Aku sendirian. Dan secepat kilat ular yang telah begitu dekat itu meluncurkan kepalanya, mematuk mata kiriku.

Aku tersentak kembali ke dunia nyata. Tadi itu… Nanda?! Mataku terasa perih. Semua penantianku… Altaria kami… Berakhir seperti itu. Tapi rasa penyesalanku-lah yang lebih pedih. Aku ingat hari itu. Dia baru saja pulang dari rumahku, menunjukkan gambar barunya di sketch book. Seandainya saja aku menahannya. Seandainya aku mencegahnya pulang…

Tidak. Aku tak boleh terpuruk dulu. Masih ada Dika yang butuh diselamatkan. Dengan tekad kuat aku memutar gagang pintu, membukanya. Yang pertama terlihat adalah cahaya lilin. Lilin tersebar di mana-mana. Di lantai, di atas meja. Lalu mataku menyapu dinding. Sejenis karpet melapisinya. Ini ruangan itu. Ruang musik.

Aku melangkah masuk. Bau busuk menguar di udara. Di atas meja terbaring sesosok tubuh mungil. Masih bernafas. Dengan kedua mata, terlihat gerakan naik turun di dadanya. Di seberangku, terdapat punggung seorang wanita berambut panjang. Ia bersenandung sembari menyiapkan sesuatu.

Karena sebuah kesalahan kecil, bunyi langkahku terlalu keras. Dia menoleh. Bukan tampang orang yang disebut Tante Nina itu, yang tampak. Sepertinya aku pernah bertemu dengan wanita ini… Dia Bunda-nya Nanda!
“Siapa… kau?” Bunyi yang keluar dari tenggorokannya serak dan parau.

“Aku Revo. Bibi mengingatku?” Dia terdiam sejenak, lalu sepenuhnya berbalik. Sebuah pisau berlumur darah kering tergenggam kuat di tangannya.

“Oh. Kau bocah kecil yang itu. Temannya Nanda-ku yang manis,” ujar Bundanya Nanda dengan nada lembut mendayu-dayu. Bulu kudukku meremang.

“Apa yang mau Bibi lakukan?! Bibi tidak mau membunuh anak itu, kan?” Kini Dika sudah dalam jarak jangkauanku.

“Tentu saja. Tentu saja iya,” gumamnya. “Bukannya kau juga merindukan anakku? Bukannya kau juga kangen sama Nanda kecilku itu?!” Akhir kalimatnya diucapkan dengan setengah menjerit. Kemudian ia menambahkan kata-kata yang terdengar seperti rutukkan, ”Nanda… Dialah permataku… Putriku yang paling berharga… Tapi wanita itu merebut segalanya! Merebut suamiku! Merebut anakku!” Tubuhku gemetaran menyaksikan wanita tersebut menjerit bagai orang gila. Ah, aku sendiri tak yakin kewarasan muncul di matanya.

“Tapi, Bi.. Kenapa…? Kenapa mau menusuk anak tak berdosa ini?” Aku harus bisa mengulur waktu. Sedikit demi sedikit kakiku mendekati meja.

Dia terkekeh. Tertawa seperti nenek sihir. “Ini pengorbanan yang pantas! Selama mereka mengurungku di rumah sakit jiwa, siapa temanku? Katakan!” Aku menggeleng, mataku terus mengawasi pisau di tangannya. “Temanku adalah iblis…,” desisnya. “Iblis telah menjanjikanku kembalinya putriku tercinta. Katanya, ‘berikan tiga belas jiwa anak kecil padaku, maka anakmu hidup lagi’. Menakjubkan, bukan?!” Wanita tersebut tertawa lagi.

Sekarang! Dengan mempertaruhkan segalanya, aku menyeret Dika. Menggendongnya mendekati pintu. “Kembalikan! Kembalikan anak itu!”

“Bibi, asal Bibi tahu, Nanda tak ingin kembali.” Satu langkah mundur.

“Bohong! Kau bocah pembohong! Nanda kangen padaku! Dia mau hidup lagi!”

“Mungkin dia memang merindukanmu, Bi. Tapi dia tak mau kembali dengan cara ini.” Satu lagi langkah mundur.
Dia mendekat, menjadikan langkah mundurku sia-sia. “Katakan yang jujur. Itu bohong. Kamu bohong, kan?!” Air mata. Segaris air mata mengalir melalui pipinya yang bercoreng-moreng debu.

“Tidak. Nanda mendatangiku. Dia memintaku menolongnya. Dia pasti sangat menyayangi Bibi. Dia tak mau Bundanya masuk penjara karena membunuhi anak-anak orang.”

Menangis terisak, dia jatuh berlutut. Hatiku ikut nyeri dibuatnya.

Baru sebentar ia berurai air mata, tiba-tiba ia sudah menengadah lagi. Aku sampai terlompat ke belakang. “Kamu benar,” geramnya. Aroma kebencian menguar di udara. “Membunuhi bocah malang itu sama saja dengan merebut mereka dari ibunya.” Aku mengangguk. Dia beranjak. “Kalau begitu lebih baik aku mencari mereka. Mereka yang telah merenggut Nanda dariku!” Tatapannya penuh tekad. Aku hampir mengira ia akan menusukku. “Akan kubuat mereka merasakan penderitaanku!!” Lalu ia berlari pergi. Menuruni tangga dengan tergesa. Dan sepenuhnya meninggalkan bangunan ini.

Aku dapat menebak apa yang akan dilakukan wanita itu. Entah apakah keputusanku benar atau tidak. Kali ini aku sungguh mempertanyakannya. Pertaruhan yang sangat besar. Yang jelas aku harus mengantarkan Dika kembali ke rumah.

Seminggu kemudian, sebuah kasus pembunuhan menjadi tajuk utama surat kabar. Ditemukan mayat beberapa orang di kota ini. Yang tewas adalah seorang pria, bersama istri dan dua orang anak mereka. Dari foto yang terpajang di sana, aku tahu itu Ayah Nanda dan Tante Nina, ternyata mereka berbohong soal pindah ke luar negeri. Tersangkanya adalah Bunda Nanda. Dia juga terungkap telah menculik dan menghabisi nyawa beberapa orang anak kecil. Menurut penyelidikan dan interogasi polisi, wanita yang mengaku telah bangga atas perbuatannya itu pernah memergoki pria yang dulunya suaminya itu selingkuh. Sehingga untuk menghindarinya sang suami menjebloskannya ke rumah sakit jiwa selama beberapa tahun. Namun wanita itu berhasil kabur belakangan ini. Dan ia menggunakan uang simpanannya untuk mengupah penculik. Kemarin wanita tersebut menyusul Nanda. Ia bunuh diri di selnya dengan menggiris pergelangan tangan menggunakan pisau kecil. Tak ada yang tahu darimana ia mendapatkan pisau itu.

Namaku sama sekali tak disebut dalam wacana itu. Padahal aku yang memotivasinya melakukan sebagian kecil kejahatannya. Akan tetapi, di hati yang terdalam, sebenarnya aku juga senang. Sangat senang malahan. Dengan begini dendam Bundanya Nanda, mungkin termasuk dendamku, terbalaskan. Mereka yang menyakiti Nanda telah merasakannya. Tak ada penyesalan. Sama sekali tak ada.

“Ibu,” panggilku. Ibuku sedang berbincang dengan ayahku di ruang keluarga. “Ibu atau Ayah ada masuk ke kamarku?” Mereka menggeleng kompak. Berarti bukan mereka. Raka juga sedang bermain bola bersama teman sebayanya di luar.

Kalau gitu, ini… “Dari Nanda,” gumamku seraya memandangi robekan kertas di tanganku. Aku menemukannya di sampingku saat bangun tidur tadi. Kini aku tak usah pusing menentukan akhir kisah Altaria-ku dan Nanda. Dia telah mengirimiku lukisannya.[]

Penulis: Mira_hoshi | Teks | Pic

0 komentar