Aku orang aneh, begitulah kakakku bilang. Tapi dia selalu minta tolong dari orang aneh ini.
Aku hidup bersama kedua orang tuaku dan seorang kakak laki-laki. Aku dan kakakku berjarak enam tahun. Yang paling kuingat masa-masa kecil kami adalah kami sering berkelahi. Keanehanku selalu menjadi pemicunya. Kebiasaanku melihat hal-hal aneh sudah terjadi sejak kecil. Aku tidak tahu kapan tepatnya berawal, tetapi yang kuingat waktu itu orang-orang dewasa menganggap itu hal biasa terjadi pada anak kecil. Aku melihat seorang kakek dengan harimau putihnya, seorang wanita bergaun putih panjang dan seorang anak perempuan kecil berlarian.
"Anak-anak masih bisa melihat hal-hal gaib. Mereka belum punya dosa," itulah yang pamanku katakan untuk menenangkan orang tuaku. Tapi orang tuaku semakin khawatir karena kebiasaanku terpaku pada sesuatu yang tidak tampak terus berlangsung.
Di usiaku yang kedua belas mereka memanggil orang pintar untuk mencari tahu penyebabnya. Yang kusebut orang pintar itu teman ayahku, namanya pak Parno. Pak Parno berusia sekitar lima puluhan, jumlah jenggotnya bisa kuhitung, bibirnya tebal karena sering merokok dan bau rokoknya tajam waktu menanyaiku.
"Jadi …" katanya dengan suara meyakinkan "Ada dua kemungkinan akbatnya. Pertama kebiasaan berkhayalnya akan berhenti dan kedua akan bertambah parah."
Perlu kutambahkan jika orang pintar ini pernah menasehati seorang preman hingga akhirnya preman itu tobat. Ia juga pernah mengobati seorang tetangga kami yang kerap meracau karena kehilangan pekerjaannya dan juga sejumlah penyakit jiwa lainnya termasuk dua kasus yang mirip denganku.
"Jauhkan dari tontonan film kartun! Jauhkan dari komik! Jauhkan dari …"
Orang tuaku sedih, namun aku bisa memahami mereka. Sejak sejak saat itu aku mencoba menjadi seorang anak biasa. Aku coba untuk tidak terpaku pada bayangan-bayangan yang memanggilku, tidak lagi menjawab mereka atau bermain bersama mereka. Meski ketakutan tapi sedikit demi sedikit kekhawatiran orang tuaku berkurang. Dan setelah sembilan puluh hari, pada akhirnya, perlahan, bayangan-bayangan itu menghilang … benar-benar menghilang. Aku kembali seperti anak-anak biasa.
Tetapi hidupku seharusnya berjalan normal hingga beberapa tahun kemudian bayangan itu muncul kembali. Entah siapa yang menghidupkannya kembali meski dalam bentuk wujud lain dan jumlah yang lebih sedikit. Pertama kali aku melihatnya lagi saat seseorang membangunkanku dalam wujud lelaki tua berjanggut putih dalam jubah putihnya yang bersinar. Teriakanku hampir membangunkan seluruh rumah. Orang tuaku dan kedua kakakku menemukanku dalam keadaan menggigil ketakutan. Ayah mencoba menenangkanku. Kakak laki-lakiku terus menyebutku aneh. Lelaki tua itu terus menatapku, tubuhnya melayang, dan terus melayang hingga menembus langit-langit rumah.
Keesokan harinya aku menemukan seorang gadis kecil Mira bermain-main sendirian di rumahku. Dia menarik tanganku dan mengajakku bermain. Kami bermain hingga aku lelah. Dia tersenyum padaku untuk sebuah ucapan terima kasih karena menemaninya bermain. Kakak laki-lakiku menemukanku sedang tersenyum sendiri.
"Kamu benar-benar aneh" katanya
Kelas menyebutku cowok sunyi. Orang-orang mengenalku meski dengan sebutan yang tidak kusuka. Pernah suatu kali aku berteriak saat pelajaran berlangsung, gadis kecil Mira melakukan tindakan bodoh. Dia melompat dari atas meja dosen dan melukai dirinya. Dia menangis, memanggilku untuk mengobatinya. Aku beranjak dari kursiku dan segera menarik tangan Mira ke luar kelas. Aku masih bisa mendengar seisi kelas riuh.
Hari-hari berikutnya aku menghabiskan waktuku dengan buku-buku dan pergi perpustakaan kota, tempat di mana aku bisa menyendiri bersama gadis kecil Mira, terkadang lelaki berjanggut putih itu ikut juga. Di sana tempat pertama aku bertemu dengan Dilla.
Dilla yang pertama kali menyapa. Dia sudah duduk di sebelahku selama empat puluh lima menit sejak aku membaca buku sejarah Turki. Dia tidak membaca buku dan sedari tadi hanya memerhatikanku. Aku tidak menjawabnya sapaannya.
"Aku melihatmu tersenyum sendiri. Bicara pada seseorang yang tidak kelihatan"
Tiba-tiba dia mendekat padaku dan berkata dengan berbisik
"Kamu diberi kelebihan. Mungkin orang lain anggap kamu aneh. Tapi aku tidak"
Aku berhenti membaca
"Namaku Dilla" dia menyodorkan tangannya padaku
Aku tidak menyambut tangannya
"Nama kamu Reza-kan. Aku tahu dari kartu perpustakaanmu … kemarin, waktu kamu pinjam buku. Aku di belakangmu"
Gadis kecil Mira berdiri di samping Dilla, tersenyum lebar, tangannya memegang tangannya. Aku membalas senyumnya, membuat Dilla kebingungan. Dilla melihat ke sampingnya dan tidak menemukan siapapun.
"Namanya Mira" kataku, "dia sedang memegang tanganmu."
Seketika Dilla menarik tangan kirinya.
Aku tidak bisa menolak ajakan Dilla untuk makan siang, selain karena dia yang metraktirku, aku juga senang bisa mendapatkan teman baru, seorang teman yang mungkin memahamiku.
"Bagaimana rasanya melihat seseorang yang orang lain tidak lihat?"
Aku menjawab, "Sama seperti melihat kamu. Memang Awalnya terasa asing, tapi lama kelamaan mulai terbiasa"
"Siapa saja yang kaulihat? Tanyanya "Selain Mira"
"Laki-laki tua berjanggut putih. Dia tidak pernah mengatakan sesuatu, hanya berdiri memandangku. Aku bisa merasakan kehadirannya, bahkan waktu aku tidur"
Dilla lebih tua dua tahun dariku, cantik dan aku merasa lebih dekat dengannya setelah beberapa kali bertemu. Itulah pertama kali aku menyukai seorang perempuan. Dia selalu bertanya tentang diriku, tentang perkembanganku. Dia belum pernah mengatakan sedikit pun perihal dirinya selain hal-hal kecil mengenai kampusnya. Tapi suatu hari dia berkata padaku yang membuatku membencinya.
"Kautahu, schizofernia sulit disembuhkan. Kalau pun bisa itu pun tidak total. Dosenku seorang psikiater hebat, kamu mungkin ….."
Aku tahu apa itu schizofernia dan aku tahu maksudnya mengatakan itu padaku, dan oleh karena itulah aku meninggalkannya. Dia memanfaatkanku. Tidak ada pembicaraan lagi tentang Dilla.
Kini, aku lebih suka menyendiri.
Gadis kecil Mira mencoba menghiburku. Dia menarik tanganku, mengajakku bermain, tertawa, dan bernyanyi. Tapi aku tetap dalam kesunyianku.
Aku melihat wajahnya menjadi murung, dia duduk di pojokan menunduk sedih membuatku merasa bersalah. Mira tidak tahu apa-apa tentang masalahku sedangkan yang dia tahu hanya bersenang-senang. Aku berjalan mendekatinya dan mencoba menghiburnya seperti yang dia lakukan padaku. Dan di saat itulah tiba-tiba suara keheningan membisik masuk dari telinga hingga jauh ke hatiku. Seperti nyanyian. Aku tidak paham apa yang dia ucapkan, tapi suaranya begitu lembut hingga kuikuti suara itu.
Suara itu milik seorang gadis yang sedang dirawat di rumah sakit. Aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya dan dia pun tidak tahu jika dia melakukannya. Sepertinya kami bertemu di saat-saat kami saling membutuhkan kehadiran seseorang. Aku berdiri di sampingnya tanpa berkata apa pun. Wajahnya seperti sudah lama kukenal, entah dalam mimpi entah dalam kenyataan. Dalam keterkejutannya dia bertanya bagaimana aku bisa sampai ke sini. Aku menjawab, "Aku mengikuti suaramu."
"Bagaimana bisa?"
"Aku tidak tahu. Bukankah kamu yang memanggilku?"
"Aneh. Aku tidak memangilmu. Apa yang akan kamu lakukan di sini?"
"Aku tidak tahu"
"Jadi, apa yang kamu tahu?"
"Aku tidak tahu"
Dia tersenyum, lalu mengangkat tangannya yang lemah, mengajakku berjabat tangan.
"Namaku Lia"
"Reza"
Seorang dokter perempuan masuk. Lia terlihat akrab dengannya.
"Ow, ada temanmu" dokter berkata
"Namanya Reza" Lia berkata "Ini dr Anita"
"Halo Reza" dr Anita menyalamiku
"Halo dokter" jawabku canggung
Lia bilang jika dokternya datang bukan untuk memberikan obat. Dr Anita biasa menemani Lia untuk membicarakan sesuatu. "Kami bicara tentang apa saja" ucap Lia senang.
Merasa tidak perlu menemani Lia, dr Anita meninggalkan kami.
Lia menyuruhku mengambil kursi.
Aku tidak pernah tahu bagaimana memulai sesuatu bahkan seperti mengambil kursi. Aku memikirkan apa yang akan kukatakan. Tapi Lia yang memulainya duluan, dia menceritakan tentang penyakitnya, tentang bagaimana dia mengalami penyumbatan pembuluh darah di otaknya. Datangnya tiba-tiba saja, katanya. Dokter bilang dia tidak merasakannya. Perceraian kedua orang tuanya yang membuatnya semakin parah. Lalu dia menceritakan keluarganya.
"Papa datang cuma untuk membayar biaya perawatan" dia berkata tanpa menampakkan kesedihannya. "Mama di Australia sama kakakku" dia memandangku dalam, lalu berkata, "Hidup memang tidak terduga, dan hidup terlalu menyenangkan kalau hanya dilalui dengan keluhan"
Aku memahaminya dan merasa simpati. Lia mengalami kejadian yang lebih pahit dariku. Kemudian, giliranku menceritakan keadaanku.
"Aku melihat hantu" kataku. Tapi cepat kuganti perkataanku, "Bukan hantu. Mereka bukan hantu"
"Aku paham"
"Aku melihat seorang lelaki tua. Janggutnya putih, memakai jubah putih panjang. Dia tidak pernah mengatakan sepatah kata pun. Aku bisa merasakan kehadirannya bahkan di saat tidur. Pertama kali dia datang jam empat pagi, aku ketakutan setengah mati. Tapi dia tidak melakukan apa pun. Mulanya hanya membuatku terbangun, lalu kini dia bisa muncul di mana saja tanpa diduga."
Lia memiliki senyum yang indah seakan-akan senyum itu tidak menampakkan dia sedang menderita sakit berat. Kulitnya putih pucat, kedua tangannya selalu berpegangan seperti saling menjaga. Dia gadis tercantik yang pernah kulihat.
"Kakek berjanggut putih itu membangunkanmu pagi-pagi. Ah, mungkin kamu sering bangun kesiangan. Jadi, dia sengaja membuatmu bangun pagi-pagi. Tidakkah kautahu itu?"
"Ya, aku baru menyadarinya kemudian" jawabku, melihat kakek berjanggut putih tersenyum padaku. Itu pertama kali aku melihatnya tersenyum. Aku melihat gadis kecil Mira berdiri di seberangku "Gadis kecil Mira di sampingmu"
"Siapa gadis kecil Mira?"
"Temanku. Dia sedih melihatmu"
"Bisakah aku memegangnya?"
"Dia sedang memegang tanganmu"
"Berapa usianya?"
"Kira-kira tujuh tahun"
"Dia pasti lucu"
"Dia cantik … seperti kamu"
Lia tersenyum.
Aku pulang menjelang sore dengan kakek berjanggut putih dan gadis kecil Mira berjalan di sampingku. Aku tidak bisa tidur malam harinya, tidak sabar menunggu hari besok dan melihat Lia lagi. Tiba-tiba suara keheningan datang membisik. Kali ini lebih jelas.
"Tidurlah. Kamu memerlukan hari esok. Dan hari esok memerlukanmu"
Dan aku pun tertidur.
Aku datang padanya setelah kelas. Lia mengenakan kaus lengan panjang biru langit. Jendela kamarnya terbuka, angin pagi masuk dan menggoyang gorden perlahan-lahan. Aku melihat di atas meja ada sebuah buku yang diletakkan terlungkup. Aku mencoba yang memulai berkata.
"Su-ka baca, ya?" aku menunjuk buku itu
"Oh, ini. Novel. Ya, aku suka baca. Kamu?"
"Aku sering pergi ke perpustakaan"
"Bagaimana kabar Mira?"
"Dia tidak lagi di sini"
"Kakek berjanggut putih?"
"Tidak juga di sini"
"Sepertinya aku telah menggantikan mereka"
"Mungkin"
Lia menguap, tapi dia tetap ingin bicara denganku.
"Kamu ngantuk"
"Kamu mau cerita?"
"Aku tidak bisa cerita"
"Kuliahmu? Keluarga?"
"Tidak ada yang baru" kataku
"Tentu ada yang baru. Harus ada yang baru" katanya "Kita hidup, bukan mati"
"Jadi, apa yang harus kulakukan?"
"Apa saja, dan kamu bisa melakukannya lebih baik tiap harinya. Aku melakukannya"
"Apa yang kamu lakukan?"
"Berdo'a. Tiap harinya lebih banyak, tiap harinya lebih khusyuk. Aku membuat puisi, tersenyum pada dokter dan perawat, dan selalu berharap bisa bicara lagi dengan papa"
"Kamu tidak benci papa kamu?"
"Aku tidak pernah membencinya"
"Aku benci kakakku. Dia bilang aku aneh"
"Kamu tidak aneh. Kakakmu cuma nggak terbiasa sama hal-hal yang tidak biasa. Aku tidak bilang kamu aneh."
"Iya, kalau semua orang seperti kamu"
"Tidak. Bagaimana kalau kamu berpikir beda?"
"Maksudmu?"
"Bagaimana kalau mereka yang aneh karena menganggapmu aneh padahal kamu tidak aneh?"
"Lucu"
"Aku serius."
"Mungkin itu karena sikapmu yang terlalu berlebihan"
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?"
"Bawa aku keluar dari sini"
"Itu tidak mungkin"
"Sangat mungkin. Sehari saja"
"Tidak bisa."
"Aku janji akan baik-baik saja. Aku menunggumu. Selama ini aku menunggu orang yang bisa membawaku keluar."
Aku terdiam sebentar sambil berpikir, lalu berkata "Bagaimana aku melakukannya?"
"Besok pagi. Jam sembilan waktunya pergantian penjaga. Kamu datang ke sini."
"Bagaimana kalau dokter atau perawat tidak menemukanmu di tempat tidur?"
"Jangan pikirkan masalah itu. Aku akan baik-baik saja."
"Kamu yakin."
Lia mengangguk, "Aku yakin"
Aku memikirkannya semalaman. Bagaimana kami melarikan diri, bersembunyi dari perawat dan petugas rumah sakit. Ini akan seperti dalam film.
"Menurutmu akan berhasil?" kataku pada gadis kecil Mira.
Mira mengangkat kedua bahunya. Kakek berjanggut putih berdiri di sudut ruangan, memerhatikanku. Aku tidak yakin dia bisa membantuku.
Lalu apa yang harus kulakukan setelah keluar dari rumah sakit. Kemana aku akan membawanya. Bagaimana aku membawanya. Aku mendengar suara keheningan datang padaku, membisik dan tersenyum seakan mendorongku untuk melakukan sesuatu yang berbeda tiap harinya seperti ia bilang.
Keesokan harinya aku bangun lebih awal dari waktu kemunculan kakek berjanggut putih. Dia akan menemukan tempat tidur kosong. Aku ingin tahu bagaimana dia muncul.
Tepat jam empat pagi. Angin berhembus perlahan, lembut dan dingin. Sinar putih berpendar dan membentuk bayangan kakek berjanggut putih. Aku melihat matanya melihat ke arah tempat tidurku, mencari-cariku. Dia memandang berkeliling dan berjalan mendekati lemari, ke arahku. Tanganku siap mendorong lemari untuk mengejutkannya. Dia terkejut setengah mati saat kubuka pintu lemari. Wajahnya tampak marah. Aku menahan tawaku.
Entah bagaimana hari itu aku melakukan sesuatu yang berbeda. Aku menjadi orang yang berbeda, lebih bergairah dan lebih bersemangat. Bukan seorang penyendiri kesepian yang bicara pada sesuatu yang tidak nyata. Aku menyapa ayah, ibu dan kakak laki-laki. Mereka melihatku heran. Tapi aku tidak peduli.
"Aneh" kata kakakku "tapi yang ini mendingan."
Aku tiba di rumah sakit pukul 8.45. Melangkah perlahan melewati meja pendaftaran dan perawat. Pagi itu masih terasa sepi, namun aku lebih hati-hati memerhatikan keadaan sekitar. Jam kunjungan masih dua jam lagi, aku menunggu perawat penjaga meninggalkan mejanya.
Pukul 09.00, perawat penjaga pergi meninggalkan mejanya untuk pergantian shift kurasa. Aku buru-buru melangkah ke kamar Lia. Gadis kecil Mira memberikan semangat di hadapanku, menyuruh supaya lebih cepat. Lia sudah berpakaian lengkap dan siap untuk meninggalkan rumah sakit. Dia mengantungi obat-obatannya ke dalam jaketnya.
Kami menyusuri lorong rumah sakit dengan terburu-buru. Tidak ada yang mencurigai kami, jantungku berdegup kencang. Sesekali kupandang wajah cantik Lia yang kelelahan karena mengikuti langkahku. Kami beristirahat sebentar sebelum melanjutkan pelarian kami menuju kampusku.
Lia mengatur nafasnya, wajahnya berkeringat karena kelelahan. Dia mengambil handuk kecil dari dalam tasnya dan mengelap keringat di wajah dan tangannya. Dia mengeluarkan obat-obatan dari dalam saku jaketnya dan membuangnya.
"Mereka membuatku terus sakit" Lia berkata "Aku tuh nggak sakit. Semuanya bohong. Papa mengurungku di rumah sakit. Mereka terus mengatakan aku sakit. Tiap hari, tiap saat. Menyuntikku dengan macam-macam obat. Menyuruhku minum macam-macam obat sehingga aku jadi benar-benar sakit"
"Tapi untuk apa papamu mengurungmu?"
"Bisnis. Ayahku berlaku curang dan aku mengetahuinya. Dia menipu rekan bisnisnya, menipu istrinya, menipu anaknya. Mama nggak di Australia. Papa membunuhnya. Dia memperlakukan mama seperti memperlakukanku. Memberinya obat hingga mama meninggal"
Sebuah mobil sedan hitam mewah berhenti tidak jauh dari kami. Dari dalamnya keluar seorang seorang pria.
"Dia papaku. Ayo lari!" Lia menarik tanganku, aku berlari di belakangnya.
Kami berlari tidak tentu arah. Kami menyeberang jalan dan melompat ke dalam bis yang kami tidak tahu jurusannya. Aku melihat mobil ayah Lia di belakang kami, tapi mereka tidak bisa mengejar kami karena terjebak lampu merah.
"Kita selamat" kataku. Tangan Lia menggantung di pundakku, kepalanya di benamkan di dadaku.
Kami tidak tahu kemana tujuan kami selain ke tempat yang membuat kami aman dari orang-orang yang mengganggunya. Lia masih belum percaya ia bisa lari dari rumah sakit dan lepas dari ayahnya.
Aku melihat kakek berjanggut putih dan gadis kecil Mira di antara penumpang melambaikan tangannya padaku. Mereka pastinya ikut merasakan kebahagiaan kami. Itulah terakhir kali aku melihat mereka.
Aku tidak terlalu memerhatikan suasana di sekitar kami dimana penumpang lain melihat kami dengan tatapan yang tidak kupahami. Udara di dalam bis terasa panas dan kepalaku mendadak menjadi pusing. Wajah Lia adalah wajah terakhir sebelum semuanya menjadi gelap, namun aku masih mendengar samar suara-suara di sekitarku.
"Entahlah, pak. Dia lari seperti dikejar-kejar sesuatu"
"Dia anak saya"
Aku mengenali suara itu. Itu milik ayahku. Tapi aku hanya mengingat Lia dan memanggil-manggil namanya.
"Siapa Lia? … Siapa Lia?"
Kini, aku dan Lia berada di sebuah tempat di mana tidak seorang pun akan mengganggu kami. Ayahnya tidak akan pernah menemukan kami karena kami sekarang berada di tempat yang aman. Aku tahu tempat ini, semua orang tahu tempat ini, tapi tidak semua orang menginginkan berada di sini. Kehadiran keluargaku seminggu sekali tidak membuatku merasa bersalah, bahkan jika mereka menangis dari balik dinding kaca itu.[]
Penulis: Ali Reza | Teks | Pic
0 komentar