Aku menghela nafas panjang. Sudah sejak seminggu ini hujan turun setiap sore menjelang. Itu artinya, mau tak mau aku harus berteduh dulu di bawah atap sebuah warung internet yang terletak tak jauh dari sekolah tempatku berada. Halte yang biasanya kusambangi terletak agak jauh dari sekolahan—sekitar setengah kilometer—dan aku tentu saja tidak ingin mengambil risiko untuk jatuh demam hanya untuk menerabas hujan sederas ini. Tidak, akan lebih aman untuk menunggu saja di sini....
“Ah, Kakak lagi nungguin hujan, ya?”
Si...siapa? Sontak, aku pun langsung menoleh ke arah suara yang bersumber dari sebelah kiri pundakku. Kudapati seorang gadis kecil berbaju abu-abu tampak berdiri di sana, tengah memandangku seraya tersenyum. Rambut panjangnya yang dia biarkan tergerai tampak sedikit basah akibat cipratan air hujan, begitu pula kulitnya yang—anehnya—terlihat agak pucat. Atau mungkin kusam, aku tak dapat membedakannya dalam temaram lampu beranda rental warung internet lapuk ini.
“Eh iya, Dek, begitulah,” balasku, masih sambil bertanya sudah sejak kapan ia berada di sana. Itu karena aku tidak mendengar ada suara seseorang beringsut ke sampingku. Tapi, ah, mungkin bunyi kehadiran dirinya tertutupi oleh derai hujan dan gelegar petir yang riuh ini. “Kakak lagi nunggu hujannya reda, supaya Kakak nggak sakit,” tambahku.
“Syukurlah kalau begitu,” gadis kecil itu menimpali. Aku sendiri langsung mengerutkan kening saat mendengar kalimatnya. Apa maksudnya dia berkata seperti itu, coba? “Viona pergi karena disuruh beli roti sama Mama, tapi tahu-tahu hujan,” tambahnya seraya mengacungkan sebuah plastik kepadaku.
Oh, jadi namanya Viona....
“Begitu,” gumamku perlahan. Kemudian, aku lantas mengalihkan pandanganku ke arah langit yang masih tampak muram. Kurasakan perutku berkerucuk—aku belum makan sejak tadi siang. Itu karena ada ulangan Fisika tadi, dan karena aku belum belajar, maka mau tak mau aku harus merelakan waktu makan siangku. Hm, mungkin aku akan mampir ke toko roti yang disebutkan oleh gadis kecil itu. Kalau tidak salah, toko itu terletak di ujung ja....
Hei, tunggu sebentar. Bukankah toko itu sudah pindah sejak awal bulan ini? Lantas dari mana ia membeli roti itu? “Hei, Dek, kamu....”
Tidak ada. Tidak ada siapa pun di sana.
Aku terperangah. Kuedarkan pandanganku ke sekelilingku, menembus hujan yang, meski belum sepenuhnya reda, sudah tak lagi sederas tadi. Hei, ke mana dia? Ia tidak mungkin pergi ke jalan yang masih dituangi oleh tetes-tetes air, kan? Tidak, aku sudah pasti akan melihatnya, jadi ke mana... Ah, sudahlah. Mungkin ia masuk ke warung internet yang ada di belakangku ini. Kuputuskan untuk tidak memikirkan gadis kecil itu lagi, dan saat mendapati bahwa hujan sudah berganti menjadi gerimis, aku lantas beranjak dari warung internet itu. Gawat, sudah hampir magrib...kuharap masih ada bus yang tersisa. Mana aku harus mengerjakan PR Matematika, lagi!
***
Selama ini, aku menganggap kalau membawa payung ke sekolah itu norak. Tidak jantan. Hanya para gadis yang menenteng payung ke mana-mana, dan tentu saja aku enggan melakukan yang mereka lakukan.
Namun, hari ini berbeda. Kalau biasanya hujan baru turun pada siang hari atau menjelang sore, hari ini, hujan sudah turun semenjak pagi—dengan lebatnya pula. Aku pun tak punya pilihan lain selain membawa benda kecil memalukan itu. Dengan berat hati, aku menerima payung kecil berlogokan sebuah bank yang Mama berikan kepadaku, dan dengan berat hati pula, aku membawa payung itu dari rumah menuju halte. Kuharap tak ada temanku yang...ah, mana ada temanku yang berjalan kaki pakai payung? Rata-rata mereka mengenakan jas hujan sambil naik motor, atau bahkan tak perlu mengenakannya sama sekali karena terlindungi atap mobil. Mungkin hanya aku satu-satunya yang tidak membawa kendaraan sendiri ke sekolah. Wajar saja, semenjak aku mengalami kecelakaan sepeda motor beberapa bulan silam, Papa dan Mama setuju untuk tidak lagi membiarkanku menggunakan kendaraan. Mereka bahkan awalnya mau mengantar-jemput diriku ke sekolah—yang tentu saja kutolak. Bayangkan saja, di saat teman-temanku datang ke sekolah menggunakan mobil, aku... Hei, tunggu dulu.
Bukankah itu gadis kecil yang kemarin?
Aku mengamat-amati sosok yang terngah mematung di pinggir jalan tersebut, mencoba mengira-ngira apakah terkaanku tepat. Benar, sepertinya itu dia.Tapi kenapa dia hujan-hujanan seperti itu? Yang lebih penting lagi, apa yang dilakukannya sepagi ini sendirian tanpa seragam sekolah? Berbagai asumsi—seperti kabur dari rumah atau bahkan diusir—mulai berkelibatan dalam benakku, membuat diriku tak nyaman. Hal itulah yang membuat diriku mempercepat langkah menuju gadis itu; aku ingin menanyakan apa yang terjadi padanya....
TIIN!
“Woi, kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Udah bosen hidup, ya?”
“Ma...maaf,” ucapku terbata. Aku lantas membungkukkan badanku beberapa kali kepada pemuda pengemudi mobil itu, dan setelah itu, menolehkan kepalaku ke arah gadis kecil itu...
...menghilang?
Tapi, aku tidak mengerti. Tadi dia ada di sana, tapi mengapa....
“Hei, ngapain kamu bengong begitu di tengah jalan? Sana pergi!”
Sentakan pengemudi mobil yang tadi membuatku tersadar bahwa aku telah menyebabkan kemacetan, jadi itulah sebabnya aku buru-buru beranjak. Kemudian, saat aku tiba di tempat gadis kecil itu berdiri, aku memperlambat derap sepatu hitam putihku. Kuedarkan pandanganku sekali lagi untuk menemukan gadis kecil yang tadi. Namun, sia-sia saja. Aku tidak menemukannya—bahkan melihatnya saja pun tidak. Akhirnya, setelah beberapa menit celingukan, aku menyerah. Kubiarkan bayangan gadis kecil berambut panjang itu menguap dari benakku. Berada di sini terlalu lama bisa membuatku terlambat, dan kurasa, mencoba menemukan seorang gadis kecil yang tiba-tiba saja menghilang bukan alasan yang bagus untuk kuutarakan kepada guru piketku.
***
Seperti halnya kemarin, sore ini, hujan kembali turun.
Aku mendongak ke arah awan-awan hitam yang membumbung di angkasa melalui payung berlambangkan bank milikku. Kalau mau jujur, aku sebenarnya tidak ingin mengenakan payung ini di sekolah, tapi karena Mama menyuruhku untuk segera pulang karena Tante Yanti akan mampir sejenak, maka aku mau tak mau pun harus menggenggamnya sepanjang perjalanan ke halte. Sore yang sudah semakin larut membuat suasana terasa sepi—bahkan meskipun ini adalah jam pulang sekolah. Ah, bodohnya aku. Tentu saja, kebanyakan dari mereka tentu enggan menerobos hujan yang terhitung deras ini dengan motor mereka, dan mereka yang menggunakan mobil tentu enggan mencuci lagi mobil yang belum lama mereka bersihkan. Meski begitu, harus kuakui, rasa sepi ini sedikit menggangguku. Maksudku, di antara suara rintik-rintik hujan, aku hanya dapat mendengar suara mobil yang melintas, dan....
“Kakak.”
Deg! Aku hampir saja tersandung saat aku mendengar suara itu. Itu suara Viona, kan? Kutolehkan kepalaku ke arah suara itu memanggilku, dan aku langsung mendapati dirinya tengah berjalan menghampiriku di tengah hujan. Namun, bukan itu yang menjadi perhatianku; aku lebih concern pada kenyataan bahwa Viona tengah berlarian di tengah hujan begini. Bagaimana kalau dia sakit? Lagi pula orang tuanya, bagaimana sih, sampai tidak memedulikan gadis ini? Lihat, betapa basahnya bajunya...dan kutebak sepatunya juga pasti...
Sedetik kemudian, aku terkesiap. Viona tidak mengenakan sepatu. Dan kakinya juga tidak menapak di tanah.
Aku memandang gadis kecil itu dengan perasaan ngeri. Meski begitu, aku merasa tungkaiku terlalu kaku untuk kubuat berlari. Begitu pula seluruh badanku—satu-satunya yang dapat kugerakkan adalah kedua bola mataku. Dan bola mata ini memandang ngeri sosok Viona saat ia melayang mendekatiku, menampakkan wajahnya yang polos dan pucat. Kini aku sadar kalau kulit wajahnya tidaklah kusam, tetapi pucat. Benar, pucat. Seakan tidak ada satu tetes darah pun yang mengalir di nadi wajah itu.
“Kakak, tolong aku. Hanya Kakak yang bisa....”
Entah dari mana, aku tiba-tiba merasakan tubuhku dapat kembali kukendalikan. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung berlari sekencang mungkin meninggalkan gadis itu di belakang. Aku tidak peduli bagaimana caranya—pokoknya aku harus pergi sejauh mungkin dari dirinya!
Langkahku melambat—dan akhirnya terhenti—tepat ketika aku mencapai halte tak lama kemudian. Dengan segera, aku pun menoleh ke belakang. Sebuah helaan nafas lega langusng muncul di antara tarikan nafas tak beraturanku tatkala mendapati bahwa gadis itu (atau makhluk-entah-apa itu) tidak kudapati berada di belakangku. Untunglah busku tiba tak lama berselang, sehingga jarak antara diriku dengannya juga bertambah jauh. Kemudian, aku kembali menghembuskan nafas lega. Semuanya akan baik-baik saja saat aku tiba di rumahku. Aku yakin, gadis itu pastilah tidak akan menyusul ke rumah. Sekarang, yang perlu kulakukan hanyalah tiba di rumah dengan selamat dan lalu berendam di air hangat untuk melupakan wajah pucat gadis i...
Argh, pergilah dari pikiranku!
***
Orang bilang, mandi air hangat itu bagus untuk menenangkan pikiran. Hm, sepertinya, aku harus mengakui hal tersebut. Setelah berendam di bath tub selama nyaris setengah jam, aku merasakan pikiranku sudah kembali rileks. Mungkin karena efek dari berendam itu sendiri, atau mungkin karena aku berhasil meyakinkan diriku bahwa yang kualami tadi hanyalah halusinasiku semata. Benar, halusinasi yang berat. Hujan ini pastilah membuat fokusku turun, sehingga aku pun mulai melihat yang aneh-aneh.
Setelah mengeringkan tubuhku dengan handuk dan mengenakan piyama lengkap, aku lantas beranjak ke wastafel yang berada di kamar mandi untuk melakukan ritual menggosok gigi sebelum tidurku. Sambil bersiul, kubuka kabinet. Kuambil sikat gigi merahku dan juga sebuah pasta gigi. Setelah itu, aku menutup kabinet itu kembali.
Dan mendapati ada sebuah sosok tengah berdiri di belakang punggungku. Sesosok gadis kecil dengan muka pucat dan rambut basah tergerai. Sosok Viona.
A...apa?
Dengan cepat, aku lantas menolehkan kepalaku melewati punggung—hanya untuk mendapati sebuah bathtub yang belum kering benar.
Aku menggelengkan kepalaku. Ah, ada apa denganku ini? Kenapa aku selalu melihat bayangan-bayangan menyeramkan itu? Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Kupukulkan telapak tanganku ke pipi. Tidak, tidak ada apa-apa! Itu tadi hanya sisa-sisa bayanganku saja. Sekarang, mari rileks. Ambil nafas, buang, ambil nafas... bagus, aku sudah merasa agak tenang sekarang. Perlahan, aku lantas mengoleskan pasta gigiku ke sikat gigi, dan setelah memastikan tak ada bekas makanan yang menempel di sela-sela gigi, aku beranjak ke kamar tidurku. Hm, mungkin aku akan tidur dengan lampu menyala saja malam ini. Bukannya aku takut atau apa, tapi sepertinya, aku merasa lebih “aman” seperti itu.
Benar, sepertinya begitu....
Aku beringsut menuju pintu kamarku yang terletak di seberang kamar mandi. Kudengar titik-titik air bekas hujan tadi sore masih menetes di luar sana, pertanda hujan sudah mulai berhenti. Bagus, itu artinya, aku bisa tidak akan kedinginan malam ini. Hujan yang turun belakangan ini membuat udara jadi lebih dingin...tapi omong-omong, kenapa rasanya kamar ini lebih dingin daripada biasanya, ya? Semua jendela tertutup, kok, dan tidak ada AC atau kipas angin yang menyala. Ah, ini pasti kerena aku baru saja keluar dari kamar mandi, jadi suhu tubuhku belum sepenuhnnya normal.
Tapi kenapa sepintas tadi aku melihat tirai jendelanya bergerak? Atau cuma perasaanku saja?
***
Sepertinya, apa yang terjadi padaku kemarin benar-benar merupakan fantasiku semata. Sepanjang hari, aku tidak mendapati ada sosok gadis kecil yang muncul di hadapanku—atau di balik punggungku—lagi. Benar, bahkan meski hari ini muram seperti kemarin, aku merasa hatiku cerah. Tentu saja, bagaimana mungkin kamu tidak senang setelah bisa terlepas dari figur yang membuat jantungmu selalu nyaris copot dengan kemunculannya? Dan yang lebih hebat lagi, hari ini adalah hari Sabtu, yang berarti aku bisa menonton seluruh koleksi filmku semalaman! Sejak matahari tergelincir dan bulan telah merambat, aku sudah stand by di depan televisi plasmaku. Kusiapkan sebuah DVD Pirates of The Carribean yang kubeli beberapa hari lalu, dan tak lama kemudian, aku sudah asyik menonton film laga itu sendirian. Wah, akting memang Johnny Depp memang oke! Terlebih efek-efeknya mantap nian...tidak rugi aku membeli film yang satu ini!
“Kakak....”
Deg! Su...suara itu... Tiba-tiba, aku merasakan jantungku berdebar keras. Kucoba mengindahkan suara tersebut dengan cara memperbesar volume televisi. Suara teriakan Jack Sparrow pun langsung memenuhi ruangan, membuat diriku jauh lebih tenang. Meski begitu, tetap saja jantungku ini berdetak hebat. Aku tidak tahu kapan suara itu akan muncul lagi, atau apakah suara itu akan muncul untuk kedua kali. Kuharap, yang kedualah yang terja....
“Tolong aku.”
Dan tiba-tiba, layar televisi mati, menampakkan bayangan Viona yang tengah terduduk di sampingku.
Perlahan, aku menengok. Leherku terasa sangat berat, seakan ada sebuah rantai yang mencegahku melakukannya. Namun, atas alasan (atau kekuatan) yang tak kuketahui, aku tetap menoleh. Kudapati Viona juga menoleh kepadaku sekilas, sebelum akhirnya, ia mulai menguap ke udara. Benar, menguap. Seperti saat kau menyeduh teh dengan air panas, dan ada asap yang timbul-dan-hilang. Pada saat itulah, pada saat ia mulai menghilang, kudengar ia menggumamkan beberapa patah kata buram yang sulit untuk kucerna. Pun begitu, aku berhasil menangkap potongan suara yang semakin melirih itu.
“Tolong... Ku... Kecelaka... Diary....”
Setelah itu, Viona lenyap sepenuhnya. Dan televisi itu kembali menyala, menampakkan adegan Jack Sparrow yang tengah berlari di atas kapal.
Masih dengan dibayangi oleh perasaan ngeri sekaligus tak percaya, aku mencoba memahami apa yang gadis kecil itu berusaha utarakan. Tolong...kecelaka... (ia pasti berusaha mengatakan “kecelakaan”), diary.... Apa dia mencoba untuk memberitahuku bahwa ia meninggal akibat kecelakaan, dan ada sebuah diary yang terlempar saat kecelakaan itu terjadi? Benar, pastilah itu... diary itu pastilah benda yang mencegah arwahnya meninggalkan dunia. Tapi di mana aku harus mulai mencarinya? Aku tidak tahu di mana kecelakaan itu terjadi, ...kan?
Ah, tentu saja. Kecelakaan yang melibatkan diriku!
Kalau aku tidak salah ingat, ada beberapa orang berpakaian abu-abu yang menanyaiku ketika aku masih berada di rumah sakit. Aku saat itu tidak paham apa yang terjadi, tapi kabarnya, ada seorang anak kecil yang turut menjadi korban dari kecelakaan tersebut. Saat itu, aku masih terlalu shocked dengan kejadian yang menimpaku, jadi aku tidak begitu memedulikan apa yang terjadi padanya—atau bahkan siapa anak itu. Kronologi kecelakaan itu sendiri juga tak dapat kuingat dengan jelas. Yang aku tahu, ada sebuah mobil yang berusaha menyalip mobil lain dari arah yang berlawanan, dan tiba-tiba saja, aku sudah berada di atas ranjang rumah sakit.
Kurasa, itu sebabnya Viona datang kepadaku. Kami berdua sama-sama menjadi korban, hanya saja, nasibku lebih beruntung.
Aku mengerutkan kening. Kucoba mengingat-ingat di mana kecelakaan itu terjadi. Ayolah, aku tahu kalau dapat melakukannya... Pastinya tidak jauh dari sekolahku, karena aku jarang menggunakan motor selain untuk pergi ke sana....
Tiba-tiba aku terperangah. Bakeri.
Benar, Viona bilang kalau ia tengah membeli roti, kan? Itu artinya, dia berada tak jauh dari toko roti yang terletak di ujung jalan itu—toko roti yang kini sudah pindah. Benar, pastilah kecelakaan itu terjadi di sana. Aku sendiri heran kenapa aku bisa-bisanya tidak ingat pernah mengalami kejadian naas di sana, tapi itu tidak penting sekarang. Satu-satunya yang perlu kulakukan adalah menemukan diary milik Viona itu, dan membuat ia berhenti menghantuiku!
***
Hari Minggu, dan matahari tidak bersinar cerah sebagaimana biasanya. Sejak pagi, aku sudah menyusuri jalan sepanjang toko roti yang berada di ujung jalan sekolahku. Selama ini, aku hanya melewati saja jalan ini, jadi aku tidak melihat kalau ternyata ada sebuah bagian selokan yang tutupnya hilang. Dan di sanalah aku menemukan diary milik Viona. Buku kecil itu sepertinya berwarna hijau muda pada awalnya, tapi air comberan yang keruh membuatnya menjadi kecokelatan. Akhirnya..., dengan begini, arwah Viona pastilah bisa beristirahat dengan tenang. Dan mulai dari sekarang, ia pastilah tidak akan membayang-bayangi diriku lagi! Kumasukkan buku kecil itu ke dalam plastik yang sengaja kubawa dari rumah, dan setelah menjejalkannya ke dalam saku, aku pun melangkahkan kakiku menuju halte bus. Hm, omong-omong, apa isinya, ya? Sepenting apakah tulisan yang ada di dalam buku harian ini, sampai mencegah Viona meninggalkan dunia? Aku sudah membuka kantung plastik yang menyelimuti buku lusuh itu, tapisebuah keraguan menelusup di benakku saat aku hendak membalik sampulnya. Apa pantas aku membuka buku harian orang mati? Buka, tidak, ya? Buka, tidak, buka, tidak... Ah, buka saja, deh! Lagi pula, mungkin aku bisa menemukan ke mana aku harus mengembalikan buku harian ini. Alamat rumah Viona pasti ada di dalam buku ini....Benar saja, ketika aku membuka halaman pertama buku itu, aku mendapati ada sebuah tulisan yang berbunyi: “Jika menemukan buku ini, tolong kembalikan ke...” yang diikuti dengan sebuah alamat rumah di bawahnya. Hei, tempat ini kan tidak jauh dari rumahku berada. Mungkin aku bisa mampir sejenak, batinku.
Aku tahu kalau aku seharusnya cukup membuka hingga halaman itu saja, tapi tiba-tiba, aku menjadi penasaran mengenai isi buku ini sendiri. Seperti yang kubilang, isinya pastilah cukup berharga hingga dapat menahan sesosok arwah di dunia. Itulah sebabnya, dengan perlahan, telunjuk dan jempolku lantas meraih salah satu lembaran buku tersebut, dan setelah itu, aku pun mulai menyimak goresan pena yang ada di sana. Cukup kabur, tapi masih bisa terbaca.
Viona nggak se..aja melakukannya.
Eh?
Viona cuma ber...nda, tapi Viona nggak ny...ka kalau bakalan begi... Ma...fin, Viona, Put....
Tulisan-tulisan di buku itu membuatku tertarik lebih jauh. Oleh sebab itu, aku lantas mulai membuka-buka lebih banyak halaman buku harian tersebut. Sedikit demi sedikit, aku pun dapat melihat apa alasan buku ini amat penting bagi Viona.
Gadis itu ternyata telah membunuh adiknya. Dan ia menyimpan semua perasaan bersalahnya di sini.
Tidak secara sengaja, tentu saja. Sepertinya, mereka berdua tengah bermain sesuatu di kolam renang, tapi kemudian, sang adik justru tenggelam. Terguncang dan takut, sepertinya, ia merahasiakan apa yang terjadi itu dan justru menuangkannya ke dalam buku harian ini. Gadis malang...kehilangan seorang adik—terlebih di tangannya sendiri—pastilah sangat menyakitkan baginya. Aku dapat membayangkan bagaimana ia mencoba untuk menjalani hari-harinya dengan biasa seperti sekolah atau membeli roti dengan menyimpaan perasaan seberat ini.
"Kakak..."
Vi...Viona?
Kutolehkan kepalaku ke arah kiri, dan di sanalah gadis kecil itu berada, tengah duduk seraya menaruh kedua tangannya di atas lutut. Namun, kali ini, aku tidak merasakan ketakutan saat melihatnya. Sebaliknya, aku justru merasa bersimpati dan kasihan kepadanya. Gadis ini sudah melewati kehidupan yang sebegitu nelangsa, dan mana mungkin aku tidak kasihan kepadanya?
"Kakak... terima kasih...."
Eh?
Kemudian, kudapati sebuah senyuman muncul di bibir gadis kecil itu. Sebuah senyuman pucat, sepucat wajahnya yang putih. Dengan diiringi tatapan menghiba, tangan kecilnya yang juga pucat perlahan mulai teracung kepadaku.
Dan aku tahu apa yang harus kulakukan.
Kututup buku itu. Kemudian, kuserahkan buku kumal itu kepada gadis berambut panjang tersebut. . Aku ternyata tidak harus pergi ke tempat Viona tinggal, karena sang pemilik buku sudah memintanya sekarang. Di sini. Saat ini.
"Sekali lagi, terima kasih, Kak...."
Tepat ketika tangan Viona menyentuh buku itu, aku melihat tubuhnya yang pucat mulai menguap. Sedikit demi sedikit, sosok itu pun lenyap dari hadapanku. Begitu pula dengan buku yang kuberikan; ia sepertinya turut membawanya ke alam baka.
Selamat jalan, Viona. Semoga kau tenang sekarang.[]
Penulis: Herjuno | Teks | Pic
0 komentar