Monday, November 5, 2012

Cerpen Horor: Selepas Maghrib

Tangan Yeni masih mengusap lembut kepala Dio, adik laki – lakinya yang tertidur lelap. Ia memperhatikan wajahnya yang tenang dan damai itu dan merasakan hal yang sama dengannya. Dio tertidur karena lelah. Lelah akan kecemasan dan kekhawatiran yang mendera mereka dan semua warga desa Tanujaya yang terpencil ini.

“Yeni, tolong ambilkan ibu minum.”

Sebuah suara yang lembut terdengar amat jelas mengisi udara di ruang tengah yang sepi ini. Tak ada suara lain yang terdengar di dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya temaram sebuah lampu bohlam. Radio dan televisi sengaja tak dinyalakan demi mengurangi kebisingan malam ini.

Yeni menoleh pada ibu yang tengah duduk di sudut ruangan, menenangkan dirinya dengan membaca kitab suci.

“Baik, bu.” Ia membalas pada ibu.

Gadis dua belas tahun itu beranjak meninggalkan adiknya menuju dispenser air. Ia mengambil gelas bening dari lemari kemudian mengisinya. Air mengucur dari keran dispenser menimbulkan suara mendesir. Sesaat kemudian terdengar suara erangan. Yeni menengok ke belakang dan melihat Dio terbangun, menggisik gisik matanya. Ia mengira suara air dispenser yang membangunkannya, atau mungkin karena bocah itu tak lagi merasakan belaian lembut sang kakak di keningnya.

“Ibu, kakak, ayah belum pulang?” kata bocah itu dengan suara sengau.

Rupanya kecemasanlah yang membangunkannya. Dio berumur tujuh tahun. Ia masih berada dalam usia yang senang mencemaskan hal – hal kecil, termasuk ketika salah satu orang yang disayanginya tak ada di dekatnya. Ia pasti terus menanyakanya.

“Belum, sayang.” Jawab ibu sambil tersenyum getir.

Dio terdiam dengan wajah merenggut. Yeni yang mengantarkan segelas air putih pada ibu turut muram. Semuanya terbawa oleh suasana mencekam yang menyelimuti desa malam ini.

***

Sudah hampir dua jam berlalu sejak ayah mereka meninggalkan rumah saat adzan maghrib berkumandang dengan membawa golok yang biasa ia pakai untuk mengupas kulit kelapa. Meskipun dicegah oleh anak dan istrinya, ia tetap memaksakan diri untuk ikut bersama warga pria lain untuk berpatroli siskamling malam ini. Berbeda dengan malam – malam sebelumnya, tugas kali ini tak hanya menjaga keamanan desa, tetapi juga memburu seekor makhluk misterius yang meneror warga desa tiga hari terakhir ini.

Tiga hari yang lalu, terjadi peristiwa pertama. Warga desa geger akan hilangnya seorang anak warga pada waktu maghrib. Anak itu baru diketemukan tewas esok harinya. Mayatnya menggantung di atas pohon dalam keadaan tercabik – cabik seperti rusa yang dimakan macan tutul..

Malamnya, pada hari yang sama, peristiwa itu terjadi lagi. Kali korbannya adalah seorang wanita muda. Ia diperkirakan diculik pada waktu maghrib namun jasadnya diketemukan pada tengah malam. Seorang warga yang menemukannya mengaku melihat sesosok makhluk berwujud manusia tetapi memiliki sepasang sayap besar dipunggungnya, terbang menjauh dari tempat mayat wanita itu ditemukan lalu menghilang. Makhluk itu diyakini warga sebagai “Kalong Wewe”, sebuah makhluk mitos berwujud siluman kelelawar yang menculik anak – anak yang bermain di luar di saat maghrib dan dianggap sebagai biang keladi dari peristiwa ganjil ini.

Sejak saat itu, penduduk desa berniat meningkatkan keamanan lingkungan dengan meningkatkan kesiagaan siskamling dibantu dengan aparat kepolisian setempat. Semua warga yang lemah, wanita dan anak – anak tidak diizinkan keluar rumah pada saat malam tiba. Mereka harus menutup pintu dan jendela, serta tidak menimbulkan suara gaduh. Ini demi menghindari serangan mahkluk itu. Suasana menjadi mencekam ketika malam tiba.

***

Yeni menghela napas panjang. Malam semakin larut, suasana semakin mencekam, dan ayah mereka belum pulang. Tak ada seorang pun anggota keluarga yang dapat tidur dengan tenang malam ini, setidaknya hingga sang kepala keluarga pulang. Dio terlihat berbaring memeluk guling di atas kasur yang digelar di depan tv. Matanya terpejam, tetapi ia tidak tidur. Ibu duduk menatap kosong kitab suci yang sudah ditutup. Yeni sendiri hanya berdiam diri menyaksikan orang – orang yang ia sayangi gelisah. Sementara itu serangga – serangga pecinta cahaya mulai beterbangan mengelilingi lampu.

Tiba – tiba suasana yang sunyi dan hening itu berakhir. Melewati pukul sepuluh malam, samar – samar terdengar riuh suara orang – orang berteriak. Satu keluarga itu terkesiap seketika, saling memandang heran, bertanya – tanya apa yang terjadi. Kompleks desa ini tidak terlalu besar. Sumber suara itu tentu tidak terlalu jauh dari rumah mereka.

“Apa yang terjadi?” tanya ibu pada siapapun yang bersedia menjawab.

Yeni bergegas menuju jendela yang tertutup rapat. Ia mendekatkan wajahnya untuk mengintip keluar melalui kisi – kisi penutupnya. Sayang, ia tak bisa melihat apa – apa.

“Tidak kelihatan apa – apa” balasnya pada ibu.

Riuh di luar semakin keras dan ramai. Tak jelas apa yang mereka teriakkan, tapi yang pasti terjadi sesuatu di luar sana dan perasaannya tidak enak terutama jika mengingat ayah berada di luar sana. Dio yang mencoba untuk tidur kembali terbangun karena kegaduhan itu.

“Ibu, ada apa di luar sana?”

Sang ibu menjawab pertanyaan si bungsu dengan jawaban negatif. Mereka semakin mendekat satu sama lain, bergabung bersama Dio di bagian tengah ruangan. Tak lama kemudian terdengar suara – suara asing. Seperti suara raungan melengking yang menyayat gendang telinga, membelah langit malam.

“Apa itu?”

Sebuah pertanyaan yang sama keluar dari masing – masing mulut mereka dengan nada ketakutan yang sama. Saling berpelukan, mereka mendengar suara – suara itu bersumber dari atas, bergerak mengelilingi mereka. Yeni bertanya dalam hati, itukah suara dari Kalong Wewe yang digosipkan itu? Terdengar lebih menyeramkan dari mitos yang ia dengar waktu kecil.

Suara gaduh orang – orang di luar terdengar berubah menjadi jerit kesakitan dan ketakutan seiring semakin banyaknya lengkingan – lengkingan makhluk tersebut. Sepertinya situasi di luar perkiraan terjadi dan berlangsung lepas kendali.

Ketiga anggota keluarga itu semakin mengeratkan pelukannya. Mereka dapat mendengar napas cepat satu sama lain. Ketakutan yang amat sangat melingkupi diri mereka. Teriakkan kaget pun pecah ketika terdengar suara keras dari arah pintu depan. Seseorang, atau mungkin sesuatu menggedor – gedor pintu mereka.

Baik ibu, Yeni, maupun Dio ragu – ragu untuk membukanya. Mereka curiga atas apa yang berada di balik pintu itu. Tak ada yang mereka lakukan selain berpandangan. Namun mereka akhirnya dapat sedikit bernapas lega. Setelah beberapa gedoran, terdengar suara yang mereka kenali dari balik pintu itu.

“Ini ayah! Bukakan pintu!”

Suara itu dikenali mereka sebagai suami dan ayah tercinta. Hal ini membuat ibu bergegas menuju pintu depan, diikuti kedua anaknya. Namun mereka terkejut ketika membukanya. Ayah tampak sangat berantakan. Wajahnya pucat, dan rautnya tampak seperti orang yang amat ketakutan. Ibu bisa melihat bayangan hitam di bawah matanya. Selain itu, ia kehilangan golok yang ia bawa sebelumnya.

“Apa yang terjadi?” ibu bertanya spontan.

Tanpa menjawab, ayah bergegas masuk lalu mengunci pintu rapat – rapat. Napasnya memburu sangat cepat dan keringat deras mengucur di tubuhnya. Pakaiannya basah kuyup oleh keringat itu.

“Ayah? Ayah tidak apa - apa?” Yeni tak tahan ingin menegurnya.

Ayah berbalik menatap aneh ketiga anggota keluarganya. Tatapan itu membuat ibu dan kedua anaknya ketakutan, bahkan Dio hampir menangis.

“Setan . . .di luar ada setan . . .semua orang mati . . .”

Pria itu berbicara terbata – bata akibat pengaruh ketakutan yang amat sangat. Sesaat kemudian tubuhnya lemas. Ia jatuh berlutut. Ibu yang terkejut segera menahannya.

“Ayah, bertahanlah!”

“Aku tidak apa – apa.” Jawab ayah. “Cuma lemas.”

Tiba – tiba terdengar suara benturan keras di luar. Sesaat kemudian, lampu padam. Mereka terkejut. Semua menjadi gelap gulita. Salah satu tiang listrik di luar rubuh dan memutus aliran listrik di seluruh desa.

Padamnya lampu membuat satu keluarga itu panik. Mereka saling memanggil, meraba ke sana kemari mencari keberadaannya namun tidak butuh waktu lama untuk saling menemukan satu sama lain. Semuanya saling berpelukan kembali.

“Sst . .diam semua!” bisik ayah. Ia mendengar sesuatu.

Suasana menjadi amat hening. Samar – samar suara lengkingan itu terdengar kembali. Semakin lama semakin jelas. Yeni merasakan perasaan tidak enak, begitu juga dengan ayahnya. Ia menduga salah satu dari mereka mendekat ke rumah ini. Mereka kembali dalam ketakutan. Teror menghampiri mereka.

“Cepat, kita ke kamar!” seru ayah dengan suara pelan.

Mengendap – endap, mereka berjalan menuju kamar utama yang terletak di sudut rumah paling dalam. Ibu, Yeni, dan Dio memegang baju ayah dengan erat. Mata mereka yang mulai menyesuaikan diri melihat dalam gelap membantu mereka mengenali apa yang ada di depan. Langkah mereka penuh kewaspadaan untuk tidak menimbulkan suara yang akan menarik perhatian makhluk – makhluk itu.

Mereka semakin dekat dengan kamar utama, tetapi keberadaan makhluk itu terasa semakin dekat. Jantung mereka berdegup kencang. Ayah mempercepat langkahnya memasuki kamar. Tepat ketika Dio, orang yang terakhir masuk, terdengar bunyi hantaman di ruang utama. Sesuatu mendobrak masuk lewat pintu depan. Ayah seketika menutup pintu kamar lalu menguncinya. Pada waktu hingga pintu benar – benar tertutup, Dio menangkap sesuatu yang berada di sana dalam penglihatannya. Sesosok merah dengan sayap kelelawar dan mata yang merah menyala. Ia tampak memiliki ekor panjang dan dua buah tanduk menyembul di dahinya. Dalam hati ia berpikir, inikah wujud dari Kalong Wewe, makhluk yang menyerang desa ini? Mengapa berbeda dengan yang diceritakan orang?

***

Satu keluarga itu kini bersembunyi di bawah tempat tidur utama. Meringkuk ketakutan dalam kegelapan. Di luar kamar ini, sesosok makhluk mengerikan memburu mereka. Dio menguburkan wajahnya di tubuh ibunya, sementara itu yang lain tak sanggup membuka mata. Hanya ayah yang berusaha menahan rasa takutnya untuk terus membuka mata, memperhatikan pintu yang tertutup rapat. Ia harus bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan keluarganya.

Keberadaan makhluk itu semakin jelas. Mereka bisa mendengar jejak langkah, bahkan geramannya dari balik pintu. Satu keluarga itu kembali diliputi ketakutan yang amat sangat. Jantung yang berdetak semakin keras dan napas yang yang semakin cepat memburu. Yeni bahkan tak bisa menghentikan giginya yang gemeletuk Keringat dingin membasahi pakaian mereka semua.

Tiba – tiba mereka amat terkejut mendengar suara benturan pada pintu. Makhluk itu mencoba mendobrak masuk seperti saat ia datang ke rumah ini. Berkali – kali ia mencoba membenturkan diri pada pintu itu dan berhasil pada kali yang keempat. Pintu itu terlempar menimbulkan suara yang amat keras. Ibu tak sengaja menjerit lemah karena saking kagetnya.

Keadaan semakin tegang. Makhluk itu berada satu ruangan dengan keluarga manusia lemah itu. Ayah bahkan bisa melihat kakinya yang besar dengan ruas jari panjang dan cakar yang tajam. Ia melangkah perlahan – lahan mengelilingi kamar. Mencari keberadaan manusia di dalamnya.

Debar jantung yang semakin kencang membuat dada Yeni sakit. Ia pun tidak tahan untuk menangis dan berteriak sekeras – kerasnya tetapi mulutnya dibekap oleh lengan ibu, begitupun dengan mulut Dio. Ayah melirik cemas ketiga anggota keluarganya, tetapi tak ada yang bisa ia lakukan kecuali berbuat yang sama pada dirinya. Makhluk itu sungguh menakutkan.

Makhluk itu mendengkur. Tetapi dengkurannya terdengar seperti geraman. Dan di sela – sela geraman itu, ia mengendus – endus. Ayah berharap ia tidak mencium keberadaan dirinya dan keluarganya. Namun harapan itu kian tipis ketika langkah itu mendekat dan berhenti di dekat tempat tidur. Kemudian harapan itu sirna ketika sebuah tangan dengan jari panjang bercakar tajam memegang tempat tidur kemudian mengangkatnya ke atas.

Makhluk itu menemukan mereka dan manusia – manusia tak berdaya itu melepaskan jeritannya. Ia menjulurkan cakarnya, mengoyak tubuh mereka satu per satu. Yeni dan adiknya hanya bisa menganga tanpa suara ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana makhluk itu merobek perut kedua orang tuanya kemudian memakan isinya hidup – hidup. Matanya terbelalak tak tetahankan dan pemandangan mengerikan itu terekam kuat dalam pikiran mereka. Tetapi itu hanya sekejap.

Tak lama kemudian, sesosok makhluk yang lain menjebol atap rumah, menerobos masuk dari atas. Makhluk itu kemudian langsung meremas kepala Dio hingga isi otaknya berhamburan keluar sebelum ia menghabisi mangsa terakhir dengan menarik tenggorokan Yeni dari lehernya.

Tak ada seorangpun warga yang selamat dari pembantaian itu hingga fajar menyingsing.

***

Satu minggu sebelumnya.

Masyarakat geger akan adanya sebuah gosip dalam sebuah situs forum internet terbesar di Indonesia, 3channel.net. Dalam situs itu terdapat sebuah thread topic tentang datangnya hari kiamat. Dalam halaman itu, penulis yang menamai dirinya “666MESSIAH” menuliskan bahwa kiamat akan terjadi pada tanggal 12 Desember 2012, yaitu tiga hari mendatang dan ditandai dengan turunnya makhluk dari neraka yang akan membantai nyawa warga suatu desa.

Forum ini ditanggapi dengan dingin oleh masyarakat dunia maya pada awalnya, namun berbagai macam komentar mulai membanjiri setelah kejadian itu dan sebagian besar dari mereka mengakui kebenarannya. Tak ada yang tahu siapa identitas “666MESSIAH” sebenarnya, tetapi banyak kalangan menyebutkan bahwa ia adalah dajjal.[]

Teks | Pic

0 komentar