Pak RT
lantas mengantar Ayah pulang ke rumah. Dari teras depan didapatinya
jendela salah satu kamar—yakni kamar tempat Ayah berada, sedangkan Ibu
sejak pertama kali menyadari keanehan pada diri Ayah memilih tidur di
kamar adikku—terbuka lebar, sementara angin malam menyeru-nyeru dan
melambaikan gordennya.
Sejak
itu Ayah dikurung Ibu di kamar. Bagai tahanan kakinya dirantai. Setiap
pagi dan sore hari Ibu mengambilkannya daun-daunan dan sayuran dari
kebun untuk memberinya makan.
Berbanding
terbalik dengan tubuh Ayah yang semakin subur, kondisi fisik Ibu
sekarang jauh menurun drastis. Tubuhnya kurus dan matanya cekung
memikirkan Ayah. Wajah tirusnya melukiskan segalanya; betapa ia merasa
tertekan dan depresi menghadapi kondisi penyakit aneh Ayah.
Setiba
aku pulang, aku hanya bisa berurai air mata menyaksikan kondisi Ayah.
Tubuhnya membengkak dan bulat seperti kerbau bunting. Pipinya merah dan
gembil seperti bakpao. Ia tersenyum menatapku, menampakkan gigi-giginya
yang kehijauan karena kebanyakan mengunyah dedaunan—seperti orang habis
nyirih, hanya saja ini berwarna kehijauan. Kedua matanya tampak segaris
dihimpit daging pipinya yang lebar. Persis seperti orang bodoh, mulut
mungilnya yang diapit dua pipi tembamnya tak berhenti mengunyah
daun-daun kesukaannya.
Ruangan
yang ditempati Ayah lebih mirip seperti kandang ketimbang sebuah kamar.
Kamar itu begitu menjijikan dan beraroma dedaunan busuk. Sementara
kalau tidak hati-hati melangkah, kotoran hijau tampak bertebaran di
beberapa sudut. Tampaknya Ayah sudah tak mampu lagi banyak bergerak,
selain karena rantai yang mengikat sebelah pergelangan kakinya, juga
karena ukuran tubuhnya yang semakin berat untuk digerakkan sehingga ia
terpaksa membuang kotorannya di sembarang tempat. Pun Ibu sudah tak
sanggup lagi untuk membersihkannya, karena kini ia harus bekerja ekstra
untuk mengurus rumah dan juga menoreh karet di pagi hari, belum lagi ia
harus mengumpulkan daun-daunan atau sayuran untuk memberi makan Ayah.
Kata Ibu, sudah belasan orang pintar didatangkannya dari berbagai
pelosok kampung untuk menyembuhkan penyakit Ayah, tapi tak ada satu pun
yang berhasil.
Ayah, siluman jenis apa yang mendiami tubuhmu kini… batinku miris.
***
Suatu
pagi, beberapa hari kemudian, saat aku hendak memberi makan Ayah dan
juga berinisiatif memandikannya aku menemukan Ayah telah terbungkus
dalam serat yang menggumpal entah dari mana datangnya, seperti gulungan
kapas putih yang sangat besar. Aku dan Ibu lantas hendak mengeluarkannya
karena takut Ayah akan kehabisan nafas di dalamnya. Tapi dari dalamnya
Ayah berteriak jangan. Katanya, ia akan berpuasa untuk menguruskan
badannya dan minta untuk tidak diganggu selama beberapa hari. Maka,
saling berpandangan, yang dalam tatapannya kuketahui bahwa Ibu tak
terlalu kaget lagi dengan keanehan Ayah kali ini, kami pun terpaksa
menuruti permintaan Ayah.
Selama
beberapa hari berikutnya sama sekali tak tampak tanda-tanda bahwa Ayah
akan keluar dari balik ‘selimutnya’. Sementara gulungan kapas raksasa
yang membungkus seluruh tubuhnya semakin tebal. Aku dan Ibu cemas
memikirkan keadaannya, tapi Ayah bilang ia tidak apa-apa. Ia akan segera
keluar dalam satu atau dua hari lagi dan ia berjanji semuanya akan
baik-baik saja setelah ini. Ia juga berpesan padaku agar aku menanam
bunga yang banyak di pekarangan rumah. Lebih banyak dari yang telah
ditanam Ibu sebelumnya. Aku dan Ibu tak mengerti tapi mengerjakan saja
apa yang perintahkannya.
Lusa
akhirnya Ayah keluar dari ‘kepompongnya’. Pertama kali melihatnya
keluar dari kamar kami semua kaget karena Ayah telah kembali seperti
semula. Berdiri di ambang pintu kamar, tubuhnya gagah dan kembali
langsing seperti semula. Bukan itu saja, rambutnya juga tampak lebih
hitam, dan bahkan kulitnya jauh lebih halus dan bersih, seolah ia baru
saja terlahir kembali. Ia tersenyum menatap kami semua yang ternganga.
Ia baik-baik saja, katanya. Tidak, malah jauh lebih baik, menurutku dan
Ibu. Ibu memeluk Ayah senang. Saat itu aku berdoa dalam hati semoga
semua masalah ini telah selesai.
Namun,
keesokan harinya, Ayah mulai menunjukkan keanehan lain. Ia begitu
menyukai bunga-bunga di pekarangan dan berlama-lama memandanginya.
Berjam-jam, bahkan seharian. Setelah itu, ia selalu menyuruh kami untuk
menanam lebih banyak bunga. Bahkan membentak bila kami tak segera
menuruti perintahnya. Aku benar-benar tak mengerti apa yang ada di
pikiran Ayah. Ia tak banyak bicara sekarang, sebenarnya dari dulu juga
begitu aku mengenalnya, namun kali ini penyebab ia tak banyak bicara
adalah karena perhatiannya habis tersita untuk mengamati bunga-bunga itu
dari jarak yang begitu dekat dan sinar matanya tampak begitu terpukau
saat mengamati keindahan mereka.
Ayah
juga mulai menyuruh para tetangga untuk menanam bunga di pekarangan
mereka. Menurutnya pekarangan rumah yang tak ada bunganya begitu tandus
dan menyebalkan. Sementara menurut para tetangga Ayah lah yang aneh dan
menyebalkan.
Bersambung ke Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu [Part VII]
Penulis: Adhi Glory | Sihirkata
0 komentar