Tak puas
dengan hanya mengamati bunga-bunga yang kami tanam, selanjutnya Ayah
mulai melesat ke dalam hutan untuk melihat lebih banyak bunga. Ia
melompat—aku tak berbohong saat menuliskan hal ini, aku benar-benar
kaget sewaktu melihat Ayah melompat dari satu pohon ke pohon dengan
gesit layaknya seekor belalang, seolah ia memiliki pegas pada kedua
tungkai kakinya—sesaat setelah ia bilang akan pergi ke hutan. Kemudian
dalam bilangan detik ia telah menghilang di antara rimbun pepohonan di
belakang rumah kami.
Di
hutan Ayah menjumpai berbagai bunga liar yang membuatnya kegirangan
hingga lupa waktu. Ia berkeliaran dengan riang ke sana kemari, mengamati
ragam corak dan keindahan bunga-bunga yang ditemuinya. Sore hari ia
baru pulang setelah matahari tenggelam dan membawa beberapa bibit bunga
di tangannya untuk kami tanam. Begitulah selama beberapa hari kemudian
yang dilakukan Ayah. Mulanya aku sangat mengkhawatirkannya berkeliaran
seorang diri di tengah hutan dalam kondisi mentalnya yang agak kurang
sehat itu, namun demi melihat senyum di wajahnya saat ia menatap
bunga-bunga itu aku tak banyak berkomentar. Lagipula, Ibu sudah tak
sanggup melarang Ayah. Dan selama Ayah merasa baik-baik saja Ibu cukup
senang.
***
Seminggu
kemudian, kami semua dikejutkan dengan berita Ayah terkena tembakan
pemburu di hutan. Seorang pemburu amatir yang melihat Ayah berkelebat di
atas pepohonan merasa ketakutan karena mengira Ayah sebagai binatang
buas yang hendak menyerangnya dan melepaskan tembakan secara membabi
buta. Seorang bocah tetanggaku yang berlari tergopoh-gopoh melaporkan
hal ini pada saat tengah hari. Mendengar kabar itu Ibu terkejut bukan
main dan jatuh pingsan. Ayah—oh, aku kehabisan kata-kata untuk
menggambarkan penderitaannya!—setelah semua yang dialaminya selama ini,
akhirnya meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit kabupaten karena
kehabisan darah. Aku tak berhenti menangis sembari menggenggam tangannya
di dalam mobil Pak RT.
Aku
dan Ibu tak menaruh dendam pada pembunuh Ayahku. Ibu malah berujar
dengan berurai air mata saat mengantar iringan jenazah Ayah di muka
rumah bahwa mungkin inilah saatnya Ayah mengakhiri penderitaannya. Ia
sudah sangat menderita selama ini, meski ia tak pernah mengucapkannya.
Aku hanya tak mengira ternyata di hutan tempat Ayah menikmati
kesenangannya pada bunga-bunga liar itu menjadi akhir bagi perjalanan
hidupnya.
***
Suasana
pemakaman sepi karena para pengantar jenazah telah berangsur-angsur
pergi, aku duduk tercenung di depan makam Ayah memikirkan semua kejadian
yang menimpanya selama ini. Aku benar-benar tak mengerti maksud semua
ini; apakah Tuhan hanya ingin menimpakan nasib buruk pada Ayahku begitu
saja, atau Dia hanya ingin mempermainkan hidupnya layaknya lakon dalam
pentas sandiwara. Saat memikirkan hal ini aku merasa sangat sedih dan
air mataku tak berhenti mengalir. Atau adakah ini suatu pertanda yang
tak dapat kupahami.
Pada saat itu jawabannya muncul bersama seekor kupu-kupu berwarna cerah yang tiba-tiba hinggap di atas nisan Ayah. Lama ia berdiam di sana, ia tampak begitu tenang dan khusuk, seolah sedang memanjatkan doa untuk Ayah yang telah terbaring di bawahnya. Aku tak berkedip memandangnya. Kemudian kulihat perlahan-perlahan seekor kupu-kupu lainnya terbang memutar dengan anggun di atas makam Ayah, lalu datang seekor lagi di belakangnya, lalu seekor lagi, dan seekor lagi, dan seterusnya hingga di udara dipenuhi berbagai jenis kupu-kupu berwarna-warni. Begitu indah, layaknya rona pelangi yang tercecer dan berserakan memenuhi tempat itu. Aku hanya membisu dan dalam hati berdecak kagum sekaligus bingung; Ayah, apalagikah yang akan terjadi setelah ini?
Pada saat itu jawabannya muncul bersama seekor kupu-kupu berwarna cerah yang tiba-tiba hinggap di atas nisan Ayah. Lama ia berdiam di sana, ia tampak begitu tenang dan khusuk, seolah sedang memanjatkan doa untuk Ayah yang telah terbaring di bawahnya. Aku tak berkedip memandangnya. Kemudian kulihat perlahan-perlahan seekor kupu-kupu lainnya terbang memutar dengan anggun di atas makam Ayah, lalu datang seekor lagi di belakangnya, lalu seekor lagi, dan seekor lagi, dan seterusnya hingga di udara dipenuhi berbagai jenis kupu-kupu berwarna-warni. Begitu indah, layaknya rona pelangi yang tercecer dan berserakan memenuhi tempat itu. Aku hanya membisu dan dalam hati berdecak kagum sekaligus bingung; Ayah, apalagikah yang akan terjadi setelah ini?
Layaknya
keluarga kami yang tengah berduka, selama empat puluh hari kemudian
seluruh langit desa kami dipenuhi beraneka ragam kupu-kupu
berwarna-warni. Mereka beterbangan kian kemari, hinggap di pucuk-pucuk
pepohonan dan atap rumah penduduk, dan membuat siapa saja yang
melihatnya terkagum-kagum. Orang-orang yang berkendara melintasi desa
kecil kami akan berhenti dan melongok ke udara dengan terkesima. Tak
lama desa kami segera dipenuhi dengan turis-turis lokal yang datang
membawa kamera dari kota terdekat, orang-orang berfoto dengan wajah
ceria dan menyebarkan kabar dari mulut ke mulut tentang fenomena langit
kupu-kupu di desa kami. Beberapa penduduk yang cerdik membuka
warung-warung sederhana di pinggir jalan raya untuk tempat singgah para
turis lokal dan memperkerjakan pemuda pengangguran yang biasa nongkrong
bermain gaple di pos ronda. Ada juga bocah-bocah yang menyewakan tikar
untuk pelancong yang memilih ingin bersantai di antara rimbun pepohonan.
Tak
ketinggalan koran lokal dan kru TV meliput tentang desa kami. Desa kami
menjadi buah bibir dan tak pelak nama Ayahku ikut disinggung sebagai
awal mula penyebab fenomena ini. Seorang pakar botani yang sebelumnya
tak pernah didengar namanya berkoar-koar di TV kalau, mungkin saja,
katanya, Ayahku telah menyuruh kami untuk menanam bunga-bunga yang telah
menarik perhatian kawanan kupu-kupu tersebut. Bunga tersebut pastilah
sangat istimewa dan mengeluarkan aroma wangi yang sangat semerbak.
Mendengar hal itu, para penduduk yang lain, seolah tak mau ketinggalan
tren dan ingin menjadi bagian dari fenomena segera menanami beraneka
rupa bunga di pekarangan mereka.
Aku
tak mengerti, Ayah. Aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya ingin
ditunjukkan oleh Ayah. Mungkin ini adalah kehendak alam. Namun aku bisa
melihat dengan jelas hari itu, sebagai seorang mahasiswa, bahwa kita
sebagai manusia bisa bekerjasama dengan alam, dan bukannya
mengeksploitasi atau bahkan merusaknya untuk mendapatkan keuntungan.[nd]
(Sebelumnya ditulis untuk memperingati Hari Bumi, 22 April 2011)
Penulis: Adhi Glory | Sihirkata
0 komentar