Tuesday, November 20, 2012

Cerpen Horor: Lukisan Nona Lucy

Akhirnya.

Setelah bertahun-tahun menjalani pendidikan khusus, aku pun berhasil mendapatkan kesempatan mengabdi kepada keluarga bangsawan terkemuka di London. Di usiaku yang terbilang masih cukup muda, 18 tahun.

Sebagai pelayan pribadi.

Dan ialah engkau, manusia yang memperoleh segalanya milikku, yang akan kuabdikan segalanya untuk. Untuk kehidupanmu, untuk kebahagiaanmu.

Engkau, gadis kecil yang konon genap berusia delapan tahun di musim semi itu.

Dengan helai rambut pirangmu, nan lurus, nan berkilau.

Yang menaungi tulang wajahmu, begitu bundar, begitu lugu.

Dihiasi bibir mungilmu yang selalu membentuk senyum.

Dan bola mata biru jernih.

Jelita.

Elok.

Indah.

***

Nona Lucy, tolong berhati-hatilah! Bagaimana jikalau Anda terjatuh karena berlarian kesana-kemari?”

Cemasku.

Ketika kami berkeliling taman bunga. Ketika kembang-kembang: mawar, yasmin, tulip, lili, menguarkan aroma nan memikat hati.

Di musim panas nan sejuk saat usiamu delapan.

“Tak apa, Noll! Kalau jatuh, aku tinggal bangun sendiri!”

Yakinmu.

Dimana tak lama kemudian sepatu berpita yang masih terlalu besar untuk kaki-kaki itu membuatmu kehilangan keseimbangan.

Terjatuh di rerumputan yang baru saja dipangkas.

Menangis.

Terluka.

Hingga aku terpaksa kembali ke dalam rumah utama, menuju kamarku di bagian belakang, tergesa-gesa mengambil perban dan obat luka lantas berlari sekencang napasku mampu. Untuk kembali padamu.

Dan di sanalah engkau, berdiri tegak seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Menampilkan cengiran terbaikmu, meringis terkadang.

“Aku tak apa, Noll! Lihat!” dan  kautunjukkan kakimu.

Masih terluka. Tapi kau bilang ‘tak apa’, maka aku menurutinya. Dan membalasmu dengan senyum.

***

Seorang pria paruh baya menyambutku di pintu belakang.

“Selamat datang, Oliver.”

Aku tersenyum, singkat.

Kulepas topi kumal yang sepanjang perjalanan melindungiku dari terik mentari. Lantas memandang sekitar.

Remang, seolah ruang belakang ini berkabut. Mungkin karena aku baru tiba dari luar, dugaku.

Kukerjapkan mata beberapa kali, berharap mataku menjadi terbiasa dengan suasana berkabut ini. Sia-sia. Segalanya buram.

“Hmm... tepat waktu,” pria itu kembali berucap seraya mengecek arloji saku. Busananya jas buntut, pria ini kepala pelayan, mungkin. “Memang beginilah semestinya sikap seseorang yang akan melayani keluarga ini. Walau kau hanya pekerja kasar,” tambahnya, terdengar agak ketus bagiku.

Biarlah, toh aku hanya perlu uang untuk kembali melanjutkan hidupku. Ya, hidupku yang entah bagaimana seperti baru dimulai.

Kuhela napas. Lantas kuangkat tas kecil yang sedari tadi tergeletak di sisiku. Tak banyak yang kupunya, hanya saja ada satu benda yang entah mengapa tak bisa kubiarkan jauh dariku: pita kecil berwarna merah yang kini selalu kulingkarkan di kerah pakaianku. Menjadikannya sebagai pengganti dasi.

Pria itu membawaku berjalan cepat melalui koridor-koridor berkarpet serta aula-aula dengan lampu gantung kristal dan banyak daun pintu tertutup rapat yang menuju entah ke ruangan seperti apa, semewah apa.

Hingga akhirnya kami tiba di suatu koridor sempit, dengan karpet tebal menutupi penjuru lantai, dengan hanya dua lampu gantung berderet menerangi. Tak ada pintu di sepanjangnya. Begitu polos.

Satu benda menarik perhatianku. Jauh melebihi ketertarikanku dengan kemewahan lain di rumah ini:

Lukisan seorang gadis kecil yang tengah duduk kaku di kursi berlengan mewah dengan sulaman benang emas. Gaunnya putih, dengan pita merah di sekeliling pinggangnya.

Cantik. Mungkin itu kata yang pantas ditujukan untuknya.

Sepertinya aku harus selalu melewatinya jika akan ke bagian lain rumah dari kamarku di bagian belakang.

Di pojok bawah lukisan tersebut tertera seuntai nama: Lucy.

Aku pun tersenyum padanya.

Ingin aku bertemu dengannya. Dia pasti Nona Muda rumah ini, bukan?

***

“Noll!”

Kau memanggilku.

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, kulangkahkan kaki ke dalam kamarmu. Sesuai dugaan, di ranjangmu kini terpampang berlusin gaun, beragam warna, beragam corak.

Musim semi di usiamu yang hampir sembilan.

“Noll, aku tidak tahu harus pakai baju yang mana untuk pesta ulang tahunku minggu depan!”

Wajahmu masih sama bundar. Hanya saja rambut pirang lurusmu kini telah memanjang hingga mencapai pinggang.

Kusapukan pandang ke tumpukan gaun itu. Seluruhnya anggun, cantik. Namun tidak ada yang mampu mengalahkan keelokan alami milikmu.

Yang manapun pasti cocok dikenakan olehmu. Karena itulah, sebenarnya tidak perlu kau sebingung itu menentukan pilihan.

“Bagaimana jika yang ini? Tuan dan Nyonya Besar pun pasti akan teramat senang melihat Nona Lucy mengenakannya di pesta ulang tahun!” kurentangkan sehelai gaun putih dengan pita merah di bagian pinggang.

Matamu lantas berkilau ceria. Karena baru saja menemukan jalan keluar dari permasalahan.

Ya, akhirnya engkau pun setuju dengan pendapatku dan memilih mengenakan gaun pemberian kedua orangtuamu itu di hari ulang tahunmu yang kesembilan.

Ah, seandainya aku pun mampu membelikanmu gaun secantik itu.

***                       

Rumah ini memang remang. Memang berkabut.

Sudah hampir seminggu sejak aku mulai bekerja dan masih saja belum terbiasa dengan suasana berkabut di rumah ini. Persoalannya, hanya aku saja yang merasakan kesan berkabut ini. Tidak ada pelayan lain yang mengaku merasakannya, mereka hanya bilang agar aku segera membiasakan diri dengan pencahayaan rumah ini.

Sepertinya begitu.

Sudahlah. Tak ada waktu untuk memikirkan hal sepele begitu. Toh, aku sudah begitu sibuk dengan berbagai pekerjaanku di rumah ini: mengurus kebun, mengangkut barang, mengecek persediaan kayu bakar, sampai membersihkan kamar mandi.

Memang sebenarnya sebagian besar tugas itu bukan urusanku. Namun rasanya tubuhku bergerak otomatis untuk membantu pekerjaan pelayan lain.

Siapa tahu aku bisa bertemu dengan Nona Lucy jika aku berkeliaran di berbagai tempat di dalam rumah yang amat luas ini.

Siapa tahu.

Ternyata aku begitu penasaran dengannya.

Seperti pagi ini, bersama beberapa pelayan pria lain, aku baru saja mengangkut patung marmer baru berwujud malaikat kecil ke aula tengah. Bertambah lagi satu kemewahan di rumah ini. Kedua bola mata malaikat itu dibuat dari batu berlian termahal, kata pelayan-pelayan lain.

Aku hanya tersenyum, tidak sungguh-sungguh peduli.

Seraya merenggangkan otot, aku berjalan tak tentu arah di rumah utama. Seperti labirin. Menimbulkan kesan tidak akan bisa keluar darinya.

Dan ....

Di sanalah ia, lukisan gadis kecil itu.

Seolah muncul begitu saja, menuju diriku. Menghampiriku.

Atau hanya aku yang tanpa sadar berjalan ke koridor sempit ini.

Lagi, aku hanya tersenyum padanya.

Jika saja aku bisa bertemu dengannya.

Noll.

Eh?

Hanya salah dengar, mungkin.

Rasanya tadi ada yang memanggilku.

Noll.

Lagi.

Sudah lama tidak ada yang memanggilku seakrab itu. Siapa?

Noll. Noll. Noll.

“Siapa?!” tak mampu kutahan lagi. Begitu mengusik.

Dan ia balas tersenyum padaku, memandangku. Siluet tak asing.

“Nona Lucy?” panggilku.

Menggeleng-gelengkan kepala, segera kuusir segala pikiran tak logis.

Mana mungkin lukisan berbicara, kan? Mana mungkin lukisan itu menatapku, kan? Mana mungkin dia tersenyum padaku, kan?

Segera hal lain membuatku berpikir, nama gadis itu seolah telah begitu melekat di diri hingga terasa begitu nyaman ketika memanggilnya. Mengapa?

NOLL!!!

***

“Noll! Kau tahu? Ayah dan Bunda baru saja memanggil seorang pelukis ke sini! Kata mereka, aku akan dilukis sebagai hadiah ulang tahunku!”

Wajahmu sarat akan ekspresi cemas bercampur debar penasaran. Aku tahu, ini kali pertama kau akan dilukis. Sosokmu sudah begitu menawan bersiap dilukis dengan gaun putih itu.

“Menurutmu, aku harus berwajah seperti apa?”

Lantas engkau berlari kecil menuju cermin raksasa di tengah kamar.

“Seperti ini? Atau seperti ini? Bagaimana kalau begini? Hmmm... rasanya semua tidak cocok denganku ya, Noll?”

Kepalamu tertekuk, kecewa. Sementara aku masih terus berpikir keras, mencari kata-kata yang pantas untuk meresponmu.

“Ya, aku tahu!” pekikmu ceria, begitu mendadak, cukup untuk membuatku terkejut. Kaki-kaki yang kini telah dibalut sepatu berpita yang ukurannya sudah begitu pas itu pun bergerak. Kulihat kau mulai menyeret sebuah kursi berlengan dari samping meja baca ke hadapan cermin.

Refleks aku menghampirimu, “Biar saya saja, Nona Lucy!” dan berupaya merebut kursi yang nampak berat bagimu itu.

Seperti biasa, kau keras kepala.

“Tidak perlu, Noll! Aku bisa sendiri!” jemari mungil menepis tanganku.

Baiklah, aku mengalah. Lagi. Selalu begitu. Tidak pernah bisa kulawan kau, Nona Muda yang begitu keras kepala dan seenaknya.

Yang begitu ingin menjadi mandiri. Tidak ingin bergantung pada siapapun, bahkan pelayan pribadinya: aku.

“Kemarilah, Noll!” tanganmu melambai padaku. Engkau, yang telah duduk manis di kursi yang berada tepat di depan cermin itu.

Untuk apa kau memanggilku sekarang? Setelah dengan kerja kerasmu sendiri kursi itu terposisikan dengan baik? Hanya membuatku merasa tidak berguna untukmu.

Meski demikian aku tetap dengan patuh berlutut di sampingmu, menyamakan tinggiku dengan sosokmu yang tengah duduk dengan begitu anggun itu.

“Tidak! Tidak!” sergahmu kemudian. Membuatku mengerutkan dahi, menerka apa yang salah dari sikapku kali ini. “Kau tidak berlutut di sana! Kau berdiri tepat di sampingku! Di sini!”tanganmu menepuk-nepuk udara kosong di samping kursi.

Tunggu, tidak mungkin aku dipersilakan berada di posisi itu, kan?

“Ti-tidak mungkin, Nona Lucy! Saya tidak pantas berdiri di samping Nona!”

Karena aku akan selalu melindungimu dari belakang.

“Kubilang ke sini, maka kau harus ke sini! Tugasmu kan memang menuruti segala perkataanku!”

Aku memang tidak bisa melawan kekeraskepalaanmu.

Maka aku pun berdiri di sampingmu. Dengan cara berdiri terkaku yang pernah kutunjukkan. Dengan keringat dingin membanjiri sekujur tubuh. Dengan ekspresi termasam mewarnai wajah. Ngeri jika kejadian ini terlihat pelayan lain, atau bahkan―oh, ini mimpi buruk―oleh Tuan dan Nyonya Besar sendiri.

Apa boleh buat, kan! Bahkan dalam tidur saja aku tidak berani memimpikan hal ini!

“Nah, Noll, aku ingin dilukis begini!” Mata biru jernihmu memandangku lekat, “Bersama kau yang berdiri di sampingku, Noll!”

Seandainya memang bisa seperti itu, maka aku akan amat bersyukur.

Seandainya saja ....

***

Lagi-lagi aku tengah termenung menatap lukisan gadis kecil di koridor sempit itu.

Entah sudah berapa lama, entah bagaimana, entah untuk apa, aku sendiri tidak paham. Mendadak saja, aku tersadar―seolah baru saja dibangunkan dari lelap―dan menemukan diriku tengah berdiri tepat di hadapan lukisan itu. Memandanginya.

Apalagi ini bukan untuk yang pertama kalinya.

Apa aku terlalu letih?

Kulangkahkan kaki, hendak menuju dapur, sudah jam makan siang seharusnya. Namun begitu mataku lepas dari lukisan, segalanya tampak jauh lebih buram. Gelap, berkabut.

“Kenapa makin banyak kabut? Apa karena musim panas akan berakhir?” keluhku sambil menggosok-gosok kedua mata dengan kasar. Yang sama sekali tak membuat perubahan.

Beberapa koridor kulewati, hanya tinggal menuruni tangga dan aku akan tiba di dapur.

Seharusnya begitu.

Namun kini yang terpampang di hadapanku kembali koridor sempit yang sama. Dengan lukisan Nona Lucy yang sama.

Kupicingkan mata sedikit, memandangnya. Ah, tidak, tidak lagi sama.

Ia tampak sedih.

***

Belakangan ini beberapa kali sempat aku memergoki―sekilas, benar-benar sekilas―sosok Nona Lucy. Mengintip dari balik pintu-pintu di lorong-lorong yang menuju ruang-ruang entah semewah apa. Aku tidak pernah berani memasuki ruang-ruang itu, maka aku hanya berbalas tatap dengannya. Sesaat. Ya, hanya sesaat.

Karena sosoknya segera lenyap di balik pintu yang berdebam menutup.

Benar-benar serupa dengan lukisan itu, sosoknya. Mengenakan gaun putih dengan pita merah di pinggang. Cantik. Dengan helai rambut pirangnya yang lurus dan berkilau. Dengan tulang wajahnya yang bundar, lugu dan polos.

Serta bola matanya yang biru jernih.

Hingga detik ini pun aku berharap dapat secara kebetulan bertemu dengannya.

Dan benar saja, begitu aku berharap, sosoknya mewujud. Di balik pintu, mengintip.

Seolah sosoknya yang berada di dalam lukisan membentuk sebuah realitas. Yang bisa kupandang, kusentuh.

Noll.

Aku terbelalak.

Bagaimana tidak, baru sekali ini dia bersuara. Dan, namaku! Ya, namaku. Yang entah bagaimana bisa diketahuinya. Ah, memang semestinya dia tahu namaku.

Toh, aku pelayan pribadinya.

Eh?

Tunggu, pelayan pribadinya? Siapa? Aku?

Noll, kau masih ingat aku?

Tanpa perlu diaba-abai otak, bibirku sesegera mungkin membentuk senyum. Dan berucap, “Tentu, Nona Lucy.”

Perlahan, sosoknya keluar. Melalui pintu yang tertutup itu.

Melangkah dengan sepatunya yang berpita, yang pernah membuatnya terjatuh. Dulu sekali.
Tidak seharusnya kau berada di sini, Noll. Pergilah.

Menatapku dengan sedih, sangat. Tampak begitu kesepian. Mengapa aku harus pergi dan meninggalkannya. Lagi?

Memangnya dulu aku pernah meninggalkannya? Kapan? Bukankah ini kali pertama aku berinteraksi dengannya?

Ingatlah, Noll. Ingatlah, bisiknya sambil mengangkat sebelah tangannya. Berusaha menggapaiku.

Membuatku kontan berlutut menyamakan tinggi dengan sosok mungilnya.

Hingga jemarinya yang dingin menusuk bagai es itu menyentuh sisi wajahku. Begitu menyakitkan namun anehnya tak ingin kulepas.

Lantas ia menangis.

Sesenggukan. Laiknya bocah kecil yang tersesat, yang tertinggal sendirian tanpa siapapun yang disayangi menemaninya.

Serta-merta kukatupkan rahang kuat-kuat. Menahan emosi yang membuncah.

Apa maksudnya?

Ada sesuatu di belakang otakku. Yang kukurung. Rapat-rapat.

Kenangan.

***

Memang sudah lewat hampir empat bulan, namun aku ingin membelikanmu sesuatu. Gaun, tidak mungkin, terlalu mahal untuk seorang pelayan miskin sepertiku.

Aksesori. Ya, aksesori rambut. Pita, misalnya, pasti tidak akan begitu mahal harganya.

“Noll, kau sedang memikirkan apa?”

Sosokmu mendadak memenuhi pandangan. Berdiri membungkuk tepat di depan wajahku. Dilatarbelakangi langit pagi musim gugur yang kelabu.

“Ti-tidak, Nona Lucy. Maaf, saya termenung tadi. Anda perlu sesuatu? Ah, mungkin Anda ingin camilan, atau teh? Segera saya ambilkan,” ujarku gugup. Takut rencanaku membelikanmu hadiah ulang tahun terbongkar.

“Kau baru saja membawakanku makanan, Noll!” tunjukmu pada nampan berisi beragam kue di kursi batu yang dikelilingi dedaunan kecokelatan.

Musim gugur di usiamu yang sembilan.

“Kau benar tidak apa-apa, Noll? Apa kau sakit? Wajahmu merah,” lantas kau meraih dahiku dengan jemari nan sejuk itu.

“Tidak apa-apa, Nona! Saya baik-baik saja!” sontak aku menjauh. Membiarkan jemari itu memisahkan diri dari kulitku.

Padahal begitu nyaman. Membuatku ingin menggenggamnya agar terus berada di sana, menyentuhku, menyejukkanku.

“Kau demam, Noll! Kau demam!!!” jeritmu.

Lantas menarik lenganku begitu kuat.

“Ayo kembali ke dalam rumah!” dan membuatku berlari di belakangmu.

Menuju ruang tengah. Yang sesungguhnya hampir tidak terpakai. Karena kau hampir tidak punya kesempatan bertemu dengan kedua orangtuamu dan berkumpul di ruang tengah ini.

Kau memaksaku duduk di sebuah sofa panjang.

“Aku harus mencari air hangat,” ucapmu dengan raut wajah amat khawatir. “Atau selimut terlebih dulu?”

“Untuk apa, Nona? Biar saya saja yang mengambilnya,” lantas aku pun berusaha bangkit. Ya, sebenarnya sejak kemarin aku sudah demam, yang kubiarkan saja hingga rasanya semakin parah hari ini.

“Untuk apa???” sosokmu berdiri berkacak pinggang. Menghalangi jalanku. “Tentu untukmu, Noll!” telunjukmu mengarah padaku, menuding.

Lantas mendorongku kembali ke sofa. “Diam di sini, atau kau akan kupecat!” mengamuk. Baru kali ini―selama dua tahun menemanimu―kulihat raut semarah sekaligus sekhawatir ini.

Maka aku mengalah.

Membiarkan dirimu dengan tergopoh-gopoh mencoba merawatku. Bukan perawatan ahli memang. Tapi rasanya jauh lebih mujarab dibanding pengobatan manapun.

Setelah kain kompres terpasang ganjil di dahi, selimut bertumpuk-tumpuk menutupi tubuh, dan teh kental pahit tersedia di meja, raut khawatir itu akhirnya lenyap. Rupanya cukup puas dengan hasil kerja kerasmu sendiri.

“Hari ini kau kuberi jatah libur, Noll! Setelah dokter datang, kembalilah ke kamarmu dan tidurlah sepanjang hari!”

Aku menolak, tentu. Namun gesturmu yang seolah menyatakan bahwa tak ada kata ‘tidak’ dariku, membuatku otomatis bungkam.

“Kenapa kau tidak bilang kalau kau sakit, Noll?” Bibirmu menekuk ke bawah. Begitu pula alis matamu. Ah, kau sedih. Ya, aku tahu raut wajah itu. Sama dengan raut yang kautunjukkan begitu Tuan dan Nyonya Besar meninggalkanmu sendiri di tiap ulang tahunmu. Hanya memberimu kado, yang jumlahnya begitu banyak. Tanpa pernah mereka tunjukkan sosok.

Yang selalu terjadi setiap tahun.

Hingga hanya aku dan para pelayan yang merayakan ulangtahunmu.

Setiap tahun.

“Maafkan saya, Nona Lucy. Saya hanya tak ingin membuat Anda khawatir.”

Balasku, pedih. Kutundukkan kepala dan menggigit bibir. Tak ingin kulihat raut wajah itu. Yang muncul karena kelalaianku sendiri.

Tak lama kemudian dokter pun datang. Ia memeriksa keadaanku cepat. Benar saja, pada akhirnya ia hanya tersenyum sambil berkata, ‘Tak ada yang perlu dikhawatirkan, hanya demam biasa’.

Sudah kubilang tak perlu sampai memanggil dokter.

“Nona terlalu berlebihan,” suara lemahku memecah keheningan. Lantas aku bangkit dari sofa, “Sebentar lagi jam makan siang. Sebaiknya saya ke dapur untuk mengambil makan siang Nona.”

Namun kau merentangkan tangan, menunjuk ke arah belakang rumah, “Kembali ke kamarmu. Sekarang.”

Dan aku menuruti perintahmu.

***

Ya, aku ingat.

Kejadian yang hampir setahun berlalu itu. Yang sengaja kulupakan.

Tragedi itu.

Yang membuatku sengaja mengulang segalanya kembali dari awal. Begitu pula dengan sosok Nona Lucy dan segala isi rumah ini.

Malam di saat aku memperoleh izin Nona Lucy untuk beristirahat karena demam. Yang malah kugunakan untuk diam-diam menyelinap pergi ke kota.

Untuk membeli hadiah Nona Lucy.

Sebuah pita merah yang akan menghiasi helai rambut pirangnya. Yang kuharap akan memberikan warna untuknya, memberi senyum baru ke dirinya yang memang telah begitu menyilaukan.

Pita yang kini selalu terikat di kerah kemejaku.

Ah, aku ingat sekarang.

“Nona Lucy,” panggilku di depan lukisan gadis kecil di koridor sempit itu.

Dan sosoknya mewujud perlahan. Dari yang sekadar cat di dalam pigura, menjadi sesuatu yang riil. Dimulai dari jemari-lengan-kaki-hingga akhirnya wajah, segalanya menjadi bisa kusentuh.

Kubentangkan tangan. Bersiap menangkap sosoknya yang melayang turun dari pigura itu. Dari lukisan itu.

Dengan gaunnya yang putih beserta pita merah di pinggang. Dengan sepatu berpitanya yang telah begitu pas di kaki.

Dengan senyum terlembut yang pernah kulihat.

Dengan sorot mata terbahagia yang pernah kupandang.

Hingga berhasil kudekap dirinya di antara lengan-lenganku. Erat.

Noll!

***

Dengan kereta kuda murahan, aku berusaha sesegera mungkin kembali ke rumah utama. Demam ini membuat segalanya melambat, pun diriku. Rembulan telah begitu tinggi di langit, bersinar redup.

Entah telah berapa jam kulewati hanya untuk mendapatkan benda yang sesuai.

Yang segera ingin kuberikan padamu.

Yang terbungkus dalam sebuah kotak kecil berwarna perak dalam genggamanku.

“Tuan! Tuan!” kusir memanggil. Nadanya panik. “Rumah bangsawan itu...”

Lantas kutengokkan kepala dari jendela kereta. Bangunan itu tetap sama, tak ada yang berubah. Masih tetap luas dan megah.

Hanya saja, berkumpul kerumunan di depannya, menghalangi jalanku untuk segera bertemu denganmu.

Segera kupaksa diri untuk turun.

“Oliver!!!” seseorang memanggilku. Seorang pelayan yang lain. Dia tampak tergores di beberapa bagian lengan serta wajahnya. “Tidak banyak yang tersisa dari rumah itu. Sebagian besar dihabisi.”

Aku tidak mengerti.

“PERAMPOKAN, OLIVER! Perampokan besar-besaran!” dia berteriak, menjerit, dengan kedua tangan terangkat tinggi ke atas, berputar-putar, selaiknya orang hilang waras.

Segera kutinggalkan ia, menerobos kerumunan masyarakat yang penasaran juga para polisi. Ah, polisi, yang terus menghalangiku. Yang berteriak padaku bahwa wilayah itu tengah diamankan. Bahwa mungkin masih tersisa perampok di dalamnya. Bahwa sebagian besar benda berharga sudah lenyap. Bahwa sebagian besar pelayan di dalam sudah dibunuh.

Aku tidak peduli.

Tidak peduli dengan seberapa banyak barang berharga yang habis tercuri, dengan masih adanya perampok bersenjata di dalam rumah, dengan banyaknya pelayan yang terbunuh.

Aku hanya peduli dengan dirimu. Keselamatanmu. Jiwamu.

“Nona Lucy!!!”

Entah bagaimana caranya, aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa diriku sudah berada di dalam rumah, di aula utama. Dengan pakaian yang sudah tercabik-cabik di sana-sini, yang aku lupa karena apa.

“Nona Lucy!!!”

Aku memanggil namamu. Berkali-kali. Namun hanya hening yang menjawab.

Panik. Panik. Panik. Panik. Panik.

Aku panik.

Seandainya aku tidak lama di kota. Seandainya aku tidak meninggalkanmu. Seandainya aku tetap menjagamu di sampingmu.

Kulompati jasad-jasad. Pelayan, kukenali dari busana yang mereka kenakan.

Segera kutuju kamarmu. Yang selama ini sering kukunjungi. Yang paling kuingat lokasinya walau otakku sebegitu menggila. Meski kulupakan ruang-ruang lain.

Namun pintu itu telah terbuka lebar. Padahal kuharap terkunci rapat.

Dan kau terbaring, bukan di ranjangmu. Di depan cermin, yang telah bergeser ke dekat pintu. Bersimbah darah. Tersengal-sengal.

“No... Noll...” senyummu. “Aku... mencarimu...”

“Saya akan membawa Nona keluar!”Segera kuangkat tubuhmu yang begitu ringan. Darah menetes.

Sementara kauangkat jemari, menyentuhkannya ke keningku, “Sudah... sembuh?”

Dan terjatuh, menyapukan sedikit sentuhan dingin di wajah.

Yang lantas kutangkap kembali. Sedikit bergetar, kujawab, “Berkat Anda yang telah merawat saya seharian ini.”

Yang kutahu tak pernah kaudengar ucapanku itu. Tak pernah.

Hanya geram rendah yang bersuara kemudian. Dariku.

Disertai air yang menetes ke wajahmu. Dariku.

***

“Ada yang ingin  saya berikan pada Anda, Nona.”

Apa? Apa?

“Ini.”

Pita? Terima kasih, Noll! Manis sekali!

“Untuk ulang tahun yang kesembilan. Maaf, saya telat memberikannya.”

Pasangkan! Pasangkan, Noll!

“Nah, selesai!”

Bagaimana, Noll? Aku yakin aku pantas mengenakannya!

“Alangkah cantiknya.”

Terima kasih atas pujianmu.

“....”

Ah, sebenarnya sudah lama aku ingin melakukan ini.

“Apa?”

Ini.

“....”

Wajahmu sekarang lucu sekali Noll.

“....”

Terima kasih telah menemani hari-hariku, Noll.

“Aku yakin kita akan bertemu lagi, Nona Lucy.”

Selamat tinggal.[]

______

*Noll: Variasi panggilan untuk nama Oliver

Penulis: Duniamimpigie | Teks

0 komentar