Ketika gerimis perlahan berubah menjadi hujan, tampak Naya datang dan memarkirkan sepeda motornya di sebidang tanah tak jauh dari galeri, lalu segera melepas helm. Tubuhnya hanya terbalut jaket biru kesayangannya dan ia tidak membawa tas seperti biasanya.
“Nay!” teriak Desty sambil melambai-lambaikan tangan ke arah sahabatnya. Naya tersenyum. Mereka langsung berpelukan hangat. Naya belum berkata apa-apa.
“Gimana demammu? Udah sehat, ‘kan?” tanya Desty sambil memeriksa dahi Naya.
“Udah mendingan kok, Des. Alhamdulillah.” timpal Naya sambil tersenyum datar. Desty menyadari kejanggalan kecil ini, namun tidak menghiraukannya.
“Syukurlah. Eh beli teh anget dulu yuk! Dingin euy,” tukas Desty sambil merogoh dompetnya dari tas. Merekapun membeli teh hangat lalu segera memulai obrolan di tengah hujan yang melebat.
***
Andi, pacar Naya sebenarnya bingung sekali ketika setengah jam yang lalu kekasih tercintanya ini mengajaknya makan soto Banjar di tempat langganan mereka. Bagaimana tidak, Naya belum sembuh total dari demam tingginya tiga hari yang lalu dan sekarang tiba-tiba mengajak makan. Ini bukan kebiasaan Naya.
“Tumben banget, sayang, ngajak makan?” tanya Andi.
Naya tersenyum manis, “Nggak apa-apa. Lagi pengen aja,”
Andi menatap kekasihnya sebentar. Ada yang aneh dengan Naya, tapi ia tak tahu apa. Merekapun segera menyantap soto Banjar yang hangat di tengah hujan deras.
***
Kamis, 24 November 2011.
Rumah milik Tante Fifin tampak suram. Suasana duka sedang meliputi rumah sederhana itu. Tante Fifin baru saja kehilangan keponakannya yang mengalami demam berdarah sejak empat hari yang lalu. Gadis itu kini menyusul orangtuanya yang sudah meninggal dua tahun lalu.
Rumah itu baru didatangi segelintir orang. Kemudian Tante Fifin melihat Desty datang. Sahabat keponakannya itu memeluknya sambil menangis dalam diam. Tak lama kemudian, datang juga Andi sang kekasih keponakannya. Mereka juga segera berpelukan untuk saling menguatkan.
“Padahal kemarin siang dia keliatan udah sehat, Tante, waktu ngobrol sama saya,” kata Desty lirih, air matanya belum berhenti. Reaksi Tante Fifin tak terduga. Andipun memberi reaksi yang sama.
“Tunggu, Des. Kemarin siang itu jam berapa?” tanya Andi segera.
“Jam 2 an. Dia ngajak aku ngobrol di galeri kampus, Ndi. Kenapa?” jawab Desty.
“Lho. Dia makan soto Banjar sama aku kok kemarin siang. Jam setengah 3 an,” timpal Andi, rautnya bingung.
“Ndi, kemarin Naya ngobrol sama aku sampe hujan reda, jam 4 an. Nggak mungkin dong..."
“Desty, Andi, kalian jangan mengada-ada. Naya seharian kemarin ada di rumah sama Tante. Nggak mungkin dia keluar rumah. Tante ngerawat dia seharian kemarin kok, sampe akhirnya dia pergi waktu subuh.” sela Tante Fifin.
Benak Andi maupun Desty menanyakan hal yang sama: lalu yang kemarin itu siapa?
Dengan kecepatan tinggi, Desty segera membuka galeri foto di handphonenya. Ia segera mengecek foto yang ia ambil berdua dengan Naya kemarin sesaat sebelum sahabatnya pulang.
Desty nyaris menjatuhkan handphonenya. Wajahnya mendadak pucat. Saat Andi meraih handphone Desty, Andi membeku di tempat. Penasaran, Tante Fifin pun ikut mengecek foto itu.
Yang tampak hanya Desty yang sedang tersenyum membawa segelas teh hangat, dengan ruang kosong di sebelah kanannya. Segelas teh hangat lain melayang di sebelah Desty, seakan ada manusia tak terlihat yang sedang memegang gelas itu.
Tidak ada Naya.
Andi dan Desty hanya bisa bertukar pandang. Tante Fifin tersenyum datar.
Galeri: sebutan untuk area duduk-duduk santai di sekitar tempat perkuliahan
Penulis: Nadia Seassi Roesidiono | Kompasiana | Pic
0 komentar