Pukul dua belas malam, Pak Marno masih termenung di pendopo rumahnya. Lelaki tengah baya, kepala dukuh (kampung) ini, belum juga dihinggapi rasa kantuk. Padahal biasanya, dia sudah terlelap bersama istrinya, yang sekarangpun telah pulas di alam mimpi.
” Aneh malam ini, githok*ku kok prindang-prinding *dari tadi. Halagh!, nggak usah mikir macem-macem ah, sejuta setan pun aku berani hadapi..”, gumamnya dalam hati.
Suara ketukan keras di pintu membuat jantungnya berdegup kencang, karena memecah kesunyian aneh yang ia rasakan. Apalagi, dibarengi suara panggilan yang penuh ketakutan.
“Nak Dukuuuh,….tolong…Nak!”.
Terhenyak, seolah melompat dari duduknya. Pintu kayu pun berderit dibuka. Tampak seorang perempuan tua, rambutnya telah memutih. Wajah yang keriput ini tampak pias, terlihat ketakutan dan kepanikan di sana, menghiba.
” Lho…, Mbah Karti,…ada apa?…malam-malam begini kok masih kelayapan?”
” Aduuhh…., aku habis dari pasar, kemaleman. Takut pulang sendirian, tolong Nak, aku diantar”, Mbah Karti gemetaran.
“Hm…, ya udah. Ayo Mbah, kuantar pulang”.
Gubuk Mbah Karti lumayan jauh, harus melewati bulak. Berada barat pedukuhan. Di sana terdapat pohon waru yang besar, tumbuh miring seperti hampir roboh. Waru doyong, begitu warga sering menyebutnya.
Sudah reyot, beratap daun kelapa dan berdinding bilik keropos. Alang-alang dan pohon-pohon salak liar, tumbuh bercampur belukar. Di naungi temaram bulan, sunyi dan remang . Angin berhembus dingin, aroma pengap menyeruak.
” Apa ini Mbah?”
” Ini, untukmu nak dukuh”.
” Wah,nggak usah repot-repot”.
” Dilihat dulu, kamu pasti suka”.
Pak Dukuh menerima buntalan kain lusuh itu. Dibukanya. Ada rantang makanan, isinya getuk goreng kesukaannya. Botol, jelas terlihat bahwa isinya madu hutan, asli. Yang membuatnya terpana adalah isi buntalan satunya lagi. Ternyata di dalamnya adalah keping-keping emas batangan.
Pak Dukuh pun berpamitan, ia ingin segera pulang. Bergegas tanpa menengok ke kebelakang, kuatir jika dikuntit hantu gentayangan. Hawa dingin dan tengkuk merinding membuatnya berlari. Namun ia bingung bukan kepalang, karena selalu salah menempuh jalan. Berputaran dan kembali lagi ke tempat ini. Dilihatnya Mbah Karti, pada rimbun pohon salak, di bawah waru doyong.
Nenek tua ini tampak berbeda. Wajah keriputnya lebih kelabu, tubuh rentanya telanjang bulat, dengan payudara kendornya menjuntai melambai. Dengan seringai ia menyapa”, Nak dukuh, delengna*, opo ilat*ku iki abang*?, abaaang? Opo penthil*ku iki dowo*? dowoo? hihihihihihi….hiehehe…...”. Lidahnya merah darah, menjulur. Payudaranya memanjang dan menjuntai mengerikan. Lalu, kepalanya terpisah dari badan, seiring kekeh tawanya berkumandang mencekam.
"Emmb..behhk.., Memh..Mbaaahh..!”
Pak Dukuh lemas, matanya berkunang-kunang dan akhirnya gelap.
***
Pagi hari, tubuh lemas Pak Dukuh, yang sudah tiga hari menghilang, diturunkan warga dari atas puncak pohon waru doyong. Di bawahnya, tampak gundukan tanah merah. Kubur Mbah Karti, yang mayatnya membusuk digubuknya, baru ditemukan dan dimakamkan pagi ini.
Para warga penasaran, membuka buntalan kain lusuh, yang didekap erat Pak Dukuh. Satu persatu di amati isinya. Saling bersahutan terpana. Ternyata, yang ada di depan mata adalah kepingan wingko*, rantang berisi tlethong* sapi dan botol yang isinya kencing kerbau.
***
15/12/2011
.
Nb: Githok (tengkuk), prindang-prinding (merinding), wingko (pecahan genting), tlethong (kotoran/tahi), penthil (puting/payudara), ilat (lidah), delengna (tolong lihat), dowo (panjang)
Penulis: Chris Sulo | Kompasiana
0 komentar