Wednesday, October 17, 2012

Cerpen Horor: Masjid Berlilin Gereja

lilin [cerpen horor]

Langit masih berselimut jelaga. Remang petang suara adzan maghrib berkumandang. Rintik air jatuh, pelataran Imanuel jadi basah olehnya. Pada jalan tua Kota Lama, seorang anak ingin menepi di sebuah Loji. Sambil menguyek rambut ikalnya karena basah, ia masih juga berjalan menembus gerimis petang. Hingga didepan Loji itu, seorang penjual arum-manis menyapanya.

“Mau cari apa kamu nak?” tanya seorang penjual arum-manis yang dagangannya ia tepikan di Loji itu.

“Lilin.”

“Buat apa?”

“Berdoa di gereja.”

Sambil bengong si penjual arum-manis mengkreyitkan dahinya. Sejenak ia menatap wajah lugu anak itu. Seakan mata senjanya mencermati setiap keganjilan yang ada.

Sedang petang semakin tersuruk gelap. Anak itu tak beranjak pergi, ia masih saja menatapnya, maka timbulah persepsi yang menyeramkan dibenak penjual arum manis itu.

Jangan-jangan…anak itu…, bisik kegalauanya. Ia mainkan rebab yang ia bawa. Ia menggesek rebabnya semakin keras, seakan ia ingin menyayat semua keseraman hatinya. Tentang keseraman cerita yang sudah menyebar dari dulu tentang keangkeran Loji itu.

“Tak ada lilin aku jual disini, nak.”

“Sebatang saja, Pak. Lilin itu bukan untukku, tapi sodaraku.” Desak si anak memohon.

“Aku tak menjual lilin, nak.”

“Sebatang saja, aku mohon. Sebentar lagi Pastur akan mulai doanya.”

Sang anak gelisah, langit masih bergelangtungan jelaga. Gerimis basah air hujan masih jatuh rebahan dijalanan, digedung-gedung, dan juga rumah. Tak ada manusia yang berlalu-lalang. Pintu-pintu rumah tertutup.

“Jika kamu mau, aku punya satu. Ambilah!”

“Berapa, pak?” tanya si anak.

“Bawalah, tak apa. Bawalah!”

“Terimakasih ya Pak? Gusti Alloh yang akan membalas kebaikan bapak.”

Sang saudara anak itu lupa membawa lilin dari rumah untuk berdoa. Hingga saat si anak melihat lampu teplok penjual arum-manis yang  ada di emperan Loji itu, yang ia kira menjual lilin. Dan mereka mencari lilin kemana-mana tak ada yang jualan. Tak ada kaki lima berjualan disana, namun anak itu ingin membantu saudaranya yang ingin berdoa.

Setelah mendapatkan lilin, sang anak kemudian berlarian menuju gereja, sambil ia sembunyikan lilin itu di balik bajunya agar tak kena air hujan. Berharap saudara-saudaranya sudah berkumpul di depan gereja. Sesekali tempo lengan anak itu menyeka lelehan titik-titik gerimis didahi dan wajahnya. Dan kini gerimis berubah menjadi hujan yang keras menghujam tanah, juga tubuh anak itu.

Jalanan telah menghilang karena lebatnya hujan. Tak terlihat oleh mata. Dan anak itu berlarian tak tentu arah. Sekencang mungkin ia berlari, ia tak mempedulikan lampu-lampu montor yang melesat-lesat diantara hentakan kakinya yang tak beralas.

***

Setelah pastur itu mengakhiri doa malam Misa, saudara-saudara anak itu pulang. Namun ia tak kunjung datang. Hingga saudaranya menghampiri sebuah kerumunan orang pada ujung sebuah jembatan, ini tentang wajah beku itu. Darah. Penuh darah. Dadanya ringsek. Ban truck tronton itu meremukkannya. Mulus. Teramat mulus wajah mungilnya itu tergesek-gesek aspal. Luka-luka. Mata beningnya mencotot keluar. Hancur. Terburai. Rambut ikalnya itu tercecer di jalanan. Jantungnya meledak. Pada ban truck itu seakan masih berdetak.

Pada malam itu juga, pada gema azdannya yang terakhir, jasad anak itu di salatkan di masjid kampungnya. Serta saudaranya yang Kristiani itu juga mendoakannya. Dan seperti jamaknya orang-orang Jawa, maka diletakkanlah sebatang lilin pada bagian atas kepalanya, dekat ubun-ubun, pada jasad anak itu yang membujur beku diatas lantai masjid.

Lilin kehidupan yang akan menerangi jiwanya menuju peraduannya. Lilin itu seakan menerangi seluruh isi masjid. Dan banyak pelayat yang mengatakan; lilin itu adalah lilin yang pada malam itu ia bawakan untuk saudaranya berdoa di gereja. Namun naas, sebuah truck yang melintas menggilas tubuh mungilnya. Dan pada akhirnya lilin itu juga yang membantu menerangi masjid. Lilin yang mungkin akan menerangi jiwanya.

“Wajahku… wajahku…”, juga isu yang merebak kini tentang dia yang jiwanya terbelenggu di jembatan itu, seperti jamaknya orang Jawa yang selalu memistikkan seonggok ruh yang tak sempurna kematiannya. Dia selalu mencari wajahnya.

“Lilin…lilin…beri aku lilin…”, dan juga tentang suara-suara anak kecil yang selalu meminta sebuah lilin.

Penulis: Peran Sabeth Hendianto | Kompasiana | Pic

0 komentar