Tapi kenapa kemenangan yang sangat diharapkan itu justru numpuk di tempatnya Sutris, temannya itu. Banyaknya uang hasil kemenangan malam itu membuat wajah Sutris bercahaya, persis cahaya bulan purnama.
Kedua orang yang sedang asyik berbagi kartu dan keberuntungan itu, kaget ketika telepon di ruang itu berdering dengan keras sekali. Seorang dokter jaga mengangkat telpon dan melakukan pembicaraan selama beberapa saat. Sejurus kemudian, dokter jaga yang bernama Dr. Wandi itu berbalik ke Sardi. “Di, ada gelandangan mati ketabrak mobil di Jl. A. Yani, cepat kalian berdua segera meluncur ke sana. Ingat tidak pake lama...” begitu perintahnya. Setelah berpesan pada Sardi, dokter jaga itu kemudian berencana berkeliling memeriksa keadaan rumah sakit.
Sepeninggalnya Dr. Wandi, kedua orang itu belum beranjak. Mereka berdua tetap asyik tenggelam menikmati kartunya masing-masing. “Males, paling-paling hanya disuruh kerja bakti,” batin kang Sardi sambil mencap-mencep. Dia memainkan rokoknya yang tinggal separuh.
“Kang, gimana sih, diperintah dokter Wandi kok masih njedodok ndak mau berangkat. Nanti dipecat baru tahu rasa lho,” katanya sambil memasukkan uang hasil kemenangannya di saku.
“Tris, kowe itu kan tahu tho, kalau tugasku itu luar biasa banyak, jadi ndak ada waktu untuk membawa kere yang mati ketabrak motor,” gerutunya. Sutris yang mendengar omongan kang Sardi yang nggak-nggak tadi cuma bisa diam.
Dia tahu persis, kalau sudah kalah seperti malam itu, kang Sardi jadi pribadi yang aneh dan menyebalkan. Keduanya lalu kembali tenggelam dalam permainan kartu yang sepertinya sudah tidak menarik lagi. Tak terasa jam dinding yang ada di sudut ruangan itu sudah menunjukkan pukul 02.30 malam.
“Pak, bisa mengantarkan jenazahnya papa ke Wates?” tiba-tiba seorang gadis muda cantik yang tidak tahu dari mana datangnya tiba-tiba sudah muncul begitu saja. Wangi parfumnya memecah konsentrasi dua orang yang tengah tenggelam dalam permainan kartu itu.
Kedatangan gadis cantik itu telah mengagetkan mereka berdua. “Bi…sa, bisa mbak tapi…?!”
“Tapi apa, Pak? Masalah ongkos? Saya sanggup bayar tiga kali lipat dari tarif biasa, yang penting jenazah papa saya segera bisa sampai Wates,” kata gadis itu. Kang Sardi merasa bagai dapat durian runtuh “pucuk dicinta uang datang menggoda" pikirnya dengan mata yang berkilat-kilat licik, senyumnya terkembang.
“Sik bubar dulu, ada panggilan tugas penting” katanya sambil membanting kartu terakhirnya.
“Ohhh, semprul,” kata Sutris melihat kelakuan sahabatnya itu. “kalau lihat duit saja, mata lu jadi ijo kang... kang.”
Mendengar kata-kata sahabatnya itu kang Sardi hanya tertawa pendek, menurutnya kata-kata sutris itu biasa saja, dan dianggapnya sebagai bagian dari saling gojlok menggojlok di antara sesama sopir ambulance di klinik itu. Baginya, mengantar orang dari rumah ke rumah sakit atau sebaiknya merupakan tugas yang kadang-kadang menjemukan, kalau tidak ada angpaonya.
Memang di antara sesama sopir, ulah kang Sardi itu sudah sangat terkenal. Kang Sardi terkenal sebagai sopir yang suka pilih-pilih. Jangan harap bisa membuatnya beranjak dari permainan kartu, tanpa imbalan rupiah. Untuk tugas yang bersifat sosial, beragam alasan siap diluncurkannya, kalau toh terpaksa dijalani, tentu dibarengi dengan raut wajah yang tidak sedap untuk dilihat. Sudah jamak di klinik rumah sakit negeri seperti itu, yang namanya pelayanan prima itu hanya bagus di slogan saja. Hampir semua pegawainya ngobyek dan mengomersialkan jenis-jenis layanan yang ada. Seperti yang dilakukan oleh kang sardi tadi. Dia lebih suka menerima tugas yang ada uangnya, sedang tugas sosial sering dianggapnya seperti kerja rodi saja.
Jadinya, malam itu kang Sardi berangkat menerobos gelapnya malam bersama gadis cantik yang sudah membayarnya tiga kali lipat untuk membawa jenazah papa nya ke kota Wates.
Gas poll, itulah prinsip kang Sardi untuk memberikan service yang ekselen, agar jenazah itu bisa sampai ke Wates sesuai dengan waktu yang disepakati. Malam yang sangat larut membantu keinginannya itu, jalan yang dilalui sepi membuat malam itu terasa tintrim. Tidak banyak kendaraan yang harus dilaluinya termasuk sepeda motor yang biasanya membikin macet dan membuat jalan raya jadi lebih berbahaya, hanya beberapa bis malam dan truk, itu pun satu dua.
Persis pukul 3.00 pagi, jenazah sampai di Wates. Wajahnya jadi bersinar, dan kantuknya hilang, ketika dia menerima tujuh lembar seratus ribuan merah dari gadis cantik itu. Buruan kang Sardi membawa ambulancenya balik ke klinik lagi. Kantongnya penuh dengan uang, apalagi yang dicari katanya sambil bersiul-siul. Belum jauh dari batas kota, ada sosok laki-laki yang mencegatnya.
“Pak, saya numpang ke depan ya. Tadi setelah mengantar jenazah ke Wates kok mobilnya jadi rewel, jadi saya tinggal di sana, besok pagi saja memperbaikinya sekalian bawa montir, masalah bensin beres nanti saya beresi.”
Tanpa menunggu persetujuannya, laki-laki yang memakai baju serba putih, namun kelihatan sangat kotor itu, langsung membuka pintu dan duduk di sebelahnya. Kang Sardi sempat cungar-cungir sebentar, hidungnya membau bau yang tidak sedap, bau anyir. Sekilas dia melirik laki-laki yang duduk anteng di sebelahnya. Menurutnya tidak ada yang aneh bahkan biasa saja. Cuma wajahnya yang kelihatan mendung, seperti sedang berduka.
“Pak, kalau kedatangan sampeyan tadi agak lebih cepat, tentu nasib saya tidak seperti saat ini,” mendengar grenengan laki-laki tadi kang Sardi kaget.
“Lho maksudnya apa pak?” katanya dengan nada tidak suka.
“Kalau saja sampeyan mau datang lebih cepat tadi, tentu nyawa saya bisa tertolong,” laki-laki tadi menjelaskan dengan irama yang lesu.
“Sebentar, saya kok tidak paham?!” kata kang Sardi dengan nada yang lebih tinggi tidak paham dengan yang dimaksudkan oleh laki-laki yang ada di sebelahnya itu.
“Saya ini pemulung sampah, Pak. Saat saya tadi sedang mencari sampah-sampah kering, tidak tahu dari mana datangnya tiba-tiba saya disruduk xenia hitam dari belakang, saya langsung tidak ingat apa-apa. Tapi, kalau saat itu bapak segera membawa ambulance ke tempat kejadian, dan segera membawa tubuh saya ke rumah sakit, mungkin nyawa saya masih bisa ketolong…”
“Lho, kalau begitu sampeyan ya gelandangan yang tadi diperintahkan oleh dokter Wandi untuk saya bawa dari Jl. A. Yani?”
“Ya bener, Pak,” jawabnya ketus.
Kang Sardi cepat-cepat menoleh mendengar jawaban laki-laki tadi. Bersamaan dengan waktu dia menoleh, laki-laki di sebelahnya tadi sudah tidak berwujud manusia yang utuh lagi, wajahnya berdarah-darah, hancur. Badannya lalu doyong menjatuhi kang Sardi, badannya penuh darah segar yang membasahi sekujur pakaiannya. Melihat perubahan bentuk itu kang Sardi langsung merasa gelap, pingsan.
Mobil ambulance yang sedang dikemudikannya langsung oleng ke kiri, dan menyantap truk treiler yang sedang parkir di bahu jalan. Akibatnya benturan keras terjadi, ambulance kang Sardi hancur berkeping-keping, begitu pula dengan tubuh kang Sardi. Hancur tergencet bodi dan juga kena benturan dahsyat dengan bak truk treiler yang terbuat dari besi itu.
Sementara laki-laki yang berdarah-darah yang ada di sampingnya hilang musnah, tidak tahu ke mana perginya.
Begitulah kisah tetanggaku kang Sardi almarhum kurang lebih tiga tahun yang lalu, cerita ini berhasil kutulis karena secara mistis kang Sardi muncul dalam mimpi-mimpiku selama tiga hari berturut-turut. Mudah-maudahan Almarhum diterima disisinya, dan diampuni dosa-dosanya. Amin
Kisah-mistis | Pic
0 komentar