Darimana sebenarnya kata neraka itu bermula. Jika mengacu pada barat maka kata neraka adalah Hell. Kata Hell adalah kata modern Bahasa Inggris yang berasal dari kata Hel (Inggris Kuno) atau helle (sekitar 725 M) untuk merujuk ke dunia bawah orang mati. Kata itu diambil dari periode Anglo-Saxon atau bisa juga diambil dari kata halja dari bahasa Proto-Jermanik, yang berarti “yang menutupi atau menyembunyikan sesuatu “
Kata hell juga terkait dengan kata dari orang-orang Denmark, Norwegia dan Swedia “helvede” yang berarti “hukuman”, dan juga dengan kata halja dari bangsa Goth. Selanjutnya kata-kata itu (yang dianggap dari bahasa-bahasa pagan) digunakan ke dalam theologi Kristen untuk menggambarkan tempat bagi jiwa orang-orang berdosa.
Ada teori tentang asal-usul kata hell, bahwa kata ini mungkin berasal dari kata hel-nya orang-orang Nordik yang menggunakan bahasa Norse, bahasa kuno yang diucapkan oleh orang-orang Skandinavia dan penduduk di sekitarnya selama era Viking sampai sekitar tahun 1300 Masehi. Sedikit mengenai bahasa ini, secara bertahap bahasa Norse kemudian pecah ke dalam bahasa modern orang-orang Islandia, Norwegia, Denmark dan Swedia, tetapi beberapa istilah asli Norse itu belum sepenuhnya menghilang. Nah di dalam bahasa nenek moyang orang-orang Eropa Utara itu terkandung sebuah kata hel berikut mitologinya.
Para pengguna bahasa Norse ini memiliki pengetahuan mitologi tentang dewa-dewa yang ditulis dalam syair kuno bernama Edda. Syair ini telah ada sebelum abad ke-13 dan menjadi sumber yang tersisa serta paling penting mengenai mitologi Nordik dan legenda heroik orang-orang Jermanik. Sejak awal abad 19, Edda memiliki pengaruh yang kuat pada pelbagai literatur di Skandinavia, bukan hanya melalui cerita-cerita mitologi dan heroisme saja tetapi juga melalui gaya visioner dan kualitas dramatik syairnya.
Syair Edda ini kemudian diawetkan dalam naskah abad pertengahan berjuluk Codex Regius. Codex Regius kemungkinan ditulis pada abad ke-13 tapi tidak ada yang tahu siapa yang membuatnya hingga pada tahun1643 dimiliki oleh Brynjolfur Sveinsson, seorang Uskup Skálholt (Islandia). Kala itu syair Edda makin dikenal di Islandia. Selain syair itu, muncul pula Prosa Edda yang juga ditulis pada abad ke-13 tepatnya tahun 1220 oleh Snorri Sturluson, seorang sejarawan, penyair, serta politikus Islandia. Ia juga menulis tentang sejarah raja-raja Norwegia yang diawali dengan legenda Ynglinga saga (sebuah tempat bagi raja pertama bangsa Nordik) hingga sampai pada sejarah awal abad pertengahan bangsa Skandinavia.
Dalam Prosa Edda, Sturluson memberikan pandangannya bahwa dewa bermula dari pemimpin manusia atau raja yang dikultuskan kala mati. Saat para pemimpin atau raja ini mati, entah karena perang atau kesulitan-kesulitan yang dialami oleh sukunya, para pengikutnya lalu memuliakan mereka lewat gambar. Akhirnya, para pemimpin atau raja itu dikenang sebagai dewa. Ahli mitologi itu juga menjelaskan bahwa saat suatu suku berperang dengan suku lain maka orang-orang merasa bahwa dewa-dewa mereka juga ikut berperang dengan dewa-dewa musuhnya. Dan siapa yang kuat maka suku itu pemenangnya berikut dewa mereka.
Prosa Edda yang dikenal sebagai Edda Muda atau Snorra Edda ini awalnya hanya disebut Edda saja tapi kemudian disebut prosa Edda untuk membedakannya dari syair Edda, meski Prosa Edda sebenarnya berkaitan erat dengan syair Edda karena Prosa Edda mengutip pelbagai puisi yang dikumpulkan dalam syair Edda sebagai sumber.
Di dalam Prosa Edda ini termaktub empat bagian tulisan penting. Prosa Edda dimulai dengan bagian Prolog (pembuka) yang bercerita tentang asal-usul mitologi Nordik (para dewa Nordik digambarkan sebagai pejuang Trojan yang meninggalkan kota Troy yang hancur dalam perang Troya dan mereka menetap di Eropa bagian utara, di mana mereka diterima sebagai penguasa karena keunggulan budaya dan teknologi. Para pejuang ini kemudian dikultuskan dan dianggap dewa). Setelah prolog ini lalu diikuti oleh tiga bagian berbeda, yaitu Gylfaginning (sebuah narasi mitologi Nordik yang terdiri dari sekitar 20.000 kata), Skáldskaparmál (berbentuk puisi sekitar 50.000 kata) dan Háttatal (berbentuk ayat-ayat sekitar 20.000 kata).
Nah di dalam manuskrip-manuskrip kuno itulah (baik syair Edda maupun naskah prosa Edda karya Snorri Sturluson) yang bertujuan untuk menyimpan pelbagai mitologi orang-orang pengguna bahasa Norse, terdapat informasi keyakinan orang-orang Nordik tentang makhluk bernama Hel.
Hel disebut-sebut sebagai putri dewa Loki. Dalam sumber yang sama, ia digambarkan sebagai wanita berpenampilan suram berkulit setengah hitam dan setengah berwarna. Dewi Hel telah ditunjuk oleh dewa Odin (dewa tertinggi bangsa Nordik) sebagai penguasa atas sebuah wilayah dengan nama sama, hel, yang terletak di Niflheim. Sebuah dunia yang dalam dan gelap serta merupakan salah satu dari sembilan alam yang dipercayai dalam mitologi orang-orang Nordik.
Lokasi ini digambarkan sebagai sebuah tempat yang berkabut. Menurut narasi dalam naskah Gylfaginning, tempat berkabut ini kemudian menjadi lokasi favorit dewi Hel. Di dunia bawah itu sang dewi memegang peran penting. Ia membuat aturannya sendiri, membangun tempat-tempat tinggal, serta dikelilingi berderet-deret pelayan setianya.
Hel kemudian menjadi tempat penuh misteri, dimana semua wanita juga beberapa pria menuju ke sana. Tetapi entah untuk apa orang-orang itu pergi ke tempat yang tertutup kabut itu karena kisah tentang hukuman untuk perbuatan salah tidak disebutkan dalam syair atau prosa Edda itu. Yang jelas, untuk pergi ke sana, seseorang harus mati dan orang-orang mati yang tinggal di dunia berkabut itu adalah orang-orang yang tidak mati dalam kematian yang heroik. Mungkin yang dimaksud dengan kematian yang tidak heroik adalah kematian yang tidak wajar, yang tidak sesuai dengan kebiasaan bangsa Nordik. Nah mungkinkah kata hel dalam syair dan prosa Edda itu menjadi cikal bakal kata hell (neraka) yang diyakini orang-orang barat berikut kisah mitologinya itu.
Kata neraka sendiri bagi orang-orang timur (tanpa harus dihubungkan dengan kata hell dalam bahasa Inggris) mungkin sangat dekat dengan kata naraka. Kata naraka berikut maknanya ada dalam agama-agama timur seperti Hindu, Jainisme, dan Buddhisme.
Naraka adalah kata Sanskerta untuk dunia bawah (underworld) bagi orang-orang setelah kematian (afterlife). Kata Naraka nampaknya telah diserap dan digunakan untuk menggambarkan kata neraka dalam bahasa Melayu juga Indonesia meskipun mayoritas orang-orangnya sekarang beragama Islam. Jelas kata naraka ini yang lebih tepat disebut sebagai pendahulunya kata neraka. Toh sebelum kedatangan budaya Islam dan barat (Kristen), budaya Hindu Budha telah meresap dalam jantung kehidupan orang-orang Timur (terutama di Asia tenggara).
Tetapi kita tidak hanya sekedar mengenal kata “neraka” saja namun juga ada pasangannya. kita mengenal kata “neraka jahanam”. Dalam agama Islam, kita sering mendengar kata-kata “jahanam” ini. Jahanam memiliki banyak arti, seperti berwujud jahat, gelap, dan tak berair (kering). Jika kesemua arti tersebut dijadikan satu, maka Jahanam menjadi tempat yang menyeramkan dan gelap. Jahanam memiliki bentuk yang dapat menciutkan nyali karena kering kerontang.
Nah, jahanam ini dalam bahasa arab berawal dari kata gei hinom. Nama ini mirip dengan kata Ibrani Gehinnom. Dalam tradisi Yahudi-Kristen juga dikenal tentang istilah Gehinnom ini.
Gehinnom atau Gehenna atau gehinnam memang berasal dari bahasa Ibrani merujuk pada istilah yang berasal dari situs geografis di Yerusalem yang dikenal sebagai Lembah Hinom, salah satu dari dua lembah utama di sekitar kota tua Yerusalem. Ada pandangan yang menyatakan bahwa lokasi ini berada di bawah tembok selatan Yerusalem kuno, yang membentang dari kaki Gunung Sion ke arah timur melewati Tyropoeon ke Lembah Kidron. Gehinnom ini dipahami sebagai tempat siksaan bagi orang berdosa.
Dalam Alkitab, situs ini awalnya adalah tempat bagi orang-orang Israel yang murtad pengikut pelbagai dewa palsu seperti Ba’al dan Molokh, dalam ritualnya mereka mengorbankan anak-anak mereka dalam api. Api yang menyala di lembah Hinom ini tetap dijaga untuk ritual persembahan juga penghakiman bagi orang-orang tertentu. Namun memang tidak ada bukti arkeologi yang mendukung klaim ini. Tapi dalam cerita kuno yang beredar, Hinom memang tempat menyeramkan. Sebuah lembah terkutuk yang memiliki gerbang mengarah ke sebuah danau api.
Istilah Gehinnom ini juga digunakan untuk menyebut sebuah tempat penyucian bagi roh-roh mati yang jahat dalam agama Yahudi. Sebuah tempat yang jauh dari surga. Menurut sumber-sumber Yahudi paling awal, proses pemurnian atau hukuman ini terbatas hanya 12 bulan saja dan setiap hari shabbath (minggu) roh-roh dikeluarkan dari hukuman. Setelah penyucian ini, roh-roh akan naik ke Olam Haba, sebuah dunia yang akan datang. Tetapi bagi roh-roh yang terlalu jahat maka akan dihancurkan dan tak akan di bawa ke dunia yang akan datang itu.
Gehenna juga dikutip dalam Perjanjian Baru serta dalam tulisan Kristen awal untuk mewakili tempat terakhir di mana orang jahat akan dihukum atau dihancurkan setelah kebangkitan. Dan Islam pun mengenalnya dengan istilah Jahannam untuk merujuk pada tempat perginya roh-roh manusia yang jahat untuk menerima hukumannya.
Setelah menelisik istilah tentang “tempat menyeramkan” itu nampaknya kita (orang-orang Indonesia) memiliki percampuran kata yang dahsyat. Istilah neraka yang berdiri sendiri kemudian dipertemukan dengan kata Jahanam yang awalnya juga berdiri sendiri. Kata “neraka jahanam” seolah ingin menunjukkan sebuah tempat yang tidak sekedar menakutkan tetapi sangat-sangat menakutkan. Sebuah percampuran dari istilah agama timur (Hindu Budha Jainisme) dengan istilah Islam juga Yahudi Kristen awal.
Inilah Gambaran Surga dan Neraka [Bagian I]
Inilah Gambaran Surga dan Neraka [Bagian III]
0 komentar