Sunday, July 24, 2011

Patung Tanpa Kepala dalam Sebuah Foto

Aku dan papa memang memiliki hobi yang sama, fotografi. Karena itu, kemana pun kami berlibur, tak lupa kamera selalu dibawa. Kami adalah pemburu momen. Bagi kami setiap momen itu penting, dan acap keabadian momen dalam frame foto bisa membawa kenang-kenangan tersendiri bagi keluarga, tentunya bagi aku sendiri.

Suatu ketika, kami bertandang ke rumah rekan bisnis papa di bilangan Silayah, Jakarta Barat. Rumah rekan bisnis papa besar, dan… menyeramkan! Lampu rumah, utamanya di bagian belakang, katanya papa, jarang dinyalakan. Hanya ruang tamu. Itu pun hanya lampu beberap watt saja. Sementara, lampu besar dinyalakan jika ada tamu yang datang bertandang.

Saat itu jam menunjukkan pukul delapan malam dan kebetulan teman papa, sebut saja James, belum tiba di rumah. Dia dalam perjalanan pulang kantor. Dengan izin pembantu yang ada di rumah itu, kami memoto sejumlah sudut rumah om James yang dipenuhi barang-barang antik.

Kami berjalan bersama-sama, papa di depan, aku di belakang. Dengan asyiknya papa berjalan menuju ruangan belakang yang ternyata dipenuhi dengan patung-patung seukuran manusia. Tak mau kehilangan momen bagus, papa membidikkan kameranya ke patung-patung yang terpajang sambil berjalan mendahului aku -- jaraknya kira-kira 10 meter. Tiba-tiba aku dikagetkan suara cekikikan, salah satu dari puluhan patung dalam ruangan itu. Dan anehnya, papa terus saja berjalan seolah-olah tidak mendengar.

***

Papa menyuruhku untuk mencetak foto hasil bidikannya yang diambil di rumah om James. Dan… betapa terkejutnya aku ketika melihat salah satu patung tanpa kepala menenteng kepalanya sendiri, yang  seolah-olah baru terpenggal. Darah segar tampak menetes dari lehernya yang koyak.

Aku berteriak memanggil papa untuk menceritakan apa yang terjadi. Papa tak melihat apapun dalam foto itu. Namun, karena ketakutanku, dengan seizin pap foto beserta klisenya aku bakar sampai hangus jadi arang. [Chucky]

0 komentar