Tuesday, January 18, 2011

Gundul Pringis

“Maaf, aku tak bisa melanjutkan hubungan kita lagi...” demikian kalimat terakhir yang diucapkan Kaila yang masih diingat Syahril, ketika wanita itu memutuskan jalinan kasih mereka berdua.

Syahril tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi. Padahal ia sangat mencintai Kaila, wanita yang sudah dipacarinya sejak masa muda. Tapi, apa mau dikata, uang telah mengalahkan segalanya. Parmin, lelaki yang merebutnya itu, lebih kaya dibanding dirinya. Meskipun kalau membandingkan secara fisik, ia lebih ganteng daripada Parmin, yang mukanya aduh tak berbentuk. Ingin rasanya ia berteriak, namun tak sanggup.


Di dalam kamar kos-kosannya yang berukuran tiga kali tiga meter itu, Syahril terlentang. Ia menatap lurus ke eternit, pikirannya menggayut tak habis pikir mengapa Kaila tega meninggalkannya begitu saja. Namun, sekuat pikirannya berpikir dan mereka-reka, tak ada jawaban memuaskan yang sanggup ia dapatkan. Selain, kesuntukan yang menggelora di batin dan pikirannya.

Lantaran suntuk sudahs merayap di batin dan pikirannya, Syahril keluar kos-kosan saja. Jam menunjukkan angka satu malam waktu itu. Barangkali angin malam bisa membuyarkan suntuknya dan membuatnya kembali segar. Bahkan, ia Kaila bisa tertiup jauh dari pikirannya. Syahril merogoh saku celana pendeknya untuk mengambil rokok kretek. Kemudian, ia menyulutnya dan menghisapnya dalam-dalam. Asap putih mengepul-ngepul bebas ke udara.

“Haah...” Syahril menghela napas panjang, mencoba membuang semua suntuknya bersama asap rokok.

Tak terasa, ia berjalan lumayan jauh. Suasana di tempat Syahril berada sangat sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan, selain suara jangkrik si hewan malam. Kosnya kini ditinggalkan di belakang, ia berjalan ke arah barat menuju taman, tempat biasa orang-orang latihan basket.

Sesampainya di sana, ia duduk di ayunan yang ada di taman itu. Semuanya kembali Syahril kenang. Memori-memori indah bersama Kaila sang kekasih bermain di dalam otaknya. Kata rayuan dan kalimat mesra, semuanya menggayut nyata, menari-nari tiada henti. Hati Syahril hancur berantakan. Ia menerawang menatap lurus ke depan, ke arah bagian taman yang gelap. Tak ada apa-apa lagi di dalam kepalanya, selain nama Kaila sang kekasih.

Ketika Syahril sedang terbengong-bengong memikirkan kekasih yang pergi bersama lelaki lain, tiba-tiba terdengar bunyi kresekk... duak... seperti suara kelapa jatuh. Lamunan Syahril sontak buyar. Ia kembali pada kenyataan.

Batinnya berkata, “Seperti suara kelapa jatuh?” Syahril celingak-celinguk ke arah asal suara.

Karena tak menemukan apa-apa, ia beranjak dari ayunan tempatnya duduk. Dihisapnya lagi rokok yang masih tersisa setengah. Mata Syahril nyalang memerhatikan sekitar. Sampai kemudian matanya terpaku pada sorot mata berwarna merah yang menatap tajam ke arahnya. Dengan keberanian yang diberani-beranikan, Syahril mendekat.

Saat jarak antara dirinya dan mata berwarna merah itu sudah sekitar sepuluh meter, cahaya lampu menerangi sepasang sorot mata itu. Sontak Syahril terkejut. Sepasang mata berwarna merah itu tiba-tiba menggelinding ke arahnya. Ketika sudah dekat, Syahril baru mengetahui kalau itu adalah hantu kepala tanpa tubuh. Kepala itu tersenyum dan berkata kepadanya, “Bagi rokoknya bos...”

Tanpa pikir panjang lagi, Syahril segera membuang rokoknya yang hampir tinggal putung itu, lantas ia lari tunggang-langgang berteriak-teriak diiringi suara tawa dari kepala itu. (Lilih Prilian Ari Pranowo)

0 komentar