Begitulah yang menimpa Marzuki kemarin pagi.
Sehari sebelumnya tidak ada yang aneh pada tubuh Marzuki. Dia masih bugar mencangkul di sawah sampai sore hari. Pulangnya memanggul dua karung jerami. Saat matahari tenggelam, masih mandi di kali. Malah sempat ke surau berjamaah isya. Malamnya ikut nongkrong di warung kopi ketawa-ketiwi.
Setelah warung kopi sepi–setidaknya begini pengakuan Maanih si pemilik kedai kopi, lewatlah Nenek Maisah seorang diri bertopang sebatang tongkat hitam. Satu-satu langkah wanita tua itu seirama dengan helaan napasnya yang berat. Jalan-jalan di desa kami ditaburi batu kali, jadi setiap dia melangkah, menimbulkan suara tok tok tok hasil ketukan tongkat dengan batu. Intonasi itu mirip dengan gesekan jarum jam saat berdetak di hening malam. Nenek Maisah berhenti sebentar di depan warung kopi Maanih. Tersenyum, lalu pergi.
Matahari belum mengintip pagi saat istri Marzuki menjerit. Jeritannya panjang sampai mengundang tetangga datang. Ternyata Marzuki ditemukan mencangkung di samping tungku. Bola matanya terbuka. Lidahnya menjulur. Tentu sudah tidak ada lagi denyut di nadinya.
"Pasti karena Maisah!”
“Ini santet!”
“Wanita tua sialan. Pemuja setan!”
“Ayo habisi sampai mati!”
“Kamu berani?”
Hening.
Yang teriak ‘habisi’ diserbu pandangan minta konfirmasi. Mungkin merasa dihakimi, akhirnya dia tersenyum kecut. Semangatnya melempem seperti krupuk tersiram air. Lalu menyembunyikan wajahnya di balik bahu kerumunan secara diam-diam.
Malamnya mencekam. Istri Marzuki tidak terima suaminya pergi dengan cara tidak wajar. Dia melolong sepanjang malam layaknya srigala kelaparan. Meski hujan, jeritannya mampu merambat di sela titik-titik air dan sampai ke telinga kami. Bahkan suaranya makin menyayat setelah tengah malam lewat. Ah, air seni yang tertahan di kantong kemih aku tahan. Tidak berani turun ke sungai untuk mengambil air.
***
Sebenarnya tidak begitu istimewa juga saat Maisah lewat. Dia berjalan, tidak terbang. Tidak berteriak, hanya diam. Tapi yang membuat bulu tengkuk berdiri adalah senyuman yang dia tebarkan saat melihat orang. Entah maksudnya apa, tapi kami menganggapnya sebagai senyuman penjilat ajal. Coba saja bayangkan, seorang wanita tua, kurus, ompong, rambut penuh uban, kulit keriput, jalan sendirian di tengah malam, menebar senyum, dan esoknya ada nyawa melayang.
Dua hari setelah Marzuki mati, kampung kembali gempar. Arifin, pemuda yang teriak mau menghabisi Maisah pada hari Marzuki menghembus napas terakhir, juga mati di kandang sapi. Sama dengan Marzuki, Arifin pun sehat-sehat saja sebelumnya. Nyatanya kini dia tak bernyawa di kandang sapi dengan muka lebam. Entah diinjak sapi atau dikirim kekuatan gaib, orang-orang hanya memprediksi dalam hati.
Setelah penguburan Arifin selesai ada yang berani bersaksi melihat Maisah lewat kandang sapi pada sepertiga malam akhir. Mengetuk dengan tongkatnya tiga kali, lantas–seperti biasa, pergi dan menghilang ditelan kegelapan.
“Tidak bisa dibiarkan!”
“Lama-lama kita semua mati.”
“Ya. Ayo kita bakar rumahnya.”
“Kau yang memimpin?”
Tidak dijawab. Kerumunan hanya saling berpandangan. Mereka seperti baru sadar Arifin mati setelah memaki Maisah. Semua ketakutan, lebih-lebih lelaki yang tadi teriak ‘bakar’. Mukanya pucat pasi. Tenggorokannya tercekat. Lantas dia berlari seolah Izrail sedang mengusap ubun-ubunnya.
Malam setelahnya tidak ada yang berani keluar selepas jam delapan. Suara jangkrik dan hembusan angin menguasai malam.
***
Malam ini aku tidak bisa tidur tenang. Batuk sialan. Sirup pereda batuk hanya mampu memberikan dingin sebentardi dada dan tenggorokan. Entah sudah berapa gelas air putih aku habiskan. Ujung mataku menyipit jam dinding. Dua jam lagi azan subuh.
Mungkin jenuh terlentang aku bangun dan mendekati pintu. Tidak tahu perintah dari mana tanganku menyibak gorden dan mengintip keluar. Detak jantungku berhenti sesaat ketika kulihat Maisah sedang mengetuk pagar rumahku dengan tongkatnya.
Pandangan kami tertumbuk. Dia pun tersenyum.[]
Follow Twitter kami di @CerpenHoror | Follow Google Plus kami di +Cerpen Horor
0 komentar