Fredy S adalah satu dari delapan manusia yang jalan hidup dan bahkan biodatanya misterius dan (kadang) jadi kontroversi di Indonesia: Gunadarma (kepala arsitek Borobudur), penulis buku Darmogandhul yang tak pernah diketahui jatidirinya, Tan Malaka (politisi pengelana yang pada 2009 kuburannya ditemukan Kepala KITLV Belanda Harry A Poeze di Kediri), Supriyadi (pimpinan PETA Blitar), pemuda penyobek bendera Belanda di Hotel Oranje Surabaya, Ki Panji Kusmin (pengarang cerpen Langit Makin Mendung), dan Imam Sayuti alias Tebo (anak yang lahir dengan bulu tebal yang ditengara sebagai hasil persetubuhan antara gendruwo dan Nasikah di Jember; geger Jatim 1990).
Saya memasukkan Fredy S dalam deretan manusia misterius karena nyaris semua yang menggandrungi roman yang ditulisnya tak pernah tahu siapa dan di mana penulis ini berada (walau saya menduga ia adalah orang Sunda dan paling tidak lama hidup dalam tradisi oral Jawa Barat ketika saya pergoki kerap terbalik-balik menulis frase seperti ‘Fasilitas’ ditulis ‘Pasilitas’).
Kerjaan ini mirip ketika saya mencari sosok Ki Pandji Kusmin sewaktu mengeditori buku Langit Makin Mendung (2004) di mana pengantar saya dirutuki pemeran tokoh Aidit dalam film Pengkhianatan, Syub’asa, di majalah TEMPO, sebagai kesimpulan ngawur ketika saya mengatakan anak Ki Pandji Kusmin pernah kuliah di UGM yang artinya tokoh itu ada dan bukan rekaan H.B. Jassin.
Ketika roman seks mengalami orgasme yang kemudian ledakan buku seks itu didulangulang antara tahun 2002-2004, nama Fredy S adalah ikon. Ia penulis roman yang prolifik, lancar ceritanya, memikat plotnya, dan tentu saja merangsang insting purba pembacanya. Laki-perempuan. Apalagi dilengkapi dengan sosoknya yang misterius. Sempurna sudah.
Nyaris di semua romannya—dan ini menjadi ciri buku roman percintaan dan seks yang tak pernah menuliskan satu halaman biodata pengarang—hanya tercantum ini: Fredy Siswanto. Informasi lain-lain tidak. Orang hanya tahu, Fredy penulis seks. Coba saja ketik nama itu di mesin pencari internet, yang tersasar adalah seks. Semua-muanya seks atau pinjam istilah Arswendo Atmowiloto di awal 1990-an: leer. Di tema apa pun, leer menjadi mindset romannya.
Termasuk ketika Fredy S mengeluarkan roman yang panjang yang berlatar politik riuh PKI di sekitar tahun 1964-1965, peristiwa G 30 S, dan pembasmiannya oleh tentara dan eksponen mahasiswa 1966. Bandingkan dengan judul buku putih pemerintah keluaran Sekretariat Negara RI pada 1994: Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya.
Jarang ada roman yang mengangkat tema ini sebagai latar utama. Ajib Rosidi pernah bikin dengan judul: Anak Tanahair (1985). Saskia Wieringa pernah bikin Lubang Buaya (2003). Beda segalanya dengan Ajib dan Wieringa, Fredy S membawa tema ini dengan sangat menggairahkan ke pembaca novel pop dengan seks, cinta, perselingkuhan, pelacuran, pemerkosaan, penculikan, dan kekerasan sebagai latar mengiringi tahun-tahun mengerikan itu.
Roman G 30 S ala Fredy ini diterbitkan 4 tahun setelah Arifin C Noer merilis film kolosal legendarisnya pada 1984: Pengkhianatan G 30 S/PKI. Seri ini mencakup 6 roman (Heksalogi Terpidana): #1 Bercinta dalam Gelap, #2 Politik Bercinta, #3 Budak Kehormatan, #4 Penghias Kepalsuan, #5 Belenggu Dosa, dan #6 Badai Telah Reda. Dari segi volume halaman, masing-masing buku rata-rata 200-an halaman. Dilihat tebalnya (1200 halaman), pekerjaan Fredy ini tergolong serius.
Ceritanya: seorang wartawati bernama Tuti Adyatma, redaktur Warta Kota, terlibat perselingkuhan dengan anggota parlemen dan sekaligus Sukarnois: Kusup Tular. Ketika Kusup ngebet menjadikan Tuti sebagai istri dalam gelap sepenuhnya, Tuti menolak. Propaganda cinta pun ditebar. Tular menghubungi komplotan pemuda untuk memfitnah suami Tuti agar Tuti mau melepasnya. Intrik-intrik macam begini ditebar Fredy di ribuan halaman romannya.
Dalam roman ini, PKI dan seluruh keluarga besarnya (Pemuda Rakyat, Lekra, Gerwani), pejabat-pejabat di lingkaran Sukarno, adalah komplotan penjahat yang menghalalkan segala cara untuk tujuan politik dan tentu saja hasrat seksnya. Bagi manusia-manusia komunis adalah hal biasa melakukan kekerasan, penipuan, fitnah. Bahkan keluarga mereka terkesan tak ada yang beres. Kusup selingkuh dengan Tuti, istrinya selingkuh dengan sopir Kusup, sementara anak si Kusup selingkuh dengan pacar si sopir.
Ketika Kusup Tular misalnya, menawarkan “proyek seks” ke Pemuda Rakyat (tak eksplisit disebut), gerombolan itu minta syarat: Kusup Tular menggelontorkan dana untuk kelancaran kas sekretariat dan Kusup Tular tahu beres “proyek seks” itu.
Lain kali, ketika “proyek seks” ini hampir gagal total karena umpan pelacur bernama Giwani (Gerwani?) kepada suami Tuti hampir terbongkar, Kusdit dan Jono mengajukan syarat lain: Kusup Tular menandatangani persetujuan mengganyang Manikebu:
“Kami butuh dukungan Pak Tular. Tepatnya kawan-kawan budayawan…. (butuh sebuah) pernyataan politik… mengganyang Manikebu. Bila perlu beberkan latar belakangnya dengan Nekolim. Biar terasa lebih mantap.”; “(Tular): Ah, Manikebu itu kan kelompok kecil. Manifes Kebudayaan kan? Orang-orang itu kan cuma Jassin, Larto, Gunawan, Bur…” (Seri #2: 89-90)
Porsi dialog optimisme orang komunis macam begini disebar Fredy di banyak halaman, khususnya di seri #1-#3. Dan tentu saja dialognya terjadi di sudut cafe remang, di rumah pelacuran, resor Pulau Seribu, hotel mewah, atau dalam mobil di mana Tuti dan Kusup saling mengecup, saling meraba, dan berujung di atas ranjang.
Terasa sekali, tokoh Tuti di sini adalah korban seks ganas pejabat Sukarno yang—pinjam sebait sajak W.S. Rendra—“tiba-tiba tanpa ujung pangkal ia sebut kau inspirasi revolusi sambil ia buka kutangmu”. (1971: 24)
Tokoh-tokoh seperti Tuti itu—walau tak beres secara moral—dibalik Fredy menjadi srikandi yang berjuang di belakang Manikebu dan pers antikomunis untuk menghadapi komplotan pengacau politik Indonesia yang—lagi-lagi pinjam Rendra: “bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi sambil celananya basah”.
Terkesan kuat, Heksalogi Terpidana Fredy ini adalah sebuah pernyataan sikap sebuah orde, bahwa tak ada dalih apa pun membela komunis dan seluruh anasirnya dari dakwaan sejarah, khususnya terbaca di seri #4, #5, dan #6. Mereka harus diganyang sampai ke akar-akarnya. Tak boleh ada kasihan. Mereka pantas menerima karmanya. PKI-lah aktor utama dari semua kerusakan masyarakat.
Maka, Fredy pun menulis berulang-ulang frase ini tanpa ragu: “G 30 S/PKI”. Dalam soal pola penulisan frase kayak gini, maaf, Fredy S sekubu dengan Taufiq Is, khususnya di buku Prahara Budaya (1995) dan Katasrofi Mendunia (2004).
Kehadiran Heksalogi bertema politik, khususnya G 30 S ini, sekaligus mengingatkan bahwa penulis roman pop dan seks macam Fredy S tak boleh dianggap enteng dan remeh. Pekerjaan Fredy S ini adalah pekerjaan politik dengan konsentrasi utama menggarap pembaca roman-roman pop yang jumlahnya sangat besar.[]
Muhidim M. Dahlan | Indonesiaboekoe
Follow Twitter kami di @CerpenHoror | Follow Google Plus kami di +Cerpen Horor
0 komentar