Tuesday, November 20, 2012

Cerpen Horor: Vessel

Hari ini kulihat dirimu tengah menangis lagi di sudut ruangan yang berselimutkan warna putih, meringkuk dengan memeluk kedua kaki dan menenggelamkan wajah di antara kedua lututmu. Di pergelangan tanganmu tampak memar bekas ikatan, bintik-bintik merah bekas tusukan jarum infus juga bertebaran di kedua lenganmu.

Mungkin tak ada yang menyadari, kalau kau, gadis kecil yang kulihat datang ke tempat ini lima tahun yang lalu perlahan mulai berubah. Dirimu mulai terlihat bagai boneka yang rusak, aku tak mampu membayangkan keputusasaan yang kau rasakan setiap harinya. Aku tak tahu apa yang membuatmu dapat terus bertahan dan terus hidup melalui semua ini.

Aku menaruh nampan berisi makanan itu di dekatmu, lalu kau perlahan mengangkat wajahmu dan menatapku. Kau tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepadaku, senyum yang selalu kau tunjukkan kepada setiap orang yang kau temui, senyum yang sama seperti sejak lima tahun yang lalu. Tetapi kau tak akan pernah dapat mengelabuiku, senyum itu hanyalah topeng, senyum itu tak akan dapat menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya kau menderita.

Masih tergambar dengan jelas di ingatanku, ketika kau datang pusat penelitian ini lima tahun yang lalu. Saat itu dr. Adrian Wolf, ayahmu, memperkenalkanmu sebagai putrinya kepadaku seluruh tim ilmuwannya. Kau gadis kecil yang baru saja menginjak usia sepuluh tahun, tentu saja tak akan pernah menyangka kalau ayahmu sendiri akan memperlakukanmu seperti ini. Pria paruh baya itu dan tim ilmuwannya menjadikanmu sebagai objek penelitian mereka.

Namun setelah kau tahu, kau tetap bersikeras untuk mengikuti kemauan ayahmu. Sampai berapa lama lagi kau akan berusaha bertahan? Sampai berapa lama lagi sampai akhirnya kau muak dan pergi dari tempat ini? Topeng kepura-puraan yang selalu kau kenakan tak akan dapat menyembunyikan apa yang sebenarnya kau rasakan.

Penderitaan, siksaan, dan segala kengerian. Hanya itulah yang menjadi satu-satunya sahabatmu selama ini. Entah apa yang membuatmu mampu bertahan selama ini.

***

Hari ini merupakan hari yang istimewa bagiku, hari ulang tahunku yang ke lima belas. Semoga para ilmuwan itu mengizinkanku untuk keluar dari laboratorium ini, sesuai dengan janji mereka lima tahun yang lalu. Apa mungkin mereka juga mengizinkanku membawa gadis itu keluar?

Raungan sirine mendadak terdengar di seluruh bangunan ini saat aku hendak bangkit dari tempat tidurku, derap langkah panik para ilmuwan menggema dari lorong depan kamarku. Kubuka pintu kamarku dan kucoba melihat apa yang terjadi, mereka berlarian dan berteriak-teriak dengan panik. Mereka semua menuju suatu tempat.

Tempat di mana gadis itu berada…

Terus kutelusuri lorong-lorong sepi di laboraturium ini. Tak ada siapapun. Semuanya hening, hanya suara teriakan di kejauhan yang kadang terdengar menggema. Walau takut, kuputuskan untuk terus melangkah menuju ruangan gadis itu.

Ke mana mereka? Ke mana para ilmuwan itu? Semakin dekat dengan ruangan itu, ada perasaan ngeri yang mencengkeram semakin erat batinku. Pada akhirnya aku hanya bisa diam terpaku di depan ruangan itu.

Kemudian pintu di hadapanku mulai terbuka perlahan, memperlihatkan hanya kegelapan di baliknya. Kegelapan yang teramat pekat. Aku melonjak kaget saat mendadak seorang ilmuwan terpental keluar dari ruangan itu, seakan ia dimuntahkan oleh kegelapan itu sendiri. Tubuhnya berlumuran darah.

“Da—Danny boy, a—apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya terbata-bata. Tiba-tiba tubuhnya mengejang hebat di hadapanku, lalu dengan mata terbelalak ia menatapku dan berbisik.

“Larilah, Danny-boy… larilah!”

Kembali ia terhisap ke dalam gelapnya ruangan itu. Lalu hening, sampai sesuatu tampak bergulir keluar dari ruangan gelap itu. Sebuah kepala.

Hangat… dapat kurasakan celanaku hangat dan basah. Lalu aku pun lari, berlari dan terus berlari di antara lorong-lorong bagai labirin ini. Sampai kulihat seorang gadis kecil menghadang jalanku, aku pun berhenti. Aku belum pernah melihat gadis itu di sini sebelumnya.

Dalam hening gadis kecil itu menunjuk ujung lorong, ke sebuah pintu berwarna merah. Aku pun kembali berlari, semoga pintu itu adalah jalan keluar dari tempat ini.

Aku salah, tempat itu bukanlah jalan keluar, tetapi sebuah bangsal yang sangat besar. Tempat itu dipenuhi oleh anak-anak lelaki yang terbaring diam, banyak selang yang tertempel pada tubuh mereka.

“Mereka dalam keadaan koma.”

Entah sejak kapan, gadis kecil itu sudah berada di sebelahku. Kembali kuberlari, kali ini ke sudut ruangan dan meringkuk di sana.

“Jangan takut, aku tak akan menyakitimu. Tapi makhluk barusan iya,” serunya tiba-tiba, ia muncul lagi di sebelahku.

“Kemarilah.”

Gadis itu menarik lenganku dan membimbingku ke tengah bangsal, kini aku berdiri di antara anak-anak yang tengah terlelap itu.

“Mereka semua adalah wadah yang gagal.”

“Wa—wadah yang gagal?” tanyaku agak ragu.

Gadis kecil itu menoleh dan menatap langsung ke mataku. “dr. Adrian Wolf berniat menciptakan wadah bagi Azrael—kematian itu sendiri. Dengan memenjarakan Azrael dalam wadah fana, tak akan terjadi lagi kematian di dunia ini.”

“Benarkah?”

Gadis itu pun tertawa. “Tentu saja tidak, tapi jiwa-jiwa orang yang sudah mati tak akan dapat pergi ke tempat peristirahatan terakhir. Mereka akan terus terperangkap di dunia ini, sepertiku.”

“Tunggu, itu berarti kau sudah…”

Gadis kecil itu mengangguk, membenarkan dugaanku. Sontak aku menarik lenganku dari genggamannya lalu menjauh. “Lalu apa maumu? Ke-kenapa kau membawaku ke tempat ini?”

Tanpa menghiraukan pertanyaanku, gadis itu terus bercerita. Tentang semua percobaan menyakitkan yang harus ia jalani agar dr. Wolf bisa mendapatkan wadah yang sempurna, sampai akhirnya tubuh gadis itu menyerah. Gadis itu adalah yang pertama, setelah itu banyak anak gadis lainnya yang juga bernasib sama. Jumlah anak gadis yang telah tewas, sama banyaknya dengan jumlah anak lelaki yang koma di ruangan ini.

Karena kekuatan kekuatan Azrael tidak dapat dikekang hanya oleh satu wadah, dalam proses pengekangan dibutuhkan seorang anak gadis dan anak lelaki yang lahir di waktu yang sama.

Pagi ini seharusnya aku dipasangkan dengan Lana, anak perempuan dr. Wolf dalam percobaan itu. Tetapi rupanya dr. Wolf terlalu meremehkan kekuatan Azrael dan terlalu dini melakukan percobaan itu, kini kekuatan Azrael terperangkap tak terkendali di dalam tubuh Lana.

Sekarang gadis kecil itu ingin aku membebaskan Azrael dari belenggunya. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana mungkin aku dapat membebaskan kematian? Aku cuma seorang anak lelaki.

Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah lari, maka aku pun berlari. Keluar dari bangsal itu dan kembali berlari.

Lorong-lorong putih yang sebelumnya pernah kulalui kini berubah, putih menjadi merah, sewarna darah. Tunggu… darah memang benar-benar menghiasi dinding dan lantainya. Lampu-lampu pun berkedip hebat, membuat kepalaku seakan berdenyut.

Suara… aku mendengar suara-suara bisikan yang saling bertumpuk, sebagian jelas sebagian tidak. Sambil terus berlari kututup telingaku, tetapi suara-suara itu tak kunjung pergi.

“Keabadian…”

“…kita akan terus hidup…”

“…Azrael telah terperangkap…”

“DIAM!”

“…tidak!”

“…aku… terlalu dini…”

“TINGGALKAN AKU SENDIRI!”

“…apa yang telah kulakukan…”

“…mati…”

“…kita semua akan mati…”

Sebuah kepala bergulir di hadapanku, lalu berhenti dan menatapku. Di wajahnya terpasang seringai pongah. “Larilah… Danny-boy!”

Potongan kepala itu membuatku mengerem, memutar, lalu berlari mengambil jalan lain. Sebuah tepukan di bahu mengagetkanku dan membuatku terjatuh. Di belakangku tak ada orang, tetapi sensasi cengkeraman di bahuku masih ada. Dengan rasa jijik kutepis potongan tangan yang menempel di bahuku.

Mendadak ujung lorong di belakangku perlahan mulai tenggelam dalam kegelapan. Semakin lama kegelapan itu terus merayap dan mendekat ke arahku, disertai suara-suara bisikan yang semakin keras. Semakin dekat, kegelapan itu semakin terlihat bagai ribuan tangan-tangan hitam yang mencoba menggapai sesuatu.

Sebuah pintu terbuka di dekatku, lalu kulihat lagi gadis kecil yang barusan. “Lewat sini, Danny,” ajaknya, dengan wajah tanpa ekspresi.

Aku pun masuk mengikuti ajakan gadis kecil itu, tetapi gadis itu sudah tak ada di sana, hanya ada mayat seorang peneliti dengan usus terburai dan rahang yang terbelah. Di sisi lain ruangan, terdapat pintu menuju ruangan lainnya yang terbuka. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menuju ke pintu itu.

Tetapi saat sedang berjalan menuju pintu berikutnya, tiba-tiba lenganku dicengkeram kuat. “Tunggulah dia di sini, bergabunglah dengan kami, Danny-boy!” Mayat peneliti itu menatapku tajam, sementara aku terus meronta berusaha melepaskan lenganku dari cengkeramannya.

Akhirnya aku terbebas dari cengkeraman itu, lalu aku berlari lagi. Berlari hanya dengan dibimbing naluri, melalui pintu-pintu yang terbuka. Tidak mungkin… aku kembali ke lorong dengan pintu merah. Di belakangku kegelapan semakin mendekat, tak ada pilihan selain kembali masuk ke bangsal itu.

Sesuatu yang berbeda menyambutku kali ini, di ruangan itu banyak terdapat anak-anak dengan tubuh agak tembus pandang. Dengan cepat mereka beramai-ramai menarikku ke tengah ruangan. Dengan kuat mereka memegangi tubuhku, sementara gadis kecil itu hanya membisu dan memandangiku.

Aku terus meronta saat tubuh-tubuh tembus pandang itu mencakar-cakar diriku, tubuhku serasa dirobek dari dalam. Tak ada gunanya, aku tak dapat melepaskan diri dari mereka.

Lalu gelap…

Saat mataku terbuka, aku sedang berdiri berhadapan dengan gadis yang bernama Lana. Ada yang aneh, matanya nampak sekelam malam. Itulah hal terakhir yang kulihat sebelum aku kehilangan kesadaranku.

***

Aku terbangun, tetapi mataku terasa berat. Walau aku masih tak dapat membuka mataku, instingku mengatakan kalau mimpi buruk itu telah berakhir.

Kemudian sayup-sayup dapat terdengar suara seorang pria berbicara, “Kau menggunakan bocah ini untuk membebaskanku?”

Kupaksa mataku agar terbuka. Kudapati diriku terbaring di lantai, tepat di sebelah Lana. Sementara itu, tak jauh dari tempatku terbaring, gadis kecil itu sedang bercakap-cakap dengan seorang pria berpakaian serba hitam.

Pria tidak terlihat seperti seorang peneliti dengan mantel hitam panjang yang dikenakannya, lagipula mana ada peneliti di laboratorium ini yang berambut panjang sepertinya. Tubuhnya pun tidak normal, ia memiliki sayap hitam di punggungnya. Ia balas menatapku saat tahu aku sedang memperhatikannya. Lalu ia mendekat dan berlutut.

“Kau dapat melihatku?” tanyanya seraya membolak-balik halaman buku catatan di tangannya. “Aneh… entah mengapa namamu tak ada di sini,” gumamnya kemudian.

Lalu pria itu mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. “Ah, kau memiliki banyak jiwa. Kau bocah yang menarik.”

Pria itu kemudian beralih memperhatikan Lana yang terbaring di sebelahku. “Wadah akan kehilangan semua kenangannya. Kalau kau menjaganya, aku akan kembali dan menjemputnya tujuh puluh tahun lagi. Kalau tidak, aku akan datang kembali pada purnama berikutnya,” jelasnya kepadaku. Aku sama sekali tak mengerti maksud ucapan pria aneh itu

Pria bersayap itu lalu berdiri dan menepuk kepala gadis kecil yang terdiam di sisinya. “Maaf karena aku baru menjemputmu hari ini, tetapi Dia tak ingin aku langsung membawamu,” ucapnya kepada gadis kecil itu.

Kemudian pria bersayap itu pergi dengan menggandeng tangan si gadis kecil, pergi meninggalkanku dan Lana di ruangan ini.

Ah… setidaknya saat ini aku masih hidup, tak ada lagi yang lebih kuinginkan dari ini.[]

Penulis: Zoelkarnaen | Teks

0 komentar