Thursday, November 22, 2012

Cerpen Horor: Tempat Asing

Langit-langit kusam. Lampu redup berdebu. Aroma apak yang pekat.

Aku tidak berani bangkit. Aku tidak suka mencium aroma itu, dan aku tidak berani menduga di mana aku terbangun.

Seingatku, aku sedang bersiap-siap tidur. Aku minta ijin dengan orang tuaku sebelum masuk kamar, dan segera menyusun buku dalam ransel sesuai jadwal besok pagi. Aku ingat mematikan lampu, masuk selimut dan memeluk guling, siap tidur cepat untuk bangun lebih pagi, untuk jam olahraga subuh hari ....

Tapi aku terbangun di tampat asing, yang aku yakin bukan ada di dunia mimpi.

Di mana ini?

Aku bangun perlahan, memperhatikan. Aku masih memakai baju tidur, yang sama seperti yang kupakai sebelum tidur tadi. Aku berpaling, ganti memperhatikan sekeliling. Ruangan ini kecil dan desainnya agak aneh. Dinding dan lantainya penuh dilapisi bantalan tebal yang empuk, sehingga siapa pun yang lelah atau mengantuk tidak akan kesulitan tidur, bahkan di lantai sekali pun. Mungkin ini sejenis kamar untuk main-main anak kecil?

Tunggu.

Dinding dan lantai yang berlapis bantalan empuk .... Bukankah itu mirip kurungan pasien sakit jiwa yang sulit dikontrol dan suka mengamuk sendiri?

Benar. Tidak salah lagi. Dan sekarang, aku terkurung di dalamnya, entah kapan, entah kenapa, entah siapa. Aku tidak ingat apa yang terjadi setelah aku tidur malam ini ... atau malam itu; kapan.

Aku harus keluar dari sini.

Aku segera mencari pintu. Tapi di mana-mana dinding. Dinding kusam dengan bantalan putih tebal, untuk menahan amukan si pasien jiwa yang kumat. Paranoid menyergap, tapi segera, aku melihatnya. Ada, di sana, tampak di bantalan-bantalan yang terbelah tengah dengan amat rapi, sehingga sekilas tampak seperti bagian dari dinding. Aku mendekatinya dan segera mencari kenop pintu, yang tentunya sia-sia. Ruangan begini tidak didesain untuk dibuka dari dalam. Si arsitek tidak lupa, bahwa akan gawat kalau si pasien jiwa bisa membuka pintu selnya sendiri dan keluar ketika merasa dirinya sudah jauh lebih mendingan, padahal sebenarnya tidak.

Jadi bagaimana ini? Ceritanya, entah bagaimana, aku tertidur dan tiba-tiba berada dalam kurungan untuk pasien sakit jiwa? Apa selanjutnya? Dinding menyempit? Langit-langit memendek? Gas beracun dan halusinasi? Atau lebih parah: muncul layar video dengan topeng yang wajahnya mirip sepupunya Chucky yang menawarkan “permainan menarik” untuk mendapatkan hidup yang kedua kalinya?

Tenang. Jangan panik. Pasti ada penjelasan rasional untuk ini. Apa yang kuingat terakhir? Aku sedang siap-siap tidur, mematikan lampu dan masuk selimut, menaruh bantal di kepala untuk bersiap-siap tidur ... dan tertidur, seperti biasanya aku tidur. Oke, terima kasih, ingatanku; kamu tidak membantu sama sekali.

Eh? Apa ini?

Celah kecil. Seperti batas pemisah antara dinding dan ... pintu. Pintu. Kalau itu betul, mungkin aku bisa mengorek-ngorek dan mencapai daun pintunya dengan dengan jari. Aku mencobanya. Dapat. Bisa masuk empat jari. Aku langsung menahan dan menarik sekuat tenaga, dan segera, pintu itu bergerak! Yes. Aku menarik lebih kuat, berhasil mencengkram dengan dua tangan alih-alih delapan jari, dan, dalam satu tarikan kuat, aku berhasil menyeret dan membuka pintu itu lebar-lebar.

Aku sudah siap untuk bersorak gembira: “YESSS!”.

... Ketika aku sadar sedang menatap pada dinding.

Aku yakin, saking kecewanya, aku bakalan meninju dinding itu dan sekalian ikut meremukkan jemari tanganku, kalau saja aku tidak menunduk dan melihat sesuatu yang menarik di bagian bawahnya. Sebuah lubang.

Aku berjongkok, memeriksa. Lubang yang lumayan besar, kira-kira cukup untuk dimasuki satu orang dewasa kurus ... atau remaja, seperti aku. Kulihat ada cahaya samar di ujung. Tampaknya tidak butuh waktu lama untuk sampai ke lubang keluarnya. Dan sementara kuperhatikan, muncul angin berhembus dari ujung, membawa bau tajam, seperti asap. Kira-kira ada apa di ujung sana? Dan apakah itu jalan keluar satu-satunya dari tempat ini?

Tapi kalau memang begitu, kurasa aku pass saja. Aku tidak akan mengambilnya.

Baik. Aku akan jujur. Aku memang bukan pemberani. Aku penakut. Aku tidak pernah sanggup menatap poster film horor lebih lama dari lima detik. Mendengar pembicaraan bertema penampakan dan sejenisnya sudah cukup untuk aku berpikir macam-macam tentang toilet rumahku. Komik seram membuatku tidak bisa tidur dengan lampu mati, dan novel seram membuatku tidak berani sendirian di satu ruangan lebih lama dari sepuluh menit selama seminggu penuh. Mungkin kedengaran konyol, tapi aku lebih takut pada hal-hal supernatural semacam itu daripada kenyataan ada pembunuh berantai yang lebih dulu mencabut mata korban sebelum lanjut memutilasi tubuhnya.

Namun, ibuku bekerja sebagai ilustrator untuk gambar semacam itu, sehingga lima belas tahun hidup bersamanya sudah lumayan memperteguh keberanianku. Aku yakin, kini keberanianku sudah lebih besar daripada ketika waktu aku empat tahun yang menjerit ketakutan di hadapan badut pesta ulang tahun pertama adikku.

Mungkin itulah penyebab aku tidak langsung menutup pintu ketika terdengar suara jeritan anak-anak dari ujung lubang itu.

Aku segera menunduk, mencoba melihat lebih jelas, tapi tidak terlihat apa pun lagi kecuali sinar kuning itu. Tak ada pilihan. Untuk tahu apa yang terjadi di ujung sana, aku harus masuk ke dalam lubang, dan merayap sampai ke ujung sana. Kedengarannya ide yang berbahaya, masuk lubang sempit yang tidak ketahuan bahayanya ... tapi jeritan tadi itu terdengar gawat ... jangan-jangan ada anak kecil terluka di ujung sana?

Yah, biar pun penakut, tapi aku tetap laki-laki, dan aku tidak bisa berpura-pura tidak mendengar suatu jeritan minta tolong, terutama kalau itu anak kecil.

Jadi, sepenuh tekad, aku menghilangkan macam-macam pikiran seram yang ada, dan langsung merayap masuk ke dalamnya.

Ternyata tidak semengerikan bayangan semula. Aku bisa merayap cukup mudah. Tapi langit-langitnya rendah, sehingga daguku sering menyeret lantai sementara aku merayap maju. Memang butuh butuh banyak perjuangan, tapi aku bisa merayap lebih cepat dari dugaanku semula. Ketika sinar di ujung lubang semakin cerah, aku tahu tujuanku semakin dekat. Aku merayap lagi, lebih maju lagi, lebih maju lagi, dan tiba di ujung lubang. Ada tanjakan tajam, dan ada celah sempit, dan dari sanalah tampak sumber cahaya yang aku lihat itu berasal dari apa.

Api.

Kobaran api unggun raksasa di atas tanah. Tidak. Bukan. Aku maju lagi, dan seiring menyadari aku sedang merayap di atas tanah, aku melihat api itu berasal dari semacam lubang raksasa di dalam tanah. Mirip lubang pembakaran sampah massal. Bau asap itu makin pekat, dan aku mulai merasakan panas di kulitku. Padahal jarakku darinya masih sekitar sepuluh meter. Ini sudah cukup membuktikan kekuatan kobaran api raksasa itu.

Kalau jeritan yang tadi adalah milik anak kecil yang tersandung ke dalamnya .... Yah, aku tidak mau memikirkan nasibnya.

Tapi jeritan yang sama terdengar lagi, lebih dekat. Aku beringsut maju, dan langsung membeku ketika seseorang berjalan tepat di depan lubang.

Mungkin ini sekedar firasat paranoid, tapi aku tidak merasa melompat keluar dan meminta bantuannya adalah tindakan bijak. Mungkin itu disebabkan gaya berjalannya yang terlalu santai untuk seseorang yang berjalan di dekat api sebesar itu. Kalau dia bukan mantan kapten petugas kebakaran, dia pasti orang sinting.

Dan kemudian, yang terjadi setelahnya, yang tidak kuduga sama sekali, dan nyaris membuatku berteriak, adalah benda yang dijatuhkan orang itu. Bukan dompet, bukan buku; melainkan tulang berlumuran darah, lengkap dengan sisa daging menempel di sana-sini. Lalu jatuh satu lagi, dan lagi. Kesemuanya masih berdarah, dan aku yakin, masih segar.

Aku bisa saja menduga itu tulang kalkun, atau ayam, tapi kenyataan tulang ketiga yang ia jatuhkan bentuknya amat mirip dengan hasil X-Ray tangan adikku beberapa bulan lalu ... cukup sebagai bukti dugaanku.

Aku berdeguk, nyaris muntah; segera kutahan tangan di mulut, tidak membiarkan isi perutku merayap keluar. Aku mencoba mundur, tapi sulit. Gerakanku terbatas, dan kemungkinan bajuku tersangkut amat besar bila harus bergerak mundur. Lebih baik diam. Sudah cukup buruk terjebak dalam terowongan kecil, dan lebih buruk lagi kalau psikopat ini menyadari keberadaanku di sini.

Tapi itu tidak cukup. Pikiranku tidak mau diam dan terus bertanya-tanya itu tulang siapa. Dan jawabannya tidak menyenangkan. Dari ukurannya, coba perhatikan ... apakah mungkin itu sisa anak kecil yang berteriak tadi?

Tapi, bukan. Teriakan itu terjadi lagi. Agak jauh, tapi tidak terlalu jauh.

Lalu terdengar suara seruan. Seperti panggilan. Orang yang berdiri di lubang ini beranjak pergi, tapi tidak sekalian membawa tulang-tulang itu. Sialan. Tapi untung. Ada kemungkinan dia bisa melihatku kalau dia sampai berjongkok dan menunduk sedikit saja.

Sudah lebih aman, aku maju lagi, melihat ke arah dia pergi. Ada seseorang  yang cuma bisa kulihat batas pinggangnya saja, dan aku mendengar mereka berbicara dalam aksen aneh, dalam bahasa yang tidak ingat pernah aku dengar dan pelajari. India? Yunani? Mesir? Afrika Selatan? Sulit menduga kalau tidak bisa melihat si pembicara langsung.

Kedua orang itu seperti bertengkar. Saling berteriak satu sama lain sambil sesekali saling mendorong dada. Tanda pertengkaran yang bisa segera mulai kapan saja. Tapi tidak terjadi. Akhirnya, apapun yang mereka bicarakan barusan, tampaknya sudah selesai. Mereka sudah tidak bertengkar lagi, dan saling sepakat dengan saling menepuk bahu, dan pergi, si psikopat dan rekannya yang tidak tampak jelas tadi.

Kini, aku tinggal sendirian lagi. Dan berpikir, apa yang harus kulakukan berikutnya.

Tentu saja, instingku yang pertama mengatakan untuk merayap mundur, kembali ke kamar isolasi, menutup pintunya rapat-rapat, dan menunggu pertolongan datang. Pertolongan apa? yah, seperti, muncul penjelasan bahwa sebenarnya aku salah tempat, dan akan segera dikirimkan kembali ke atas kasurku?

Sungguh tidak masuk akal. Kemudian, tak lama, muncul pikiran lain. Sebenarnya aku sedang ada di mana?

Apa aku sedang dalam suatu pemutaran film lelucon yang memakai teknis hipnotis, sehingga aku tidak sadar kalau aku sebenarnya sedang ada di tengah jalan, berlagak konyol di hadapan penonton ramai? Apakah ada kamera yang sedang merekam aktingku sekarang?

Yah, kalau itu sungguhan, kalau itu benar, setelah acara ini selesai, dan aku bertemu krunya, aku akan menyalaminya sungguh-sungguh, lalu meninju wajahnya. Acara ini tidak lucu sama sekali untuk acara lelucon. Api unggun raksasa ... orang asing ... tulang berlumuran darah ... entah butuh berapa lama sampai aku bisa melupakan semua ini.

Dan ruang isolasi tadi ... apakah itu petunjuk alasan aku ada di sini? Mungkinkah sebenarnya sekarang aku sedang ada di dalam imajinasiku dan aku yang sebenarnya sedang bersender di kamar itu, mengiler seperti orang stress? Tidak mungkin. Karena, yah, orang stress tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan bahwa dirinya stress bukan? Semoga itu benar.

Ah? Terdengar suara langkah. Dalam sekelebat, sepasang kaki lewat di depan lubangku. Berhenti tidak jauh dari sana, dan berpindah-pindah. Tampanya, siapa pun dia, dia sedang panik. Aku bisa mendengar nafasnya yang pendek-pendek, dan suara-suara gumam tak jelas dari mulutnya. Ketika si pemilik langkah lewat lagi, kulihat sesuatu yang menggembirakan. Pemiliknya seorang anak kecil. Mungkinkah dia anak yang menjerit tadi?

Dia berputar-putar, seolah sedang mencari sesuatu, tapi tampaknya tidak menemukannya, karena dia terduduk, dan mulai menangis, seperti putus asa.

Yah, sampai detik ini, aku masih tidak tahu kenapa aku ada di sini, tapi melalui pikiran singkat: seseorang (kemungkinan orang dewasa) membuang tulang berlumuran darah sembarangan, lalu muncul anak kecil yang berlari-lari dan jatuh putus asa dan menangis, siapa pun akan langsung tahu apa yang sungguh harus dilakukan. Minimal, memberi bantuan, sekecil apa pun itu.

Ruang isolasi. Kalau dia bisa kubawa ke sana, kami bisa sembunyi dengan aman di tempat itu.

Perlahan, aku memanggilnya, "Sssttt! Hei, dik!"

Dia masih menangis.

"Dik!"

Masih menangis. Tidak menggubris. Lebih keras lagi, mungkin?

"Hei! Dik!"

Masih menangis. Tidak menggubris.

Kesabaranku habis.

"WOI DEK!!!"

Anak itu berhenti menangis, lalu menoleh ke belakang. Aku memanggilnya lagi, tapi dia menatap bingung, tidak tepat ke arahku, padahal aku bisa melihatnya dengan baik. Apa dia tidak bisa melihat aku karena ada di dalam lubang?

Akhirnya, nekat, aku mendorong tubuhku keluar lubang. Bisa kulihat anak itu terkejut setengah mati melihatku, tapi untung saja dia tidak sampai berteriak.

"Kamu mengerti bahasaku?"

Pertanyaan lucu, ya, tapi aku mengatakan itu karena anak ini -yang ternyata perempuan- tampaknya keturunan bangsa lain. Dia mirip anak-anak di film Slumdog Millionaire, dalam versi yang kurang lebih sama: kumal, kotor, dan ... ada bekas gelap di daerah perutnya. Mungkin bukan tindakan bijaksana untuk terus menatap noda itu, jadi aku mengulangi pertanyaanku, dan gadis itu hanya menatapku ... sebelum menyerocos dalam bahasa asing yang membuatku teringat pada slogan “Kuch Kuch Hota Hei”. Aku bahkan lupa artinya apa, lupakan saja.

Akhirnya, menggunakan bahasa seadanya (yang lebih banyak berupa arahan dan tunjukan dengan gaya-gaya beraneka ragam), aku menunjukkan padanya lubang itu. Kugambarkan sebaik mungkin kalau di sana aman, yang akhirnya ia mengerti setelah melihat lagi ke dalam lubang. Awalnya kukira masalah ini sudah selesai, tapi dia tidak segera masuk. Dia menunjuk-nunjuk ke arah datangnya, seolah-olah mengatakan dia harus mengambil barangnya yang penting tertinggal atau bagaimanalah. Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Jangan. Kau lihat ini apa? Tadi ada orang yang lewat depan sini dan membuang- Hei!"

Anak itu tidak menunggu. Dia sudah lari ke tempatnya datang, meninggalkanku sendirian- lagi.

Sialan. Akhirnya, setengah berpikir aku pasti sudah gila, bahwa aku sedang bermimpi sehingga aku akan baik-baik saja, aku melawan keinginanku untuk tinggal dan kembali ke ruang isolasi, dan mengikutinya cepat-cepat.

Sambil berjalan, aku memandang ke segala arah. Tempat ini menyerupai gua raksasa. Langit-langitnya tinggi, tapi dari pantulan cahaya kobaran api yang sangat samar di sepetak langit-langitnya, kutebak jaraknya mencapai tiga ratus lantai; nyaris setinggi gunung, dilihat dari perkotaan di sekelilingnya. Dan lubang asal api raksasa itu yang jauh lebih besar dan lebih dalam dari dugaanku. Banyak lubang serupa dengan api-api yang sama besarnya, beberapa bahkan lebih besar, dan beberapa di antaranya adalah tebing-tebing, kolam-kolam hitam kecil yang tidak berani kudekati sama sekali, dan bukit-bukit berpasir. Tidak ada tanaman. Hanya ada tanah, pasir, perbukitan batu, dan hawa panas dan kering dari kobaran api raksasa dalam tanah itu.

Entah kenapa, tempat ini membuatku takut. Bukan takut yang wajar, tapi lebih kearah intuisi, seperti aku tahu kalau suasana tertentu di ruang kelas sedang tidak baik, dan aku harus mengungsi agar tidak ikut kena semprot. Perasaan, seolah-olah aku tidak seharusnya ada di sini, dan tempat ini tidak menerima keberadaanku sama sekali. Aku tidak sabar ingin kembali ke ruangan isolasi itu, yang kini terasa seperti hotel bintang lima daripada perbukitan gersang yang sepi dan menakutkan ini.

Akhirnya, aku sampai di tempat yang anak itu tuju.

Ternyata si kecil ini pahlawan. Dia kembali untuk menolong teman-temannya yang dikurung dalam kerangkeng model kuno, yang seperti aku pernah lihat di acara-acara dokumenter tentang pembasmian penyihir abad pertengahan.

Tapi apa yang bisa kulakukan dengan kerangkeng begini? Pasti gemboknya besar dan ... aku melihat pada pintu kerangkeng. Gadis itu menunjukku, lalu menunjuk itu. Aku kebingungan, melihat bahwa ... kunci kerangkeng itu tidak lebih dari sehelai bulu burung berwarna-warni. Aku memandang gadis itu, mencari tahu apakah dia bercanda, tapi dia menatap serius dan hanya terus menerus memberi isyarat "cabut".

Aku memandangnya, dan bertanya-tanya apakah tanganku akan terbakar ketika melakukannya, aku mencabut bulu itu.

Dan terlepas, semudah aku mencabut klip kertas.

Pintu kerangkeng terbuka dan anak-anak di dalamnya berlarian keluar, mengerumuni kami, berterima kasih padaku dan si gadis kecil pahlawan itu. Aku ingin bertanya pada keadaan mereka yang kurus-kurus dan pucat-pucat, dan tampaknya punya noda gelap di bagian-bagian berbeda seperti milik si gadis kecil, tapi teringat tujuan awal kami kemari. Aku memberi isyarat pada si gadis kecil, dan ia memimpin teman-temannya berlari ke arah kami datang. Aku membuntuti paling belakang, walau sebenarnya ingin berlari di barisan depan, dan jadi yang paling pertama masuk ke lubang tersebut.

Ada alasannya. Entah anak-anak itu merasakannya atau tidak, tapi aku merasa tempat ini semakin menekan. Aku tidak tahu apa, sesuatu seperti rasa dicari, hendak ditemukan. Sungguh perasaan yang menyesakkan.

Dan diperparah, dengan adanya teriakan-teriakan dari arah belakang kami.

Aku berpaling cepat, dan melihat dua orang itu sudah kembali.

Dan apa aku salah lihat? Aku memang tidak berharap melihat wajah ramah ... tapi melihat kepala buaya alih-alih kepala orang di atas leher mereka, lengkap dengan taring-taring mencuat keluar rahang mereka, sudah cukup untuk membuatku dan anak-anak itu menjerit ketakutan.

Apakah mereka? Mutan? Siluman? Setan?

Ada di mana sebenarnya aku sekarang ini?!

Mendadak, terdengar gemuruh tunggal, suara yang seolah datang dari sepenjuru tempat ini. Kedua makhluk itu berhenti. Mereka melihat ke satu arah. Ke langit.

Semula kukira langit-langit itu retak, dan menunjukkan warna langit yang putih. Tapi tidak. Putih itu adalah bagian dari isi di dalam retakan, yang tak lain adalah mata.

Sebuah mata. Raksasa. Membuka perlahan, dan melihat. Semua. Mereka, kami, aku. Kerlip-kerlip jingga dan putih tampak di irisnya, pantulan dari puluhan, bahkan, ratusan jurang api yang ada di seluruh penjuru tempat ini.

Kedua makhluk tadi langsung berteriak dan berlutut, menyembah-nyembah dengan tangan dan kepala ke tanah, seperti pelayan rendahan yang memohon ampun pada rajanya.

Tapi apa pun yang mereka mohon, apa pun kesalahan mereka, mata itu tidak menghiraukan. Semula aku mengira ada petir menyambar, tapi bukan. Lecutan keras itu adalah sambaran sesuatu dari langit, yang menarik satu dari setan itu ke kegelapan di atas langit, tempat di sekitar mata itu muncul. Makhluk satunya berteriak dan berusaha kabur, tapi gagal. Sia-sia, tepatnya. Satu lagi sambaran, dan makhluk itu lenyap, terhisap ke dalam kegelapan di langit-langit gua.

Tinggal aku.

Aku tidak bergerak, tidak berpaling. Aku tahu tindakan apapun yang aku lakukan tidak akan bisa membodohi mata itu. Sekali membuka, mata itu melihat segalanya. Percuma aku menyembah atau lari atau sembunyi. Percuma. Aku hanya manusia biasa, dan di hadapan sesuatu yang sebesar ini- semenakjubkan dan semengerikan ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku merasa takut, sangat takut. Tidak pernah seperti yang kualami sebelumnya; rasa takut yang murni adalah kepasrahan nasib pada kekuatan di luar akal batas manusia biasa. Aku tahu aku bisa mati kapan saja, kapan saja makhluk itu mengkehendaki. Jadi apa yang bisa kulakukan untuk lari? Apa gunanya lari?

Aku menunggu, dan mata itu terus membuka, melihatku, seolah menilai.

Dan, sebelum detik-detik terakhir keberanianku lenyap dan kesadaranku hilang, gemuruh itu terdengar lagi. Seiring suara itu, mata itu perlahan menutup. Semakin tipis dan semakin kecil, hingga dalam satu derak keras, kesunyian kembali ke tempat ini.

Aku menjerit ketika si gadis kecil menepuk lenganku. Dia menunjuk pada lubang, yang ternyata sudah dimasuki semua anak lainnya. Aku mengikutinya, dan merasa sia-sia, tapi mencoba bertanya juga akhirnya, "Apa kau melihat ... itu tadi?"

Anak itu hanya menjawab dengan kernyitan, bingung, dan gelengan. Dia berbicara sesuatu dalam bahasanya sambil menyeretku ke lubang, jelas-jelas tidak ingin lebih lama di sini, seperti juga aku.

Aku membiarkannya masuk duluan, dan sambil memandang sekilas ke tempat asing ini, ke langit-langit yang hitam, baru mengikutinya dari belakang.

Di ruangan itu sudah menunggu semua anak yang berhasil lari. Mereka berpelukan dan berteriak gembira ketika kami berdua masuk. Banyak yang tampaknya sedang mengucapkan terima kasih dalam bahasanya sendiri, dan ada yang tampaknya bernyanyi dalam bahasa yang mirip Bahasa Inggris, tapi lebih lentur dan lembut. Singkat kata, mereka semua gembira, dan aku yang melihatnya ikut merasa senang.

Tapi ... selanjutnya bagaimana? Bagaimana cara kami pergi dari tempat ini?

Aku memandang ke dinding, melihat pintu yang membuka lebar, dan memutuskan menutupnya. Lebih baik aman daripada ada makhluk lain yang mengikuti kami ke sini.

Kemudian salah satu anak berseru dan menunjuk ke satu arah. Aku melihat ke sana, dan melihat goresan serupa yang membentuk pintu. Aku segera membukanya, kali ini dengan bantuan banyak tangan sehingga lebih cepat terjadi, dan melihat sebuah pintu lagi. Pintu biasa, yang tidak ada embel apa-apanya, kecuali sebuah kenop pintu. Kami menatap penasaran, dan pelan-pelan, aku membuka pintu itu.

Pintu ini menunjukkan lorong lagi, tapi yang, setidaknya, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Ada satu kesamaan dengan lubang tadi, bahwa di ujungnya juga tampak sebuah cahaya.

Tapi bukan cahaya kuning yang tidak terasa ramah. Cahaya ini ... lain. Jenis cahaya yang akan diikuti orang tersesat dengan penuh keyakinan dan harapan, kurasa. Dan sepertinya anak-anak itu juga merasa begitu. Mereka satu-satu berjalan keluar, perlahan, beberapa berpegangan dan beberapa berjalan sendiri, samuanya berjalan perlahan, menuju cahaya itu.

Tak lama, tinggal aku dan si gadis kecil, yang menunggu sebentar sebelum keluar pintu. Dia melihatku sebentar, lalu memberi isyarat agar aku menunduk, dan ketika aku melakukannya, dia memberi kecupan sesaat di pipiku.

"Manjuthe," atau apalah, katanya sebelum pergi mengikuti anak-anak lain ke cahaya itu. Apa aku juga harus ikut mereka? Sepertinya tidak. Pintu itu menutup setelah si gadis kecil keluar, dan kurasa pintu itu tidak akan terbuka walau kuputar kenopnya lagi.

Akhirnya, sendirian lagi. Sekarang bagaimana? Kembali ke lorong itu, dan menyelamatkan lebih banyak arwah anak-anak kecil yang tertangkap setan-setan berkepala buaya? Alamak.

Tapi sebelum itu ... rasanya lelah sekali .... Mungkin sebaiknya aku istirahat sebentar, sebelum mencoba mencari jalan pulang lagi.

Aku bersender di sudut, merasakan betapa empuk busa di punggungku. Ya, mungkin nanti ketika membuka pintu itu, aku akan berada di dalam kamar tidurku. Aman dan nyaman, di balik selimutku yang hangat.

Tapi untuk sekarang, tidur dulu ....

....

....

....

....

"BANGUN!"

Aku terlonjak, dan melihat ekspresi masam dari wajah adikku di depan mataku.

"Eh?"

"Apanya yang "eh?"? Bukannya kakak yang minta dibangunin subuh biar bisa olahraga jam enam pagi?"

"Subuh ... apanya? Bukannya ini masih malam?"

"Ya kelihatannya pasti begitu, namanya juga subuh. Cuci muka dulu sana, aku mau bobo lagi. Kakak semalaman ngigau melulu, bikin susah bisa tidur."

Dengan protes itu, adikku keluar kamar. Kebingungan, aku memandang ke jendela, dan memang, kelihatan dari warna langitnya, subuh sudah hampir selesai.

Dan aku bakalan telat kalau tidak segera siap-siap!

Aku melompat dari dalam selimut dan langsung melesat ke kamar mandi, dan sebelum mencuci muka, aku menyadari ada sesuatu menempel di tanganku. Bulu burung warna-warni. Darimana asalnya? Ah, samar-samar, bulu ini membuatku ingat pada mimpiku tadi. Apa ya ... mimpi yang menyerampan tentang mata raksasa dan menyelamatkan anak-anak kecil dari buaya darat ... hah?

Astaga.

Kenapa bajuku bisa penuh tanah dan kotoran begini?![]

Penulis: Nagabenang | Kemudian

0 komentar