Thursday, November 22, 2012

Cerpen Horor: Dari Leher

1/

Hari itu, aku benar-benar pulang lebih telat daripada biasanya.

Perasaanku sedang jenuh-jenuhnya sesudah mengikuti acara bimbelku di Maulana Yusuf. Aku baru saja masuk SMA. Materi-materi yang sedang dibahas di sekolah masih materi-materi pelajaran yang sama dengan yang pernah dibahas di waktu SMP. Kenapa orangtuaku sebegitu memaksanya agar aku ikutan bimbel sih? Apa segitu berartinya jika anak mereka memiliki pemahaman lebih maju dibandingkan anak-anak lain?

Didorong oleh kekesalan dan rasa jenuh itu, tak biasanya, aku lalu menyusuri Maulana Yusuf ke arah selatan alih-alih utara begitu bel keluar bimbel berbunyi. Bila ke utara, aku akan sampai di terusan Jalan Diponegoro, tak jauh dari persimpangan dengan Dago, tempat aku biasanya bisa langsung menghentikan angkot menuju ke arah rumah. Tapi bila ke selatan, aku akan sampai ke persimpangan lima arah di mana rumah-rumah di sekitarnya dihuni orang-orang berduit—salah satu cabang persimpangan itu akan membawaku ke Jalan Merdeka, di mana berdiri salah satu mall paling dikenal di kota.

Aku tahu perasaanku sedang tak enak. Tapi aku tak bisa memutuskan alasan persisnya perasaanku demikian karena apa.

Aku ingat saat melintasi pagar, aku sempat dicegat oleh Zulfi dan Isfa. Zulfi, si cowok, membawa motornya, dan Isfa, si cewek, membonceng dengan mesra di belakangnya. Satu daya tarik yang dimiliki oleh pasangan ini adalah mereka tak memasang tampang bodoh yang lazimnya dipasang pasangan cowok-cewek lain yang berboncengan. Zulfi selalu memasang tampang cool, meski di mataku penampilannya yang agak kumal sama sekali tak pernah menjadikannya orang yang berkesan. Yang agak menyebalkan adalah Isfa, yang selain cantik, juga dikenal sebagai murid bertampang alim yang nilai-nilainya bagus, ditambah lagi dirinya sekaligus menjabat sebagai ketua kelasku. Sikap dingin yang mereka pancarkan terus terang seolah mereka memandangku rendah—meski aku tahu ada kemungkinan sebaliknya; mereka segan padaku untuk suatu alasan, dan itu yang mungkin menjadi alasan mereka menyapaku pada saat itu.

“Don, kamu balik ke sana?” Zulfi bertanya.

“Yo. Ada urusan dulu.” ucapku berbohong, memasang tampang datar, tak ingin kelihatan tak berwibada di mata mereka.

“Sendirian? Jalan kaki? Tiati ya.” Isfa, dari balik tatapannya yang berkacamata, seakan mencoba memberikan perhatian.

Tapi satu-satunya yang terlintas di benakku hanyalah variasi bahasa Inggris dari ‘Sumpal bacot lo, dasar cewek jalang!’ sebelum aku mengangguk tanpa suara dan mengamati Zulfi melajukan motornya kembali.

Kebanyakan anak yang habis bimbel memang cenderung bergerak ke utara. Yang ke selatan hanyalah mereka-mereka yang membawa kendaraan pribadi, seperti mobil atau motor mereka sendiri. Dasar orang-orang yang dipaksa ikut menanggung dosa pemanasan global. Jadi dengan kata lain, satu-satunya yang berjalan kaki ke arah sana itu aku.

Aku sebal dengan orang-orang yang punya tampang bagus. Dengan modal tampang doang, mereka pikir bisa seenaknya main ama lawan jenis. Aku biasa melampiaskan stresku akibat pikiran-pikiran kayak gini dengan bantuan video dan gambar yang kuunduh dari Internet. Tapi hari itu perasaanku sedang benar-benar kacau sehingga aku sama sekali tak berpikiran untuk langsung pulang.

Aku sedang benci pada diriku sendiri karena belakangan pas ngenet di rumah yang kuakses cuma situs-situs gitu aja. Melakukannya berulangkali bagi cowok jelas aja bikin lemas.

Aku butuh hiburan lain, demikian pikirku pada diriku sendiri.

Dengan suntuknya aku menyebrangi persimpangan lima itu menuju Sultan Agung, jalan potong menuju mall yang tadi kusebutkan, yang diisi beberapa distro, tempat makan, dan salah satu sekolah swasta yang bangunan-bangunan gelapnya pada jam itu telah sepi ditinggalkan para siswanya. Sebaliknya, jalanan di seberang sekolahan itu ramai oleh kendaraan-kendaraan yang hendak pulang ataupun mencari tempang nongkrong.

Gelap malam yang menjelang telah mulai diterangi oleh cahaya-cahaya lampu jalan. Terdengar suara-suara tawa orang-orang dari kejauhan.

Aku yang berjalan kaki dengan mudah melewati keramaian ini—karena yang bisa menghalangiku di trotoar paling hanyalah tenda-tenda pedagang kaki lima yang baru berbisnis di malam hari.

Tapi... kurang lebih... di sekitar sanalah aku kemudian merasa bertemu dengannya.

“Hei. Adik kamu?” Seorang cewek berjins dan kaos ketat—mahasiswi?—sesudah beberapa kali melirikku dari kejauhan, tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan tersebut pada saat kami berpapasan.

Tanpa sedikitpun menyurutkan kecepatan langkahku, aku hanya balas memandanginya, mengerutkan kening, separuh tak yakin dirinya sedang berbicara pada siapa.

Mungkin karena reaksiku seperti itu cewek itu menjadi segan untuk peduli lagi.

Waktu itu, aku sama sekali masih belum sadar.

Kurasa, kejadian itulah yang sebenarnya merupakan pertanda pertama.

Dia saat itu sudah mulai mengikutiku.

Aku sama sekali tak berpikir lebih lanjut tentang kejadian itu. Setidaknya sampai aku tiba di persimpangan lampu merah Dago-Merdeka-Martadinata yang benar-benar sedang ramai oleh kendaraan.

Saat aku menyebrangi jalan, kuperhatikan seorang wanita paruh baya—yang lagi-lagi berpapasan denganku—beberapa kali mengalihkan pandangannya dariku ke sesuatu yang di belakangku. Saking aku suntuknya, aku sampai tak menyadari beberapa pedagang aksesoris dan DVD di pinggir jalan sebenarnya melakukan hal yang sama—memperhatikanku saat aku berlalu.

Lalu mendadak saja, aku teringat akan sebuah kenangan lama.

Sewaktu aku SD, seorang teman sekelas perempuan yang aku tahu menyukaiku secara diam-diam menguntitiku dari kantin. Anak cewek itu dengan mudah bisa kurasakan keberadaannya. Aku menoleh, dan dengan kebingungan dan malu-malu ia bertanya, “Kok bisa ketahuan sih?”

Aku saat itu berbohong dengan mengatakan, “Bayangan kamu kelihatan.” meski tentu saja kebenarannya adalah karena naluriku yang sudah terasah.

Dan bersama berakhirnya kenangan itu, aku mendadak tersadar bahwa perasaan itulah yang tengah kurasakan sekarang.

Saat... kau tahu kau semestinya sendiri, padahal kenyataannya kau tak sendiri.

Aku terhenyak. Sesaat ragu apa perlu menoleh atau tidak.

Aku sebelumnya tak menyadarinya karena tengah berada dalam keramaian. Tapi... apakah ada seseorang yang tengah mengikutiku?

Saat itu, aku baru melewati hotel besar ternam yang berada di sisi mall.

Aku hendak mengambil rute memutar untuk mengambil angkot trayek lain yang bisa membawaku pulang ke rumah. Tapi untuk melalui rute itu, aku harus melewati wilayah kota yang agak gelap dengan pepohonan-pepohonan menjulang tinggi, seputaran Taman Maluku dan Saparua. Intinya—salah satu sisi kota yang gelap dengan tak banyak orang yang lalu lalang, bahkan untuk ukuran jam segini.

Tempat ideal terjadinya sesuatu yang rawan.

Aku biasanya tak begitu takut melewati tempat-tempat seperti ini. Yang mesti dikhawatirkan paling hanya orang-orang mesum dan banci.

Tapi... saat itu beda.

“...Kenapa kamu enggak sholat dulu?” Suara kecil itu terdengar dari belakangku.

Itu... suara anak perempuan.

Entah bagaimana, aku tersadar bahwa selama belasan menit aku telah tersesat dalam pemikiranku. Entah bagaimana, tahu-tahu aku telah mendapati diriku berada beberapa ratus meter tak jauh dari kompleks militer di mana mesjid terakhir di wilayah itu berada.

Pohon-pohon besar tumbuh di sekelilingku dan keberadaanku dinaungi kegelapan.

Jalanan sepi secara abnormal.

Tak ada sama sekali lalu-lalang mobil yang semestinya sesekali melintas.

Ke mana kesibukan jam pulang kantor?

Otakku seketika memperingatkan: ada sesuatu yang enggak beres. Tapi hatiku seakan mati rasa., dan ketakutan yang mungkin semestinya kurasakan anehnya tak kurasakan sama sekali.

Yang hanya terlihat sedikit bergerak hanya pendar samar-samar lampu jalan.

Pepohonan atau binatang-binatang kecil yang mungkin ada tak bergerak-gerak sama sekali.

Tak ada apapun yang terdengar selain apa yang berasal dari kami berdua.

Tak ada angin.

Gimana aku bisa sampai ke sini?

Yang ada hanya hawa dingin.

“Enggak ada gunanya. Kamu tau enggak ada artinya aku ke mesjid sekarang kalo aku belum mandi.” jawabku sekenanya.

“Kamu maksain ngelakuin itu pas jam istirahat sih. Sholat kamu jadi enggak guna kan?” Suara gadis kecil itu terdengar lagi.

Dia... bahkan sudah mengamatiku sejak sebelum aku keluar bimbel?

Keringat dinginku menetes. Jantungku berdebar kencang. Setidaknya, tubuhku sadar bahwa aku sedang berada dalam suatu situasi yang benar-benar abnormal.

Tapi pikiranku anehnya, jernih. Isi kepalaku masih tetap tenang.

“Itu bukan salahku, lah.” Aku mengelak.

Itu salah Rini pakai rok sependek itu.

Itu salah dia ngiket jaket dengan cara kayak gitu!

Aku mau enggak mau jadi harus izin ke toilet untuk melegakan diri dulu kalau mau bisa konsentrasi ke pelajaran!

Tapi sial, bahkan itupun tadi tak membuat perasaanku lebih baik!

Jadi pada akhirnya aku cuma buang-buang tisu doang!

Lalu kudengar suara gadis kecil dari belakangku itu menghela nafas.

Lalu tahu-tahu suaranya tak terdengar lagi.

Lalu bisa kudengar, dan kurasakan, angin malam berhembus kembali.

Pendar cahaya lampu mulai jalan mulai kembali seperti semula.

Dan bersama itu... kewarasanku pun kembali.

Aku terbungkuk, memegangi lututku, dengan terengah-engah.

Suara itu bukan suara yang asing.

Karena itu, benakku sampai penuh hanya terisi dengan pertanyaan berulang: Apa... yang tadi baru aja terjadi?!

Buru-buru aku lari sejauh-jauhnya dari Taman Maluku, menuju masjid di pangkalan tentara itu. Lalu tanpa peduli untuk menitipkan sepatu, aku langsung memasuki kamar kecil besar, membuka baju, kemudian dengan cepat mandi junub dengan air dingin di sana.

Ya. Begini-begini, aku tahu cara mandi junub.

Dan mengikuti nasihat gadis kecil itu, meski tanpa sabun dengan pengeringan sesudahnya, aku langsung sholat Maghrib.

Tak ada seorangpun yang memandangiku lagi selama waktu itu.

2/

“Buka baju kamu. Aku pengen ngeliat kamu enggak pake baju.”

Entah apa alasan persisnya. Tapi anak tetangga sebelah rumahku itu suka mengikuti ke mana aku pergi.

Ya, kami memang akrab di masa lalu. Tapi aku sama sekali tak punya alasan untuk akrab dengannya di masa sekarang.

Pada hari-hari terakhir saat aku bertemu dengannya, ia tengah uring-uringan karena suatu hal. Dan masalahnya itu—apapun itu, tak dikatakannya secara jelas. Entahlah. Ia bertamu ke rumahku berulang kali pada waktu-waktu itu. Seakan mengharapkanku menyadari sesuatu, entah persisnya apa.

Dan, dasar pembantu, dihadapkan pada seorang anak perempuan manis yang sedikit dekat dengan ortuku saja mereka selalu memberinya izin untuk membukakan pintu.

Menyebalkan. Menyebalkan.

Tapi menyebalkan itu biasanya tersembuhkan setiap kali aku melihat rupa sosoknya.

Mita dari segi tampang memang manis. Memang belum sepenuhnya berkembang. Dia masih duduk di kelas 5 SD! Tapi lekuk-lekuk badannya sudah mulai terbentuk. Soal muka? Kasih sedikit waktu, mungkin dia bakal cocok ikutan grup-grup kayak JKT48. Ya. Dia memang semanis itu.

...Kalau dia tak pasang muka angkuh dan mengusikku tiap hari.

Daya tarik fisik sebesar apapun, kau pasti lama-lama akan bosan juga.

Seperti itulah kasusku dengan Mita.

Kabar terakhir yang kudengar? Dia meninggal sehabis masuk rumah sakit.

Ini adalah cerita yang terjadi sekitar satu tahun yang lalu.

Perkataanku di atas adalah perkataanku yang terakhir padanya.

Dasar bocah tolol yang bisanya cuma ngeganggu orang. Mentang-mentang kamu masih anak-anak, terus kamu bisa dengan seenaknya bahagia? Terus kebahagiaan itu kamu seenaknya pamerin ke orang-orang yang lagi susah? Terus lagi, sedewasa apapun kamu pasang imej, kamu maksa pengen bisa gaul ama orang dewasa?

“Bukan! Mita bukan pengen kayak gitu!”

Ucapan itu menyambar benakku bagai seberkas kilat.

Aku tersentak, dan dengan cara seperti itulah aku terbangun dari mimpi tentang masa laluku.

3/

Sudah... berapa lama ya, aku meninggalkan dunia yang waras?

Kekacauan. Kekacauan. Segala yang ada cuma kekacauan belakangan. Kalau kupikir sekarang, yang ada cuma kekacauan semenjak Mita meninggal.

...Semenjak Mita meninggal? Apa benar begitu?

Salah. Keluargaku sudah kacau sejak dulu. Tapi semuanya bagiku memang baru mulai tak terkendali seusai pemakaman Mita.

Jadi di situlah, aku terbujur di atas tempat tidurku. Sesekali memikirkan tentang semua ilmu agamaku yang tak kugunakan. Sesekali memikirkan tentang tugas-tugas sekolah yang belum selesai. Sesekali memikirkan tentang isi rumah yang sudah terlalu lama sepi.

...Sesekali memikirkan tentang hantu Mita(?) yang kutemui kemarin.

Lehernya. Aku ingin mencium lehernya. Dari leher aku bisa berlanjut ke belakang telinga. Aku bisa menghembuskan sesuatu ke lubang di dekatnya Tangan bisa bermain sesudahnya. Dorong ke bawah. Dari sana bergerak untuk mencium yang lain.

Alur pikiranku... saat itu... adalah seperti itu ‘kan?

Sesudah kewarasanku kembali, baik pikiran maupun hatiku sudah kembali bisa bekerja secara jernih. Dan aku dengan tenang mulai menganalisis kondisi psikologis gila apa persisnya yang telah aku jalani dalam beberapa bulan terakhir.

Dosa-dosa... apa saja yang telah kulakukan? Apakah aku sempat merugikan orang lain?

Yang ada paling hanya caci dan maki yang tertumpuk tanpa terucapkan serta segudang kebencian terhadap orang-orang di sekitarku yang berakhir tak terlampiaskan. Pada ortuku, guru-guruku, teman-teman di sekolahku. Pada dunia ini. Pada sistem perbankan. Pada keputusasaan yang sudah pasti akan menanti kami di akhir zaman.

...Pada semua harapan dan pemikiran positif yang akhirnya kulepas.

Pola berpikir... ‘dari leher’ itu adalah suatu penyakit yang telah lama menghinggapiku dari SMP.

Aku masih murid teladan waktu itu. Rangkingku di kelas menempati urutan kedua. Biasanya hanya selalu berselisih satu angka dalam nilai total di rapot dengan Eno—gadis bintang kelas yang supel, cerita, suka menyanyi, dan diam-diam kupuja waktu itu.

Tempat duduk kami berdekatan. Karenanya kami sangat akrab.

Suatu hari, kancing blus seragam Eno yang paling atas terlepas. Dan Eno memperlihatkannya padaku saat ia menjelaskan mengapa kancing teratas di kerahnya tak pernah ia kancing.

Saat itu, aku melihat lehernya. Lehernya yang ramping. Lalu dadanya. Mungkin hanya sebagian. Tapi itu pertama kalinya aku melihat sesuatu itu dalam kehidupan nyata. Warna kulitnya tetap sama dengan yang di lengan, tapi seperti ada tekstur lebih lembut. Aku tak memahaminya, tapi melihatnya saja aku merasakan suatu perasaan geli. Lalu lehernya, lehernya yang tersambung dengan bahunya yang ramping...

Kayaknya akan ideal seandainya aku bisa mulai dari sana.

Dan alur berpikir sakit itu terus tertanam dalam pikiranku semenjak saat itu.

Di kelas tiga SMP, ruang kelas yang kami tempati sama sekali tak selebar biasanya, memberi tempat terbatas untuk jajaran meja dan kursi yang harus tersedia. Satu hari, aku perlu memiringkan tubuhku sedemikian rupa agar bisa melewati Agi yang sedang mengobrol bersama teman-teman perempuanya di mejanya.

Saat itu, kuperhatikan betapa tipisnya kain blus seragam yang dipakai di sekolah kami. Betapa jelasnya bisa kulihat tali yang melintang di balik blus Agi dari jarak sedekat itu. Aku tak bisa tak memperhatikan betapa rampingnya tulang bahu Agi, dan nyaris tak bisa tak menahan keinginan untuk merengkuh dadanya dari belakang dan memulai dari leher mulusnya yang tertutup rambut.

Tapi aku berhasil menahan diri.

Agak terguncang, tapi aku menahan diri, brengsek.

Agi menoleh, dan bertatap muka denganku. Jarak kami sangat dekat. Dan aku cepat-cepat pergi dari sana pada saat kami berdua masih sama-sama tersipu.

Saat itu... aku... masih belum kehilangan kewarasanku.

4/

Kurasa... aku kebanyakan membaca cerita mesum di Internet. Karena itu aku sampai mengucapkan kalimat tak termaafkan itu pada Mita. Bersama kembalinya kewarasanku, aku menyesal dan ingin meminta maaf tentangnya. Sebelumnya, dengan setumpuk kebencianku, ide ini bahkan tak terpikir sedikitpun.

Tapi kini... sesudah kewarasanku kembali....

Tidak, justru, selagi kewarasanku masih kembali, ungkapan permintaan maaf itu harus segera aku sampaikan.

Apabila kau terlalu lama terombang-ambing antara batas-batas cahaya dan kegelapan, maka lambat laun kau akan sanggup mendengar secara nyata bisikan setan. Kau akan tahu bahwa setan tengah membisikimu. Kau akan sadar bahwa setan tengah membujukmu untuk berbuat dosa. Kau akan memulai beberapa ronde permainan pikiran di mana setan berusaha meyakinkanmu untuk melakukan sesuatu dan kamu, bersenjatakan logikamu, membantah argumen-argumennya untuk menunjukkan bahwa yang benar justru adalah sebaliknya.

Masalahnya, para setan adalah ahli dalam manipulasi persepsi, dan kesabaran sangat ditentukan parameter jangka waktu. Setan mampu memainkan persepsi manusia akan aliran waktu—akan keyakinan dan kerelaan mengenai apa-apa yang mungkin bakalan terjadi—dan memutarbalikkan sifat dan keinginan tulus mereka.

Orang kayak aku enggak mungkin bisa menarik perhatian cewek.

Itulah kutukan yang setan berikan padaku.

Meski kenyataan yang ada belum membuktikan hal tersebut. Serta bahkan ada beberapa kenangan masa lalu yang bisa saja membuktikan sebaliknya.

Itulah... yang membuatku sampai nyaris memanfaatkan Mita pada waktu itu.

Itulah... yang sampai nyaris membuka gerbang berlangsungnya sebuah mimpi buruk.

Memandang ke arah bangunan rumahnya, pada saat aku mau pergi ke sekolah pada hari itu, segala pikiran itulah yang terus menghantui benakku. Dari satu segi, mungkin kematiannya yang begitu mendadak justru menjadi apa yang menyelamatkannya. Tapi aku belum juga kesampaian untuk menyampaikan permintaan maafku. Sebab, saat bercermin hari itu, di pangkal kiri depan leherku, aku melihat itu.

“Kamu... abis ama siapa?” adalah kalimat pertama yang Erwin ajukan pada malam sepulangnya aku dari bimbel itu.

Pengalaman... anehku itu nampaknya memberikan guncangan bawah sadar yang lebih dalam dari yang kukira. Meski tak sampai dibuat ketakutan, dari Taman Maluku, aku merasa keengganan luar biasa untuk naik angkot pulang dan melihat bangunan rumah Mita di dekat rumah. Kuputuskan untuk bermain ke kos-kosan Erwin dulu yang terletak beberapa ratus meter ke arah selatan di Jalan Bali.

Pertanyaan yang Erwin ajukan itu... implikasinya waktu itu sama sekali tak kupahami. Pikiranku masih belum bekerja baik saat itu. Aku hanya menjawab, “Abis ikut sholat dari mesjid. Kenapa?” dan Erwin pada akhirnya menggeleng dan tampak mengira yang mengganggu pikirannya hanyalah sesuatu dari perasaannya semata.

Aku tak pernah memberitahu Erwin alasan sesungguhnya aku sampai ikut menumpang di kamar kosnya waktu itu. Aku hanya beralasan ‘ortuku pergi meninggalkan rumah dalam keadaan kosong dengan membawa kunci, dan pulangnya agak malam, jadinya aku mesti menunggu.’ Dan sesudah jarum jam pendek di mejanya mendekati angka delapan, tanpa basa-basi aku pulang.

Tapi... setelah kupikirkan sesudahnya, reaksi Erwin terhadap kemunculanku saat itu memang agak aneh, dan baru aku terpikir akan semuanya lagi sesudah melihat sendiri itu.

Bekas tanda merah di pangkal kiri depan leherku.

Sesuatu yang menyerupai bekas cupang.

Aku memperhatikan bekas tanda itu baik-baik, dan dari sudut pandang manapun, bentuknya benar-benar mirip bekas cupang.

Aku menelan ludah.

...Dari mana tanda ini berasal? Berusaha seperti apapun untuk menyingkirkannya, bekas itu tetap ada. Untung posisinya tak terlalu kentara, sehingga masih akan bisa tertutupi oleh kerah kemeja.

Seketika aku langsung teringat akan pengalamanku dengan Eno, berpikir untuk mengancingkan kancing paling atas di kemejaku. Tapi saat mencobanya, aku merasakan suatu sensasi tercekik yang abnormal, dan akhirnya harus puas dengan merapatkannya saja.

...Sudah berapa lama tanda ini ada?

Saat tiba di sekolah, serta merta dengan suara tertahan aku menanyakannya pada Erwin.

“Hei. Kamu... kemarin nanya aku abis bareng siapa karena ngeliat ini ya?”

Pantas saja sikapnya waktu itu agak aneh.

Erwin nyengir dan membenarkan, kemudian bertanya tanda itu dari mana.

Aku bilang, “Justru itu! Aku enggak tau! Aku sendiri pengen tau tanda ini ada karena apa!”

Erwin melototiku, dengan sorot mata yang seolah mengatakan, “Yang bener aja.”

Tapi dengan tegas aku tanggapi, “Aku serius!”

Dan selama sesaat kurasa, ia sesaat menangkap raut muka ngeri di wajahku.

Jam istirahat berikutnya, aku segan untuk bertanya pada Isfa. Karena itu aku ke kelas sebelah dan separuh memojokkan Zulfi untuk menuntut jawaban.

“Kemarin sore, waktu kita papasan, kamu berdiri di hadapanku kayak gini kan? Kamu sempet ngeliat tanda ini, engga?” Aku membuka kerah kemejaku agak menyamping agar Zulfi bisa melihat secara jelas.

Zulfi benar-benar terlihat segan untuk menjawab.

“Sumpah. Kemarin jujur aku ngira itu bekas apaa gitu, mungkin karena serangga ato—sori ya—penyakit kulit. Tapi Isfa kemarin sempeng ngomentarin. Dan dia emang ngira itu bekas...”

Cupang?

“Jadi kemarin pas pulang bimbel tanda ini udah ada ya?” gumamku.

Aku ingat persis, jam pulang sekolah kemarin tanda ini masih belum ada. Aku sempat berkaca di WC cowok sebelum bel pulang.

“Emang tanda itu kamu dapet dari—karena apa?” Zulfi, agak terbata, bertanya.

“Justru itu yang pengen aku tau.” ucapku geram.

“Enggak dibawa ke UKS aja? Bisa jadi emang penyakit lho.”

Ide bagus. Dengan begitu aku bisa menutupinya dengan plester atau apaa gitu agar orang-orang yang kebetulan melihatnya tak sampai berprasangka yang aneh-aneh.

Tapi saat tiba di UKS, kudapati tak ada siapa-siapa yang berjaga. Kuambil satu plester berukuran besar dan kurekatkan seenaknya ke leherku. Lalu, merasakan suatu kelelahan yang aneh, aku mulai berpikir betapa enaknya jika aku bisa berbaring di saah satu tempat tidur di sana untuk sebentar saja...

5/

Aku tak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Tapi saat aku tersadar, aku bermimpi lagi. Di tempat tidur satunya yang dibatasi dengan tirai putih, aku merasa ada orang lain yang juga sedang terbaring di sana.

“Yang ngasih Kakak tanda cupang itu Mita loh.”

Lagi, aku mendapati diri dalam keadaan terbujur kaku, tanpa yakin apa persisnya harus berpikir apa.

Lagi, suara anak perempuan yang kukenal. Datang dari balik tirai di sisiku itu.

“Kayak gitu ‘kan yang Kakak suka? Mulainya dari leher?”

Diam. Diam. Diam. Diam!

Kamu sebenernya enggak ada! Aku tahu aku belum minta maaf. Tapi kamu udah mati ‘kan?

“Enggak apa-apa kok. Enggak usah minta maaf. Emang Mita yang salah karena malah berusaha melibatkan Kakak yang enggak ada hubungan apa-apa.”

Enggak. Enggak! Jangan ngomong gitu!

Keringat dinginku kembali mengalir. Meski aku berusaha, kali ini aku sama sekali tak bisa bergerak.

“Mita malah langsung nangis dan enggak dengerin dulu alasan Kakak ngomong gitu waktu itu. Jadi buat minta maaf, Mita kasih tanda cupang satu dulu itu aja ya. Heheh.”

KAMU  NGOMONG APA!

Aku benar-benar serasa ingin berteriak.

Aku tak habis pikir, bagaimana bisa reaksi Mita yang kukenal seperti ini?

Enggak. Aku enggak serius waktu itu.

Enggak. Kamu enggak usah ampe buka baju!

Enggak. Aku enggak pengen ngedenger kamu ngatain hal-hal kayak gini lagi!

“Apa boleh buat. Soalnya, Mita suka Kakak sih. Apapun yang Kakak minta, nanti Mita bakal berusaha kasih. Emang Mita masih kecil sih, karena itu, Mita beneran kepengen kepengen kepengen bisa cepet dewasa dan nyusul Kakak.”

Seluruh tubuhku bergetar. Otot-ototku kini telah terlibat dalam upayaku memberontak dari situasi ini. Tapi hasilnya sia-sia.

“...Soalnya, sejak dulu cuma Kakak yang selalu nolong Mita sih.”

Dan sekali lagi, aku terbangun.

Apaan itu tadi!?

Aku gemetar.

Kembali, aku mendapati diriku terbaring di salah satu tempat tidur UKS sekolah. Hari sudah menjelang siang. Menilai dari suasana di lorong, kupikir jam pelajaran masih berlangsung. Serta merta aku bangkit, duduk, dan memegangi dadaku yang berdebar kencang.

Apaan itu tadi?!

Apa pada akhirnya enggak ada siapa-siapa yang datang ke UKS?

Apa aku baru aja ketindihan? Sleep paralysis?

Lalu... itu mimpi apaan?

Cepat-cepat kuperiksa tempat tidur satunya di sisiku.

Kosong.

Sial. Siaal. Siaaaaaaaaaaaaaaaaaal!

Ada Mita di dalam mimpi itu. Lalu ia mengucapkan kata-kata yang aneh!

Padahal aku bukan pedofil.

“Ahaha. Tapi Kakak ‘kan emang udah enggak lagi nganggap Mita seabagai anak-anak ‘kan?”

Dan tiba-tiba mendengar suara ceria itu lagi, yang berasal entah dari mana di dekatku, aku mengawasi sekelilingku dengan hati-hati, dan meninggalkan UKS.

6/

Kewarasanku lagi-lagi kembali. Aku sakit kepala.

Aku tak bisa konsentrasi sama sekali pada sisa jam pelajaran yang ada.

Aku tahu aku habis tidur, tapi bukannya merasa segar, aku justru merasa capekku bertambah.

Aku harus minta maaf.

Hanya itu yang terus berulang dalam benakku.

Aku harus minta maaf karena pernah hampir menelanjanginya.

Di dunia ini ada dua jenis dosa. Dosa yang melibatkan orang lain dan dosa yang hanya melibatkan dirimu sendiri. Dosa terhadap orang lain takkan bisa diampuni—sekeras apapun kamu memohon ampunan pada Tuhan—selama orang yang bersangkutan belum memberikan maaf.

Itulah jenis dosa yang kutanggung saat ini.

Satu-satunya dosa jenis ini dari sekian banyak dosa pribadi yang kutanggung saat ini.

Setelah bertahun-tahun, di bawah cuaca yang mendung, aku akhirnya mendatangi rumah Mita lagi. Aku tak bisa mengingat seperti apa rumah itu dalam keadaan normal. Yang terus terbayang hanyalah kondisi rumah itu pada hari pemakaman Mita, saat mobil-mobil dari berbagai kalangan berjejer dan orang-orang, baik tua maupun muda, berkumpul; diiringi suara isak tangis yang sesekali terdengar dari kejauhan.

Aku memegangi kepalaku. Berusaha memberanikan diri.

Tapi setelah sampai di bel depan pintu, barulah terlintas dalam benakku: Tunggu sebentar. Alasan Mita meninggal itu karena apa lagi?

Detil tentang kejadian itu entah bagaimana hanya tersisa samar-samar dalam kepalaku.

Dengan meringis aku malah mengingat bagaimana aku bersyukur karena anak perempuan itu pada akhirnya takkan menggangguku lagi. Terserah orang mau salah paham soal hubungan baik di antara kami.

Maka dari itu, saat dengan terkejut kudapati ayah Mita yang membukakan pintu, selama sejenak, aku terbata. Ternyata beliau ada di rumah; biasanya beliau sibuk sebagai seorang dokter. Kata-kata yang semula sudah kupikirkan tahu-tahu menghilang dari benakku. Lalu bapak Mita itu hanya memandangiku dengan ekspresi dingin.

“Ng, ini soal Mita...” Aku memulai.

“...Kamu tahu ya?”

“Hah?”

“Kamu tahu soal Mita ‘kan?” ulang bapaknya lagi.

Aku kebingungan. Berdebar. Apakah yang dimaksudnya adalah soal apa yang telah kulakukan pada Mita? Lalu sebelum aku sadar, tahu-tahu pergelangan tanganku telah dipegangnya erat dan aku diseretnya ke dalam mobilnya yang terparkir di depan rumah.

“Ikut aku.”

Dengan patuh aku mengenakan sabuk pengaman.

Lalu seperti itulah aku kemudian dibawa ayah Mita ke suatu tempat.

Pertanyaan apapun yang aku ajukan, beliau sama sekali tak menjawab.

Lalu saat berikutnya aku sadar, di bawah langit berguruh yang sesekali berkilat di kejauhan, bersamanya aku sedang menggali kuburan Mita di tanah pemakaman yang sudah ditinggalkan orang.

Apa-apaan ini?

Kenapa kita sekarang berada di sini?

Apa yang...?

Aku ketakutan setengah mati. Tapi aku tak berdaya menghadapi ayah Mita yang matanya berkilat-kilat setiap mengatakan, “Kamu pengen ketemu Mita? Kamu pengen ketemu Mita, ‘kaaaan!?”

Lalu sesudah lubang yang kami gali cukup dalam, rintik-rintik hujan bagai kabut dengan pelan mulai berjatuhan. Dengan terkesima aku melihat bahwa keadaan jenazah Mita masih utuh dan baik sekalipun setahun telah berlalu semenjak kematiannya.

Lalu, meski sukar kupercaya, aku melihat dahi jasad Mita agak berkerut, saat dengan perlahan ia membuka mata. Kemudian melihatku, ia terpana dan tersenyum.[]

Penulis: Alfare | Kemudian

0 komentar