Kantor dengan cat interior berwarna putih pucat inipun masih sama. Dingin seperti kamar mayat, entah bagaimana karyawan yang setiap hari ada di sini bisa betah dengan warna ruangan seperti ini. Ini akhir pekan dan tanggal merah pula. Seperti biasa, aku harus bekerja di hari-hari seperti ini. Ruangan redaksi terlihat lengang, harian pagi lokal hari ini berhamburan di lantai, sudah jadi kebiasaan sang wartawan setelah membaca koran, ia lalu meletakanya di lantai dengan lembaran setiap halamannya yang tak runut lagi. Ruangan ini benar-benar dingin, pendingin ruangan di sini nampaknya tak pernah dimatikan berabad-abad sudah. Mas Ber sepertinya sedang meliput berita di luar.
Aku meneruskan langkahku menuju pantry, mengambil segelas air lalu ke ruanganku untuk membuka komputer tua yang loadingnya lama betul. Saking lambatnya, bermain game di Facebook saja komputer ini tak sanggup. Baru aku duduk sebentar di ruangan yang sempit ini, telepon sudah berdering. Setelah, selesai dengan telepon pertama. Telepon ini berbunyi lagi. Total dalam jangka waktu sepuluh menit sudah ada tiga telepon dari agen koran yang meminta penambahan jatah koran untuk besok. Agen-agen itu nampaknya sudah tau apa yang akan aku lakukan di hari libur seperti ini dikantor. Begitu jam dinding menunjukan angka 5:15 teng. Mereka akan berlomba-lomba menelepon ku. Karena beberapa jam kemudian sudah memasuki maghrib dan setelah shalat maghrib aku akan keluar untuk mencari makan malam, setelah makan malam kemungkinan yang pasti terjadi adalah aku akan tertidur hingga waktu tepat jam 11.00 malam. Jadi kesempatan ini tentu mereka manfaatkan untuk menghubungi ku dikantor.
7:30 malam. Apes sungguh apes, diluar hujan dan ya, aku tak bisa mengisi perutku ini dengan nikmatnya nasi goreng kambing langgananku malam ini. Saat seperti inilah mie instant adalah barang yang begitu mewah dikantor ini. Makanan yang menjadi sang messiah ku dari kelaparan. Aku menuju pantry lagi, merebus mie didalam sebuah wajan yang dipanaskan melalui tenaga listrik. Wajan ini milik mas Ber, jika wartawan itu tau ada seseorang yang menggunakan wajan kesayangannya ini maka sudah dapat ditebak nasib orang tersebut. Dia akan mendapat kultum tak henti-henti dari sang wartawan. Hujan menambah dingin seluruh ruangan dikantor ini. Aku keruangan mas Ber. Menutup ruangannya dan mematikan pendingin ruangan yang tak pernah ia matikan itu. Ya, menurutku sangat mustahil jika ia kembali lagi kekantor ditengah hujan yang kemungkinan tak akan reda hingga besok pagi ini, dia pasti akan segera kembali kerumah usai meliput berita malam ini.
Aku benar-benar merasa kesepian saat ini. Beberapa tahun lalu saat pindah kekantor ini, sudah sering terdengar isu adanya sosok misterius di perpustakaan. Kantor ini memang dilengkapi dengan perpustakaan dan ruangan perpustakaan itu terletak tepat sebelum ruangan ujung yaitu pantry. Beberapa kali aku membaca buku sampai ketiduran disana. Ruangan itupun sama seperti halnya seluruh ruangan dikantor ini, dingin oleh pendingin ruangan yang berkekuatan 2pk. Ketika memasuki ruangan itu kita disuguhi sebuah foto seorang laki-laki tua yang berukuran sangat besar. Entah foto siapa itu, namun pernah kudengar dari penjaga kantor ini bahwa foto itu adalah foto ketua redaksi pada tahun 1989-1993. Orang tua didalam foto itu wafat karena serangan jantung diruangannya yang kebetulan duatahun berselang ruangannya disulap jadi perpustakaan mini oleh pimpinan umum. Foto beliau dibiarkan berada disana sebagai bentuk sebuah penghormatan. Untuk selanjutnya ruangan ini layaknya perpustakaan pada umumnya, dipenuhi rak-rak buku tinggi dan besar berjejeran dari ujung hingga ujung, ditengah-tengah terdapat satu buah meja kayu dan dikelilingi empat buah kursi yang terbuat dari kayu pula. Suatu ketika aku pernah tertidur diruangan itu ketika membaca sebuah buku berjudul “Boy from Amazone”. Pendingin ruangan disini memang agak sedikit beda, karena memang sudah tua maka untuk menghidupkan pendingin ruangan harus menekan tombol yang dibuat sendiri oleh pihak perlengkapan kantor. Bentuk tombolnya sama seperti tombol lampu, yang jika ditekan maka akan menimbulkan bunyi tik.tek.tik.tek. Orang-orang dikantor ini sudah tidak ada yang pernah ingat meletakan remotnya dimana. Jadi pilihan membuat tombol seperti itu memang lah sebuah keharusan.
***
Februari 2008. Ketika itu aku tengah asik membaca buku yang sangat tebal hingga aku tak sadar dan tertidur diperpustakaan. Ketika aku tidur dan ingin bangun (antara sadar dan tidur). Aku dengan jelas mendengar tombol itu berbunyi, tik.tek.tik.tek.. saat aku bangun bunyi itu sudah tidak ada lagi, dan ketika kuarahkan mataku menuju jam dinding berwarna coklat disalah satu dinding diruangan ini, angkanya menunjukan pukul, 12.03 malam. Selarut ini tentu sudah tidak ada lagi karyawan yang berada dikantor ini kecuali aku. Saat itu aku bergegas pulang tanpa pernah menoleh kebelakang.
***
Malam ini hujan sepertinya benar-benar tak bersahabat, ya, hujan selalu bisa jadi apa saja bukan? Kadang dia bisa mewakilkan perasaan cinta dua pasang kekasih yang sedang kasmaran, hujan juga bisa melambangkan kesedihan masa lalu, pernah aku membaca sajak yang salah satu baitnya mengisahkan bagaimana hujan menggenang dan genangan itu menyeruakan kenangan perpisahaan antara penulis dan seseorang yang misterius. Hujan bisa menjadi anugrah besar bagi para petani yang dilanda kemarau panjang, hujan juga bisa menjadi musuh jika dia turun dengan curah sangat besar yang melebihi kapasitas penyerapan air di wilayah yang diguyur hujan tersebut. Hujan juga melambangkan keindahan, hujan juga melambangkan suasana mengerikan atau mencekam, daerah yang sepi dan sangat sunyi sehabis hujan biasanya akan menimbulkan suasana yang mencekam. Dan bagiku saat ini pendapat terakhir tentang hujan sangat tepat, bukan sesudah hujan tapi saat hujan berlangsung disertai guntur seperti inilah suasana jadi sungguh mencekam.
Kiengekkkk…treettt..bRAAKKk!! Pintu ruang tamu yang terletak paling depan berbunyi, hal itu sontak mengagetkan ku. Aku menelan ludah, kepala ku terangkat jauh dari kerah baju ku, bulu roma ini sekejap berdiri layaknya sensor yang mengatakan ada sesuatu yang mengerikan didepan sana. Aku menggengam handphone ku, coba memberanikan diri melihat siapa yang datang. Akupun berjalan menyusuri koridor, lampu koridor dikantor ini jika malam memang tak pernah dinyalakan, ini karena bos ku yang begitu pelit, menurutnya sedikit cahaya dari ruangan ku dan ruangan redaksi sudah cukup untuk membuat siapa saja yang berjalan bisa melihat dengan baik. Memang, siapapun yang mau melalui koridor utama akan bisa berjalan dengan baik di tengah jalan dengan cahaya temaram dari ruangan lain. Namun itu sangat bodoh karena membuat suasana menjadi menyeramkan. Bahkan pernah dia kekantor ketika malam dan saat ingin kebelakang, dia meminta ku menemaninya. Dia saja takut pergi kebelakang disaat ada banyak orang diruang tamu, apalagi aku yang kadang sendiri jika mas Ber pergi meliput seperti malam ini.
Aku sampai diujung koridor kini tinggal menolehkan kepala ku keruang tamu yang juga gelap ini, ada sosok yang bergerak disana, jantungku berdetak cepat, saking cepatnya seperti sebuah mesin pembangkit yang melebihi kapasitanya dan sebentar lagi akan meledak. Dari kegelapan itu terlihat pergerakan, seseorang disana mendekat kearahku dan semakin mendekat. Dan akhirnya…
“huwaaaaa!! ternyata kamu Rendy, aku pikir tadi hantu, putih-putih”
“yee, yang ada aku yang mikir kalau kamu itu yang hantu yat”
“hahaha masa orang keren kaya si dayat anak juragan kayu kaya aku ini mirip hantu, kamu tuh malam-malam begini pakai baju putih udah kaya kuntil anak aja”
Sosok yang kusangka adalah sosok misterius yang ada dikantor ini dan belum pernah akau lihat itu ternyata adalah Dayat. Dayat adalah orang dari bagian percetakan, jika komputer di percetakan rusak maka mereka akan datang ke kantor redaksi dan sirkulasi untuk melakukan mutasi jatah koran untuk para agen besok. Cukup lama Dayat disini sekitar satu jam. Dengan kehadiran Dayat setidaknya suasana mencekam itu pecah menjadi suasana jenaka. Tak lama Amang datang, beliau adalah penjaga kantor ini. Ia mendedikasikan hampir seumur hidupnya bekerja bagi perusahaan harian pagi lokal ini, “saya sudah sejak lulus SMP disini de, saya sudah terlanjur cinta dengan gedung dan kesehariaan disini” ucap Amang saat kami saling mengobrol beberapa tahun lalu setelah kantor saya pindah ke gedung ini.
“de Rendy, nanti ada perbaikan genset sekitar ya 30 menit lah, jadi jangan panik”
“oh, baik pak, memangnya rusak mesinnya ya pak?”
“bukannya rusak, hanya saja mesin yang biasa dipakai lagi diperbaiki, jadi mesin yang kedua lah yang dipakai dan mesin yang kedua ini harus di istirahatkan sekitar satu jam biar tahan sampai subuh de”
“oh, mangga atuh kalau begitu, emm kira-kira jam berapa pemadamannya pa?”
“10 menit lagi de, oh iya kalau lampu mati nyalakan saja lampu bertenaga batrai ini, dan ingat ya de Rendy, jangan sesekali kamu masuk keperpustakaan”
“ok pak, tapi pak masalah saya tidak boleh keperpustakaan memangnya ada apa pak didalam sana kalau mati lampu? karena setiap malam saya biasa kesana pak buat baca buku atau tidur”
“lah santai saja, gak ada apa-apa, pokoknya jangan sampai de Rendy ini masuk kesana, ok?”
“ok lah kalau begitu saran bapak”
Amang pun keluar, bersamanya Dayat yang juga ikut keluar, Dayat harus bergegas ke percetakan guna mengirm data output yang sudah ia ambil dari kantor sirkulasi ini. Seperti perkataan Amang, sepuluh menit setelah dia keluar lampu diseluruh gedung ini padam, gedung berlantai lima ini sekejap menjadi gelap gulita. Akupun menyalakan lampu yang diberikan Amang dan kembali keruanganku. Baru aku mau membelokkan kakiku menuju ruanganku, aku teringat mie instant yang ku rebus sedari tadi di pantry. Aku pun bergegas menuju pantry, dan ya, sudah bisa ditebak mie yang ku rebus itu lodoh alias bengkak, dan akhirnya malam sial ku yang gelap dan dingin ini bertambah kesialannya setelah harus kunikmati mie yang benar-benar tak nikmat ini. Ada perasaan yang mengganjalku ketika aku menyantap mie lodoh ini. Ini tentang peringatan Amang yang melarang ku masuk keperpustakaan jika lampu sedang padam. Apa yang sebenarnya ada didalam sana saat lampu sedang padam seperti ini.
Makan malam ku sudah berakhir dan kini aku punya waktu senggang yang banyak hingga jam 11 nanti, dan sekarang jam masih menunjukan angka 8. Masih ada sekitar tiga jam lagi sebelum jam kerja ku berakhir, namun ditengah hujan deras atau bisa dibilang badai ringan ini, sudah dipastikan aku tak akan pulang kerumah malam ini. Lampu belum juga menyala dijam 10. Amang barusan menelpon ku dan mengatakan perbaikan ini kemungkinan akan memakan waktu lebih lama lagi. Aku kembali ke dalam pantry dan menikmati batang demi batang rokok ku dengan ditemani sedikit cahaya terang dari lampu bertenaga batrai yang diberikan Amang kepadaku. Lagi, perasaan penasaran datang mengerogoti kepalaku. Tentang apa yang terjadi jika aku memustuskan masuk dan membaca buku didalam sana. Entahlah semakin lama aku duduk merenung dengan belasan batang rokok ku malam ini semakin besar pula keberaniaan dan keingin tahuan ku akan sesuatu hal didalam perpustakaan. Hingga pada akhirnya kuputuskan untuk masuk kesana.
Langkahku kupelankan bahkan menjinjit layaknya pasukan Ras’Al gahul, pasukan bayangan musuh dari Batman yang biasa berjalan tanpa menimbulkan suara dan membunuh orang-orang dengan keadaan senyap. Ku buka pintu perustakaan dengan perlahan, pintu itu berderit pelan, kubuka sedikit-demi sedikit hingga terbuka seluruhnya. Hawa yang aneh menyambutku didalam sana aku langsung masuk dan berbelok kearah kursi ditengah-tengah rungan, aku biasa menaruh buku yang belum selesai kubaca di laci dibawah meja itu. Namun saat aku coba menemukannya dibawah sana, buku itu sudah tidak ada, menurutku tak ada satu orangpun dikantor ini yang mau membaca buku setebal itu. Aku pun memutuskan mencek keberadaan buku itu dibarisan lemari depan, dikolom novel. Letaknya tepat disebelah foto besar itu. Aku berbelok dan cahaya lampu memantulkan kilauan cahaya dari kaca bingkai foto besar itu. Namun ada yang aneh ketika cahaya itu tepat fokus pada foto laki-laki tua didalam foto itu. Seingatku sejak pertama kali pindah foto itu berfose tegak seraya tersenyum tipis kedepan. Namun percayalah!! yang saat ini ku lihat foto itu mengerutkan keningnya, sorot matanya tajam kedepan seakan mengancam seseorang yang dilihatnya sambil berkata, “jangan mendekatiku!” Foto itu terus menampakan ekspresi seperti itu hingga sekelebat cahaya datang dan menyilaukanku.
Lama setelah sekelebat cahaya itu datang dan mengejutkan ku. Aku tak sadarkan diri dibuatnya. Kali ini mataku mencari setitik cahaya dalam gelap. Lagi, lama aku menunggu, sampai nyala lampu mengejutkanku, dan cahaya lampu yang baru saja menyala itu benar-benar membuat mataku sakit, benar-benar sakit. Rasanya seperti biji cabai yang tiba-tiba masuk kedalam mata saat sedang menggulek sambel. Benar-benar pedih dan sakit. Lama aku beradaptasi hingga benar-benar mata ini bisa melihat seperti biasa lagi. Aku merasa panas, gerah dan sangat haus. Aku memutuskan pergi ke pantry untuk mengambil segelas air putih. Namun ketika aku mau menggerakan tubuh ku dan kakiku. Semuanya terasa berat, kaku, mati rasa dan.. Ya, teapat! tubuhku tak bisa digerakkan saat ini. Tubuhku mati rasa, seperti separuh tubuhku dikubur didalam tanah sekarang. Aku menggeram, ingin berteriak namun mulutku tak bisa dibuka, mulutku hanya diam pada gerakan senyum tiga inchi. Semua ini melelahkanku. Tiba-tiba kudengar langkah kaki dari kejauhan, langkah kaki itu semakin dekat dan semakin dekat. Hingga benar-benar dekat dan sejurus kemudian nampak Amang dan senyumannya masuk kedalam perpustakaan. Aku ingin memanggilnya namun aku tak kuasa, aku berharap dia akan mendekatiku. Ya, tepat dia mendekatiku, namun apa yang terjadi, Amang membungkuk dan coba membangunkan seseorang dibawah ku berdiri.
“De Rendy, bangun de baca buku sampai ketiduran”
“eh bapak, ia pak, aku ketiduran”
Waktu seakan berhenti atau memang sudah berhenti saat ini. Suara itu, suara yang tepat dibawahku itu persis seperti suaruku. Sosok berbaju putih yang ada dibawahku itu bangun dan, YA AMPUN! orang itu adalah aku. Wajahnya, suaranya, kerut wajahnya, semuanya benar-benar sama. Dia, orang itu benar-benar aku. Tak lama Amang dan dia yang mirip aku itu berjalan keluar.
“ayo de Rendy kita keluar”
“iya pak, mari, anu pak biar saya saja yang menutup ruangan ini”
“oh, iya silahkan”
Mereka berdua berjalan menuju pintu, Amang lebih dulu keluar, dilanjutkan aku, maksudku orang yang mirip aku itu. Sebelum menutup pintu perpustakaan, seseorang yang mirip aku itu tersenyum begitu liciknya kearah ku dan mematikan lampu seraya menutup pintu. BRraaakkk! pintu tertutup suasana gelap dan mata ini berat sekali dan kelamaan aku pun tertidur, ketika aku bangun aku mendapati diriku tertidur dimeja perpustakaan dengan lampu bertenaga batrai yang diberikan Amang, syukurlah ternyata ini hanya mimpi. Namun apa ini, tubuhku tiba-tiba bergerak sendiri, tubuhku tak bias ku control, lalu kejadian itu seakan terulang. Aku membawa lampu bertenaga batrai mendekati lemari buku didekat foto besar. Kemudian sekelebat cahaya datang dan membuatku tak sadarkan diri. Dan aku kembali kedalam foto itu. Aku menjadi foto itu diam dan ketika melihat cahaya, mata ku langsung saja pedih dan terasa begtu sakit. Aku bangun kemudian melihat kejadian yang sama berulang-ulang seperti sebuah siklus tanpa henti, sebuah lingkaran cincin yang tak ada ujungnya. Aku benar-benar lelah.
Di jeda sesaat aku bangun dan mendapati diriku tergeletak dimeja perpustakaan aku mengambil kertas dan pulpen yang selalu ada disaku seorang Administrasi seperti ku ini, aku menuliskan “ini aku Rendy, aku ada didalam foto, siapapun percayalah! Tolong aku!” Aku kemudian menyelipkan kertas berisi pesan itu kesebuah buku tebal dengan judul Boy from Amazone sebelum akhirnya aku kembali agi masuk kedalam foto dan terus mengulang kejadian itu seperti sebelumnya.[]
Penulis: Reizy Bulu
0 komentar