Thursday, November 22, 2012

Cerpen Horor: Jari dan Mata

Gadis kecil itu menjerit, memekik keras membelah malam. Aku mengernyit, bisa kubayangkan sesakit apa yang dia rasakan. Jari telunjuknya —aku menatapnya ngeri— di potong dengan tang potong tua karatan. Darah segar berwarna merah tua menetes-netes ke lantai kayu. Jarinya yang terpotong tergeletak di sana, di samping kaki kursi yang sedang di dudukinya, terbalut merahnya darah.

Dengan ragu kutatap wajah gadis kecil yang terikat di kursi itu. Air mata mengalir deras dari sudut-sudut matanya.

Aku memalingkan wajahku saat sekali lagi, kali ini jari tengahnya, di potong dengan tang potong yang sama. Gadis itu seketika menjerit lagi, sangat keras. Bergema ke seluruh sudut ruangan. Dadaku bergemuruh, tak percaya dengan apa yang kulihat.

Mengerikan! Aku tak percaya dia sanggup- Ah! Dia! Mau berapa jari lagi yang dia mau-

"Aaaaaahhhhhhhhhh!"

Sekali lagi jari gadis itu dipotong tanpa perasaan. Kali ini jari manisnya. Seperti tadi, potongan jari itu jatuh ke lantai. Melihat itu, keringat dingin memenuhi seluruh tubuhku.

Apa dia berniat... Memotong seluruh jari tangannya?

Aku memejamkan mataku kuat-kuat saat tang potong tua itu di arahkan lagi ke jari tangan gadis itu. Aku tak sanggup melihatnya lagi. Suara 'krak' pelan terdengar diikuti raung kesakitan gadis itu. Kugertakan gigiku dengan keras.

"Kumohon hentikan!" teriakku tak tahan. Laki-laki itu menatapku, aku menutup mataku tapi aku bisa merasakannya. Dia mendengus menghina. Aku yakin dia sedang menyeringai menatapku dengan tatapan merendahkan.

Jantungku serasa meloncat saat tang potong itu ditempelkan ke leherku. Seketika kedua mataku terbuka lebar.

Leherku terasa basah... Darah?

perlahan gunting itu bergerak ke pipiku kemudian menyentuh telingaku. Dinginnya besi tang itu serasa menyengat seluruh tubuhku. Membuatku tak bisa mengerakan satu pun bagian tubuhku.

"Perhatikan baik-baik atau telingamu kupotong," bisiknya tepat di telingaku. Aku bergidik, merinding tak karuan. Dia menyeringai. Gigi-giginya tampak mengkilat dalam kegelapan. Aku tak bisa melihat wajahnya. Kegelapan malam membuat wajahnya tak tampak.

Dia berjalan mendekati gadis itu lagi. Aku melihatnya seperti dalam adegan film yang diperlambat. Detik demi detik itu bergerak sangat lambat. Aku bisa melihat dengan jelas saat laki-laki itu mengangkat tangannya ke udara. Lalu dengan satu hentakan keras tangannya yang menggenggam tang potong itu meluncur. Detik itu aku tahu, apa yang sedang dan akan terjadi. Namun tubuhku tak bisa bergerak secepat pikiranku. Aku hanya bisa terdiam di tempat saat ujung runcing tang potong itu dengan kuat dia tusukan ke mata kiri gadis kecil itu.

"Aahhhhhhhhhhh!!" aku berteriak, histeris, tersentak di atas ranjang. Tubuhku yang terbungkus kaos dan selimut, basah oleh keringat. Jantungku berpacu sangat cepat seperti saat setelah lari sprint.

"Mimpi..." gumamku lega. Kuhembuskan napas panjang penuh kelegaan. Dengan lembut kuhempaskan kembali tubuhku ke atas ranjang, berusaha menenangkan diri. Bayangan bola mata yang meledak hancur barusan masih belum hilang dari pikiranku.

Ini ketiga kalinya di minggu ini aku bermimpi seperti itu. Tapi anehnya, belakangan ini aku tak pernah nonton film horor atau sejenisnya. Lagipula aneh sekali aku bermimpi seperti itu padahal aku belum pernah melihat adegan seperti itu sebelumnya. Tidak sekali pun. Tidak juga dalam film. Lalu kenapa?

Kutatap langit-langit kamar yang putih. Perlahan aku sudah mulai tenang. Pikiranku juga mulai bisa berpikir jernih. Saat itulah aku tiba-tiba ingat kejadian sebulan yang lalu. Meski aku tidak yakin ini ada hubungannya atau tidak, aku dan temanku Giver melakukan uji nyali sebulan yang lalu. Kami mendatangi kuburan di sudut kota pada tengah malam dan iseng mencoreti batu nisan kuburan yang paling baru dengan kalimat I'm Idiot.

"Huh?"

Apa hanya perasaanku saja? Barusan sepertinya ada seseorang berbaju putih di dekat pintu. Seperti sesosok gadis kecil. Tubuhku seketika merinding.

Ah... Jangan konyol. Buru-buru aku menggelengkan kepalaku. Kurasa aku masih terpengaruh mimpi barusan.

Saat aku hendak bangkit dari ranjang, telepon genggamku yang ada di atas meja bergetar. Segera saja kuraih dan ternyata ada pesan baru. Dari Giver.

Bagaimana caramu membunuh seseorang yang paling kau benci? :p

Aku tersenyum tipis. Kamu tidak salah baca, itu memang apa yang ditulis Giver. Ini memang aneh tapi kami suka bercanda dengan cara seperti ini sampai ke titik ekstrem.

Kemarin dia bertanya, 'Aku menabrak orang, apa yang harus kulakukan?'

Aku menjawab dengan enteng, 'tabrak sekali lagi barangkali dia masih hidup.'

Seperti itulah. Ini mungkin memang bukan candaan yang lucu tapi ini menyenangkan. Aku serius, kalau tidak percaya coba saja sendiri.

Akan kupaksa dia minum bensin lalu kubakar mulutnya.

Seperti itulah aku menjawabnya. Aku tersenyum, rasanya semua kecemasan karena mimpi buruk tadi hilang berkat kekonyolan Giver dan diriku sendiri. Dengan santai sambil bersiul-siul aku melangkah ke kamar mandi.

***

Aku termenung di bangkuku. Guru yang berbicara di depan kelas kuacuhkan. Tak satu kata pun darinya yang masuk ke dalam otakku. Pikiranku sibuk oleh sesuatu yang lain.

Aku merasa ada yang mengawasiku. Entah itu saat aku berjalan di lorong kelas, atau saat aku ke kamar kecil. Aku juga merasakannya saat aku berjalan pulang dari sekolah. Bahkan sekarang pun aku merasakannya. Apalagi setiap kali aku sendirian, perasaan sedang diawasi oleh seseorang itu semakin kuat. Terutama dari arah belakang. Namun begitu aku menengok di sana tak ada siapa pun. Hanya ada aku sendirian. Meski terkadang sekejap tampak sesuatu yang berwarna putih.

Tidak ada yang namanya hantu, atau itulah yang kuyakini selama ini. Namun keadaan ini mulai membuatku ragu. Ada sesuatu yang mengawasiku. Dan dari bulu kudukku yang berdiri setiap kali itu terjadi, aku hanya bisa menyimpulkan ada sejenis makhluk gaib yang menempel padaku.

Jangan-jangan arwah dari pemilik kuburan yang kutulisi tempo hari itulah yang menghantuiku? Tidak mungkin! Konyol sekali. Tapi... Seandainya, ini hanya seandainya, itu benar, apa yang harus kulakukan?

"Kamu baik-baik saja?" tanya teman sebangkuku Vena tiba-tiba membuatku terkejut.

Aku tersenyum kaku, "Apa maksudmu?"

"Beberapa waktu ini kamu sering melamun dan terlihat stress. Apa ada masalah?" tanyanya tampak khawatir.

Aku menggeleng.

"Benarkah?" katanya dengan nada tidak percaya.

"Ya," jawabku seketika. "Aku hanya mendapat mimpi buruk belakangan ini."

"Mimpi buruk?" ulangnya tampak tertarik.

"Ya... Tapi bukan apa-apa," jawabku berusaha menghindar.

"Mimpi apa?" tanyanya.

Aku menggeleng, engan bercerita.

Vena tersenyum, "Ayolah ceritakan padaku..."

Aku mendesah.

"Bukan hal yang penting," ucapku kemudian. "Aku bermimpi melihat sejenis pembunuhan..."

"Pembunuhan?" ulangnya takjub.

"Yeah... Jangan tanya detailnya, aku sedang malas cerita," ucapku berusaha menghentikan pembicaraan.

"Begitu..." katanya dengan nada kecewa. Beberapa saat kemudian dia tampak menyadari sesuatu. "Hey, apa mungkin karena ayahmu?"

"Aku tak ingin membicarakan itu," ucapku cepat-cepat.

"Ups... Maaf..." Katanya tersenyum tipis.

Kualihkan pandanganku darinya. Saat itulah sekelebat aku merasa ada sosok putih di luar. Seketika aku menengok, tampak di jendela pohon besar yang tumbuh di pekarangan sekolah. Namun di sana tidak ada siapa-siapa.

***

Dengan lemas aku menyusuri lorong sekolah menuju ke toilet di ujung lorong. Perasaan sedang diawasi terasa semakin kuat meski ada beberapa siswa lain di sana. Kupercepat langkahku. Ini mengesalkan. Jika tidak kebelet ingin buang air aku akan langsung pulang. Aku merasa lebih tidak tenang saat berada di sekolah. Mungkinkah karena isu adanya hantu di sekolah? Entahlah...

Setelah buang air aku membasuh mukaku beberapa kali untuk menenangkan diriku. Saat itulah aku menatap ke cermin. Aku melihat wajahku sendiri. Tapi tampak wajah wajah lain di sampingku. Wajah seorang gadis kecil dengan mata kiri yang hancur. Seketika aku menengok dengan panik namun yang tampak hanyalah stal dengan pintu terbuka. Tak ada siapa-siapa di sana. Saat kutatap cermin itu lagi, yang terlihat hanyalah wajahku yang tampak menyedihkan.

Aku terperanjat saat tiba-tiba air mengalir dari keran di sampingku. Tanpa berpikir segera saja kutinggalkan tempat itu.

perasaanku semakin tidak tenang. Jantungku terus berpacu cepat. Perasaan diawasi terasa semakin kuat dari arah belakangku. Langkahku semakin kupercepat. Ini benar-benar konyol, tapi seperti barusan beberapa kali aku mendapati sosok gadis kecil itu. Meski terkadang hanya bayangan putih, aku yakin aku tidak berhalusinasi. Jadi benar gadis kecil tadi terus menghantuiku selama ini? Akhirnya kuputuskan untuk bertanya pada Giver.

Hey, kuburan yang waktu itu kita tulisi apakah kuburan gadis kecil?

Beberapa saat aku menunggu balasan dengan gelisah. Langkahku pun perlahan menjadi pelan. Saat aku menuruni tangga sebuah nada pelan terdengar. Pesan masuk.

Bukan. Itu pemuda pengangguran yang mati tertabrak mobil. Memangnya kenapa?

Ternyata bukan. Kemungkinan itu harus dicoret dari daftar. Tapi jika bukan itu alasannya, lalu apa?

Segera saja aku berlari ke pintu keluar, aku bisa merasakannya gadis kecil itu muncul lagi di belakangku.

***

Tanganku. Aku bisa melihat kedua tanganku. Pucat terkena cahaya bulan. Aku bisa melihat tangan kananku memegang sebuah tang potong tua. Karatan seperti yang di gunakan laki-laki waktu itu.

Aku berjalan, perlahan ke arah gadis kecil yang terikat di kursi. Tangan kiriku meraih ikatan tali yang mengikat tangan gadis kecil itu. Kutarik tangan kiri gadis itu ke udara. Kuarahkan tang potong itu ke jari telunjuknya. Aku bisa merasakan diriku menyeringai tepat saat tang potong itu memotong putus jari mungilnya itu. Seketika jerit kesakitan gadis kecil itu meledak menghujam telingaku.

"Aaahhhhhhhhhhh!!" sekali lagi aku berteriak. Memekik kencang terbangun di atas ranjang. Dadaku naik turun. Keringat dingin memenuhi seluruh tubuhku. Mimpi lagi. Kuusap dahiku perlahan.

Semakin hari mimpiku semakin mengerikan. Kutatap kedua belah tanganku. Pucat seperti dalam mimpi. Tangan yang sama dengan tangan yang memotong jari gadis kecil tadi. Seketika aku menggelengkan kepalaku. Dengan geram kuhempaskan tubuhku dengan keras keranjang. Kenapa aku terus bermimpi seperti ini?

***

Satu hari lagi berlalu dengan dihantui oleh mimpi mengerikan dan perasaan diawasi. Dengan lemas aku melangkahkan kakiku menuju ke rumah.

Kulayangkan mataku ke semua arah. Sore hari yang sepi. Sebenarnya jika ini hari yang biasa aku tidak peduli, namun disaat seperti ini aku berharap ada banyak orang sekarang. Soalnya aku merasakan perasaan buruk sejak beberapa saat lalu. Jangan bilang kalau hantu itu...

Tiba-tiba angin dingin terasa menghujam punggungku. Aku merinding. Perasaan ini... Ada sesuatu yang salah di belakangku.

Seketika aku berbalik. Di sana sejenak aku melihat sesosok gadis kecil menatapku dengan sebelah matanya yang hancur. Belum sempat aku bereaksi, sesaat kemudian dia menghilang. Tanpa berpikir aku langsung berlari secepat-cepatnya meninggalkan tempat itu.

Aku tidak mau percaya namun sosok gadis kecil itu semakin sering tertangkap oleh mataku. Entah bagaimana kurasa hantu gadis kecil itu berhubungan dengan mimpiku. Gadis kecil yang menghantuiku adalah orang yang sama dengan yang dibunuh di mimpiku.

Apa mungkin di mimpiku ada suatu petunjuk yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Dia dibunuh dengan sadis oleh seseorang, hanya itu yang bisa kuingat. Lantas apa hubungannya denganku? Lebih dari itu kenapa belakangan dalam mimpi aku menjadi pembunuhnya?

***

Tadi malam aku bermimpi memotong empat jari tangan gadis kecil itu dan menusuk bola matanya. Aku tak bisa berhenti merinding pagi itu. Bayangan darah, jari yang putus dan bola mata yang meledak seperti bola karet berisi air yang meletus di tusuk jarum terus memenuhi pikiranku. Wajahku pucat pasi saat kutatap diriku sendiri di cermin kamar mandi.

Mimpi itu terasa sangat nyata. Seseolah aku benar-benar melakukannya. Rasa basah di tangan, teriakan kesakitannya, juga saat jarinya terpotong dan jatuh ke lantai, benar-benar terasa nyata. Apalagi saat matanya kutusuk, mengingatnya membuatku mual dan merinding.

"Kamu tidak apa-apa, Dane?" tanya ibuku saat sarapan.

"Hmmm...?"

"Belakangan ini kamu terlihat aneh..." lanjutnya.

"Aneh bagaimana?" tanyaku pura-pura bodoh.

"Entahlah, ibu hanya merasa khawatir."

"Aku baik-baik saja, bu," ucapku berbohong.

"Ibu harap begitu," katanya lembut. "Oya, ibu akan mengunjungi kuburan ayahmu nanti sore. Kamu mau ikut?"

"Tidak," jawabku datar. Ibuku tampak kecewa namun dia tidak berkata apa-apa lagi. Aku juga membungkam mulutku, memilih untuk memakan sarapanku dalam diam.

Ayahku... Aku merenung. Aku tak ingin memikirkannya, tapi sehari sebelum aku mendapat mimpi aneh itu ayahku meninggal karena bunuh diri di dalam penjara. Sejak ayah dan ibuku bercerai setahun yang lalu, aku hidup dengan ibuku meninggalkan ayahku sendiri di kota sebelah. Menurut yang kudengar ayahku menjadi sedikit tidak waras, dan sekitar enam bulan setelah itu pada suatu malam dia tertangkap basah membunuh di dalam rumah yang dulu kami bertiga tempati.

Jika kupikirkan dengan baik, aku tak bisa menemukan alasan lain kenapa ini terjadi selain ayahku. Semua mimpi aneh dan kejadian hantu itu mulai terjadi sehari setelah ayahku meninggal. Bukankah itu terdengar sangat cocok? Terlepas dari apa penyebabnya.

Meski aku membencinya, sesungguhnya aku tak ingin menyalahkan ayahku atas semua ini. Dia sudah cukup menderita dengan yang dialaminya. Lagipula dia sudah meninggal. Selain itu kami sudah tidak berhubungan lebih dari satu tahun —aku selalu menghindar saat dia berusaha menghubungiku. Aku benci dia karena dia selalu membuat ibuku menangis.— seharusnya hubungan kami sudah terputus di sana. Namun melihat keadaannya seperti ini mau tidak mau aku mempertimbangkan kemungkinan itu.

Kelihatannya semua ini memang karena ayahku. Gadis kecil itu mungkin korbannya enam bulan lalu. Aku anaknya, kurasa karena itulah gadis kecil itu menghantuiku. Lagipula jika aku tidak salah ingat postur tubuh pembunuh dalam mimpiku itu benar-benar sama dengan ayahku. Juga suaranya. Juga ruangan itu. Aku mengerti sekarang, pantas saja ruangan itu terasa familiar. Saat kucoba mengingat lebih keras, ruangan itu jika tidak salah adalah sebuah kamar di rumah kami yang dulu.

Untuk memastikannya aku berselancar di internet. Jika tidak salah, berita pembunuhan itu pernah dipasang di sebuah koran. Sayangnya waktu itu aku tidak mau membacanya meski ibuku menunjukannya padaku.

Tak salah lagi, ini karena ayahku. Aku menemukannya, sebuah artikel tentang pembunuhan seorang gadis kecil enam bulan yang lalu yang dilakukan ayahku. Empat jari tangannya putus dan satu matanya hancur.

Kutelan ludahku. Tak ada keraguan lagi. Ayahkulah yang menyebabkan gadis kecil itu menghantuiku. Alasannya terpecahkan. Namun yang jadi masalah sekarang adalah apa yang harus kulakukan?

***

Aku melihat tanganku lagi. Masih sama, tampak pucat di ruangan yang remang-remang itu. Sebuah tang potong tua tergenggam si tangan kananku. Hatiku menjerit. Entah kenapa aku setengah sadar, aku akan berjalan ke arah gadis kecil yang terduduk lemas di kursi itu. Aku berteriak melawan namun tubuhku bergerak sendiri, mendekatinya. Gadis kecil itu menatapku. Wajahnya manis jika saja mata kirinya tidak hancur mengerikan seperti itu.

Aku mengangkat tangan kiriku. Menatap lambat-lambat tanganku dengan di latarbelakangi wajah gadis kecil itu. Tangan kananku pun kuangkat. Kudekatkan tang potong itu ke jari telunjuk kiriku dan...

'Krak', darah menyembur. Potongan jariku jatuh ke lantai dengan bunyi pluk. Seketika, aliran rasa sakit aneh menjalar dari jari telunjukku yang terpotong.

"Aaaaaaaahhhhhhh!!" Aku berteriak kencang, bergema ke seluruh sudut kamarku.

Mimpi lagi, aku sudah tahu. Tapi tubuhku gemetar hebat. Keringat dingin membanjiri seluruh tubuhku. Napasku berhembus berat satu-satu. Aku mendesah, dengan gemetar kutatap tangan kiriku. Masih utuh. Syukurlah, aku menghembuskan napas lega. Tapi jika ini terus berlanjut aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku.

Telepon genggam di atas meja bergetar. Aku menatapnya beberapa saat sebelum kuputuskan untuk meraihnya.

Aku tidak sengaja memotong tanganku sendiri. Apa yang harus kulakukan? :p

Giver... Ini bukan saat yang tepat main-main dengannya. Aku harus menemukan cara menyingkirkan mimpi buruk ini dan membuat hantu gadis kecil itu berhenti menghantuiku.

Tunggu dulu. Aku sekali lagi membaca baris pesan dari Giver barusan. Itu mengingatkanku pada pesan yang kuterima enam bulan lalu. Seketika punggungku terasa dingin. Aku menyadari kesalahanku yang sangat fatal.

Telepon genggamku memiliki memori yang besar, karenanya aku malas menghapus pesan-pesan yang masuk meski jumlahnya sudah bertumpuk hingga ratusan. Dan pesan enam bulan lalu pun pasti masih ada.

Dengan cepat aku mencarinya. Harus kupastikan. Dan benar saja, beberapa saat kemudian aku menemukannya. Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal.

Aku menyekap seorang gadis. Apa yang harus kulakukan padanya?

Jantungku berpacu cepat saat aku membaca balasan yang kukirimkan ke nomor itu.

Potong jari tangannya dan tusuk bola matanya.

Pesan itu kuterima tepat di hari saat ayahku ditangkap karena pembunuhan. Hari di mana seorang gadis kecil korbannya mati. Kupikir itu dari Giver, jadi pesan itu dari... Ayahku?

Rasa dingin mengalir di punggungku. Jadi ini alasannya. Jadi ini kenapa gadis kecil itu...

Aku bisa merasakan seseorang ada di belakangku. Perlahan aku menengok, di sana tampak gadis kecil berbaju putih menatapku dengan sebelah mata yang hancur.

"Menjauh dariku!" teriakku histeris seraya berlari menjauh. Meraih pintu kamar, aku keluar. Pontang-panting aku lari ke bawah tangga. Membanting pintu dapur, aku cepat-cepat masuk. Gadis kecil itu, dia masih mengejarku. Punggungku menabrak bak cuci piring hingga sebuah piring tersenggol dan jatuh.

Gadis kecil itu muncul di depan pintu. Dengan jari-jari tangan putus dan mata hancur mengeluarkan darah. Menatapku dengan tatapan dingin mengerikan.

Darahku serasa berhenti. Dengan tubuh gemetar tak karuan, kuraih pisau daging yang tergeletak di dekat bak cuci piring. Kuacungkan ke arahnya.

"Mundur!" teriakku dengan suara bergetar. "Jangan mendekat! Aku tidak sengaja! Maafkan aku! Aku tidak tahu!"

Gadis itu perlahan mendekat. Semakin dekat dan semakin dekat. Tubuhku goyah. Kakiku terasa lemas. Aku bisa melihat luka di matanya dengan sangat jelas. Membuatku mual tak tertahankan.

"Berhenti menggangguku!" raungku putus asa. "Apa yang kau inginkan dariku!?"

Gadis itu mengangkat tangan kirinya yang putus ke arahku. Darah segar menetes-netes dari sana.

"Ka, kau ingin jari!? Kau ingin jariku! Kau menginginkannya? Akan kuberikan! Akan kuberikan!"

Tanpa berpikir kuletakan tangan kiriku ke meja lalu dalam sekali hentak dengan pisau daging itu kupotong empat jariku.

"Aaahhhhhhhhhhhh!!" Aku terhempas ke lantai. Darah segar bercucuran dari keempat jariku yang terpotong.

Sakit! Sakit sekali! Seseolah tanganku tiba-tiba terbakar api yang sangat panas. Seakan ribuan jarum panas menusuk seluruh tubuhku. Rasa sakit yang tak terkira, panas yang tak tertahankan. Aku merasa pusing. Kepalaku seakan berputar. Dibalik semua itu tangan kiriku terasa sangat lemas dan kesemutan.

Aku terus meraung-raung tak karuan. Namun gadis kecil itu masih ada di sana. Mendekatiku.

"Mundur!" teriakku terengah dengan suara yang bergetar hebat. Berusaha bangkit dengan energi yang hampir terkuras habis. Rasa sakit dari jariku yang terpotong masih menjalar ke seluruh tubuhku. Panasnya tak tertahankan. "Kumohon... Sudah kuberikan jariku..." napasku tersenggal semakin tak beraturan.

Gadis itu masih tetap mendekat. Hingga tepat ada di hadapanku. Aku bisa melihatnya sejelas birunya langit, matanya yang hancur. Jarinya yang terpotong terangkat. Mendekat ke arah mataku.

"Ka, kau ingin mataku?! Akan kuberikan! Akan kuberikan!!"

Kuambil serpihan piring dari lantai. Tanpa berpikir, ujung runcing itu melesat, tampak seperti kilatan di mata kiriku dan...

***

Aku tidak tahu detailnya, yang jelas begitu aku menusuk mataku sendiri dengan serpihan piring itu aku pingsan. Begitu ibuku menemukanku, ibuku serta merta membawaku ke rumah sakit. Saat aku tersadar aku melihatnya tertidur menungguku sadar di samping ranjangku.

Saat ibuku terbangun dan melihatku sadar, seketika ibuku menangis terisak-isak menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi padaku.

"Seharusnya ibu tahu! Seharusnya ibu tahu saat melihatmu bertingkah tidak biasa! Seharusnya ibu tahu hal seperti ini bisa terjadi!"

Aku hanya bisa terdiam. Tak bisa berkata apa-apa. Lagipula apa yang bisa kukatakan? Kubiarkan ibuku menangis sepuasnya.

Kutatap tanganku yang terbungkus perban dengan hanya mata kananku. Rasa panas dan sakitnya sudah hampir hilang. Nyaris tak percaya aku mencoba menggerakan tanganku, terasa sakit. Aku tahu pasti ini bukan mimpi. Aku benar-benar melakukannya.

Kutatap jam di dinding, entah berapa lama aku tidak sadarkan diri.

Tak lama aku tertarik dengan telepon genggamku di atas meja. Telepon genggam itu sudah di alihkan ke flight mode, meskipun begitu ada sebuah pesan masuk dari Giver. Mungkin dia mengirimkan pesan itu sebelum mode itu diaktifkan.

Hey, kamu baik-baik saja? Sebaiknya kita hentikan candaan tidak waras kita. Aku tak pernah menyangka kamu akan melakukan itu...

Aku hanya bisa tersenyum miris membacanya. Ya, aku setuju. Bahkan seharusnya sejak awal kami tidak melakukan itu.

Vena juga berkunjung. Dia tersenyum tipis ke arahku. Tak bisa kutebak maksud senyumannya itu apa. Kasihan? Kecewa? Sedih? Entahlah. Dia hanya menatapku, tampak bingung harus berkata apa.

"Aku tidak apa-apa," ucapku serak. " Ini bukan apa-apa."

Seketika aliran hangat mengalir ke pipinya. Menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dia menangis. Tak lama dia kemudian meninggalkanku sendiri.

Ini bukan apa-apa. Aku berkata jujur. Aku tak keberatan jika harus kehilangan jari tanganku dan satu mataku. Aku hanya ingin lepas dari semua mimpi buruk ini. Tapi kurasa itu hanya harapan kosong. Aku tahu, entah bagaimana, aku tahu gadis kecil itu akan datang lagi padaku, malam ini.

Aku sudah tak punya kekuatan lagi untuk menghindar. Di tengah malam, saat hantu gadis kecil itu muncul aku sudah siap untuk mati. Atau gila. Yang mana pun sama saja. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah terdiam dan menatapnya.

Sosok gadis kecil berbaju putih itu mendekat. Aku menatapnya heran. Wajah manisnya tampak sempurna. Mata kirinya tampak cemerlang. Ya, mata kirinya sudah kembali seperti semula. Tidak lagi tampak mengerikan dan mengeluarkan darah. Begitupun jari-jari tangannya. Apa yang terjadi?

Dia tersenyum, sangat manis. Aku hanya bisa terpana tak bergerak melihatnya. Dia menganggukan kepalanya padaku, seakan memberi persetujuan. Beberapa saat kemudian dia menghilang, seperti embun yang terkena sinar matahari. Itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dengan hantu gadis kecil itu.[]

Penulis: Daff | Kemudian

0 komentar